Peni Candra Rini Persembahkan Semiopera "BHUMI Giri Bahari"

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Konser gamelan semi opera "BHUMI - Giri Bahari" oleh komposer perempuan dari Solo, Peni Candra Rini, digelar di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (29/9/2015) lalu pukul 19.30 WIB. Dalam pegelaran yang terbuka untuk umum ini, Peni menyajikan 10 komposisi gamelan yang menggali gending tradisi dikombinasikan dengan komposisi kontemporer sebagai narasi panjang tentang nusantara.

Sejumlah karya dia ciptakan dalam rangka tema Bentara Budaya tahun 2015, "Jayagiri Jayabahari." Antara lain syair lagu Syair lagu yang menyiratkan kekayaan, kebesaran, dan kejayaan bangsa Indonesia sebagai berikut:

Doa dan harapan untuk kejayaan pertiwi sang Ibu Bhumi
Rahim Bhumi Indonesia, yang menyatu dalam lingkaran cincin api
Gunung yang menumbuhkan asam dan lautan yang melahirkan garam
Di garis jantung khatulistiwa yang membentang sebagai busur bangsa
Ketika sang ratu bersabda untuk kemuliaan dan kejayaan Giri Bahari
Jaya raya sang negeri Giri bahari
Pesat, menyusup mega, tinggi
Jaya raya Garuda menjadi kompas dunia
Jayalah Indonesia

Peni Candra Rini dilahirkan dari keluarga seniman tradisi. Darah seni teralir dari kakek buyutnya yang bernama Seran, seorang pemain musik gender yang terkenal di daerahnya. Lalu menurun ke kakek dan ayahnya yang kemudian menjadi dalang bergelar Ki Wagiman Gandha Carita. Sejak kecil Peni lekat dengan suara gamelan dan tembang, apalagi sering diajak menjadi sinden bila ayahnya pentas dalang. Hal inilah yang semakin mengasah kemampuan bermusiknya.

Kepiawaiannya menyinden, membuatnya memenangi sejumlah kompetisi dari tingkat sekolah, kecamatan hingga tingkat nasional. Tahun 2008 ia meraih silver medal for the best vocal performance pada The Spring Friendship Art Festival, Pyongyang, Korea Utara, 2008.

Menikah dengan Alam

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Konser gamelan semiopera Bhumi membuka pikiran tentang persoalan penting dari kekayaan tradisi Nusantara yang terus terpinggirkan. Tradisi dan seni tradisi akan terus bermakna jika dibarengi praksis pengetahuan relevan. Jauh dari soal kepraktisan.

Komposer Peni Candra Rini (32) melakukan riset untuk 10 komposisi gending ini selama hampir dua tahun di tengah kehamilan dan melahirkan anak lelaki pertama yang amat dikasihinya serta jadwal ketat mengajar komposisi gamelan, vokal, dan koreografi serta lokakarya di sejumlah universitas di Amerika, Eropa, dan Asia.

”Tradisi—seperti seni gamelan ini—akan terus kontekstual kalau kita mempelajarinya serius. Saya beruntung bisa belajar terus tentang kekuatan tradisi musik gamelan yang di negeri kita sendiri malah disia-siakan,” ujar Peni seusai pergelaran.

Ia mulai ruang pertunjukan gelap. Dari arah penonton, 10 pemusik dan Peni masuk dengan lilin menyala di tangan. Dua orang menenteng bokor kembar mayang (hiasan janur untuk upacara perkawinan adat Jawa). Saat lilin terakhir ditiup mati, gema ”Giri Bahari” pelan masuk. Bunyi gong yang mendahului—sesuatu yang jarang dalam komposisi gamelan klasik—dipertemukan dengan tayangan grafis ”Bhumi” dan lirik gending di kain penutup bagian belakang panggung berisi ikhwal terbentuknya samudra dan gunung api Nusantara.

Pada komposisi ketiga, ”Kidung Kinanthi”, yang mengandalkan kontrabas di awal, lalu disambut sitar, gambang, dan bonang, pencapaian laras kidung doa untuk para arwah leluhur dan bumi pertiwi terasa sangat intens. Bayangan ”opera” tersirat dalam olah vokal Peni yang berubah-ubah karakter dan meluncur dalam nuansa gairah dalam ”Bedhaya Watu”. Komposer dan koreografer kelahiran Pacitan, Jawa Timur, itu demikian mengisap dengan senyuman, ukelan tangan, dan vokal yang sengaja bening melulu pada komposisi ini. Apalagi, ia ditolong talu-talu ketukan bunyi kemanak yang bergontai, disisipi saron dan ketukan gambang,seolah mengiringi langkah pengantin yang bersukacita.

”Kita harus menikah dengan alam, menjadi satu supaya kita tidak menyakitinya,” kata Peni menerangkan penggalan karya itu saat jeda ke sesi kedua. Rangkaian gending ”Giri Bahari”, ”Kanjeng”, ”Keraton”, ”Kidung Kinanthi”, dan ”Bedhaya Watu”, lima komposisi yang menjadi bagian pertama Bhumi.

”Sinden dan gending di Indonesia mengejar kepraktisan. Duit terus ukurannya. Jarang ditampilkan hanya semata untuk seni suara dan seni komposisi. Tradisi jadi alat, pelengkap, cara untuk perayaan, atau kegiatan politik. Seharusnya jadi ruang belajar dan pencarian jati diri.”

