Mencari Solusi Krisis Listrik

Oleh MUDRAJAD KUNCORO* Fenomena listrik byarpet, sebagai cermin adanya krisis listrik, yang muncul di sejumlah provinsi harus segera diatasi. Tanpa merombak manajemen kelistrikan nasional, target pembangunan listrik 35.000 megawatt bakal sulit dicapai dan krisis listrik akan merata ke seluruh Indonesia. Simak saja yang terjadi di Lampung. Habis kabut asap terbitlah krisis listrik. Selama ini Lampung mengimpor listrik dari Sumatera Selatan. Kabut asap di Sumsel terbukti mengganggu kemampuan transfer daya dari PLTG di Sumsel, yang menurun menjadi 146-208 MW pada siang hari dari kondisi normal 250 MW, sedangkan pada malam hari hanya 228-290 MW dari kondisi normal 342 MW. Hal itu diperparah lagi dengan kondisi musim kemarau panjang yang membuat kemampuan PLTA Way Besar dan Batu Tegi tak mampu mencukupi kebutuhan daya listrik. Beban puncak listrik di Lampung mencapai 838,80 MW pada malam hari, tetapi kemampuan pembangkit listrik Lampung hanya sekitar 520 MW. Meski sudah ditambah "impor listrik" dari Sumsel sebesar 258 MW, Lampung masih menderita defisit daya listrik setidaknya 60,70 MW. Akibatnya, pemadaman dua kali sehari menjadi tidak terelakkan dan terus terjadi sejak Oktober 2015. Pertanyaan mendasar yang muncul: apa penyebab krisis listrik? Akar masalah utamanya adalah tertinggalnya pembangunan pembangkit listrik yang tumbuh 6,5 persen sementara pertumbuhan permintaan listrik mencapai 8,5 persen dalam lima tahun terakhir. Cadangan listrik yang terbatas mencerminkan ketidakmampuan pasokan dalam mengimbangi pertumbuhan kebutuhan. Faktor utama di balik pemadaman listrik yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kurangnya pasokan listrik. Kurangnya pasokan karena banyak faktor, seperti kabut asap, kemarau, dan lambannya pertumbuhan pembangunan pembangkit listrik baru. Tanpa terobosan kebijakan yang fundamental, krisis listrik bisa jadi akan sering muncul 3-4 tahun ke depan. Krisis listrik dapat menurunkan daya saing industri, menghambat aktivitas perusahaan dan masyarakat, yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tepat sekali penegasan Presiden Jokowi, "Urusan listrik sekarang ini bukan hanya urusan PLN, urusan listrik sudah menjadi urusan negara, urusan pemerintah, bukan urusan PLN lagi" (22/12/2015). Setiap kali berkunjung ke sejumlah wilayah di Indonesia, Presiden selalu menerima keluhan mengenai minimnya pasokan listrik. Jelas, listrik menjadi kebutuhan dasar bagi pengembangan industri, rumah tangga, dan semua sektor ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Upaya pemerintahan Jokowi mengatasi krisis listrik dengan meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW sejak 4 Mei 2015 perlu dihargai, tetapi perlu dipantau realisasinya. Jokowi mewujudkan program ini dengan penandatanganan perjanjian jual-beli tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA), letter of intent (LoI) untuk pembangunan engineering, procurement, construction (EPC), hingga groundbreaking beberapa pembangkit listrik. Hingga awal 2016, kontrak yang telah ditandatangani dan dilaporkan oleh direksi PLN kepada Presiden mencapai 17.330 MW. Rinciannya 14.000 MW berupa PPA, sisanya EPC PLN. Biasanya dalam praktik masih butuh waktu hingga setahun untuk mendapatkan pembiayaan dan masa konstruksi mencapai sekitar tiga tahun. Itu pun dengan catatan pembebasan lahan tidak molor dari target dan proses perizinan tidak mundur-mundur. Belajar dari terminal LNG Benoa Masalah lamanya pembebasan lahan untuk pembangkit listrik bisa diatasi dengan membangun fasilitas listrik yang terapung dan tidak di daratan. Contoh menarik adalah membangun Floating Regasification Unit (FRU) dan Floating Storage Unit (FSU) di Benoa, Bali. Berbeda dengan terminal liquefied natural gas (LNG) yang konvensional, terminal LNG Benoa ini memisahkan fasilitas untuk proses mengubah gas dengan fasilitas penyimpanan (storage). Terminal mini LNG pertama di Indonesia, yang diberi nama Benoa LNG Terminal, ditargetkan mulai beroperasi Maret 2016. Terminal ini nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan gas sebesar 40 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) untuk pembangkit listrik tenaga diesel dan gas (PLTDG) di Pesanggaran, Bali (Kompas, 23/1/2016). Dengan penandatanganan kerja sama antara PT Indonesia Power (anak perusahaan PT