Simplify (The Welch Way)


Make Things Complex
Simplify

Jack Welch did not think business had to be complicated. To him, keeping things simple was one of the keys to business. He said that his goal was to "de-complicate everything we do and make at GE."

He often said that as long as people had access to the same information, they would almost always come up with the same answer to any problem put before them. "This is not rocket scientist work," he declared more than once.

Welch felt that simplicity requires "enormous self-confidence." Welch felt that confidence is one of the other vital ingredients of any learning organization, and that like simplicity, it thrives in an informal arena. Many of his signature programs and initiatives were specifically designed to make GE a simpler organization.

The roots of Welch's desire for simplicity can be traced back to his early days at the company. When he started, he worked in a small plastics lab, in which he was one of a very small, yet nimble, team. In that setting, simplicity ruled, and bureaucracy was nowhere to be found.

Instead of battling bureaucracy, Welch and his colleagues focused on competing, building business, creating new products, and all of the other things that Welch loved about business. Those early days showed him that business could be exciting, yet simple, and did not have to be filled with jargon and complexity. He spent most of the next four decades instilling that brand of excitement and simplicity back into the "big body" of GE.

Anything that you can do to make your organization simpler would take it one step closer to the Welch ideal:

Simplify the workplace:
Most organizations have far too many complicated forms, processes and ways of doing things. Identify those that waste the most amount of time, and work with colleagues to eliminate or streamline them.

Make meetings simpler:
When Welch met with his business leaders, he made sure to have no complicated minute-by-minute agenda. Instead, he encouraged his managers to simply tell him the best ideas they have come up with n the last 90 days.

Eliminate complicated memos and letters:
Welch had no use for complicated memos, preferring simple, handwritten notes. He felt that communication should be filled with ideas and simplicity, not complexity and jargon.




You can't believe how hard it is for people to be simple, how much they fear being simple... Clear tough-minded people are the most simple.


===0===
From: Jeffrey A. Krames. The Welch Way: 24 lessons from the world's greatest CEO. New York, McGraw-Hill, 2004.
===0===

Kesadaran "Melampaui Indonesia"

TOKOH MUDA INSPIRATIF (1)

KOMPAS, 28 Oktober 2009

Myrna Ratna

Anies Baswedan

Hari-harinya diisi dengan jadwal superpadat. Mengajar, memberikan ceramah, menjadi panelis, memenuhi undangan ke luar kota dan luar negeri, mengisi unjuk bincang, dan banyak lagi. Anies Baswedan memang demikian energik.

Dalam percakapan dengan Kompas awal Oktober lalu, Anies mengungkapkan optimismenya sekaligus keprihatinannya terhadap beragam persoalan negeri ini, khususnya menyangkut aset bangsa yang paling utama, sumber daya manusia.

Berikut petikan wawancara:

Semangat apa yang harus terus dihidupkan terkait Sumpah Pemuda?

Mereka orang-orang muda yang berkumpul saat itu adalah yang berani melawan status quo pada zamannya. Apakah kita membayangkan anak-anak muda yang berkumpul di Kramat itu pulang ke kampung halamannya disambut dengan sukacita? Tidak, mereka diterima dengan tentangan. ”Hey, bahasa nenek moyang kita kau kemanakan?”

Mereka adalah anak-anak muda pemberani yang mengantisipasi perubahan zaman bahwa fondasi dari suku bangsa kepulauan diletakkan bahkan sebelum negara itu ada. Kesadaran satu nusa satu bangsa itu baik, tetapi yang paling sulit dan paling fantastis adalah satu bahasa. Eropa yang katanya modern, sudah jauh melewati fase industri, tidak bisa untuk setuju satu bahasa.

Relevansinya dengan kondisi bangsa kita saat ini?

Kemampuan mengantisipasi perubahan. Kalau tahun 1928 seorang Jawa atau Sunda menjadi Indonesia tanpa kehilangan Jawa atau Sundanya, sekarang kesadaran itu adalah bahwa kita juga warga dunia.

