Appetizer for Jakarta New Year Concert 2010


Pada 11 Desember lalu, di Jenggala berlangsung acara pre-concert, yang disebut Ananda Sukarlan sebagai semacam 'appetizer' dari acara puncak Jakarta New Year Concert 2010 yang akan digelar pada 3 Januari mendatang di Graha Bhakti Budaya, TIM.


Playing trio

Sebagai appetizer, sajian pada malam ini begitu mengesankan. Di awal sajian, Ananda membawakan karyanya, Rhapsodia Nusantara No. 3. Kemudian Sweet Sorrow, gubahan dari karya Shakespeare yaitu kata perpisahan Romeo & Juliet.


Juga dimainkan Ibu yang Anaknya Diculik Itu, dan sebagai penutup adalah Rhapsodia Nusantara No. 5 yang menggubah lagu daerah Sarinande dan Rasa Sayange.


Inez playing violin

Pada malam ini tampil Inez Raharjo, musisi muda yang brilliant, memainkan solo biola untuk Prelude Sonata G Mayor karya S. Bach. Penampilan yang tak kalah menarik juga adalah permainan alto flute Elizabeth Ashford.


Liz Ashford playing alto flute

Untuk 'main course' nantinya Ananda akan menampilkan Cantata No. 2, Libertas, yang bertema kebebasan universal dan hak asasi manusia. Karyanya ini berdasarkan puisi-puisi karya WS Rendra, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Archibald Macleish, Ilham Malayu, Luis Cernuda, Walt Whitman, dan Hasan Aspahani.


Penyair Hasan Aspahani ini menciptakan sajak yang berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu. Sajak ini mengenai tragedi tsunami di Aceh beberapa waktu lalu. “Bukan hanya judul sajak itu yang begitu menyentuh. Seluruh isi sajak itu tajam, pedih dan menggerakkan!” ujar Ananda saat wawancara dengan Hasan Aspahani di Batam Pos.

Pada keseluruhan acara nanti, tentu juga akan ada kolaborasi musik dan tari, dengan koreografi yang spektakuler oleh the one and only, Chendra Panatan. Menurut Ananda, koreografinya bukan hanya sekadar mencengangkan, tapi juga secara emosional sangat dalam. Tentu concert ini tak boleh dilewatkan.

Berikut foto-foto para sahabat yang hadir pada malam pre-concert ini.








Suasana concert di Jenggala


Big applause for splendid performances


Bob Tutupoli menikmati musik

The JNYC crew


Bon Appetit Cassis


Kami berempat kembali mencoba kuliner di Jakarta, kali ini sebuah restaurant Prancis fine dining, yaitu Cassis.

Restaurant yang dibuka sejak tahun 1995 ini berlokasi di:
Pavillion Apartment
Retail Arcade
Jl. KH. Mas Mansyur Kav. 24
Jakarta 10220
T 62 21 5794 1733
F 62 21 574 2001



Grilled young chicken in honey mustard dressing


Roasted Veal tenderloin with morels mushroom sauce


"Steak Frites" char grilled grain fed beef strip loin


Grain fed beef tenderloin "Perigourdine" with Foie Gras

And nice dessert...




Home Sweet Home Mala!

Tanggal 18 Desember 2009 sampai 3 Januari 2010, Mala berlibur lagi di Indonesia.
Kami berempat pun mencoba Restaurant Konoha: Yakitori Dining, yang berlokasi di Wijaya Grand Center Blok A No. 15, Jl. Wijaya II Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Telp. 720-6906.




Konoha berarti daun, dengan spesialisasi yakitori (sate). Konoha dimiliki dan dikelola oleh orang Jepang dan dari interior, pelayanan serta sajiannya berhasil menciptakan suasana Jepang asli.

Harganya lumayan. Kami berempat makan, tanpa anggur, seharga Rp. 500 ribu.

