Telah Lahir Bandung Philharmonic

Pada Senin malam lalu, 18 Januari 2016, di gedung Padepokan Seni Mayang Sunda, Bandung, kelompok Bandung Philharmonic tampil untuk pertama kalinya. Jumlah penontonnya sekitar 200 orang, sesuai kapasitas maksimal tempat. Malam itu komposisi lagu Melati Suci dan Halo-halo Bandung dikumandangkan serta juga tujuh lagu klasik standar, yakni Canzon Prima A 4 – La Spiritata, Holberg Suite I Prelude, Holberg Suite IV Air, Holberg Suite V Rigaudon, Fantasia in F minor, Symphony No. 41 in C Major Jupiter – Allegro, dan Nimrod from Enigma Variations. Konser malam itu meresmikan bahwa Bandung kini punya sebuah simfoni orkestra berbasis kota yang menjadi pionir di Indonesia. Bertindak sebagai konduktor ialah Robert Nordling yang mengaku baru pertama kali ke Indonesia dan langsung ke Bandung dalam rangka audisi, latihan, dan tampil bersama orkestra ini. Ia juga mengaku pertama kalinya mencicipi martabak manis. "Saya akan datang lagi ke Bandung April nanti dan pasti makan martabak lagi. Luar biasa, makanan pinggir jalan bisa begitu lezat!" ujar pendiri dan Direktur Musik Bay Chamber Symphony Orchestra di San Francisco ini, seperti di kutip oleh Kompas. Nordling sepertinya telah mendarat di kota yang tepat untuk urusan jajanan pinggir jalan yang lezat. Perintis Bandung Philharmonic ini ialah empat musikus muda Indonesia, yaitu Airin Efferin yang adalah seorang pianis dari grup musik klasik Cascade Trio, bersama-sama dengan Fauzie Wiriadisastra dan Ronny Gunawan yang adalah pemain flute, serta Putu Sandra Kusuma, pemain biola. Saya sangat bahagia Bandung bangkit dengan orkestranya, meski masih perlu banyak latihan, terutama string section. Perlu juga menampilkan lagu yang mudah dicerna serta menampilkan tenor dan sopran asal Bandung. Soal tempat manggung, agak sulit juga saya mencari tempat pertunjukan yang lebih memadai dan strategis. Hal ini perlu dipersiapkan menyongsong dua program konser besar yang akan dihelat pada bulan April tahun ini terkait peringatan Konferensi Asia-Afrika dan juga pada bulan September dalam rangka hari jadi Kota Bandung. Orkestra lahir dari banyak perbedaan, seperti alat musik, cara memainkan, suara yang dihasilkan, dan orang yang memainkannya. Seperti ujar Robert Nordling, "Di dalam sebuah orkestra, kita harus menggabungkan perbedaan untuk menciptakan musik yang harmonis." Bravo! ~ o 0 o ~ Baca juga:
bandungphilharmonic.web.id Bandung Philharmonic Sukses Gelar Konser Perdana

Bali: Pulau Wisata Nomor Dua di Dunia

Sejumlah prestasi level dunia dicatat industri pariwisata Indonesia sepanjang tahun 2015. Majalah Travel and Leisure menyebutkan Pulau Bali sebagai pulau wisata terbaik kedua di dunia tahun 2015. Hanya kalah dibandingkan dengan Kepulauan Galapagos, di Ekuador. Pulau Bali jelas nomor satu di Asia, unggul atas Maladewa, Samudra Hindia, dan Phuket, Thailand.

Istana Taman Ujung, Karangasem, Bali

Predikat Bali sebagai pulau wisata terbaik level dunia ini bukan yang pertama. Pulau Bali selalu menjadi tiga besar pulau wisata terbaik dunia versi Travel and Leisure sejak tahun 2009. Pertanyaan besar, apakah yang membuat Pulau Bali meraih predikat itu? Semuanya karena keunggulan yang dimiliki Pulau Bali, yakni mempunyai keindahan alam, keunikan budaya dan keramahtamahan penduduknya.