Kaum muda tahun 1928 mengantisipasi ”dunia baru” yang muncul 17 tahun kemudian. Sekarang, dunia baru itu makin hari makin terlihat wajahnya. Mampu tidak kita menjadi pemain dominan di tanah kita sendiri dengan adanya globalisasi?

Untuk sampai ke situ kita harus punya kesadaran bahwa kita ”warga dunia” sehingga kita melihat ke depan. Sebagai contoh, kepada mahasiswa saya tanyakan siapa kompetitor kalian: Mereka menjawab sejumlah universitas terkemuka di Tanah Air.

Saya katakan bukan. Kompetitor mereka adalah lulusan Melbourne, AS, Tokyo, dan lain-lain yang memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan, dan jaringan internasional. Jadi, saat ini harus ada kesadaran melampaui Indonesia, beyond Indonesia.

Kalau dahulu yang dibangun adalah fondasi persatuan, sekarang bukan pada fondasinya, tapi preservasi persatuan. Ini lebih sulit karena di situ ada lintas kepentingan, negosiasi, tarik-menarik.

Tantangan hari ini adalah apakah kita bisa merawat persatuan. Di situ harus ada kedewasaan yang dibangun lewat pendidikan. Kesadaran akan keberagaman itu seharusnya ditanamkan sejak sekolah dasar, jadi di fase universitas mereka tidak lagi belajar keberagaman, tapi sudah melakukan exercise tentang perbedaan itu.

Saat ini apa yang menjadi pembatas?

Dulu etnisitas menjadi pembatas, sekarang religius (agama). Inilah yang oleh Samuel Huntington kemudian dianggap ”benturan”. Karena menurut dia, kalau ideologi saja, orang bisa berganti, tapi kalau agama tidak.

Padahal, kenyataannya selama ratusan tahun (di Indonesia) garis agama itu ada, tapi tidak menjadi pembeda. Nah, sekarang ini era pasca-rezim otoritarian, karakter agama menjadi kuat, itu harus dijawab dengan sebagaimana karakter etnisitas pada tahun 1920-an. Anak-anak pemberani yang mau melewati batas-batas identitas itu sama dengan anak-anak pemberani pada tahun 1928. Mereka telah mengantisipasi masa depan.

Generasi kedua

Anies mengingatkan tentang sekitar 40.000 anak Indonesia yang bersekolah di luar negeri. Ia ingin pemerintah berbicara kepada mereka dan mengajak mereka membangun Indonesia. ”Lakukan call for duty, tapi jangan jadikan mereka sebagai pegawai negeri. Mereka sangat potensial untuk berkompetisi di tataran internasional,” katanya.


Ketua MPR-RI, Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid (kiri) dan Rektor Universitas Paramadina, Dr. Anies Baswedan disambut oleh Duta Besar AS Cameron R. Hume (tengah)

Hal-hal apa yang membuat Anda optimistis dengan perjalanan bangsa ini?

Saya selalu optimistis dalam melihat bangsa ini. Dalam waktu kurang dari 60 tahun sudah 90 persen bangsa Indonesia melek baca. Hal lain yang membuat saya optimistis adalah size matters. Bangsa ini ukurannya besar, 240 juta. Kualitas angka pendidikan kita dibandingkan negara lain mungkin rendah, tapi coba diambil yang 10 persen teratas, sangat cerdas. Di setiap kampus juga begitu. Dan, siswa Indonesia yang 10 persen teratas itu jumlahnya jauh lebih banyak dari seluruh siswa di Malaysia.

Ketiga, bangsa ini sangat ulet (resilient). Dalam 10 tahun terakhir, kita dihantam krisis ekonomi, politik, serangan teroris, dan bencana. Sebagai bangsa kita terguncang karena tak ada pemimpin karismatik yang dapat membimbing seperti Nelson Mandela. Efeknya, ada upaya kolektif semua orang. Jadi, meski tidak terorkestrasi dengan baik, bangsa ini sangat tangguh.