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
~ o 0 o ~

Sumber:

Kompas, 29/9/2015
Kompas, 30/9/2015

Andien Bermetamorfosa



Pada 15 September 2015 lalu, Andien Aisyah bermetamorfosa di Jakarta Convention Center Plenary Hall selama 3 jam lebih. Stamina Andien sedang pada puncaknya. Selama 3 jam penuh bernyanyi dan berceloteh. Tribute to Elfa Seciora, sangat memukau. Secara visual dan audio Metamorfosa berhasil memanjakan mata dan telinga.

Pemilihan lagu bagus, suara bagus, pendukung acara bagus dan last but not least fashion prima. Yang istimewa adalah kostum Andien yang dirancang oleh 5 perancang. Puncaknya adalah gaun merah pada akhir pertunjukan. Andien sungguh anggun dan dinamis.

Saya mengenal Andien sejak usia belia dan bakatnya sudah sangat tajam terlihat. Hingga sekarang Setelah melewati 15 tahun berkarir Andien menjadi sangat matang di dunia hiburan Indonesia. Konser tunggalnya ini bekerja sama dengan 5 musisi, Nikita Dompas, Ali Akbar, Aghi Narotama, Dandy Lasahindo dan Rishanda Singgih. Lima desainer, yaitu Didi Budiardjo, Sapto Djojokartiko, Mel Ahyar, Danjyo Hiyoji dan Tri Handoko. Dukungan penuh untuk konser megah ini juga diberikan oleh lima bintang tamu antara lain Teza Sumendra, GAC, The Cash, Yovie Widianto, serta Llyod Pop featuring Kevin Julio.

Saya tidak akan lupa pada saat Andien di SMP, saya bersama Elfa Secioria mengajak Andien melantunkan lagu My Funny Valentine. Setelah itu, kita dari waktu ke waktu bersosialisasi dalam berbagai kegiatan. Sayang sekali pada saat Andien menikah di Pine Forest, Maribaya saya tidak bisa hadir karena sedang di Gunung Rinjani.

Terus berkiprah, Andien!



English Conversation Club - Institute of Technology Bandung: Friendship and Peace



Pada saat bersekolah di SMP Negeri 2 Bandung, saya memperoleh pelajaran bahasa Inggris dari guru Alex Sahetapy. Entah kenapa saya dengan teman sekelas Yusuf Effendi sangat menyukai pelajaran itu, lisan maupun tulisan. Mungkin beliau mengajar dengan cara yang menggembirakan dan mudah. Yusuf Effendi sekarang seorang dokter di Jakarta dan menikah dengan teman sekelas kami juga, Hera Rifai, juga seorang dokter.

Kemudian saya masuk ke SMA Negeri 2 Bandung dan tidak ada kesan khusus mengenai pelajaran bahasa Inggris saat itu. Baru setelah saya masuk ITB tahun 1965 dan turut dalam gerakan penumbangan Orde Lama, para mahasiswa membuat berbagai aktifitas di kampus antara lain pendirian Student Center ITB bersama para sahabat; Bangun S. Kusmuljono, Hermen Makbul, dan lain-lain, atas sumbangan para simpatisan antara lain Sudarpo Sastrosatomo, A. Bakrie, Pertamina, Kepala Staff Angkatan Darat, dan lain-lain.

Adik kelas kami Egon Arifin yang dibesarkan di luar negeri bersama Aswin Lubis, aktifis, mendirikan English Conversation Club. Di situlah saya dan juga Fadel Muhammad, aktif kembali dalam kegiatan meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris.

Dalam suasana ekonomi yang masih prihatin hampir semua acara dilakukan di Aula Barat tanpa sponsor.

Gedung Student Center ITB saat ini (sekarang disebut Campus Center).
(sumber gambar)


Belajar dari Yus Rusamsi

Masih di SMP Negeri 2 Bandung, saya mendapat pelajaran menggambar dari Yus Rusamsi. Belakangan ia menjadi penulis dan menjadi pelukis. Sampai usia senja dia tekun melukis malah bulan yang lalu beliau menggelar pameran lukisan di Balai Budaya, Jakarta, mungkin yang terakhir karena penglihatannya sudah sangat terganggu. Karya terbaiknya dikoleksi di Gedung Energi dan di kediaman kami.

Gaya lukisannya naturalis, alam Parahyangan dengan detil.

Salah satu karya Yus Rusamsi
(sumber gambar)

Rumah Tebing di Tepi Kali Cikeas

Tanah bertebing di tepi sungai yang biasanya dihindari orang justru dicari pasangan Aranggi Soemardjan (41) dan Fransiska Oetami. Kontur tanah ini memungkinkan mereka mengadaptasi gaya rumah impian mereka yang terinspirasi dari rumah-rumah di Pulau Santorini, Yunani.

Fasad bagian belakang

Untuk mengikuti keseimbangan tanah yang sudah tercapai di lahan berkontur tidak rata ini, Aranggi atau Anggi menggali sedikit tanah yang kemudian dipindahkan ke tebing untuk retensi alias penahan. Di tempat ini kemudian dibangun fondasi yang menggunakan tiang pancang berkedalaman hampir 30 meter hingga ke dasar tebing. Hal itu dimaksud agar fondasi mampu menopang bangunan tiga lantai yang ia bangun.

Untuk dinding bagian luar, digunakan bata hebel yang ringan. Sementara dinding bagian dalam dibuat dari gypsum yang membentuk dinding tebal tetapi kosong di bagian dalam. Dalam perhitungan Anggi, kalaupun terjadi tebing longsor, rumah masih mampu tegak berdiri.