Menjaga Modal Demokrasi Indonesia

TOKOH MUDA INSPIRATIF (5)

Kompas, 2 November 2009

Oleh M Hernowo

Yudi Latif

Nurcholish Madjid kecil. Demikian orang sering menyebut Yudi Latif. Perhatian Yudi yang besar terhadap Islam dan kebangsaan serta kemampuannya menggabungkan ilmu politik, sejarah, filsafat, dan sastra dalam melihat suatu fenomena memang akan langsung mengingatkan orang pada sosok Nurcholish Madjid.

Namun, berbagai kemampuan itu tidak hanya didapat Yudi dari pergaulannya yang intensif dengan Cak Nur, demikian Nurcholish Madjid sering dipanggil, setelah mereka bertemu muka untuk pertama kalinya pada tahun 1994, tetapi juga dibentuk oleh sejarah hidup Yudi sendiri.

Ayah Yudi, yaitu Utom Mulyadi, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, dan ibunya, Yuyun Mustika, yang nasionalis, telah mengajarkannya sejak kecil tentang Islam dan kebangsaan.

Garis pemikirannya makin dilengkapi oleh pengalamannya saat mondok di Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, petualangannya sebagai aktivis saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, serta kehidupan dan pemikiran modern yang didapatnya ketika belajar di Australia.

Matangnya pemikiran Yudi membuat Cak Nur pada tahun 1996 memercayainya sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.

”Cak Nur lebih tertarik membuat kelompok yang kritis meski itu hanya berjumlah kecil dibandingkan massa yang besar sebab kelompok kritis ini yang akhirnya mewarnai wacana di publik. Sebagai universitas swasta, Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yaitu kekritisan, terutama di bidang kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi tentang tujuan Universitas Paramadina yang akhirnya berdiri pada tahun 1997/1998.

Bagaimana efektivitas dari massa yang kritis tersebut?

Cukup baik. Pemikiran tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Cak Nur selalu berpengaruh. Misalnya terlihat dari sejumlah partai yang meski menyatakan Islam sebagai identitasnya, mereka tetap terbuka terhadap pandangan dari luar.

Pemikiran tokoh-tokoh itu juga menjadi wacana yang cukup diminati dan berpengaruh di sejumlah simpul Islam yang pemahaman agamanya amat kuat, misalnya di kalangan mahasiswa IAIN atau Nahdlatul Ulama.

Wacana Islam

Perhatian Yudi terhadap wacana Islam dan kebangsaan tidak pudar meski sekarang dia tidak lagi aktif di Universitas Paramadina.

Bahkan, setelah Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 karena gangguan fungsi hati, Yudi bersama sejumlah orang, termasuk Ommy Komariah Madjid, istri Cak Nur, mendirikan Nurcholish Madjid Society.

Lewat yayasan yang ingin melestarikan gagasan Cak Nur ini, setiap enam bulan diterbitkan sebuah jurnal bernama Titik Temu.

Diilhami oleh harapan Cak Nur agar umat Islam jangan sampai menjadi tamu di negerinya sendiri, Yudi juga menggagas pertemuan mahasiswa dari 38 kampus di Indonesia untuk berdiskusi tentang Islam dan masalah lainnya.

”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai keindonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” kata dia.

Mengapa harus menggelar diskusi yang melibatkan 38 kampus?

Terbatasnya bacaan untuk mahasiswa selama ini menjadi salah satu masalah di kampus. Akibatnya, tidak banyak mahasiswa yang dapat membaca berbagai ajaran Islam dari buku aslinya.

Dalam diskusi ini, selain membebaskan pesertanya untuk bicara, juga dimaksudkan untuk membagikan pengetahuan tentang pemikiran Islam, langsung dari buku aslinya. Hasilnya ternyata cukup spektakuler. Banyak wacana dan pemahaman baru tentang Islam, pluralisme, dan kebangsaan muncul di diskusi-diskusi tersebut.

Di era demokratisasi dan globalisasi selama 10 tahun terakhir, seberapa penting isu pluralisme dan kebangsaan di Indonesia?

Globalisasi telah memperbaiki apresiasi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, pada saat yang sama, globalisasi juga membangkitkan etnosentrisme.