PLN Persero) dan PT Pelindo Energi Logistik (PEL) sebagai afiliasi perusahaan PT Pelabuhan Indonesia III, terminal LNG yang berada di atas lahan milik PT Pelabuhan Indonesia III ini nantinya akan dioperasikan sepenuhnya oleh PT PEL. Terminal yang beroperasi di Benoa ini resmi beroperasi setelah PT PEL menandatangani kerja sama senilai 500 juta dollar AS dengan PT Indonesia Power. PEL juga menjalin kerja sama senilai Rp 100 juta dollar AS dengan Jaya Samudera Karunia Grup (JSK Grup) untuk membangun fasilitas FRU dan FSU. Konsep FRU dan FSU ini adalah pelopor terminal LNG mengapung pertama di Indonesia. Konsep ini sangat relevan dan cocok untuk negara kepulauan seperti di Indonesia. Dengan FRU dengan kapasitas 50 mmscfd dan FSU dengan kapasitas 26.000 CBM, setiap hari terminal ini mampu memenuhi kebutuhan gas sebesar 40 mmscfd guna memasok keperluan gas untuk 200 MW PLTDG Pesanggaran, Bali. Ada beberapa kelebihan terminal mini LNG dengan model FRU dan FSU ini. Pertama, waktu yang diperlukan untuk menyiapkan fasilitas listrik terapung ini relatif jauh lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk menyiapkan fasilitas pembangkit listrik di darat. Pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah di Indonesia selalu terbentur masalah pembebasan lahan. Diharapkan model dan pola penggunaan fasilitas terapung ini akan menjadi proyek percontohan dan menjadi solusi terbaik bagi Pemerintah Indonesia, khususnya dalam rangka merealisasikan program percepatan listrik 35.000 MW. Kedua, keberadaan terminal ini tentu sejalan dengan Nawacita yang menjadi tekad pemerintah, yaitu meningkatkan produktivitas dengan melakukan efisiensi biaya logistik dan infrastruktur strategis, melalui program tol laut yang sudah dicanangkan oleh Jokowi. Sebagai catatan, setiap 1.000 MW di pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dikonversi menjadi gas dapat menghemat subsidi BBM Rp 9,6 triliun per tahun. Asumsinya, perhitungan ini berdasarkan tarif Pertamina 2015, di mana harga High Speed Diesel (HSD) 941 dollar AS per ton dan LNG 12 dollar AS per MMBTU. Ketiga, saat ini ada banyak PLTD di Indonesia dengan kapasitas 10-200 MW unit di Indonesia dengan jumlah total lebih dari 10.000 MW. Apabila pemerintah segera meremajakan semua PLTD tersebut menjadi berbasis gas, dapat dibayangkan berapa besar penghematan subsidi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Keempat, selain manfaat secara ekonomi dalam mendukung program pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM oleh pemanfaatan gas ini juga sejalan dengan program yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Bali, yaitu Clean and Green, dengan menurunkan tingkat kebisingan, getaran, serta emisi CO2 gas buang. Data Environmental Analysis Report menunjukkan bahwa dengan memakai bahan bakar gas dapat menurunkan NOX sebesar 7.220 ton per tahun, SO2 14.820 ton per tahun, dan partikulat sebesar 19.760 ton per tahun. Reformasi kelistrikan nasional Krisis listrik adalah akibat lambannya penambahan pasokan listrik dibandingkan dengan permintaannya. Kendala pembebasan lahan dapat diatasi seperti model FSU dan FRU terpisah di Bali atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) yang menyatu di Lampung atau Banten. Dengan fasilitas terapung berbasis gas terbukti mampu mempercepat proses konstruksi pembangkit listrik. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat pembangunan FSRU, FSU, dan FRU atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan. Indonesia adalah negara yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia sebesar 152,89 TSCF (Triliun Standard Cubic Feet). Sumber cadangan gas berada di sejumlah daerah seperti Blok Natuna, Cepu, Tangguh, Bontang, Arun, Masela. Sebanyak 104,71 TSCF merupakan cadangan terbukti dan 48,18 TSCF merupakan cadangan potensial. Dengan produksi gas per tahun mencapai 2,87 TSCF, Indonesia memiliki cadangan untuk produksi mencapai 59 tahun. Namun, produksi gas sebagian besar malah dijual dan diekspor ke luar negeri. Akibatnya, industri nasional mengeluh kekurangan gas. Pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Tanpa itu, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku. Studi Bank Dunia, Doing Business 2016, menemukan kondisi kelistrikan yang menarik di Indonesia. Untuk mendapatkan akses listrik di Indonesia masih membutuhkan