Prestasi lain industri pariwisata kita, yakni pencitraan "Wonderful Indonesia" kini meraih peringkat yang lebih baik pada tahun 2015. Pencitraan yang giat dikampanyekan Kementerian Pariwisata ini tadinya diperingkat ke-100 kini membaik ke peringkat ke-47. Wonderful alias pesona Indonesia mengungguli pencitraan "Amazing Thailand" yang kini diperingkat ke-83. Juga mengungguli pencitraan "Truly Asia" yang dikampanyekan Malaysia diperingkat ke-96.

Harus diakui, keunikan budaya yang dimiliki Pulau Bali tak lepas dari industri kreatif, ekonomi kreatif yang tumbuh subur dan berkembang di sana. Intinya, ekonomi kreatif yang maju pesat akan mendorong industri pariwisata. Pulau Bali pada tahun 2015 dikunjungi sekitar 4 juta wisatawan asing dan 6 juta wisatawan mancanegara. Keunikan budaya Pulau Bali membuat wisatawan berkali-kali datang ke sana.

Ekonomi kreatif selalu muncul dari daya kreativitas dengan bahan bakarnya budaya. Dari sini muncul karya arsitektur, seni rupa, seni pertunjukan, kuliner, desain interior, desain produk yang semuanya diketahui demikian unik, indah, sempurna dan mengagumkan yang bisa dijumpai di Pulau Bali. Semua ini bagian dari 16 fokus pengembangan ekonomi kreatif di negeri ini antara lain film animasi dan video, mode, periklanan, penerbitan, dan musik.

Kembali soal predikat Pulau Bali sebagai pulau wisata terbaik kedua di dunia jelas erat berkaitan dengan ekonomi kreatif yang memang sudah menjadi bagian dari masyarakat Bali. Kini pencitraan "Pesona Indonesia" kian mendapat tempat di dunia. Diperkuat lagi dengan predikat Raja Ampat, Papua Barat, dan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, di urutan pertama dan kedua World's Best Snorkeling Destination versi CNN, industri pariwisata Indonesia mendapat angin buritan untuk melaju kian cepat.

Kini bagaimana semua pemangku kepentingan bersama Kemenpar bahu-membahu mendorong tumbuh-kembangnya ekonomi kreatif di berbagai belahan Nusantara. Pencitraan industri pariwisata Indonesia semakin baik di mata dunia, dan pencapaian ekonomi kreatif yang unggul di Pulau Bali sedapat mungkin ditularkan ke daerah lainnya. Diyakini, predikat pulau wisata terbaik dunia akan semakin banyak direngkuh.

Pamerintah menargetkan 20 juta wisatawan asing datang ke Indonesia tahun 2019. Melonjak dari sekitar 10 juta tahun 2014. Devisa yang masuk mencapai 20 miliar dollar AS dari 10 miliar dollar AS 2014. Diharapkan, industri pariwisata bisa menampung 13 juta pekerja. Bukan sebuah pekerjaan rumit karena negeri ini dikaruniai banyak lokasi wisata unggulan.

Kini tinggal mengembangkan ekonomi kreatif yang mumpuni. Kompas bersama BNI menggelar Forum Ekonomi Nusantara bertema "Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Industri Pariwisata" di Santika Hotel pada Kamis nanti. Bagian dari upaya mendorong ekonomi kreatif di negeri ini.

(PIETER P GERO)

Sumber: Kompas: 13/1/2016

Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015

Setiap tahunnya rubrik seni dan budaya di majalah Tempo yang menggawangi tulisan-tulisan di bidang pertunjukan, karya sastra, musik, hingga pameran seni menyeleksi siapa saja tokoh seni pilihan Tempo. Untuk tahun 2015, berikut adalah yang terpilih:
- Efek Rumah Kaca
Tempo/ Aditia Noviansyah

Melalui album ketiganya yang berjudul Sinestesia, Efek Rumah Kaca menjadi tokoh seni pilihan Tempo di bidang musik. Setelah tujuh tahun tidak punya album baru, Efek Rumah Kaca akhirnya mengeluarkan album yang unik ini di mana semua judul lagu dinamakan dengan jenis-jenis warna (Merah, Biru, Jingga, Hijau Putih, Kuning). Dalam sebuah wawancara bersama Kompas.com, yang memberi nama album tersebut adalah sang bassist, Adrian Yunan Faisal, yang sudah sekitar empat tahun kondisi penglihatannya terganggu. Ia merasa melihat warna-warna yang dijadikan judul lagu itu ketika mendengarkan lagu itu.