Rivalitas yang melibatkan agama dan etnis makin menguat di Indonesia. Bahkan, dalam politik saat ini perlu diwaspadai munculnya anggapan bahwa agar identitasku ada, yang lain harus ditiadakan.

Apakah munculnya etnosentrisme ini karena kurangnya modal kita untuk berdemokrasi?

Indonesia sebenarnya telah memiliki prasyarat dan modal penting untuk menjadi negara demokrasi, yaitu adanya persatuan nasional dan persepsi tentang satu bangsa.

Namun, modal itu perlu dijamin dan terus dipupuk, antara lain dengan mewujudkan keadilan sosial. Tiadanya jaminan yang kuat ini membuat sebagian elemen kecil dari masyarakat terpancing untuk beralih dari politik nasional ke radikalisme agama atau etnis.

Kemunculan radikalisme ini juga dipicu oleh belum adanya upaya yang komprehensif untuk menyelesaikan hingga tuntas sejumlah memori kekerasan, khususnya pada masa Orde Baru.

Kondisi makin diperparah oleh masalah global, seperti dominasi ekonomi oleh dunia barat dan berbagai peristiwa di sejumlah negara, seperti Afganistan dan Irak.

Pelemahan demokrasi

Kompleksnya permasalahan yang melingkupi Islam dan kebangsaan di Indonesia membuat Yudi juga bergerak kompleks untuk menjaganya. Aktivitasnya tidak hanya sebatas di Nurcholish Madjid Society atau menggelar diskusi antarkampus. Dia juga aktif menulis di media massa dan membuat buku.

Yudi juga kerap bersuara untuk mengkritisi sejumlah upaya yang diduga berpotensi melemahkan bangunan demokrasi, yang antara lain terjadi dalam pemilihan umum lalu dan yang menimpa gerakan antikorupsi belakangan ini.

Dia juga khawatir jika sampai tidak muncul kekuatan penyeimbang dalam pemerintahan.

Akhirnya, mencermati langkah dan pemikiran Yudi seperti melihat Indonesia yang majemuk. Dengan demikian, untuk menjaga Indonesia ini juga dibutuhkan langkah yang majemuk dan yang berani keluar dari ”sekat-sekat tradisional” seperti etnis dan agama.

Lead by Energizing Others (The Welch Way)

Manage by Authority
Lead by Energizing Others

When Welch became CEO, the system of management in place, commonly reffered to as "command and control," was the same system that large corporations had used for years. That system had evolved from the military, which relied on rank and title to determine authority.

When Welch became CEO, GE was full of managers who felt that "command and control" was the best way to run a large company.

After all, without all those managers barking orders to workers, how else could a large corporation get things done?

But Welch found a better way. He did not think that the best way to lead was by whet he called "the stripes on your shoulder." He had many words to describe his leadership ideal, including "Boundaryless," the word he created to describe an open organization free of bureaucracy and anything else that prevented the free flow of ideas, people, decisions, etc.

He felt that genuine leadership came from the quality of one's vision, and the ability to spark others to extraordinary performance.

The best managers do not lead by intimidation ("I am the boss and you will do what I say"), they lead by inspiring others to want to perform ("here's my vision for what we can become, and here's one way you can help make it a reality").

The Welch style of leadership is particularly important in today's complex organization. Whether you are a manager or not, chances are that you depend on others to help you perform in your job. The people who help you would be more motivated if they knew the bigger picture (hw their efforts help) and that you truly appreciate their efforts.

To spark performance in others, particularly those who do not call you "boss," adopt the following Welch behaviors:

Never lead by intimidation:
Welch had no use for those who barked orders, "the autocrat, the tyrant." That was the old way to run a business.

Let others know exactly how their efforts are helping the organization:
Most everyone wants to help, but they also want to know how their actions are helping the organization achieve its goals.

Send handwritten thank-you notes to colleagues and customers:
Welch is a master at sending handwritten notes to than people. Few take the time, so it almost always has an impact.


We now know where productivity --real and limitless productivity-- comes from. It comes from challenged, empowered, excited, rewarded teams of people.