lima prosedur dan 79 hari, dengan biaya mencapai 383 persen dari pendapatan per kapita. Memang sudah ada paket Kebijakan Ekonomi Tahap Ketiga yang meliputi penurunan harga BBM, listrik dan gas, perluasan penerima KUR, dan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai kemampuan daya beli industri pupuk, 7 dollar AS per mmbtu (juta British Thermal Unit). Tarif listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 akan mengalami penurunan Rp 12-Rp 13 per kWh mengikuti turunnya harga minyak. Yang ditunggu investor kelistrikan adalah terobosan dan deregulasi yang mempermudah perizinan di kelistrikan, mulai dari hulu, distribusi, hingga hilirnya. Kemudahan perizinan dan regulasi yang perlu diprioritaskan setidaknya: Pertama, mentransformasi pembangkit listrik tenaga diesel/uap (PTDU) yang boros subsidi dan BBM menjadi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). PLTDU banyak yang berusia lanjut, boros BBM, dan akhirnya ditutup di sejumlah daerah. Kedua, pasokan bahan baku energi dari gas, batubara, minyak, dan lain-lain perlu dijamin suplainya oleh pemerintah. Tak masalah apabila diangkut dari lokasi sumber gas di dalam negeri. Jika tak mencukupi, izin impor langsung dari luar negeri perlu dipermudah dan dipercepat dengan prosedur transparan dan bebas korupsi. Ketiga, negosiasi harga jual listrik antara pihak swasta/BUMN dan PLN sering bermasalah dan kadang mengalami kebuntuan. Tren penurunan harga minyak, batubara, dan gas membuat negosiasi sering berlarut dan menghambat masa operasional. Pemerintah perlu mengatur harga yang wajar dan bisa diterima semua pihak. Keempat, masalah pembiayaan. Kemudahan akses pembiayaan, baik lewat sindikasi bank nasional maupun bank asing, perlu ditinjau ulang oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemerintah. Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank mengatur bahwa korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri dalam valuta asing wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dengan memenuhi aturan rasio Lindung Nilai, Rasio Likuiditas, dan Peringkat Utang (Credit Rating). Aturan ini perlu direlaksasi, khususnya untuk pembangunan infrastruktur listrik. Dengan berbagai kemudahan perizinan dan regulasi di atas, saya yakin krisis listrik akan dapat berakhir. Habis gelap terbitlah terang, tidak byarpet, untuk seluruh wilayah Indonesia. *MUDRAJAD KUNCORO, KETUA PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI PROGRAM DOKTOR FEB UGM; PEMERHATI LISTRIK Sumber: Rubrik Opini, Kompas, 22/02/2016 Baca juga: Mencegah Krisis Listrik Berulang

Skenario Indonesia 2045 (4): Defisit Pangan Menjadi Ancaman

Seri Skenario Indonesia 2045 - Kompas (18/2/2016) Oleh BUDIMAN TANUREDJO Kondisi Indonesia tahun 2045 tidak terlepas dari kondisi dunia yang mengalami defisit pangan. Dua puluh sembilan tahun dari sekarang, Indonesia belum akan mampu memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan karena itu negara mengalami kesulitan. Skenario Air Terjun, skenario keempat yang dibangun Tim Skenario Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), memberikan gambaran wajah Indonesia 2045. Pesimisme sekaligus optimisme tergambar pada Skenario Air Terjun tersebut. Digambarkan, akibat krisis pangan ini akan terjadi letupan-letupan di sejumlah daerah. Namun, letupan tersebut dapat dimitigasi karena kedaulatan pangan dijadikan fokus utama dalam mengelola ketahanan pangan, misalnya, melalui pengembangan usaha petani dalam bentuk struktur yang lebih sesuai. Keempat skenario yang dibangun Lemhannas, yakni Skenario Mata Air, Skenario Sungai, Skenario Kepulauan, dan Skenario Air Terjun, merupakan hasil diskusi tim dengan sejumlah narasumber lintas profesi. Sejumlah ahli terlibat, seperti Andrinof Chaniago, Arif Budimanta, Azyumardi Azra, Bambang Susantono, Chappy Hakim, Darmin Nasution, Emil Salim, Makarim Wibisono, Said Aqil Siroj, Kurtubi, dan sejumlah pakar. "Proses itu berjalan lebih dari satu setengah tahun dan masih terus berjalan," kata Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji kepada Kompas. Setelah empat skenario selesai dibangun, Lemhannas kemudian menyerahkan dokumen itu untuk disosialisasikan dan diantisipasi oleh para pemangku kepentingan. Dengan model pembangunan skenario bersifat transformatif, menurut Ketua Tim Skenario Panutan Sulendrakusumah, intervensi