Pintu-pintu lengkung berwarna biru, jendela berbentuk lingkaran, serta dinding berwarna putih bersudut tumpul dengan tekstur tidak rata memperkuat kesan gaya Santorini. Ini masih ditambah dengan tangga melingkar yang dibatasi dinding dengan ketinggian berundak. Beberapa bagian dibuat menjorok ke dalam dinding, misalnya ruang perpustakaan, ruang makan, dan ruang untuk menaruh lemari pendingin.

”Meskipun belum pernah ke Santorini, suka saja dengan gaya rumah-rumah di sana. Kena di hati,” kata Anggi yang pernah tinggal 10 tahun di San Diego, Amerika Serikat, untuk kuliah dan bekerja.

Kamar tidur Anggi-Siska dan anak bungsunya yang bersisian dibuat menghadap tebing dengan dinding kaca yang dibuat dalam bentuk pintu lipat. Lantai kamar dilapisi vinil bermotif kulit kayu. Di atas lantai itu, Siska bersama anak bungsunya biasa melakukan yoga setiap pagi.

Teras kamar dibentuk setengah lingkaran dengan lantai kayu besi yang tahan rayap dan terpaan cuaca. Deretan pepohonan yang membentuk hutan kecil menjadi pagar alami yang tumbuh di atas tebing menuju bantaran Kali Cikeas. ”Kadang-kadang masih terlihat ular, burung elang, dan sriti di hutan itu. Ada pula yang pernah melaporkan lihat biawak di sungai,” ungkap Anggi.

Bagian paling bawah atau basement rumah digunakan sebagai kantor Anggi dan Siska, sekaligus Sekolah Coding Clevio yang dirintis keduanya sejak dua tahun lalu. Lantai satu digunakan sebagai ruang keluarga dengan ruang tamu dan tiga kamar tidur.

Sementara lantai paling atas khusus digunakan untuk keperluan lebih umum. Anggi dan Siska biasa menjamu tamu dan relasi mereka di lantai itu. Lantai ini bisa diakses lewat tangga di bagian luar atau dalam rumah. Ada sepasang sofa merah dan hijau di depan televisi yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, dapur, dan meja makan. Sofa merahnya sudah mengikuti Anggi berpindah-pindah tugas ke sejumlah negara. Ia selalu membawa serta perabot rumahnya saat harus pindah ke negara lain. Di bagian luar, sebuah ayunan menemani meja yang biasa digunakan Anggi ngupi-ngupi di pagi hari atau mengobrol dengan tamunya.

Perspektif lingkungan

Teras balkon

Sudut ruang makan

Anggi mendesain rumah ini didampingi sang ibu yang seorang arsitek. Latar belakang Siska yang kuliah di jurusan teknik lingkungan memberi perspektif lingkungan pada rumah ini. Ada banyak jendela di rumah ini yang membuat ruangan-ruangan cukup mendapat sinar matahari.

Anggi cukup detail menggarap rumahnya. Warna cat pintu yang biru atau warna cat yang disapukan pada lantai sengaja dibuat tidak rata. Demikian pula tekstur permukaan dinding gypsum-nya dibuat tidak rata agar terkesan alami. ”Biar kesannya empuk, enak dilihat, enggak kaku. Justru ketidaksempurnaan itu yang bikin homey,” kata Anggi yang kuliah di bidang teknik industri dan teknologi informasi di San Diego.

Pengalaman Anggi dan Siska tinggal di San Diego yang lahannya berbukit-bukit dan tandus membuat keduanya menyukai rumah-rumah tebing. Tak heran, keduanya menamakan rumah mereka sebagai Rumah Tebing.

Semula, Anggi ingin membuat ada bagian rumahnya yang menonjol ke arah tebing. Namun, karena sulit mencari kontraktor yang bisa mewujudkan keinginannya, niat itu untuk sementara diurungkan. Anggi masih menyimpan impian membuat jembatan yang menghubungkan rumahnya langsung dengan tepi sungai. Dengan begitu, orang yang melalui jembatan akan mendapat pemandangan hutan dari atas.

Rumah ini selesai dibangun tahun 2009 di atas lahan seluas 1.000 meter persegi yang berlokasi di salah satu sudut kluster perumahan Riverside, Cimanggis, Kabupaten Bogor. Tanah ini dibeli Anggi tahun 2005 setelah kembali ke Tanah Air. Ia ditunjuk sebagai CEO ThyssenKruppe Elevator untuk wilayah Indonesia setelah bekerja lima tahun di cabang perusahaan itu di San Diego.

Meski begitu, Anggi sekeluarga tak langsung menempati rumah itu karena kemudian ditugaskan ke Tiongkok dan Singapura. Baru tahun 2012 mereka tinggal di Rumah Tebing. Dari total luas lahan, tak sampai 25 persen areal tanah yang digunakan sebagai tapak bangunan. Anggi dan keluarga menyukai halaman dan taman yang luas.

Penanda awal sejarah mereka bersama rumah ini adalah tapak kaki keempatnya yang ditorehkan di atas lantai semen gapura rumah dengan nama masing-masing di bagian bawah, Anggi, Siska, Neo anak sulungnya, dan Selo si bungsu. Di bagian ujung tertulis ”designed by Tuti & Anggi” dan ”12 Juli 2009” tanda selesainya pembangunan rumah.