===0===
From: Jeffrey A. Krames. The Welch Way: 24 lessons from the world's greatest CEO. New York, McGraw-Hill, 2004.
===0===

Bon Appetit Bali


Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku


Jika ke Ubud, jangan lupa mampir di warung Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku. Letaknya di daerah Kedewatan, kira-kira 300 m ke Utara Amandari.

Alamat: Jl. Raya Kedewatan, Ubud - Bali.
Telp. (0361) 974795

Cabang: Jl. Tukad Badung No. 11 Renon - Denpasar.
Telp. (0361) 7427166


Nasi campur

Kami berlangganan nasi campur di sini sejak tahun 1989. Harganya waktu itu Rp. 3750,-
Kemarin, kami mampir lagi, dan harganya Rp. 10.000,- per porsi. Dibuat dari beras, daging dan sayuran lokal yang organik, sehingga terjamin kesehatannya.

Nasi campur ini memakai bumbu megenap, kalau orang Bali bilang, yang artinya bumbu genap atau semua bumbu masuk. Rasanya khas Bali, pedas dan rasa rempah-rempahnya sangat terasa. Pokoknya wahh...!


Nasi ayam


Desain warungnya juga khas seperti rumah-rumah di Pulau Dewata. Dengan patung-patung dan ukiran-ukirannya. Di dalamnya ada semacam sawung-sawung, yang kalau di Bali disebut bale-bale. Kita boleh pilih mau duduk di kursi atau lesehan.

Pada waktu Ibu Mangku tutup, di sebelahnya ada warung-warung saudaranya yang buka, yaitu Warung Merdeka dan Warung Adniana.

Bon Appetit Singapore


Senso Ristorante & Bar

Addresst: 21 Club Street Singapore 069410
Tlp. 6224 3534, 9689 4453
Email: senso@singnet.com.sg
Web: www.senso.sg


Outdoor Dining

Senso adalah restaurant istimewa di daerah downtown Singapore. Italian fine dining, pilihan anggur yang sangat luas dengan Sommelier Nejib Gara dari Tunisia.

Restaurant dengan interior yang menawan ini berdiri sejak tahun 2000 dan segera menjadi favorit warga.


hallway


Main Dining

Kami mencoba risotto dan lamb chop.

Very nice!


risotto


lamb chop

Berpolitik Setelah Mapan Berbisnis

TOKOH MUDA INSPIRATIF (4)

Kompas, 31 Oktober 2009

Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono


Pramono Anung

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga nasionalis, Pramono Anung Wibowo (46) menjalani hidupnya dengan tertata. Hidupnya selalu diisi dengan menentukan pilihan, termasuk saat ia akhirnya memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun 1998.

Karier politiknya sebagai ”anak kos”—istilah yang ditujukan kepadanya saat masuk PDI-P karena pendatang baru—di lingkungan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri saat itu terus melesat. Terakhir, ia bisa menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P hasil kongres tahun 2005 di Bali.

Perjalanannya masih tetap diisi dengan pilihan. Seperti saat ia meninggalkan kursi eksekutif di perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, lalu berkecimpung di dunia politik. Minatnya di bidang politik sudah terbentuk sejak duduk di bangku sekolah dan kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kini Pramono Anung duduk di kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan Kompas dengan Pramono Anung berlangsung suatu siang di rumahnya yang asri dan berkolam renang di kawasan Jakarta Selatan, Oktober 2009. Perbincangan sempat terputus saat kami berkeliling rumah Pramono, menikmati sejenak ratusan lukisan yang dikoleksinya. Karya-karya pelukis, seperti Le Mayeur, Antonio Blanco, dan Basuki Abdullah, menghiasi dinding ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang kebugaran, dan kamar mandi.

Setelah lulus kuliah, kok bisa sukses di bisnis? Memanfaatkan jaringan?

Tidak. Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah. Perusahaan pertama adalah PT Tanito Harum (milik Kiki Barki, pengusaha pertambangan). Saya masih terlibat sampai hari ini. Waktu itu saya masuk sebagai manajer yunior.