- Melati Suryodarmono

Tempo/Pius Erlangga

Melati Suryodarmono memikat salah satunya dalam pentas I'm Ghost In My Own House di Singapura, oleh karena itu redaksi memilihnya sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo tahun 2015. Pertunjukan seni yang intens selama 12 jam ini juga telah dinominasikan dalam penghargaan Asia Pacific Breweries (APB) Foundation Signature Art Prize 2014, bersama-sama dengan 14 nominasi lainnya dari 13 negara.

(Baca juga: ‘I’m A Ghost in My Own House’ shortlisted)

- Rachman Sabur

TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Rachman Sabur lewat Lakon Merah Bolong yang dibawakan oleh Kelompok Teater Payung Hitam, menempatkannya sebagai Tokoh Seni dalan pentas Teater pilihan Tempo. Teater Payung Hitam didirikan oleh Rachman Sabur pada 1982, di Bandung. Kelompok ini telah memproduksi lebih dari 90 pertunjukan dan merupakan salah satu kelompok terdepan teater modern di Indonesia. Payung Hitam telah menjelajahi kota-kota di tanah air dan berpentas di berbagai festival bergengsi di luar negeri.

- Faisal Oddang

TEMPO/Kink Kusuma Rein

Novelnya yang berjudul Puya ke Puya menempatkan Faisal Oddang sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2015. Novel ini juga telah memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Berikut penggalan dari novelnya:

Surga diciptakan karena...

Setelah puluhan tahun kau menunggu, kini kau telah berjalan ke surga. Ketika hampir tiba, ketika kutanyakan 'kenapa surga diciptakan?' kau hanya bisa diam. Untuk apa kau berjalan? Kau juga tidak tahu. Dasar manusia!
Kau hidup hanya untuk mati? Jika seperti itu, betapa kasihan kau, saya dan leluhur kau yang lain, tentu sangat kecewa. Tak pantas kau berjalan ke tempat suci ini--tak pantas kau menjadi orang Toraja yang kami banggakan.
Pulanglah, pulanglah dulu, tanyakan kepada kawa kau yang lain, tanyakan kepada semua orang: Kenapa surga diciptakan?


- Triyanto Triwikromo

Tempo/Budi Purwanto

Buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo membawa Triyanto Triwikromo sebagai Tokoh Seni bidang Sastra Pilihan Tempo. Terdiri atas 52 puisi, buku yang dianggap sebagai sejarah liris ini mewartakan suara lain Kartosoewirjo. Berikut penggalannya:
Apakah aku samudra dan Kau hanyalah sungai kecil
apakah aku tak terhingga dan Kau hanyalah ketiadaan
apakah aku hukum dan Kau hanya hakim di luar peradilan
apakah aku jawaban dan Kau hanya pertanyaan sepele sebelum ujian
apakah aku cahaya dan Kau hanya gelap setelah hujan?
("Gusti, Apakah Kau Juga Kesepian")


Sumber: foto.tempo.co

Melacak Leluhur Melalui Makanan

Makanan bukan hanya soal kebutuhan badan. Makanan juga menjadi identitas. Identitas sebuah suku, sebuah komunitas, hingga bangsa. Tak mengherankan apabila makanan juga menjadi salah satu ciri eksistensi masyarakat. Kehadiran makanan bisa menjadi tanda kehadiran sebuah bangsa. Namun, masih sangat sedikit orang yang mencari keberadaan bangsa atau leluhurnya melalui makanan.

Salah satu dari sedikit orang yang mencari leluhurnya melalui makanan itu adalah Koo Siu Ling. Kematian ibunya yang meninggalkan buku resep bertulis tangan membuatnya penasaran. Perasaan ini diakuinya tidak muncul saat ia sibuk dengan pekerjaan dan kesehariannya. Namun, begitu ia melihat buku-buku itu, pikirannya melayang dengan banyak pertanyaan.

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO

Menulis buku resep makanan sudah banyak dilakukan beberapa kalangan. Namun, menulis buku resep yang memiliki kisah di balik resep-resep tersebut masih sangat langka di Indonesia.

Koo Siu Ling, peranakan Tionghoa yang tinggal di Belanda, melacak sejarah nenek moyangnya melalui menu makanan mereka serta buku resep warisan ibunya dan juga kerabatnya hingga ia menemukan kehidupan peranakan Tionghoa Jawa Timur dulu dan sekarang.