Tuti adalah ibunda Anggi. Nama anak bungsu Anggi, Selo Soemardjan, sengaja dibuat sama dengan kakek Anggi, Selo Soemardjan, dekan pertama FISIP UI yang dijuluki Bapak Sosiologi Indonesia.

”Saat ulang tahun ke-10 windu, beliau berdoa kalau meninggal bisa reinkarnasi. Saya bilang, ya sudah eyang, jadi anak saya saja,” ungkap Anggi.

Ruang keluarga dengan hamparan pemandangan perkebunan.

Kamar tidur utama berbatasan langsung dengan kamar tidur anak dengan akses cahaya dan udara segar dari jendela yang dapat dibuka lebar.


~ o 0 o ~

Sumber artikel: Kompas, 27 September 2015
Sumber foto: Kompas/Riza Fathoni

Menebar Ketulusan, Cinta, dan Pengorbanan

oleh HAEDAR NASHIR

Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.

Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.

Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua berhala”.

Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.

Pada putihnya kain ihram yang tak beralas dan seluruh prosesi haji hingga puncak wukuf di Arafah. Pada kepasrahan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar dalam ritual ibadah kurban yang dramatik. Keduanya, selain mengajarkan orientasi ketuhanan yang hanif bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya lemah di hadapan-Nya, secara horizontal juga menanamkan jiwa ihsan atau kebajikan semesta yang sarat makna.

Pesan kemanusiaannya sangat luhur agar setiap insan beriman berbuat kebaikan yang melampaui sekat agama, suku, ras, golongan, dan pagar kenaifan untuk tegaknya kehidupan bersama yang serba utama.



Ajaran ketulusan

Siapa pun yang berhaji dan berkurban dalam ritual Islam sejatinya menambatkan peribadatan itu pada niat tulus ikhlas hanya untuk Tuhan. Ketulusan merupakan jiwa ketundukan kepada kehendak Yang Maha Kuasa sehingga melahirkan jiwa merdeka dari segala kepentingan inderawi atau duniawi yang sering memenjara manusia.

Mereka yang beribadah dan beragama dengan tulus akan melahirkan sublimasi spiritual dan moral yang jernih karena Allah bersama dirinya sepanjang hayat. Jika setiap insan beriman merasa dekat dengan Tuhan, mereka akan dekat dengan sesama dan lingkungannya.

Kedekatannya dengan Tuhan tidak membuat dirinya jemawa dan semuci, merasa diri paling suci. Mereka juga tidak akan terjebak pada tafkiri, sikap suka mengafirkan sesama karena merasa diri paling benar dalam bertuhan dan beragama.

Sumber bencana kehidupan terjadi tatkala hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) terputus dengan hubungan sesama insan (hablun minannas). Berapa banyak orang mengatasnamakan Tuhan justru menyengsarakan hidup diri, keluarga, dan lingkungan dengan berbuat kekerasan, teror, dan tindakan anarkistis.

Pada saat yang sama tidak sedikit anak cucu Adam menyebarkan tindakan merusak (fasad fi al-ardl) atas nama kemanusiaan yang serba liar dan terputus dari nilai ilahiah yang otentik.

Atas nama agama, politik, ekonomi, dan apa saja terjadi saling rebut akses kehidupan yang sangat keras. Manusia tampil dalam sosok-sosok ganas, yang ”bergigi dan bercakar merah”, tulis Tennyson. Lalu, berlaku hukum besi homo homini lupus, satu sama lain saling memangsa.

Ajaran cinta

Ibadah haji dan kurban juga mengajarkan sifat cinta, yakni kasih sayang atau welas asih yang jernih. Nabi Ibrahim, Isa, Muhammad, dan para nabi kekasih Allah mempraktikkan hidup welas asih itu terhadap sesama tanpa diskriminasi.

”Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah” (QS Hud: 75). Tuhan pun menjadikan ayah Ismail itu menjadi kesayangan-Nya (An-Nisa’: 125).

Nabi Muhammad, ketika dilempari batu oleh kaum Thaif tatkala hijrah, berkeberatan saat Jibril menawarinya agar mereka yang melukainya itu diberi azab. ”Jangan, mereka sungguh kaum yang belum mengerti,” ujarnya.

Ajaran dan praktik hidup Muhammad sarat cinta kasih, bahwa ”Tidak beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Rahmat Allah pun terlimpah bagi hamba yang menebarkan kasih sayang di muka bumi.

Kini, tidak sedikit manusia terjangkiti virus egoisme. Maka, ajaran welas asih menjadi mutiara yang hilang untuk ditemukan kembali. Perang, konflik, dan segala bentuk kekerasan di berbagai belahan dunia terjadi antara lain karena menguatnya egoisme dan luruhnya kasih sayang antarsesama.

Hans Kung menyuarakan pentingnya etika global sebagai arah moral. Maka, ketika sekelompok individu terkemuka dari berbagai agama berkumpul di Swiss pada Februari 2009, seperti ditulis Karen Armstrong (2013), semuanya sepakat untuk menjadikan ajaran ”belas kasih sebagai inti kehidupan religius dan moral”. Umat beragama harus menjadi pelopor dalam menebar ajaran welas asih guna melawan bentuk kebencian antar-insan di mana pun.

Ajaran pengorbanan

Ritual haji, lebih-lebih pada ibadah kurban, juga menanamkan nilai pengorbanan. Seseorang disebut beriman manakala di dalam dirinya bersemi jiwa berkorban untuk kepentingan sesama, hatta kepada yang berbeda keyakinan.