bisa dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan yang bakal terjadi, termasuk juga soal defisit pangan. Peringatan defisit pangan sebenarnya masuk akal jika melihat proyeksi perkembangan pertumbuhan penduduk. Pada 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 321 juta jiwa. Sementara itu, pada kondisi aktual sekarang ini, swasembada pangan belum bisa dicapai. Impor beras dan bahan pangan lain selalu dilakukan. Ketimpangan Skenario Air Terjun juga menarasikan penurunan kemiskinan yang terjadi sejak era sebelumnya belum dapat mengurangi ketimpangan pendapatan yang semakin lebar. Ketimpangan menjadi isu yang harus dicermati. Dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekitar 6 persen per tahun, ternyata lebih banyak dinikmati kelompok berpendapatan tinggi, yang jumlahnya hanya 5 persen dari populasi penduduk Indonesia. Hal itu akan menimbulkan ketimpangan pendapatan yang makin mencolok. "Rasio gini yang begitu menganga bisa meningkatkan kriminalitas, konflik sosial, dan instabilitas politik, bahkan mengarah pada penurunan pertumbuhan ekonomi secara drastis," kata Komisaris Jenderal Suhardi Alius, fasilitator dan Sekretaris Utama Lemhannas. Pemerintah memang terus berupaya mengurangi kemiskinan melalui berbagai program. Berbagai program terus dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta percepatan pembangunan daerah tertinggal. Panutan Sulendrakusumah menjelaskan, dalam Skenario Air Terjun, pembangunan Indonesia pada 2045 telah berdasarkan tiga pilar dalam konsep pengembangan Sustainable Development Goals (SDG). Pilar pertama melekat pada pembangunan manusia, yaitu pembangunan pendidikan dan kesehatan. Pilar kedua melekat pada lingkungan kecil (social economic development), yaitu ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan serta pertumbuhan ekonomi. Adapun pilar ketiga melekat pada lingkungan yang lebih besar (environmental development), berupa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan berdasarkan standar global dalam konsep pembangunan berkelanjutan secara terukur. Menurut Panutan, pembangunan Indonesia berbasis karbon pada 2045 merupakan penerapan ekonomi hijau (green economy) sebagai respons terhadap perubahan iklim demi ketahanan ekosistem. "Penggunaan energi tidak ramah lingkungan, seperti minyak dan batubara, harus ditinggalkan. Saatnya Indonesia menggunakan energi terbarukan, antara lain tenaga surya, untuk mengurangi emisi rumah kaca," kata Panutan. Perubahan iklim Panutan mengingatkan, wilayah Indonesia tahun 2045 akan mengalami peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Pemanasan diikuti perubahan iklim akan meningkatkan curah hujan yang berpotensi menyebabkan banjir dan erosi. Berkaitan dengan persiapan untuk menciptakan energi terbarukan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (17/2), mengatakan, pengelolaan karbon, emisi, pembangunan energi, dan pangan merupakan isu strategis yang tak bisa ditangani dengan perspektif jangka pendek. "Harus mampu menjaga jarak dengan problem kekinian. Apalagi kita merancang pembangunan energi, pangan, dan kaitannya dengan perubahan iklim," kata Sudirman. "Sebagai pengelola sektor energi, saya makin memahami bahwa kita sempat agak terlena dengan pendekatan myopic, berpikir pendek, mengerjakan yang mudah, dan terjebak pada kebijakan yang diwarnai transaksi kepentingan jangka pendek," tutur Sudirman. Sudirman mengakui, ada kesenjangan yang dia rasakan. Kesenjangan antara lokasi sumber daya dan kebutuhan, kesenjangan antara sumber daya dan ketersediaan energi, kesenjangan antara energi fosil yang semakin kritis dan kemampuan di bidang energi terbarukan. "Jika kesenjangan itu tak segera diatasi, bukan tidak mungkin suatu saat kita akan mengalami krisis energi yang sulit diatasi," kata Sudirman. Menurut Sudirman, yang harus dilakukan adalah berani melakukan lompatan, mendorong kebijakan energi yang mungkin dalam jangka pendek tidak menyenangkan, tapi dalam jangka panjang memberi keamanan bagi kepentingan nasional. "Keberanian memilih jalan tidak populis akan menentukan keamanan energi di masa depan," kata Sudirman. Empat skenario yang disusun Lemhannas memang bukanlah sebuah kepastian atau proteksi karena itu adalah narasi yang mungkin terjadi. Masalahnya adalah bagaimana segala kecenderungan dari empat skenario itu diantisipasi.