Ling kecil yang lahir tahun 1939 di Kota Malang, Jawa Timur, dididik ibunya yang seorang guru. Ia mengaku dalam kehidupan mereka sehari-hari resep makanan diperkenalkan sejak dini.

Kini, ia menerbitkan resep-resep makanan ibu dan kerabatnya dalam sebuah buku berjudul Culture, Cuisine, Cooking, an East Java Peranakan Memoir. Buku ini ditulis dengan bantuan Paul Freedman, seorang profesor Sejarah Chester D Tripp di Universitas Yale, Amerika Serikat.

Kisahnya berawal saat ibunya meninggal, ia menemukan buku-buku resep makanan yang sudah lama ditulis tangan ibunya. Ling juga mencari buku-buku resep makanan milik kerabatnya.

Buku resep itu ada yang bertahun sekitar 1930. Kadang ditulis dalam bahasa Belanda, kadang Mandarin, dan kadang Jawa. Ada juga bahasa Hokkian yang merupakan warisan leluhurnya.

Dengan membaca buku resep makanan tersebut, ia melihat bahwa Tionghoa peranakan menyerap dan mengadopsi masakan Belanda dan Jawa. Di dalam buku itu, terlihat adopsi masakan tersebut, mulai dari galantine dan kue dari Belanda serta sate dan rawon yang diadopsi dari Jawa.

”Ini buku masak mama saya. Tulisannya masih bagus. Ada beberapa bahasa di dalamnya. Ada bahasa Belanda, bahasa Jawa, bahasa Mandarin, dan ada bahasa Indonesia,” kata Ling sambil memperlihatkan buku setebal 5 sentimeter yang antara lain berisi tulisan tangan ibu dan familinya.

Motivasi menerbitkan buku tersebut awalnya adalah keinginan agar anaknya bisa membaca buku resep itu. Ia berpikir jika buku tersebut tidak dibukukan, resep ini akan hilang. Ibunya menulis resep mulai akhir 1920-an sampai tahun 2000.

Satu ciri yang unik, di setiap resep tidak pernah diberi ukuran bahan. Akibatnya, setiap mencoba resep itu Ling harus menanyakan ke kenalannya.

”Saya memperhatikan buku itu setelah ibu meninggal tahun 2000. Dulu buku ini kan tidak dianggap. Beberapa tahun sesudahnya saya melihat itu. Saya tahu buku tersebut tidak boleh dibuang. Lama masih tersimpan di lemari hingga saya mulai mengetik ulang. Tidak ada amanah untuk tidak dibuang, tetapi saya mengerti dan waktu kecil saya mengerti buku itu dan saya tahu buku itu lebih berharga dibandingkan dengan buku-buku yang lain,” tuturnya.

Bolak-balik ke Malang

Apakah Anda pernah mencoba resep di dalam buku tersebut?

”Iya. Saya harus pergi ke Malang untuk mencoba resep itu. Saya masih bertemu dengan pembantu tante saya yang umurnya sekitar 70 tahun, dan ada juga saudara saya yang pintar masak. Saya bolak-balik (ke) Malang sejak tiga tahun yang lalu,” kata Ling.

Ia mengaku tidak pernah mencoba masakan itu di Belanda karena di dalam buku tersebut tidak ada ukuran bahan-bahan dalam resep, selain karena sulit mencari beberapa bahan makanan.

”Saya baru mengerti, melalui buku ini kalau makanan itu bukan sekadar makanan, melainkan juga kebudayaan dan sejarah. Karena itu, makanan harus ditaruh dalam konteks sejarah. Dari masakan ini, sekarang saya mengerti sejarah orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” tuturnya.

Banyak makanan yang merupakan pencampuran budaya Jawa, Tionghoa, hingga Belanda dalam resep-resep di buku itu. Ia menyebut antara lain kehadiran petis dan juga cwie mie di Jawa Timur menjadi penanda pengaruh etnis Tionghoa di Jawa Timur.

Saat menulis buku itu, sesuatu yang menyulitkannya adalah mencari data tentang makanan, sejarah, dan beberapa rempah. Ia harus mencari di sejumlah perpustakaan.