Waktu itu ada Profesor Ambyo (Ambyo Mangunwidjaja), dosen pembimbing saya. Waktu itu saya mahasiswa bandel (Pramono memimpin sejumlah aksi unjuk rasa di Jakarta dan Bandung 1986-1987). Prof Ambyo titipkan saya sama Kiki Barki. Jadi, tidak ada proses buat lamaran.

Kalau perusahaan sendiri?

Tahun 1994 saya mendirikan PT Yudhistira Group, bidang pertambangan dan energi. Saya kontraktor PT Aneka Tambang dari tahun 1996 sampai sekarang. Saya bisnis di PT Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Pertamina.

Bagaimana menjalankan bisnis sekarang?

Begitu saya jadi politisi, saya tidak pernah duduk di perusahaan saya sebagai eksekutif. Semua saya lepaskan. Profesional.

Dengan terjun ke bisnis lebih dulu, apakah modal sudah cukup untuk terjun ke politik?

Yang paling utama sebetulnya orang di politik itu kredibilitas karena kredibilitas itu yang akan menentukan orang ke depan. Nah, kenapa materi dalam politik juga menjadi penting? Sebab, sistem politik di negara kita itu masih sangat menggoda bagi siapa pun yang ada pada kekuasaan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kapan Anda berpikir akan jadi politisi?

Sebenarnya sejak kecil. Keluarga kami pengagum berat Bung Karno. Bapak saya itu dulu, kalau sekarang, seperti Pasukan Pengamanan Presiden. Waktu Mbak Mega masih di Gedung Agung di Yogya, bapak saya termasuk penjaga di situ.

Nah, perdebatan di keluarga itu memengaruhi pola dan pandangan kita waktu kecil. Memang keluarga demokratis terbuka. Bapak saya, kan, PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi sebagai guru, kan, sembunyi-sembunyi. Tapi, di rumah itu dibuka dialektika. Saya merasa sejak kecil itu keinginan itu sudah kuat. Kalau ada pemilihan ketua OSIS, saya mencalonkan diri. Ketika terjun ke politik pertama kali di PDI-P, sebenarnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Mbak Mega.

Ditawari atau daftar ke PDI-P?

Saya daftar. Saya diajak Heri Akhmadi (sekarang anggota F-PDIP DPR). Sebenarnya instan saja karena saya memang mencari partai politik yang tengah, nasionalis.

Manajemen PDI-P dulu masih tradisional. Sekarang sudah mirip-mirip Golkar. Peranan Anda bagaimana?

Saya termasuk yang membangun sistem. Tentunya kalau tidak dapat dukungan dari Mbak Mega tidak bisa.

Hal yang sederhana, misalnya, tidak pernah ada keputusan partai yang tidak diputuskan dalam rapat partai. Tiap rapat partai sudah punya agenda, materi, itu sudah diatur dalam keputusan terbuka. Semua orang punya hak bersuara, tetapi kata akhir tetap di ketua umum. Tapi, tetap dalam rapat partai, itu sudah jadi tradisi yang kuat dalam PDI-P.

Sekarang tidak ada lagi surat palsu. Kepengurusan rapi, sampai anak ranting terbentuk. Maka, untuk partai yang besar, dalam hal ini kita boleh berbangga, secara administrasi, sistem kepartaian mungkin hanya dua-tiga partai yang cukup rapi.

Regenerasi politik


Lima tahun ke depan ini adalah momentum regenerasi politik. Bagaimana pandangan Anda?

Sebenarnya the battle of the last Mohicans (”perang” antara tokoh politik dianalogikannya dengan suku Indian terakhir di Amerika, Mohican) sudah terjadi tahun 2009 ini. The last Mohicans-nya ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Amien Rais, Megawati, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Jusuf Kalla. Mereka ini the last Mohicans.