Keempat, pusat untuk berkegiatan ekonomi, politik, budaya, mulai terfasilitasi di daerah-daerah. Indonesia itu bukan Jakarta, tapi perspektif kita sangat Jakarta. Ruangan itu mulai terbuka. Dan, ketika ruangan mulai terbuka memang muncul banyak konflik karena untuk pertama kali mereka bisa menegosiasikan kepentingan lokal.

Jadi, hari ini mungkin akan banyak friksi, tapi tak perlu khawatir. Karena begitu ruangan berekspresi terbuka di tingkat lokal, hal-hal yang memberikan manfaat langsung terhadap kepentingan lokal akan tumbuh. Kalau tidak, semuanya berkompetisi untuk bisa tumbuh di Jakarta dan itu yang selama beberapa dekade terjadi.

Tak khawatir kebablasan?

Tidak. Bagi saya justru itu memperkuat persatuan. Disinsentifnya akan terlalu besar untuk pemisahan diri. Pemisahan diri tidak akan ada artinya kalau masyarakat internasional tidak memberikan dukungan. Dan, tidak ada satu negara pun saat ini yang mendukung adanya pemisahan wilayah di Indonesia.

Persoalan apa yang bisa menggagalkan optimisme di atas?

Korupsi. Itu kanker terbesar yang bisa menghancurkan kita. Saya merasa ngeri kalau bicara korupsi karena sudah menjadi budaya korupsi (the culture of corruption). Bahkan, untuk masuk dalam kekuasaan pun kita harus berkompromi dengan korupsi, padahal masuk kekuasaan itu salah satu agendanya ialah mengeliminasi korupsi.

Tapi, ya, we can fix it. Jadikan sekolah sebagai zona bebas korupsi, dari mulai TK sampai universitas. Itu adalah permulaannya, jangan sampai ada korupsi di institusi pendidikan. Jika tugas KPK untuk memberantas korupsinya, maka ada tugas lebih mulia, yaitu memangkas potensi suplai koruptor, yaitu melalui sekolah.

Di Paramadina, misalnya, ada mata kuliah wajib Antikorupsi. Yang diajarkan mulai kerangka teoretis sampai laporan investigatif tentang praktik korupsi.

Anda setuju bahwa tahun 2014 sudah seharusnya terjadi regenerasi kepemimpinan secara luas?

Kalau tonggak lintas generasi itu memakai tonggak politik, memang 2014. Alasannya, generasi baru Indonesia yang relatif berjarak dengan Orde Baru tidak pernah punya kesempatan untuk masuk dan dominan di politik era reformasi karena proses pergantian Orba ke Reformasi itu pergantian yang nonrevolusioner. Itu merupakan hasil negosiasi antardua kelompok moderat.

Kalau kita kategorikan pada tahun 1998 dan sebelumnya ada empat kelompok, dua di pemerintah, yaitu hardliner yang tidak mau berubah dan reformis yang mau berubah terbatas. Di luar juga ada dua kelompok, yang radikal dan reformis. Yang terjadi, dua yang di tengah itu yang menegosiasikan perubahan.

Efek dari kerja sama dua kelompok ini adalah ruang gerak bagi generasi yang berjarak dengan Orba untuk berperan menjadi minim. Sesudah 15 tahun, generasi baru yang saat itu tidak bisa berperan mengalami pendewasaan. Mereka masuk dalam fase di mana mereka mampu meraih kepemimpinan. Jadi, saya merasa asumsi tadi tidak keliru.

Face Reality (The Welch Way)


Assume Everything is Fine
Face Reality

Jack Welch said that business, like life, boils down to one thing: facing reality, and then making the right decisions based on that reality, and then making the right decisions based on that reality. To him, there was no more fundamental --or important-- concept than this one.

The roots of Welch's "face reality" edict can be traced back to his childhood. Welch's mother always urged her son Jack "not to kid himself," to see things as they are, and not as he wished them to be.

Welch never forgot that enduring lesson, and it played an invaluable role in his success.