Ling mengaku, kalau tidak menemukan data yang benar, ia tidak berani menulis mengenai makanan itu. Untuk menyelesaikan bukunya, Ling membutuhkan waktu empat tahun. Buku tersebut terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia.

”Saya memilih tiga bahasa karena, dengan bahasa Inggris, jangkauannya akan lebih luas. Ada bahasa Belanda agar orang Belanda bisa baca buku ini. Saya masih tetap merasa sebagai orang Indonesia, karena itu harus dengan bahasa Indonesia. Lidah saya masih Indonesia meski bahasa saya kurang bagus,” kata Ling terkekeh.

Ketika dipuji bahasa Indonesianya masih bagus, ia kembali tersenyum.

”Wah bahasa Indonesia saya sudah setengah mati. Di keluarga saya berbahasa Belanda. Waktu di Indonesia belum stabil, saya dikirim ke Belanda. Waktu kecil saya juga belajar bahasa Jawa. Isih ngerti,” katanya. Ia mengaku meski lama berada di luar negeri seleranya masih terpelihara.

”Karena lidah saya sebenarnya tertinggal di sini. Logat Jawa saya juga masih keluar. Kadang bahasa Jawa juga masih keluar,” katanya. (ANDREAS MARYOTO)


Sumber: Kompas, 10/1/2016

Memperkaya Jiwa di Negeri Jauh

Orang-orang ini melakukan perjalanan untuk memperkaya jiwa. Di negeri-negeri asing yang mereka datangi, destinasi wisata tenar tak selalu jadi tujuan. Adakalanya, lanskap pemandangan, keriuhan pasar tradisional, atau sekadar bangku taman kota di negeri-negeri itu memberi kesan tak terlupa.



Melakukan perjalanan sudah menjadi kebutuhan bagi Fabiola Lawalata. Kini, ia menjelajah dunia bersama suaminya, Yvan De Maerschalck, yang berkebangsaan Belgia. Fabiola telah berkeliling ke 73 negara di Eropa, Asia, Amerika Latin, Afrika, Australia, negara-negara Karibia, dan 13 negara bagian Amerika Serikat.

Bagi Fabiola yang juga seorang penulis lepas dan travel blogger, kebutuhan untuk melakukan perjalanan berada pada tingkat prioritas jauh lebih tinggi daripada mobil mewah atau vila, misalnya. "Hidup terlalu singkat untuk tidak kita gunakan melihat dunia sebanyak mungkin. Ketika perjalanan memberi makna bagi kehidupan, itu berubah dari sekadar keinginan menjadi kebutuhan," ujarnya.

Kegemaran Fabiola melakukan perjalanan bermula dari ayahnya yang seorang pelaut. Ketika Fabiola masih kecil, ayahnya kerap mengirimi ia kartu pos dari negara-negara yang sering disebut di Dunia dalam Berita, acara berita yang ditayangkan TVRI sejak akhir 1970-an. Bagi Fabiola, nama atau gambar negara-negara itu seperti mantra yang kemudian mendorongnya menginjakkan kaki di sana. Belakangan, dia bertemu dengan Yvan yang juga gemar melakukan perjalanan. Delapan tahun lalu mereka menikah. Kini, berdua mereka mengarungi dunia.

Fabiola menemukan kesan mendalam, antara lain, ketika ia berada di negara-negara pecahan Uni Soviet. Di Georgia dan Armenia, misalnya, ia seperti kembali ke masa lampau. Kendaraan kuno milik Soviet, bermerek Lada, masih banyak ia temukan meramaikan jalan, berdampingan dengan mobil-mobil modern.

Warga setempat kadang terlihat bersikap dingin, tetapi bukan berarti tidak ramah. Bagi mereka, tamu harus dihormati. Sedikit senyuman sang tamu akan mengubah wajah dingin itu menjadi lebih hangat. "Saya meninggalkan hati saya di Georgia dan Armenia. Suatu saat saya akan kembali lagi ke sana," ujarnya.

Di negara-negara eks Uni Soviet itu, banyak hal kecil yang bisa cukup merepotkan. Misalnya, perjalanan harus dilakukan dengan persediaan uang tunai yang cukup karena ATM dan kartu kredit kerap tak bisa digunakan. Wisatawan di Uzbekistan juga diwajibkan menyimpan kuitansi setiap transaksi yang dilakukan, termasuk saat masuk dan keluar hotel. Lembaran kuitansi dan registrasi yang lalai disimpan bakal menyusahkan si wisatawan keluar dari negara itu.