Politik ke depan, tantangan akan berbeda. Masyarakat akan semakin rasional, kemudian juga hal yang dihadapi generasi setelah ini akan berbeda. Apa yang terjadi di DPR saat ini , di mana dipimpin anak-anak muda, saya, Anis Matta (PKS), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Marzuki Alie (Partai Demokrat), secara historis tidak punya dendam atau friksi apa pun. Beda dengan antara Mbak Mega dengan Pak Harto, ini kan tidak bisa dihindari. Antara Gus Dur dengan Pak Harto, Amien Rais dengan Pak Harto. Ada luka secara pribadi.

Kalau kita melihat sekarang ini, saya melihat ke depan yang bertarung adalah politik rasionalitas. Hal yang dihadapi akan lebih rasional.

Demokrasi yang kita potret 1999 bergeser memasuki 2004. Pada 2009 ke depan, pergeseran akan semakin tajam. Perdebatan Presiden-Wakil Presiden pada tahun 2009 masih bersifat pada seremonial, bukan substansi. Saya melihat lima tahun ke depan, perdebatan pasti akan rasional, misalnya bagaimana persoalan pajak, subsidi bahan bakar minyak, juga pupuk.

Orang tidak lagi bicara tentang tema-tema besar. Orang akan bicara tentang tema yang implementatif, bisa diterapkan secara langsung di masyarakat sehingga memang akhirnya yang akan muncul lebih pada orang-orang yang punya latar belakang aktivis, intelektual, dan pendidik.

Keuntungan yang utama dari demokrasi adalah menyeleksi secara alamiah. Siapa orang yang secara rasional bisa dipegang, bisa dibanggakan, menjadi pemimpin.

Perdebatannya sederhana, mungkin detail. Berapa pajak untuk buku, berapa pajak untuk surat kabar, misalnya, berapa harga beras. Demokrasi sudah mengalami transformasi. Dari sekarang yang transisi demokrasi menjadi lebih dewasa.

Mengapa sekarang ini susah mencari sosok-sosok anak muda yang akan cemerlang dalam lima tahun ke depan?

Pertama, proses rekrutmen dalam partai masih didominasi oleh senior. Kedua, yang namanya regenerasi tidak secara alamiah diberikan, dari ini kepada itu. Kalau proses rekrutmen diberikan kepada anak-anak muda dengan begitu, maka tidak akan menghadapi tempaan sejarah yang kuat.

Saya lihat proses pematangan sebagai pemimpin tidak lagi seperti zaman Pak Harto, Bung Karno, umur 30-40 sudah jadi pemimpin. Umur akan lebih panjang. Itu terjadi juga di Amerika. Faktor Barrack Obama adalah faktor keajaiban. Kalau lihat John McCain yang berusia 73 tahun dan pemimpin lain-lain, ini kan menunjukkan bahwa proses politiknya panjang. Obama menjadi presiden ini adalah kemampuan memanfaatkan komunikasi, dengan facebook, dengan hal tidak dilakukan oleh yang lain. Saya lihat ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin usia 40-an, 50-an, secara alamiah.

Siapa calon presiden dari PDI-P tahun 2014?

Menurut saya, akan terjadi proses alami. Sebagaimana kita lihat, seluruh pemimpin yang jadi pemimpin republik ini bukan yang digadang-gadang, disiapkan jauh-jauh hari.

Kemunculan Bung Karno beda dengan yang lain, melalui proses yang lebih panjang karena muncul pada masa revolusi. Pak Harto saat itu bukan yang disiapkan, termasuk munculnya Gus Dur, Mbak Mega, Juga kemunculan Habibie, Yudhoyono, bahkan Boediono.

Bisa disiapkan 5 tahun ini?

Yang menyiapkan publik dan partai. Publik yang akan terima itu. Saya melihat, orang yang mempersiapkan diri jadi pemimpin biasanya malah tidak akan sampai.