When Welch became CEO, most people thought that GE was in great shape. Although it was voted top company in America, Welch saw a company in trouble: one that had lost much of its market value, and one that was sinking under the weight of its own bureaucracy.

Although most thought that he should respect the company and its history, Welch decided to "start a revolution" and reinvent the company from top to bottom.

At the heart of welch's revolution is his "face reality" decree. From his very first day as CEO, he made sure always to see things as they truly were. He never fooled himself into thinking that things would just get better on their own. Once he recognized the reality, he launched strategies and initiatives that helped make things better. When he determined that many of GE's businesses, and laid off more that 150,000 workers.

Facing reality often means saying and doing things that are not popular. After all, who wants to hear that business is bad, or that things won't get better? But Welch felt that only by coming to grips with reality would things begin to get better. So the next time a boss or colleague says, things just have to get better if we just stay the course, consider telling that person to face reality. That's how Jack Welch turned an aging bureaucracy into the world's most valuable corporation.

Here are some ways to make sure that you don't "kid yourself," which might help you to see things as they are:

Look at things with a fresh eye:
Sometimes people are too close to things to see the truth. To get perspective, look at your situation as an outsider might. Start with a blank piece of paper and jot down the realities of the situation you are assessing. This might help you to see things in a more detached manner.

Don't fall into the "false scenarios" trap:
Many people in business just assume things will get better. That could be a trap. Don't make up scenarios based on wishes. You must face the truth. What can we do if things don't get better?

Leave yourself with several options:
The best time to change is when you want to, not when you have to. In assessing situations, construct several scenarios based on different outcomes. Always have a "plan B" if things do not go as planned.


How do you bring people into the change process? Start with reality... When everybody gets the same facts, they'll generally come to the same conclusion.


===0===
From: Jeffrey A. Krames. The Welch Way: 24 lessons from the world's greatest CEO. New York, McGraw-Hill, 2004.
===0===

Todung Mulya Lubis (Jaksa Agung RI - pilihan Tempo)

Lebih dari 35 tahun bergerak di bidang penegakan hukum dan hak asasi manusia, Todung dinilai bisa membenahi Kejaksaan Agung. Pernah dinilai melanggar kode etik dalam sebuah kasus pembelaan.



TODUNG Mulya Lubis adalah pencatat yang setia. Tak peduli jadwalnya berjejal-jejal, dia selalu menyisihkan waktu untuk mencatat pada setiap akhir hari. Yang dia catat adalah apa-apa yang dianggapnya paling menarik, unik, dan istimewa tentang peristiwa, atau tokoh, yang bertalian dengan politik pada hari itu. Todung menyebutnya ”Diari Politik” dan berniat menerbitkannya sekali waktu. ”Belum tahu kapan, tapi saya ingin menerbitkannya kelak,” ujarnya kepada Tempo pada September lalu.

Di dalam ”Diari Politik” itu, boleh jadi, Todung mencatatkan banyak hal tatkala dia menjadi anggota Tim Lima. Inilah tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjaring tiga nama pejabat pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Awal Oktober lalu, tugas itu rampung. Tim Lima memilih Mas Achmad Santosa, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Waluyo sebagai pimpinan KPK sementara.

Barangkali pula, Todung mencatat aneka kritik—termasuk dari rekan sejawat—tatkala dia dan koleganya di Tim Lima menyetujui terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pimpinan KPK. Sikap ini bertentangan dengan banyak temannya di lembaga swadaya masyarakat. Todung mengaku punya alasan pribadi kenapa dia sudi masuk Tim Lima: ”Karena saya melihat ada stagnasi dan demoralisasi di tubuh KPK,” katanya. ”Dan itu tidak bisa dibiarkan,” dia menambahkan.

Todung adalah tokoh kawakan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Malang melintang di bidang ini selama 35 tahun lebih, lobi dan jaringannya amat luas, termasuk dengan lembaga-lembaga hukum internasional. Sampai kini dia aktif di Dewan Hak Asasi Manusia Regional Asia, International Bar Association, International Chamber Commerce, dan Komisi Hak Asasi Manusia Asia.

