Sastra Lisan Makassar: Sayup-sayup Sinrili'

Syarifuddin Daeng Tutu (sumber: indonesiaproud)

Gesekan keso-keso Daeng Tutu membuka acara Pentas Seni dan Pameran Industri Kreatif Makassar di Benteng Rotterdam, Juni lalu. Riuh hadirin seketika hening. Semua mata terpaku menatap sosok tunggal di panggung acara, Daeng Tutu yang duduk di sudut depan panggung memainkan keso-keso dan melantunkan syair-syairnya.

Permainan keso-keso Daeng Tutu pada malam itu sungguh menyerupai pertunjukan tradisional sinrili’. Sebagai ”penampil tunggal”, Daeng Tutu menjadi ”penguasa panggung”, menentukan apa yang terjadi di panggung layaknya seorang pembawa acara.

Bait-bait syair ia tembangkan, mengantar acara demi acara. Kadang dia serius, melempar kalimat yang mengkritik pemerintah, membuat hadirin bertepuk tangan senang. Kali lain ia jenaka menghidupkan suasana.

Saat mengetahui Kepala Dinas Pariwisata Kota Makassar Rusmayani Madjid memaksakan datang walau habis didera sakit, Daeng Tutu pun melagukan pujian. Iya mi anjo nikana pimpinan. Manna garring inji, manna bosi lompo, bosi sarro punna untuk rakyatna, battu ji, lantun Daeng Tutu merdu. Kalimat itu lebih kurang berarti, ”Ini yang disebut pimpinan. Walau sakit, bahkan walau hujan deras, jika untuk rakyat, dia akan datang.” Semua yang mendengar bertepuk tangan, menghormati kehadiran Rusmayani.


Sastra Lisan Sinrili'

Sastra lisan menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah, pada ruang etnik dan suku yang mengusung adat yang berbeda-beda. Hal ini juga menjadi suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan.

Sastra lisan bertahan cukup lama dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-tiap daerah dan suku yang ada di Nusantara. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dalam khasanah kesusastraan dalam bentuk lisan, sastra tulis lebih mendominasi dan sastra lisan mulai terpinggirkan bisa saja sampai terhapuskan. Hal ini mulai berkembang ketika munculnya anggapan bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan sastra lisan. Ditambah lagi oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru, maka posisi sastra lisan di masyarakat semakin pudar dan akan menghilang. Dalam hal lain sastra lisan yang banyak tersebar di Nusantara menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia yang senantiasa harus dilestarikan dan dikembangkan. Demikian halnya di Sulawesi Selatan Khususnya dalam masyarakat Etnik Bugis-Makassar yang mendiami pesisir pantai jazirah selatan pulau Sulawesi.

Sinrili' merupakan salah satu jenis sastra bertutur tradisional di Sulawesi Selatan. Umumnya sebagai hiburan di hajatan atau syukuran masyarakat. Dibawakan dengan gaya berbicara atau berdendang dipadu iringan alat musik kesok-kesok, tapi tidak bernyanyi. Alat pengiringnya seperti biola dengan dua dawai kuningan yang digesek dengan bahan ekor kuda. Bunyinya nyaring melengking mirip rebab.

Sinrili' hakikatnya digunakan untuk menyampaikan legenda klasik dalam bahasa Makassar. Misalnya perjalanan hidup Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, kisah percintaan Datu Museng dengan Maipa Deapati, atau perjuangan rakyat Gowa menghadapi penjajah. Juga makna adat budaya tradisional seperti pernikahan serta falsafah bijak leluhur soal pesan-pesan moral kehidupan. Sering pula dijadikan media kritik sosial.

Kindoq Satuni memainkan kecapi khas Mandar, kacapi baine, dalam pembukaan Makassar International Writers Festival 2015 di benteng Rotterdam Makassar, beberapa waktu lalu. Kindoq Satuni adalah satu dari sangat sedikit pemain kecapi perempuan khas Mandar yang telah memainkan kecapi selama lebih dari 70 tahun. (KOMPAS, ARYO WISANGGENI GENTHONG)


”Tantangan seorang pasinrili’ adalah menghafal naskah klasik, sekaligus bisa memainkan keso-keso. Banyak orang bisa memainkan keso-keso, tetapi tidak bisa melagukan naskah. Orang yang bisa melagukan naskah tidak mampu memainkan keso-keso. Mereka yang mencoba belajar selalu terhenti di tengah jalan. Hanya para peneliti seni tradisi yang tekun, tetapi mereka tidak belajar menutur sinrili' dan memainkan keso-keso,” ujar Daeng Tutu.

Pergeseran bahasa juga membuat sinrili' semakin jauh dari anak budaya lantaran bahasa sastra Makassar kian tidak dipahami para penutur bahasa Makassar. Mirip dengan bahasa sastra dalang wayang purwa dalam tradisi Jawa, yang semakin tidak dipahami para penutur bahasa Jawa.

Daeng Tutu belakangan sering merasa gelisah. Ia merasa usianya semakin tua, tapi belum juga menemukan pewaris sinrili'. Ia menilai generasi muda masih kurang yang berminat menekuni sinrili'. Kebanyakan murid-murid yang ia ajar di sanggar lebih tertarik dengan tari atau musik. Ia takut suatu saat warisan kebudayaan itu benar-benar punah.

Daeng Tutu juga gelisah karena hal lain. Ia merasa kesenian tradisional telah mengalami pergeseran makna, terutama bagi kalangan anak-anak muda. Baginya, orang kini lebih banyak menonjolkan estetika dibanding etika dalam berkesenian.

Tunisombaya ri Gowa, Nisomba tojemmak ri Gowa, tinggi tojeng empoku, tenamo somba i rateangku, tenatong karaeng sangkammangku ri Gowa. Inakkemi napaklaklangi karaeng bate-batea, ingka sakrepi kuboya. Bajikmak nuboyang ngaseng Bate Salapanna Gowa. Boyammak Daenta Galarang Bonto, boyantommak Paccelleka Boriksallo, na nuboyangak Sudiang, boyantongak pole Samata siagang Manngasa.

(Inilah awal mula yang membicarakan perihal Karaeng Tunisombaya Raja yang Dipertuan Agung di Gowa. Katanya, sungguh benar aku telah dipertuan di Gowa, tinggi amat kedudukanku. Tidak ada lagi raja yang dipertuan di atasku. Dan tidak ada juga raja yang menyamai kedudukanku di Gowa ini. Akulah tempat bernaung Karaeng bate-batea (raja-raja bawahan). Pada aku juga tempat bernaung Bate Salapanna Gowa (dewan raja Gowa), Daenta Gallarang Bonto, Paccelekang Borissallo, Karaeng Sudiang, Samata, dan Manngasa).

[seperti yang dituturkan oleh Abdul Latief Daeng Palagu sambil menggesek dawai keso-keso, alat gesek tradisional Sulawesi Selatan



~ o 0 o ~

Sumber:
Kompas, 9/6/2015
Koran Tempo, 21/5/2014
Abd. Razak Ibrahim. Sastra Nusantara. FIB-UNPAD, 2012

No comments :