Toh, kerumitan birokrasi seperti itu tidak mengurangi keelokan negeri-negeri eks Uni Soviet ini di mata Fabiola. Bahasa setempat yang tidak ia pahami pun tidak menjadi masalah baginya. "Selama kita masih bisa berkomunikasi dengan bahasa tubuh, tidak masalah," ujarnya.

DSP bersama Febby dan Yvan, di kediaman DSP, 12 Maret 2013

Nyaman sendiri

Nadya Natasha (20), mahasiswi Jurusan Sastra Belanda, Universitas Indonesia, juga gemar melakukan perjalanan sejak 2013. Kebiasaan mandiri, tak banyak bergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari, membuat ia mampu mengatasi tantangan dalam perjalanan seorang diri. Walau awalnya sempat khawatir, Nadya segera menemukan kenyamanan sendiri dalam perjalanan.

Pertengahan tahun lalu, misalnya, Nadya melakukan perjalanan ke Tibet. Bencana gempa yang melanda membuatnya mendadak harus mengubah rute. Meski begitu, ia tetap ke Tibet.

Rencana perjalanan dan persiapan fisik bagi Nadya adalah hal penting. Ia banyak membaca tentang tempat-tempat yang akan didatanginya. Bahkan, kadang Nadya sudah tahu jalan-jalan di kawasan yang akan ia kunjungi sebelum tiba di sana. Itu berkat kegemarannya membaca peta.

"Aku sudah tahu trik-trik menyusun itinerary, juga cara mengestimasi pengeluaran dan waktu perjalanan. Untuk persiapan fisik, setidaknya lebih rutin lari menjelang perjalanan panjang. Itu penting agar badan tidak kaget capek karena harus banyak jalan kaki dengan membawa bawaan berat. Apalagi, kalau destinasinya memiliki perbedaan cuaca ekstrem dibandingkan dengan tempat asal kita," ujarnya.

Demi kelancaran perjalanan, Nadya juga disiplin terhadap diri sendiri. Ia ketat mematuhi rencana anggaran dan jadwal perjalanan. Ia juga waspada menjaga barang bawaannya. "Dari foto-foto, orang cuma melihat enaknya doang dari traveling. Padahal, it's a lot more than just having fun. Lebih serius dari itu," ujar Nadya yang rajin menabung uang jajan bulanan dan uang hasil kerja untuk biaya perjalanan.

Bagi Nadya, setiap tempat yang pernah ia datangi dan setiap perjalanan memiliki kesan dan daya tarik yang berbeda-beda. "Misalnya, menurutku, Pulau Weh di Aceh berkesan karena suasananya yang tenang. Flores penuh kejutan dan sangat indah. Tibet berkesan karena pemandangan lanskap yang luar biasa," katanya.

Di setiap perjalanan, ia selalu bertemu orang-orang-baik warga setempat maupun sesama turis-yang berkesan. Berbagi cerita dengan mereka memberi Nadya pengalaman, pengetahuan, sekaligus lingkup pergaulan baru. Tak sedikit dari kenalan baru di perjalanan yang sampai kini masih berhubungan dengannya lewat media sosial atau surat elektronik.

Penikmat

Doty Damayanti (39) juga seorang penikmat perjalanan. Pekan lalu, ia baru kembali dari perjalanan 14 hari ke tujuh kota di empat negara: Roma, Florence, Venesia, dan Milan di Italia; Paris di Perancis; Madrid di Spanyol; serta Tangier di Maroko. Sebagian perjalanan itu ia lakukan bersama seorang teman, sebagian lagi dilakukan sendirian. Ia memang bertekad mengisi liburan setiap tahun dengan petualangan baru.

"Internet sekarang sudah memudahkan kita menentukan rute dan menyusun agenda perjalanan yang nyaman sekaligus efisien, enggak mahal," ujar karyawati perusahaan migas ini. Doty lebih suka menyusun sendiri rencana perjalanannya daripada mengikuti paket tur wisata yang banyak ditawarkan. Tahun lalu, misalnya, ia bepergian sendiri mengunjungi tiga kota di Iran, yakni Shiraz, Isfahan, dan Teheran.