Ibrahim, Ismail, dan Hajar memberi teladan terbaik tentang praksis berkurban dengan penuh ketakwaan.

Setiap insan beriman yang kelebihan rezeki dan akses kehidupan niscaya peduli dan berbagi bagi sesama yang membutuhkan tanpa diskriminasi. Si kaya berbagi rezeki untuk si miskin. Kaum cerdik pandai berbagi ilmu kepada yang awam. Laki-laki dan perempuan saling menghormati dan memuliakan.

Para elite negeri yang mengaku insan beriman perlu mengambil makna dari ketulusan, cinta, dan pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar sebagai model perilaku emas yang menebar keutamaan bagi rakyat.

Luruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa tulus, cinta, dan pengorbanan sebagai kanopi suci yang diajarkan agama dan para nabi kekasih Tuhan yang kaya mozaik spiritual ilahiah itu.

Lalu, berkah Tuhan pun menjauh dari kehidupan!

(HAEDAR NASHIR, KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH)

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 23 September 2015

Sumber gambar: jamiebeck.com

Sultan Hamengku Buwono IX: Sosok Humanis Nan Cerdik

Saat itu, 2 Oktober 1988, hujan turun di Yogyakarta setelah tiga bulan kota kering tanpa hujan. Konon itulah yang biasa terjadi bila ada anggota keluarga keraton Yogya meninggal. Sultan Hamengku Buwono IX telah mangkat di kamar suite 316-317 Hotel Embassy Row persis di depan KBRI di Washington, AS. Hujan juga tumben turun di kota Washington, ketika jenazah Sang Raja disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta. Ratusan ribu rakyat Yogya pun telah menanti dan antri berdesak-desakan untuk sungkem terakhir kalinya.

Sumber foto: Majalah Tempo

Hamengku Buwono IX adalah sosok yang fenomenal. Tak hanya berperan secara kultural, ia juga berperan penting dalam perkembangan politik dan ekonomi Indonesia khususnya pada awal-awal kemerdekaan. Ia pernah menjadi Menteri Pertahanan RIS, Menteri Ekonomi, Keuangan dan Industri, kemudian juga menjadi Wakil Presiden RI. John Monfries dalam bukunya A Prince in a Republic (2015) menyebut Sultan sebagai penyelamat Republik di belakang layar.

Belanda pun salah kira dalam memperkirakan nasionalisme Sultan. Meskipun sejak kecil ia dididik oleh keluarga Belanda, serta meneruskan pendidikan tinggi di Rijksuniversiteit (sekatang Universitas Leiden), namun sikap politik Sultan tetaplah nasionalis. Saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, sebagai Raja Yogyakarta Sultan sebenarnya bisa menolak bergabung dengan Indonesia dan membentuk pemerintahan sendiri. Namun itu tidak dilakukannya. dengan cepat ia menyatakan Yogyakarta dan Keraton berada di bawah Republik Indonesia. Ia orang kedua di Yogyakarta sesudah Ki Hadjar Dewantara yang mengucapkan selamat kepada Soekarno-Hatta.


Sosok Humanis yang Cerdik

Pada saat Jepang kalah dan para pemuda radikal di berbagai kota menyita senjata Jepang, Yogyakarta adalah wilayah yang aman. Sultan mencegah terjadinya kekerasan terhadap warga Eropa, Cina dan Ambon. Ia mengevakuasi orang Belanda yang ditawan Jepang.

Tindakan kemanusiaan lainnya yang ia lakukan adalah pada saat menyelamatkan rakyat Yogya dari keharusan kerja paksa untuk Jepang (menjadi romusha). Kewajiban yang ditetapkan Jepang ini membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban. Sultan, dengan segala cara, berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang.

“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.

Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.

Maka agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. John Monfries dalam bukunya menulis bahwa Jepang rupanya mengabulkan permintaan tersebut dan bahkan memberikan 1 juta Gulden untuk mendanai proyek tersebut. Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dan dengan ide cerdik tersebut maka sebagian besar warga Yogya pun membangun saluran air tersebut dengan sistem kerja shift sehingga terbebaslah warga Yogya tersebut dari keharusan menjadi romusha. Meski tetap masih ada sebagian warga Yogya yang harus menjadi romusha tapi jauh lebih sedikit dari daerah lain. Dan akhirnya, upaya tersebut menghasilkan produktivitas pangan dan mengarah pada kemakmuran warga Yogya.


Perannya pada Pembentukan Fondasi Ekonomi Orde Baru



Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru Sultan Hamengku Buwono IX berada di barisan terdepan dalam pembentukan fondasi ekonomi Republik Indonesia. Menjelang keruntuhan Demokrasi Terpimpin, ia tengah menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam posisinya itu ia melihat banyak kesalahan dalam manajemen keuangan Soekarno. Pada akhir 1965 Sultan pun bertemu dengan Widjojo Nitisastro untuk membicarakan pemulihan ekonomi. Pada saat itu Sultan juga disebut mempersiapkan blueprint ekonomi Orde Baru. Ia percaya pada pentingnya swasta dan modal asing.

Di hari-hari terakhir Soekarno, Sultan memimpin delegasi ke Jepang mencari pinjaman uang. Ia juga berkeliling Eropa dan Amerika mengadakan pertemuan dengan berbagai lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.