Lelaki kelahiran Muara Botung, Tapanuli Selatan, pada 1949 ini mengawali kariernya di dunia hukum dengan magang di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Saat itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa hukum Universitas Indonesia. Mahir menuntaskan perkara-perkara yang dibebankan kepadanya, karier Todung segera melesat. Dia naik jenjang menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Belakangan, ia menjabat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Di lembaga ini, dia mencatatkan prestasi sebagai pengacara terkemuka dalam membela hak-hak orang miskin.

Bersama sejumlah rekannya yang peduli terhadap masalah penegakan hukum dan hak asasi manusia, Todung mendirikan sejumlah lembaga. Di antaranya Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dan Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia.

Mengajar di sejumlah perguruan tinggi hanyalah sebagian kecil aktivitas Todung. Namanya tercatat sebagai Ketua Indonesian International Crisis Group, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, dan Kepala Dewan Etik Indonesia Corruption Watch. Bolehlah dicatat bahwa hampir sepanjang usianya Todung berkecimpung di organisasi yang selalu berkaitan dengan soal penegakan hukum.

Dengan reputasi seperti inilah Todung dinilai sebagai sosok paling tepat duduk di pucuk pimpinan kejaksaan. Institusi kejaksaan mensyaratkan pemimpin yang bersih, berani, dan berkomitmen memberantas korupsi. ”Dari sisi penegakan hukum, dia tak diragukan lagi,” kata Mas Achmad Santosa, pengamat hukum dan bekas anggota Tim Pembaruan Kejaksaan Agung. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai Todung orang paling tepat mengisi kursi Jaksa Agung. Menurut Jaleswari, amat sedikit orang yang memiliki pengalaman dan kemampuan seperti Todung. ”Dia termasuk orang terbaik di bidangnya,” kata Jaleswari.

Kejaksaan Agung sendiri bukan lembaga baru untuk Todung. Ia pernah tergabung dalam tim audit tata kelola Kejaksaan Agung, saat lembaga itu dipimpin Marzuki Darusman. Pengalaman itu tentu memberi Todung pengetahuan tentang bolong-bolong kejaksaan yang perlu ditambal dan diperbaiki. Termasuk meningkatkan kinerja kejaksaan.


Banyak pengalaman bukan berarti serba sempurna. Todung punya sejumlah kekurangan. Pada Mei 2008, pemilik firma hukum Lubis, Santosa, dan Maulana ini tersandung masalah dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi). Dewan Kehormatan Peradi mencabut izin praktek advokatnya. Peradi menilai Todung melanggar kode etik advokat saat menjadi pengacara Salim Group dalam kasus ”Sugar Group” di Lampung.

Todung menyatakan, putusan itu tidak adil dan semata-mata bertujuan menghabisi kariernya. Dia kini tercatat sebagai anggota Kongres Advokat Indonesia, organisasi advokat ”saingan” Peradi. Nah, pada 2005, Todung juga pernah bermasalah dengan Serikat Pekerja Acehkita. Saat itu, sebagai salah satu pengurus Yayasan Acehkita, ia dinilai tidak transparan dalam hal keuangan.

Yayasan Acehkita sendiri saat itu bergiat menghimpun dan menyalurkan bantuan korban tsunami. Juga menerbitkan surat kabar Acehkita dan media online Acehkita. ”Tapi, alih-alih mendengar laporan kami, ia justru membela teman-temannya yang bersalah itu,” kata Dandhy Dwi Laksono, pendiri dan bekas Pemimpin Redaksi Acehkita.com. Di mata Dandhy, dengan rekam jejak seperti itu, Todung dinilai tak layak menjadi Jaksa Agung.

Todung sendiri mengakui tak semua orang menyukai apa yang ia lakukan. Menurut dia, hidupnya ibarat buku terbuka. ”Orang bisa melihat apa saja yang telah saya lakukan selama 35 tahun di bidang hukum,” kata doktor hukum ini. Dia menyelesaikan studinya di perguruan tinggi Amerika yang amat terkemuka: Boalt Law School, University of California di Berkeley, dan Harvard Law School di Cambridge, Massachusetts.

Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009

Imam B. Prasodjo (Menteri Sosial RI - pilihan Tempo)

Tanggap ketika bencana alam dan konflik sosial melanda. Rumahnya menjadi markas relawan. Gerakannya dikritik terlampau sporadis.



BERKARDUS-kardus barang bantuan ditumpuk di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak sedikit koleganya yang menyebut fungsi rumah itu lebih mirip gudang dan markas relawan ketimbang tempat hunian. Di situlah Imam Budidarmawan Prasodjo, 49 tahun, tinggal bersama istrinya, Gitayana. Kedua anaknya, Rauf dan Adila, yang bersekolah di Amerika Serikat, kadang singgah dan turut belajar di situ. Di markas para relawan itu, selain sibuk mencatat barang, mereka sesekali berdiskusi.

Dari rumah warisan mertuanya pakar, politik almarhumah Miriam Budiardjo, itu pulalah semua gerak Yayasan Nurani Dunia ke seluruh penjuru Indonesia dikendalikan. Ini sebuah yayasan sosial yang dia dirikan bersama sejumlah wartawan dan aktivis pada 1999. ”Mas Imam sekeluarga merelakan privasinya terampas oleh aktivitas sosial yang beraneka ragam,” kata Bambang Wisudo, wartawan yang kerap terlibat berbagai kegiatan sosial bersama Imam.

Gejolak sosial dan bencana alam tak ada yang luput dari sorotan dan sentuhan pria berkacamata tebal yang rambutnya mulai keperakan ini. Ia prihatin lantaran seretnya bantuan buat korban gempa di Jawa Barat, awal September lalu. ”Karena bukan musim kampanye, partai politik kurang sigap turun membantu bencana,” katanya. Ketika gempa dahsyat melanda Padang dan sekitarnya, Imam dan pasukannya turun di garda depan.

Jejak kebajikan pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini banyak terekam. Puluhan sekolah dan perpustakaan yang hancur di daerah konflik telah direnovasi atas jerih payahnya. Rumah warga yang rusak akibat konflik dan gempa di Madura, Yogyakarta, Aceh, Ambon dia bangun atas sokongan para donatur. ”Ia bisa meyakinkan penyandang dana untuk terlibat dalam pengembangan program sosial,” kata Wisudo.

Kepercayaan dengan para donatur ia jaga betul. Direktur Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolutions (CERIC) ini sadar bahwa dipercaya memegang dan mengalokasikan uang bukan perkara mudah. Tak cukup dengan label seorang yang taat beragama semata. ”Harus dibuat sistem berlapis-lapis untuk mengontrol dana bantuan. Jika tidak, pasti akan terjadi korupsi,” kata Imam.

Imam Prasodjo sebagai Direktur Yayasan Nurani Dunia ketika meresmikan perpustakaan terapung di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat (di kawasan yang terkena banjir permanen sejak tahun 1998). Program ini bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Belantara Jakarta juga dia rambah. Maka berdirilah perpustakaan di kawasan Bonang di Jakarta Pusat, dan Kampung Melayu di Jakarta Timur, serta sejumlah kawasan pinggiran lainnya. Belum lagi sejumlah perpustakaan keliling yang ia kembangkan di seantero Ibu Kota hingga Depok, Jawa Barat. Dalam urusan bantuan buku bacaan ini, Imam tak kenal lelah berkampanye, mengingatkan siapa pun agar bersedia menyumbang. Untuk kawasan kumuh nan padat yang tak jauh dari Menteng juga kerap ia mintakan bantuan pembangunan.

Namun tak melulu soal bangunan fisik yang ia perhatikan. Wisudo masih ingat ketika diajak Imam ikut program tour de Java, melihat berbagai proyek renovasi dan peningkatan mutu guru di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Mereka, para guru itu, menurut Wisudo, ditatar dalam beragam pelatihan yang menyeluruh untuk membantu meningkatkan kompetensi.