Di setiap tempat yang ia kunjungi, Doty amat tertarik mengamati gaya hidup dan beragam budaya. Demi merasakan denyut jiwa sebuah kota, ia pun rajin menelusuri pasar-pasar tradisional, taman kota, museum, atau situs bersejarah. "Kota-kota di Iran, misalnya, ternyata punya banyak taman kota dan ruang publik yang luas dan bagus," ujarnya.

Dari perjalanan yang ia tempuh, Doty juga menyadari betapa banyak persepsi keliru dibicarakan orang tentang suatu kawasan, negeri, bahkan bangsa. "Aku juga percaya, sebenarnya tidak ada bad luck dalam suatu perjalanan. Semua kesulitan akan jadi pengalaman yang memberi pelajaran," ujarnya. (MHF/DOE/DAY)

Sumber: Kompas, 3/1/2016

Sumber gambar: pixabay.com


Denting Kecapi Sang Dewi

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ

Dewi Kanti tumbuh dalam lingkungan tertindas secara politik. Lewat kecapi suling dan tembang, ia berjuang menunjukkan bahwa tak semestinya manusia saling meniadakan.

Dewi menggambarkan semangat kesetaraan itu lewat tembang ”Gandrung Gunung”.

Tuh itu bentang di langit
baranang pating garenclang
bentang teh silih corongan
najan teu sarua caang
nu herang jeung nu teu herang
bentang teu pacaang caang
tapi luyu sauyunan
wayah unggah bareng miang
nu gede jeung anu leutik
siloka pikeun manusa
ngumbara di alam dunya
ulah rek pakia kia.


Itulah petikan tembang yang dinyanyikan Dewi Kanti. Lagu tersebut menyuarakan isi hati Dewi, juga para pemegang ajaran Sunda Wiwitan, bercerita tentang bintang di langit yang bervariasi ukuran dan pendarnya, tetapi tidak pernah saling menafikan. Mereka bersama-sama menyinari alam raya, luyu sauyunan. Itulah semangat perjuangan perempuan kelahiran Bandung, 40 tahun lalu ini.

Dewi Kanti
(KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Anak bungsu dari pasangan Emalia Wigarningsih (73) dan Rama Djatikusumah (83) ini memahami betul ajaran-ajaran leluhur yang sarat dengan kearifan lokal tersebut karena sejak bayi bersinggungan langsung dengan seni tradisi. Pada masa kecil, ia kerap direbahkan di atas karpet ketika ayah dan ibunya, sering kali juga bersama warga lain, memainkan kecapi suling dan menembang. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang makna-makna tembang.

Denting kecapi, liuk suara suling, dan kelembutan tembang mengantar Dewi tidur, menempel dalam ingatan hingga merasuk ke dalam alam bawah sadar. Hingga, ketika usia 8 tahun, dia meminta diajari memainkan kecapi, suling, dan tembang.

Awalnya itu sebagai kesenangan belaka. Hingga suatu saat, ketika Dewi tengah memainkan kecapi suling, seorang pendengar menitikkan air mata. ”Dia orang Batak, dan tiba-tiba menangis. Katanya, dia ingat kampung halaman,” kata Dewi yang membiarkan rambut sebahunya terurai.

Ia mendapatkan penjelasan bahwa kecapi yang mengandung unsur kayu dan logam pada dawainya tersebut melahirkan harmoni dan gelombang. Vibrasi atau getaran gelombang itu mampu menyentuh alam bawah sadar pendengarnya dan menggali kesadaran lama tentang jati diri. ”Kecapi suling seperti mengingatkan bahwa kita harus mencari jati diri,” begitu Dewi memaknainya.

Dewi memasuki tahap bermain kecapi, suling, dan tembang untuk mengolah rasa, menggali makna di balik setiap harmoni yang ia hasilkan. Lebih jauh lagi, kecapi, suling, dan tembang adalah wahana untuk berkomunikasi dengan alam, juga manusia.

Itu misalnya terjadi saat perpisahan sekolah dasar di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Dewi memainkan suling di hadapan para teman dan gurunya. Ia tak ingat lagi reaksi penonton. Yang jelas, setelah mengalunkan melodi lewat suling itu, dia merasa energinya bertambah, semakin percaya diri, lebih hidup, dan bersemangat. Sebagai orang yang kerap menjadi korban diskriminasi, mendapat kesempatan tampil di depan merupakan kemewahan. ”Itu sapaan, ketika kita menyapa alam dengan musik yang kita mainkan, energi akan menambah kepada kita.”