Setelah Soeharto secara resmi menjadi Presiden pada tahun 1968, Sultan kemudian dipercaya menjadi Menteri Keuangan dan Industri. Lalu pada tahun 1973 Sultan diangkat menjadi Wakil Presiden. Namun konon hubungannya dengan Soeharto merenggang dan wewenangnya dibatasi. Ia pun mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan kesehatan.

"Hamengku Buwono was a politically astute, non-idelogical pragmatist who cleverly used his ascribed status as Sultan not only to support the Republican cause during the Revolution, but also to ensure his political survival and, ultimately, to preserve his principality."

(John Monfries, A Prince in a Republic)


~ o 0 o ~

Sumber:

- Majalah Tempo edisi khusus Hari Kemerdekaan, Agustus 2015
- Historia.id
- John Monfries. A prince in a republic : the life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta. Singapore: ISEAS, 2015


Tiga Badak Lahir di TN Ujung Kulon

Balai Taman Nasional Ujung Kulon menemukan tiga anak badak jawa baru sepanjang Maret-Agustus 2015 melalui kamera video tersembunyi. Temuan itu sangat jarang. Bahkan, sejumlah survei lapangan tak pernah menemui perjumpaan fisik, hanya jejak.

Balai Taman Nasional Ujung Kulon memublikasikan foto induk dan anak badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Dalam kurun waktu Maret-Agustus 2015, kamera video tersemunyi merekam keberadaan tiga anakan badak jawa di Ujung Kulon. (ARSIP BALAI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON) 

"Kelahiran anak badak ini menunjukkan populasi badak jawa di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon masih memberi harapan bagi keberlangsungan hidup satwa langka itu," kata Moh Haryono, Kepala Balai TN Ujung Kulon, Senin (7/9) di Jakarta.

Anakan pertama (betina) terekam kamera video tersembunyi pertama kali pada 9 April 2015 pukul 17.29 di Blok Citengah (timur Semenanjung Ujung Kulon). Anakan itu bersama induknya, Desy, yang tahun 2012 diketahui punya anak jantan, Arjuna.

Sepanjang 2014, Desy terekam selalu sendiri. Terakhir terekam pada 13 Agustus 2014 pukul 19.22 di Blok Cigenter dalam kondisi perut besar yang diduga sedang hamil.

Anakan kedua (jantan) terekam pertama kali pada 25 Mei 2015 pukul 18.24 di Blok Cijengkol/kaki Gunung Kendeng (barat Semenanjung Ujung Kulon). Induknya bernama Siti.

Tahun 2011, Siti punya anak jantan bernama Dwipa. Sepanjang 2014, Siti terekam selalu sendiri dan terakhir terekam 3 Desember 2014 pukul 06.13 di Blok Hulu Cidatahan, sekitar 3 kilometer dari Blok Cijengkol dalam kondisi perut besar.

Anakan ketiga (jantan) terekam pertama kali 8 Juli 2015 pukul 13.16 di Blok Rorah Daon/Cikeusik (selatan Semenanjung Ujung Kulon). Badak ini anak dari induk bernama Ratu.

Sepanjang 2014, Ratu terakhir terekam 13 September 2014 pukul 03.48 di Blok Citadahan dalam kondisi perut besar.

Atas temuan tiga anak badak jawa (Rhinoceros sondaicus) itu, populasi satwa langka di TN Ujung Kulon meningkat menjadi 60 ekor. Sebelumnya, berdasarkan monitoring 2014, jumlah badak jawa di TN Ujung Kulon 57 ekor, 31 jantan dan 26 betina.

Ada dua isu terkait masa depan badak jawa, yakni rasio pejantan lebih besar dan habitat alaminya rentan terdampak letusan Gunung Krakatau dan minim suplai pakan.

Hadi Alikodra, Guru Besar Ekologi Satwa Liar IPB, pernah merekomendasikan Cagar Alam Cikepuh di Sukabumi, Jawa Barat, sebagai habitat berikutnya. Salah satu syarat utama habitat adalah ketersediaan pakan alami (Kompas, 1 Oktober 2014). Di Ujung Kulon, sebagian pakan badak diokupasi tanaman langkap.

(ICH)

Sumber: Kompas, 8/9/2015

Bogor Tempo Dulu: Kenari di Bataviasche Weg

Suasana Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor (Jum'at, 4/9). Jalan Ahmad Yani pada masa kolonial bernama Bataviasche Weg, lalu setelah revolusi berganti nama menjadi Jalan Jakarta. Ciri khas kawasan ini adalah deretan rimbun pohon kenari dan bangunan tua sisa era kolonial yang satu per satu hancur, dibongkar, kemudian tergantikan bangunan modern. (KOMPAS/AMBROSIUS HARTO)

Mereka yang lahir di Kota Bogor sebelum 1980 dan doyan keluyuran tentu masih ingat deretan pohon kenari, antara lain di Jalan Ahmad Yani. Setiap musim buah kenari, selalu membawa kegembiraan. Selain keteduhan dan ibarat menembus lorong dimensi lain karena tajuk yang begitu rapat, buah-buah yang jatuh dari pohon adalah rezeki dan kenikmatan tersendiri bagi penemunya.

Buah kenari dikepruk dengan batu dan kacang di dalam yang gurih renyah menjadi penyempurna saat menikmati jajan es serut. Bagi para perajin, buah kenari dikeringkan dan dijadikan cendera mata khas "Kota Hujan" yakni gantungan kunci yang diukir atau diberi hiasan mata dan biasa dijual antara lain di gerbang utama Kebun Raya Bogor. Saat ini, cendera mata dari buah kenari kian sulit didapat.