Konflik sosial juga menjadi pusat perhatiannya. Ketika konflik Ambon merajalela, Imam mengkritik pemberitaan media yang cenderung melihat dari sisi konflik. ”Padahal yang terpenting adalah sisi kemanusiaannya,” kata doktor sosiologi Universitas Brown, Rhode Island, Amerika Serikat itu. ”Saya yakin, bangsa ini kukuh jika berfondasi jiwa rela berkorban dan saling menolong,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia yang pernah menjadi host program talk show di stasiun televisi swasta ini.

Imam juga dikenal tegas dalam menegakkan aturan. Ketika baru saja terpilih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pada 2004, ia bersama Romo Mudji Sutrisno, sejawatnya di lembaga itu, memilih mundur. Saat itu ada aturan yang melarang anggota KPU merangkap jabatan, termasuk sebagai dosen. ”Saya dan Pak Mudji memilih kembali ke kampus mengajar mahasiswa,” kata Imam. Mobil, komputer, dan barang pendukung lainnya dia kembalikan ke negara.

Ia pun kembali ke habitatnya, menjadi dosen dan narasumber diskusi publik. Ia pun kembali sibuk mengurusi bencana alam dan kemiskinan. Sosoknya mengorbit bak meteor yang populer tatkala ada musibah. Imam terbilang punya banyak teman baik di kalangan pers. Ia pun dikritik gemar publisitas. Akibatnya, ”Ia kini tak ubahnya seorang artis, padahal itu sama sekali tak perlu bagi seorang Imam,” kata Sri Wiyanti, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang kini duduk menjadi komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Gerakan Imam juga dinilai Sri Wiyanti sangat sporadis dan kurang sistematis dalam mengatasi masalah sosial. ”Gerakannya cenderung hanya bertumpu pada soal bantuan melulu,” kata aktivis perempuan ini. ”Saya rasa bantuan sosial bukan merupakan prioritas Departemen Sosial.”

Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009

Blow Up Bureaucracy (The Welch Way)


Tolerate Bureaucracy
Blow Up Bureaucracy

Welch has always hated bureaucracy. To him, bureaucracy is the enemy. Bureaucracy means waste, slow decision making, unnecessary approvals, and all the other things that kill a company's competitive spirit. He spent many years battling bureaucracy, trying to rid GE of anything that would make it less competitive.

Welch felt that ridding the company of bureaucracy was everyone's job. He urged all of his employees to "fight it, kick it." That's why "disdaining bureaucracy" became such an important part of GE's shared values (the list of behaviors that were expected of all GE employees).

When a young college student asked Welch what he should do when he encounters bureaucracy in a large corporation, the GE chairman advised him to "get a hand grenade...and blow it up" (he meant that figuratively, of course). He felt that it is everyone's job to at least try to rid the organization of wasteful bureaucracy.

But isn't that easier said than done? Yes, even organizations that do a good job of eliminating this cancerous element can't kill it permanently.

That's why Welch called bureaucracy "the Dracula of institutional behavior," because it had a way of rising from the dead every few years.

Anything that you can do to simplify, remove complexity and formality, and make the oerganization more responsive and agile, will reduce bureaucracy:

Drop unnecessary work:
Most organizations have far too many rules, approvals, and forms. Work with colleagues to figure out which of these old ways of doing things can be either eliminated or improved.

Work with colleagues to streamline decision making:
If it takes a company a week to make a decision, the process needs to be simplified.

If no one can remember why your company does something a certain way, chances are that it is more complicated than it needs to be.

Make your workplace more informal:
Send handwritten notes instead of memos (Jack loves handwritten notes, and it is "Jack," not "Mr. Welch"), keep meetings conversational (rather than formal and rigid), and encourage dialogue up and down the corporate ladder.

The way to harness the power of these people is not to protect them... but to turn them loose, and get the management layers off their backs, the bureaucratic shackles off their feet and the functional barriers out of their way.