***

PRAMONO ANUNG WIBOWO

Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 11 Juni 1963

Pendidikan: SMA 1 Kediri ( 1982), Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (1988), Magister Manajemen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1992)

Pengalaman Kerja:
1. PT Tanito Harum, perusahaan penambangan batu bara di Kaltim (1988-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
2. PT Vietmindo Energitama, perusahaan penambangan batu bara di Vietnam (1990-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
3. PT Yudhistira Group, lima perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perminyakan, dan pengadaan barang dan jasa. Jabatan sebagai presiden direktur dan komisaris utama.
4. Anggota DPR pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Tahun 2005 mengundurkan diri, berkonsentrasi penuh pada kegiatan DPP PDI-P.
5. Anggota DPR (2009-2014)

Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Pertambangan ITB (1985-1986)
2. Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB (1986-1987)
3. Ketua Ahli Pertambangan Indonesia (1998-2001)
5. Sekretaris Jenderal DPP PDI-P (2005-sekarang)
6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (2009-sekarang)

Bon Appetit Palembang

Bon appetit!

Orang selalu menyebut pempek sebagai makanan khas Palembang. Namun sebenarnya ada makanan unggulan lain di Sumatra Selatan, yaitu pindang. Pindang ini sejenis semur khas yang dapat berisi daging ataupun ikan.

Tiap daerah mempunyai makanan khasnya masing-masing. Yang cukup terkenal adalah pindang Musi Rawas.

Daerah Musi Rawas terletak di 300 km arah Barat Daya Palembang. Jika kita berkendaraan mobil, kita akan melalui Kab. Banyuasin, kemudian Kab. Musi Banyuasin yang ibukotanya Sekayu, setelah itu barulah kita akan mencapai Musi Rawas.

Perjalanan menuju Sekayu terasa menarik karena kita menyusuri daerah aliran sungai Musi. Sungai terpanjang di Pulau Sumatra itu tampak sungguh tenang, menghanyutkan, dan menakjubkan.

Kota Sekayu sendiri memperlihatkan pembangunan yang mengesankan, di antaranya gelanggang olah raga, kolam renang, dll. Kab. Musi Banyuasin yang biasa disebut Muba, memiliki sekolah sepak bola untuk kelompok umur 15-18 tahun, yang dilatih oleh pelatih berkualitas. Tidak heran jika minggu yang lalu sepak bola KU15 Muba menjadi juara kedua nasional.

Berikut foto-foto perjalanan wisata kami di kota yang dulunya dijuluki "Venesia dari Timur Jauh" ini.

Welcome to Palembang

Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II

Bersama Gita dari MEPI

Hotel Novotel Palembang

Banyak restoran pindang di kota ini, dan salah satu yang terkenal adalah RM Pindang Musi Rawas atau sering disingkat PMR.

Berbagai menu khas di PMR

Alamatnya di Jl. Angkatan 45 No. 18 Rt. 42 Rw. 12, Telp. 370590 Pakjo - Palembang.

Benteng Kuto Besak (BSB)

Benteng ini dibangun selama 17 tahun, yang diresmikan pada 1797. Pada awalnya menjadi Pusat Kesultanan Palembang di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Dindingnya sepanjang 288 m, lebar 183 m, tinggi 99,9 m, dan tebalnya 1,99 m.

Jembatan Ampera

Dulunya, jembatan ini dinamai Jembatan Bung Karno. Ini sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu karena ia secara sungguh-sungguh telah memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia Tenggara.

Ketika terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, nama jembatan ini pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).


Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat di bawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Pengangkatannya memerlukan waktu 30 menit.

Namun sejak tahun 1970 tidak difungsikan lagi karena dianggap mengganggu lalu lintas di atasnya.



Sungai Musi, sebagai sungai terbesar di Sumatera, merupakan sumber kehidupan warga Palembang.

Sungai ini membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan. Masing-masing kawasan Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan.

Sungai yang menjadi tempat bermuara ratusan sungai-sungai kecil ini menyebabkan Palembang dijuluki Kota Seratus Sungai.

Masjid Agung Palembang

Dibangun pada tahun 1738. Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limasnya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di nusantara pada kala itu. Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari Eropa.




Toko Songket di Pusat Kerajinan Palembang Makmur Jaya.
Alamat: Jl. Ki Gede Ing Suro No. 21. Telp. (0711) 367686.

Jembatan Ampera di waktu malam