Skenario Indonesia 2045 (3): Memudarnya Nasionalisme Indonesia

Seri Skenario Indonesia 2045 - Kompas (17/2/2016) Oleh BUDIMAN TANUREDJO Pada 2045, setelah 100 tahun merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap eksis di tengah peradaban modern dunia sebagai bangsa multietnis, multikultur, bangsa yang pluralis. Namun, bangsa Indonesia semakin melupakan dan meninggalkan sejarahnya. Ketua tim penyusun Skenario Indonesia 2045, Panutan S Sulendrakusuma, menyebut Indonesia 2045 dalam Skenario Kepulauan. Skenario Kepulauan adalah skenario ketiga yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek geopolitik sebagai faktor utama untuk menyusun narasi tentang Indonesia 2045. Sebelumnya ada Skenario Mata Air (Kompas, 15/2), Skenario Sungai (Kompas, 16/2), dan Skenario Air Terjun (Kompas, 18/2). "Cara bernegara orang Indonesia pada 2045 telah berubah," kata Panutan kepada Kompas, Minggu (14/2). Rasa hormat dan bangga serta keinginan untuk meneladani pahlawan pendahulu bangsa tidak lagi menjadi motivasi generasi muda Indonesia dalam menghadapi tantangan zamannya. "Hari Pahlawan dan hari besar nasional sudah kehilangan maknanya dan hanya dimaknai sebagai perayaan rutin belaka tanpa dijiwai emosi, sifat, tingkah laku, opini, dan motivasi," kata Panutan. "Nasionalisme warga negara Indonesia pada 2045 kian tipis," lanjut Suhardi Alius, Sekretaris Utama Lemhannas. Temuan tim Lemhannas itu sudah tampak gejalanya. Ada dinamika dalam anak muda Indonesia. Persoalan kepemudaan tenggelam dalam isu besar yang mewarnai kehidupan politik negeri ini. Dalam jajak pendapat Kompas, 28 Oktober 2013, dalam mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara, misalnya, 73,6 persen responden memandang pemuda tidak ikut ambil bagian dalam mewujudkan butir Pancasila. Jajak pendapat itu juga merekam bagaimana ingatan makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 2028 mulai pudar. Responden kelompok ini bahkan kesulitan menyebutkan Sumpah Pemuda. Harian Kompas, 28 Oktober 2013, menyebutkan, hanya 9,4 persen responden yang menyebutkan isi Sumpah Pemuda dengan benar. Membayangkan Indonesia 2045 adalah membayangkan bagaimana siswa-siswi sekolah dasar dan sekolah menengah akan memimpin bangsa ini. Ada yang akan menjadi bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, ketua partai, dan posisi struktural lainnya. Betapa pentingnya posisi sekolah untuk menyemai calon pemimpin bangsa. Kondisi ini mengingatkan pada buku John W Gardner berjudul Can We Equal and Excellent Too. Gardner menulis, "Tidak ada negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan peradaban." Mengacu pada pandangan Gardner, kita akan menyebut sekolah adalah tempat paling berperan dalam membentuk wawasan mengenai bangsa dan kebangsaan. Wawasan mengenai nasionalisme Indonesia. Sekolah bukan hanya mengajarkan tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan serta lulus ujian, melainkan menjadikan siswa sebagai orang Indonesia dan bangga dengan Indonesia. Siswono Yudo Husodo dalam artikel di Kompas, 23 April 2015, menulis, di Amerika Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan yang muncul adalah "Whats' wrong with American class room?". Pertanyaan itu relevan direnungkan mengacu pada skenario Lemhannas bahwa bangsa Indonesia 2045 mempunyai persepsi dan cara bernegara yang berbeda dengan kadar nasionalisme yang tipis. Situasi kontemporer menunjukkan bagaimana anak-anak terpikat dengan ideologi bukan asli Indonesia, ideologi yang radikal yang sangat jauh dari nilai Pancasila. Bagaimana buku-buku ajar siswa disusupi ajaran radikal. Gambaran pesimistis-jika tidak ada intervensi apa pun-bisa dibaca dalam dokumen Skenario Indonesia 2045. Dituliskan dalam dokumen itu, pada era 2010-2040, perhatian dunia tertuju ke Asia Pasifik karena jumlah penduduk Indonesia yang besar. Menurut proyeksi Lembaga