===0===
From: Jeffrey A. Krames. The Welch Way: 24 lessons from the world's greatest CEO. New York, McGraw-Hill, 2004.
===0===

Indra Abidin Memperoleh Gelar Doktor Honoris Causa


Sahabat Indra Abidin pada tanggal 14 November 2009 memperoleh gelar Honoris Causa bidang Sastra dari The University of Newcastle Australia. Acara berlangsung dengan megah di Chinese Orchestra Concert Hall, Singapore.

Ia dianugerahi gelar ini atas komitmen dan kontribusinya dalam pendidikan, dan atas kreativitas, daya, tenaga serta efektivitasnya dalam mendorong kegiatan iklan yang bertanggung jawab. Dalam sambutannya Indra Abidin menyampaikan keyakinannya bahwa bidang Sastra dan Kreatif dapat mempersatukan dunia.

Indra Abidin juga mempersembahkan gelarnya untuk istrinya, Miranti, yang telah mendampingi hidupnya selama ini.

Suasana menjadi lebih bergengsi karena pada saat yang sama di Singapore sedang berlangsung APEC 2009 dengan bintangnya Presiden Amerika Barrack Obama.

Pada malam harinya diadakan makan malam dengan para alumni Universitas Newcastle di Grand Coptron, Singapore.


Sesaat menjelang acara


Suasana di ruang wisuda


Suasana di ruang wisuda


Saat menjelang penobatan


Saat penobatan oleh Prof Nicholas Saunders


Prof Margaret Tan dengan Riswanto Ramelan


Saat makan malam


Siswa terbaik dari Indonesia


Saat makan malam

Karyawisata Martels ke Perth (day one)

Segenap kru Martels (Meta Archipelago Hotels) berkarya wisata ke Perth, pada 6-9 November 2009. Kota ini dipilih karena hanya 3,5 jam perjalanan terbang dari Indonesia.

Di kota yang dijuluki "city of lights" ini telah menanti Ibu Gayatri Iskandar, pemegang saham hotel, serta DY Suharya, mahasiswa Indonesia, yang menyambut kunjungan kami dengan keramahtamahan.

Tentu menjadi pengalaman yang menarik melihat-lihat di kota yang tahun ini berada di peringkat kelima the World's Most Livable Cities versi majalah The Economist.

Tiada kata-kata yang bisa menggambarkan kegembiraan di Perth kecuali dengan foto-foto berikut.


Swan River

Diberi nama Swan River sejak dua ratus tahun yang lalu ketika Kapten Charles Fremantle yang menahkodai kapal HMS Challenger mendarat di pesisir Barat pantai Australia dan melihat banyak angsa berkeliaran di sana.

Tempat kapten itu mendarat kini tumbuh menjadi kota pelabuhan yang ramai oleh turis, dan diberi nama sesuai dengan nama penemunya, Fremantle.

Bandara Perth

Welcome to Swan River

Smiling Tini

Dali: lifeguard Swan River

Lucy not at desk


Cek in di Novotel Perth Langley

Bagus Wirajaya di depan hotel

Kings Park

Santai doeloe

Hungry people at Hungry Jack's :p

Dinner

Audwin's 19th birthday celebration

Di kediaman Ibu Gayatri

The Prophet, Lebanese Cafe
907 Albany Highway, East Victoria Park. Tel: 9361 1101

DSP, Yiyiek & pemilik Lebanese Cafe

Karyawisata Martels ke Perth (day two)

Sarapan dulu...


Maritime Museum

Je di depan Maritime Museum

Oka, Bagus, Je, Lucy

DSP di depan reruntuhan kapal Batavia

Bell Tower

Bell Tower Building

Iwan memegang Bell Tower Certificate

Rame-rame menarik lonceng

Tini Sumartini beraksi

DSP diapit para Ratu :)

Tini di depan kapal pesiar Lady Barbara

Putu, DY, Ketut, Rosita, DSP

DSP, Karina, Salina, Charmy, Ronald Lim (publisher Destin Asia)

Fremantle market
Fremantle Market, sejak 1897

Membeli buah segar