Alat kontemplasi

Musik bagi Dewi juga menjadi alat kontemplasi. Saat dadanya sesak oleh amarah atas keadaan, dia menembang untuk menstabilkan emosi.

Ketika mengunjungi situs Candi Gayatri, di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Dewi memainkan kecapi. Tak ada lagu khusus yang dia mainkan, hanya mengikuti dorongan dalam diri dan menghasilkan harmoni. Pada titik itulah dia merasakan betapa alam sebenarnya dapat menyapa balik karena tiba-tiba tiupan angin menjadi lebih lembut, hawa lebih sejuk.

Bunyi atau nada tersebut terekam oleh alam sepanjang masa. Harmoni melintas ruang dan waktu, demi terjaganya keseimbangan alam. Baginya, musik adalah bahasa universal yang melintas suku bangsa.

Dewi tak akan pernah melupakan peristiwa pada 2014 ketika dia menjadi salah satu penerima Australia Award Fellowship dalam program Indonesian Women Human Rights Defender di Queensland University of Technology, Brisbane. Suku asli Australia, Aborigin, yang dia jumpai, menjaga jarak dan seolah curiga. Dewi dapat memahami itu karena mereka adalah kelompok minoritas yang lama tertindas, sebagaimana yang dialami Dewi beserta penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat.

Dewi lantas mengungkapkan bahwa dia berniat baik, ingin menjalin persahabatan. Jika diizinkan, dia akan memainkan suling. Setelah harmoni suling sunda terdengar, orang-orang aborigin itu menebar senyum. Gugur sudah seluruh praduga tadi.

Alat perjuangan

Dewi menyebut diri sebagai seniman tradisi, bukan seniman panggung. Ketika cara-cara legal formal membentur dinding ketidakmengertian, dia mencari jalan memutar, jalan budaya.

Sebagai salah satu dari anak yang lahir di lingkungan Sunda Wiwitan, Dewi akrab dengan beragam tekanan. Itu juga dialami anak-anak Sunda Wiwitan di sekolah dasar yang kerap diperlakukan diskriminatif oleh para guru dan temannya. ”Ini utang peradaban yang harus dibayar negara,” kata Dewi.

Dewi termasuk salah satu orang yang rajin berkomunikasi dengan sejumlah kelompok minoritas lain, seperti Ugamo Malim dan Parbaringin di Sumatera Utara serta Sedulur Sikep di Jawa Tengah, untuk saling menguatkan dan tidak menyerah dalam mempertahankan kebinekaan.

Sekitar dua tahun lalu, kelompok Sedulur Sikep menentang pembangunan pabrik semen karena mereka anggap akan menghancurkan lingkungan, juga kelestarian ajaran leluhur. Dewi datang memberi sokongan. Dia memainkan kecapi dan menembang di hadapan kelompok Sedulur Sikep.

Pada kesempatan lain, sebuah perusahaan berniat masuk ke Gunung Ciremai demi kepentingan ekonomi. Kelompok Sunda Wiwitan menolak. Mereka datang ke gunung dan memainkan kecapi suling sebagai suntikan energi perlawanan.

Dunia aktivis itu pula yang mempertemukannya dengan Okky Satrio (50) yang kini menjadi suaminya. Okky terbiasa memberikan advokasi kepada orang-orang kecil sejak zaman Orde Baru. Dia belasan kali disetrum aparat.

Meskipun bukan seniman panggung, Dewi tidak menolak jika sesekali diundang pentas, seperti saat berkolaborasi dengan dua seniman musik Tiongkok Klasik di Yayasan Habibie & Ainun, akhir bulan lalu. Ini bagian dari strategi budaya untuk memperkenalkan kearifan Sunda Wiwitan.

Katanya, menjadi perempuan itu harus mancala putra, mancala putri. Ada saatnya harus keras, ada saatnya harus lembut. Dia juga memegang prinsip sunda teuas peureup lemes usap, menjadi manusia harus kuat memegang prinsip, tetapi berperilaku lembut.

Sumber: Kompas, 27/12/2015