Demografi, pada 2045 jumlah penduduk Indonesia 321,86 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebesar itu, Indonesia merupakan potensi pasar yang besar. Potensi sumber daya alam besar dan beragam, termasuk potensi pariwisata, sumber daya genetika, dan letak geografis Indonesia dengan poros maritimnya. "Indonesia diperhitungkan dunia sebagai negara yang memiliki potensi kekuatan ekonomi, militer dalam politik di wilayah Asia Pasifik," tulis Panutan. Namun, karena kadar nasionalisme yang tipis, termasuk orang yang menjadi penyelenggara pada 2045, bangsa Indonesia semakin tidak menjiwai kesepakatan dasar bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar bernegara. Tim penyusun Skenario Indonesia 2045 menulis, kondisi Indonesia dengan kadar nasionalisme tipis, langkanya pemikiran strategis yang berjangka panjang, kualitas pendidikan dan penguasaan teknologi informasi selama 30 tahun terakhir tidak dipersiapkan benar dan baik untuk menghadapi tuntutan Indonesia setelah 100 tahun merdeka, tidak cocok dengan kebutuhan zaman. Selanjutnya, skenario yang perlu mendapat perhatian adalah gambaran elite parpol dan ormas yang masih berkutat pada kepentingan individu dan golongan. Hal tersebut juga terjadi di birokrasi, TNI dan Polri, karena sistem meritokrasi belum diterapkan sebagaimana mestinya. "Kondisi ini diperparah dengan masih sering terjadinya inkonsistensi kebijakan yang sering berubah dan tumpang tindih," kata Panutan. Kekuatan militer Indonesia sudah besar dalam jumlah, tetapi belum efektif dan belum efisien karena teknologinya tak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga pengamanan maritim Indonesia sebagai poros maritim dunia masih sering dipertanyakan dunia. Tim penyusun menggambarkan, pada 2045, Indonesia disibukkan dengan pengamanan maritim nasional karena ramainya kegiatan eksplorasi bawah laut yang dilakukan state dan non-state actor di sekitar Indonesia. Sementara itu, regionalisasi pengaturan operasional penerbangan dunia yang mengatasnamakan keamanan dan keselamatan penerbangan Indonesia sudah merambah wilayah Indonesia, dikendalikan oleh satu atau dua negara tetangga sehingga kedaulatan Indonesia banyak diatur oleh negara dan aktor non-negara dunia. "Kondisi ini terjadi karena selama 40 tahun terakhir Indonesia hanya berwacana untuk mengambil alih pengendalian operasi penerbangan di atas kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura, tanpa perencanaan dan program yang jelas." Dari dua skenario yang dibangun Lemhannas, faktor generasi muda dan nasionalisme mereka menjadi amat penting untuk eksistensi NKRI. Faktor pendidikan menjadi penting. Boleh jadi gagasan Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pers Nasional tentang perlunya televisi menyiarkan lagu nasional menjadi relevan untuk membangkitkan nasionalisme. Skenario kepulauan itu seharusnya mendorong semua komponen bangsa berpikir ulang dan menyadari sejarah terbentuknya bangsa, letak dan kondisi geografi, demografi, dan perkembangan global. Pemimpin dengan karakter kebangsaan yang tangguh, memahami visi bangsa, dan memiliki ambisi terukur amat dibutuhkan bangsa ini. Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, menyebut isu nasionalisme sebenarnya agak ketinggalan zaman karena isme berbicara soal paham. Yang penting sebenarnya bagaimana situasi bangsa itu sendiri. "Apakah bangsa Indonesia itu masih dirawat oleh para penyelenggara negara saat ini," kata Pabottingi. Kondisi Indonesia 2045 sangat tergantung pada apa yang dibuat bangsa ini sekarang. "Apakah undang-undang yang diproduksi digunakan untuk menguntungkan bangsa atau digunakan untuk kepentingan asing. Banyak produk undang-undang yang esensi sebenarnya hanyalah menjual Tanah Air. Ini adalah pengkhianatan terhadap bangsa," kata Pabottingi. Pabottingi juga menyoroti bagaimana bahasa Indonesia telah