Pada masa lalu, sebelum 1970, Jalan Ahmad Yani bernama Jalan Jakarta diduga pengindonesiaan dari Bataviasche Weg. Nah, deretan pohon kenari itu adalah pembatas jalan dan hamparan kebun karet. Pada masa kolonial, prasarana itu merupakan pengembangan Jalan Raya Pos peninggalan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Sejumlah bangunan peninggalan era kolonial di sisi barat jalan yang kini masih bertahan antara lain Wisma Keuskupan Bogor. Deretan bangunan tua lebih banyak berada di sisi timur jalan. Kini, rumah-rumah kolonial itu sudah banyak yang hilang. Yang ada pun beralih fungsi jadi restoran, kafe, kedai, apotek, kantor, bahkan bengkel.



Persembahan

Buku Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno mengungkapkan, di Jalan Jakarta (Jalan Ahmad Yani), pada 7 Juli 1965, Soekarno mempersembahkan sebuah rumah indah kepada Hartini sebagai bukti cinta mereka. Rumah itu kini tidak terawat.

Padahal, rumah itu dibangun dalam pengawasan Soekarno dengan arsitek Soedarsono. Griya yang berdiri pada lahan seluas 1.200 meter persegi dan memiliki 16 kamar itu dinamai Srihana-Srihani. Srihana ialah nama samaran Soekarno, sedangkan Srihani ialah nama samaran Hartini.

Pada 1972, lahan dan rumah itu dibeli oleh keluarga Hasan Sastraatmadja, pendiri surat kabar Nusantara. "Mungkin warga Bogor tidak banyak yang tahu bahwa di Jalan Ahmad Yani ada sebuah rumah persembahan Soekarno untuk Hartini," kata Adenan Taufik, budayawan Bogor.

Masih di Jalan Ahmad Yani, ada bekas Kompleks Istana Swarna Bhumi. Kompleks itu dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden ke-2, untuk istri kelima, KRAy Nindyokirono (Norma Musa) yang pada Rabu (2/9/2015) atau belum lama ini wafat.

Saat rumah-rumah era kolonial itu masih dihuni, tidak sembarang orang bisa masuk dan menikmati keindahannya. Namun, kini, keindahan itu relatif lebih mudah bisa dinikmati karena bangunan telah beralih fungsi menjadi tempat usaha.

Ada beberapa restoran dan apotek yang "menjual" suasana arsistektur kolonial. Sayangnya, bangunan era kolonial tidak sebanyak restoran, kafe, bar, atau kedai bernuansa modern.

Selain itu, rumah-rumah tua di Jalan Ahmad Yani banyak yang telah dibongkar dan berganti menjadi kantor usaha bahkan bengkel dan tempat cuci mobil. Kini, kawasan itu tidak identik lagi sebagai bekas hunian Eropa era kolonial.

Sementara bangunan tua banyak yang sudah dibongkar dan berganti rupa, beberapa pohon kenari telah tumbang, dipotong karena mati, atau dipangkas untuk mencegah kecelakaan terhadap pengendara.

Memang, kini, Jalan Ahmad Yani tidak serimbun dan seteduh di masa lalu. Namun, beberapa pohon kenari dan bangunan tua yang tersisa masih memancarkan pesona yang memancing kerinduan dan nostalgia. Entah sampai kapan peninggalan itu akan bertahan.

Penikmat kuliner menuju rumah makan khas Jawa Timur di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jum'at (1/5). Rumah art deco yang bertebaran di Kota Bogor kini banyak dikelola secara profesional sebagai hotel, kafe, atau rumah makan. Warga antusias berkunjung untuk bernostalgia. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)


~ o 0 o ~
Disarikan dari: Kompas, 7/9/2015


Sastra Lisan Makassar: Sayup-sayup Sinrili'

Syarifuddin Daeng Tutu (sumber: indonesiaproud)

Gesekan keso-keso Daeng Tutu membuka acara Pentas Seni dan Pameran Industri Kreatif Makassar di Benteng Rotterdam, Juni lalu. Riuh hadirin seketika hening. Semua mata terpaku menatap sosok tunggal di panggung acara, Daeng Tutu yang duduk di sudut depan panggung memainkan keso-keso dan melantunkan syair-syairnya.

Permainan keso-keso Daeng Tutu pada malam itu sungguh menyerupai pertunjukan tradisional sinrili’. Sebagai ”penampil tunggal”, Daeng Tutu menjadi ”penguasa panggung”, menentukan apa yang terjadi di panggung layaknya seorang pembawa acara.

Bait-bait syair ia tembangkan, mengantar acara demi acara. Kadang dia serius, melempar kalimat yang mengkritik pemerintah, membuat hadirin bertepuk tangan senang. Kali lain ia jenaka menghidupkan suasana.

Saat mengetahui Kepala Dinas Pariwisata Kota Makassar Rusmayani Madjid memaksakan datang walau habis didera sakit, Daeng Tutu pun melagukan pujian. Iya mi anjo nikana pimpinan. Manna garring inji, manna bosi lompo, bosi sarro punna untuk rakyatna, battu ji, lantun Daeng Tutu merdu. Kalimat itu lebih kurang berarti, ”Ini yang disebut pimpinan. Walau sakit, bahkan walau hujan deras, jika untuk rakyat, dia akan datang.” Semua yang mendengar bertepuk tangan, menghormati kehadiran Rusmayani.


Sastra Lisan Sinrili'

Sastra lisan menemukan tempat dan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah, pada ruang etnik dan suku yang mengusung adat yang berbeda-beda. Hal ini juga menjadi suatu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan.

Sastra lisan bertahan cukup lama dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-tiap daerah dan suku yang ada di Nusantara. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dalam khasanah kesusastraan dalam bentuk lisan, sastra tulis lebih mendominasi dan sastra lisan mulai terpinggirkan bisa saja sampai terhapuskan. Hal ini mulai berkembang ketika munculnya anggapan bahwa sastra tulis mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan sastra lisan. Ditambah lagi oleh arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru, maka posisi sastra lisan di masyarakat semakin pudar dan akan menghilang. Dalam hal lain sastra lisan yang banyak tersebar di Nusantara menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia yang senantiasa harus dilestarikan dan dikembangkan. Demikian halnya di Sulawesi Selatan Khususnya dalam masyarakat Etnik Bugis-Makassar yang mendiami pesisir pantai jazirah selatan pulau Sulawesi.

Sinrili' merupakan salah satu jenis sastra bertutur tradisional di Sulawesi Selatan. Umumnya sebagai hiburan di hajatan atau syukuran masyarakat. Dibawakan dengan gaya berbicara atau berdendang dipadu iringan alat musik kesok-kesok, tapi tidak bernyanyi. Alat pengiringnya seperti biola dengan dua dawai kuningan yang digesek dengan bahan ekor kuda. Bunyinya nyaring melengking mirip rebab.

Sinrili' hakikatnya digunakan untuk menyampaikan legenda klasik dalam bahasa Makassar. Misalnya perjalanan hidup Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, kisah percintaan Datu Museng dengan Maipa Deapati, atau perjuangan rakyat Gowa menghadapi penjajah. Juga makna adat budaya tradisional seperti pernikahan serta falsafah bijak leluhur soal pesan-pesan moral kehidupan. Sering pula dijadikan media kritik sosial.

Kindoq Satuni memainkan kecapi khas Mandar, kacapi baine, dalam pembukaan Makassar International Writers Festival 2015 di benteng Rotterdam Makassar, beberapa waktu lalu. Kindoq Satuni adalah satu dari sangat sedikit pemain kecapi perempuan khas Mandar yang telah memainkan kecapi selama lebih dari 70 tahun. (KOMPAS, ARYO WISANGGENI GENTHONG)


”Tantangan seorang pasinrili’ adalah menghafal naskah klasik, sekaligus bisa memainkan keso-keso. Banyak orang bisa memainkan keso-keso, tetapi tidak bisa melagukan naskah. Orang yang bisa melagukan naskah tidak mampu memainkan keso-keso. Mereka yang mencoba belajar selalu terhenti di tengah jalan. Hanya para peneliti seni tradisi yang tekun, tetapi mereka tidak belajar menutur sinrili' dan memainkan keso-keso,” ujar Daeng Tutu.

Pergeseran bahasa juga membuat sinrili' semakin jauh dari anak budaya lantaran bahasa sastra Makassar kian tidak dipahami para penutur bahasa Makassar. Mirip dengan bahasa sastra dalang wayang purwa dalam tradisi Jawa, yang semakin tidak dipahami para penutur bahasa Jawa.

Daeng Tutu belakangan sering merasa gelisah. Ia merasa usianya semakin tua, tapi belum juga menemukan pewaris sinrili'. Ia menilai generasi muda masih kurang yang berminat menekuni sinrili'. Kebanyakan murid-murid yang ia ajar di sanggar lebih tertarik dengan tari atau musik. Ia takut suatu saat warisan kebudayaan itu benar-benar punah.

Daeng Tutu juga gelisah karena hal lain. Ia merasa kesenian tradisional telah mengalami pergeseran makna, terutama bagi kalangan anak-anak muda. Baginya, orang kini lebih banyak menonjolkan estetika dibanding etika dalam berkesenian.

Tunisombaya ri Gowa, Nisomba tojemmak ri Gowa, tinggi tojeng empoku, tenamo somba i rateangku, tenatong karaeng sangkammangku ri Gowa. Inakkemi napaklaklangi karaeng bate-batea, ingka sakrepi kuboya. Bajikmak nuboyang ngaseng Bate Salapanna Gowa. Boyammak Daenta Galarang Bonto, boyantommak Paccelleka Boriksallo, na nuboyangak Sudiang, boyantongak pole Samata siagang Manngasa.

(Inilah awal mula yang membicarakan perihal Karaeng Tunisombaya Raja yang Dipertuan Agung di Gowa. Katanya, sungguh benar aku telah dipertuan di Gowa, tinggi amat kedudukanku. Tidak ada lagi raja yang dipertuan di atasku. Dan tidak ada juga raja yang menyamai kedudukanku di Gowa ini. Akulah tempat bernaung Karaeng bate-batea (raja-raja bawahan). Pada aku juga tempat bernaung Bate Salapanna Gowa (dewan raja Gowa), Daenta Gallarang Bonto, Paccelekang Borissallo, Karaeng Sudiang, Samata, dan Manngasa).

[seperti yang dituturkan oleh Abdul Latief Daeng Palagu sambil menggesek dawai keso-keso, alat gesek tradisional Sulawesi Selatan



~ o 0 o ~

Sumber:
Kompas, 9/6/2015
Koran Tempo, 21/5/2014
Abd. Razak Ibrahim. Sastra Nusantara. FIB-UNPAD, 2012