dikhianati. Menyaksikan siaran televisi, hampir separuh dari presenter menggunakan kata-kata bahasa Inggris, padahal bahasa Indonesia ada padanannya. "Ini, kan, melecehkan mereka di desa yang tak bisa berbahasa asing," ucapnya. Pemahaman soal bangsa dan tokoh bangsa harus diajarkan agar anak bangsa punya hero di negerinya sendiri. "Kisah IJ Kasimo, Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, dan Agus Salim dengan kesederhanaannya perlu disampaikan kepada anak didik agar mereka punya hero dan idola terhadap tokoh-tokoh bangsa," kata Pabottingi. Untuk menggapai 100 tahun republik, bangsa ini membutuhkan negarawan yang punya imajinasi soal bangsa dan masa depannya. Negarawan berbeda dengan politisi, seperti dikatakan intelektual Amerika Serikat, James Clarke, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan."

Skenario Indonesia 2045 (2): Keluar dari Ancaman Negara Gagal

Seri Skenario Indonesia 2045 - Kompas (16/2/2016) Oleh BUDIMAN TANUREDJO "Indonesia tahun 2045 telah mampu keluar dari ancaman negara gagal. Pada waktu itu, Indonesia telah menjadi negara industri yang cukup maju dengan struktur ekonomi belah ketupat. Jumlah kelas menengah sudah lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin maupun konglomerat." Itulah salah satu kesimpulan Indonesia 2045 dalam Skenario Sungai yang disusun tim Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Tim itu diketuai Dr Panutan S Sulendrakusuma. Tim Lemhannas menyusun empat skenario Indonesia 2045. Skenario Mata Air (Kompas, 15/2), Skenario Sungai (Kompas, 16/2), Skenario Kepulauan, dan Skenario Air Terjun. Pembangunan skenario sebagai upaya mengantisipasi masa depan sering digunakan perusahaan minyak asal Belanda, Shell. Kini, teori membangun skenario itu coba digunakan Lemhannas untuk membangun skenario Indonesia 2045. Adam Kahane, yang telah membangun skenario di sejumlah negara, tiga kali datang ke Indonesia untuk membangun skenario Indonesia 2045. Skenario sungai dibangun dengan daya penggerak (driving force) pembangunan ekonomi. Sejumlah guru besar, birokrat lintas profesi, dan pemimpin ormas terlibat dalam pembangunan skenario Indonesia 2045. Dalam buku Skenario Indonesia 2045 terdapat sejumlah nama sumber, antara lain Azyumardi Azra, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Emil Salim, Hasyim Djalal, Paulus Wirutomo, serta tiga gubernur dari luar Jawa, yakni Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi. Diskusi terfokus dilakukan di sejumlah kampus di luar Jawa. "Kita memang ingin menampung pandangan mereka terhadap masa depan Indonesia," ujar Panutan. Pada Skenario Sungai, menurut Suhardi Alius, yang juga Sekretaris Utama Lemhannas, dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, kemitraan antara sektor besar, menengah, dan kecil berjalan baik. Kemitraan itu juga didukung infrastruktur, tata ruang, reforma agraria, kebijakan perbankan, fiskal, moneter, dan pasar modal. "Hasilnya, sektor agroindustri berkembang dan terjadi peningkatan kemakmuran di pedesaan karena dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi," kata Suhardi. Dalam narasi ini, pada tahun 2045, pada skenario tim Lemhannas, telah bekerja mekanisme "Indonesia Incorporated", yakni sinergi semua pelaku ekonomi dengan pemerintah, parlemen, dunia riset, dan pendidikan. "Sementara dalam pemerintah telah berkembang budaya dan etos kerja yang lebih profesional," tambah Suhardi. Skenario ini sejalan dengan prediksi McKinsey (2012). Prediksi McKinsey, Indonesia tahun 2030 akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ke-7 di dunia yang memiliki 135 juta orang kelas menengah serta 113 juta pekerja berkemampuan. Dalam Skenario Sungai, proses pembangunan secara umum sudah relatif berbasis iptek pada semua tingkatan. Namun, permasalahan ekonomi membawa dampak pada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial serta korupsi masih menjadi tantangan besar. Juga masih akan terjadi konflik lahan dan buruh, yang mendapat upah di bawah standar. Adapun Indonesia sebagai negara kepulauan dengan penduduk besar dan sangat beragam juga masih akan menjadi persoalan yang berdampak secara ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan serta keamanan. "Posisi Lemhannas adalah mengantisipasi kemungkinan segala skenario yang akan terjadi," kata Gubernur Lemhannas Budi Soepandji saat ditanya soal posisi Lemhannas dalam pembangunan empat skenario itu. Keluar dari ancaman Skenario Sungai yang dibangun tim Lemhannas diawali dengan asumsi bahwa Indonesia menuju 2045 telah keluar dari ancaman negara gagal. Isu soal negara gagal pernah menjadi isu politik hangat dalam sejarah Indonesia pasca reformasi. Pada tahun 2012, The Fund for Peace (FFP) menempatkan Indonesia dalam peringkat ke-63 dari 178 negara. Salah satu contoh negara gagal adalah Somalia. Harian Kompas, 20 Juni 2012, melaporkan, menurut The Fund for Peace, kondisi Indonesia memburuk terutama di tiga indikator yang digunakan untuk menyusun indeks negara gagal. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok minoritas, dan isu hak asasi manusia. Penilaian The Fund for Peace tersebut mendapat tanggapan dari sejumlah pejabat Indonesia kala itu. Pada tahun 2015, menurut The Fund for Peace, Indonesia menunjukkan tren yang terus membaik. Berdasarkan data tren dari The Fund for Peace, dalam kurun waktu 2006-2015, Indonesia dalam tren membaik dengan nilai 74 dari 178 negara, sedangkan pada tahun 2012 dengan skor 80. Salah satu faktor yang belum menunjukkan perbaikan adalah pengaduan kelompok minoritas. Panutan, ketua tim pembangunan skenario Indonesia 2045, mengemukakan, penyusunan Skenario Sungai yang menempatkan pola pembangunan ekonomi driving force menangkap kekhawatiran Indonesia bakal terjebak dalam middle income trap (jebakan kelas menengah), yang dalam bahasa tim Lemhannas disebut sebagai negara gagal. Ada kekhawatiran kian melebarnya kesenjangan sosial, kesenjangan spasial antara barat dan timur untuk menghadirkan keadilan sosial. Ada juga bayangan terjadi aspirasi pemisahan diri. "Situasi itulah yang menjadi suasana diskusi ketika skenario itu disusun," ujar Panutan. Sebagai penyusun skenario bersama ahli lain, Panutan tetap optimistis dengan masa depan Indonesia 2045. Masalahnya adalah bagaimana pemerintah menyelesaikan pekerjaan rumah yang timbul, yakni mengatasi kesenjangan sosial yang kian melebar, kemiskinan, masalah lahan, dan persoalan lain sebagai dampak pembangunan. Sri Palupi, peneliti Institute of Ecosoc Rights, dalam diskusi di Redaksi Kompas bertajuk "Membayangkan Indonesia 100 Tahun", 5 Agustus 2015, mempunyai pandangan senada. Eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah menciptakan bencana berkelanjutan di Indonesia. Menurut laporan The Asia Pacific Disaster Report 2010, selama kurun waktu 1980-2009, Indonesia menempati urutan kedua setelah Banglades dalam daftar jumlah korban tewas akibat bencana di Asia Pasifik, dengan kerugian ekonomi 22,5 miliar dollar AS (Rp 301,51 triliun). Pada kurun waktu 2004-2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi 4.409 kali bencana di Indonesia. "Tingkat kerentanan terhadap bencana lebih besar diderita warga miskin akibat ketimpangan sosial ekonomi dan lingkungan alam," tulis Palupi dalam makalah bertajuk "Tantangan Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya". Menurut Palupi, menguatnya kekuasaan korporasi membuat wacana hak asasi manusia di sektor bisnis kian terpinggirkan. Kondisi itu diperburuk mekanisme hak asasi manusia internasional untuk korporasi yang sifatnya tidak mengikat. Palupi mengkritik penanggulangan kemiskinan pemerintah yang tidak diarahkan untuk menciptakan lompatan bagi orang miskin masuk dalam kelas menengah. Akibatnya, ekonomi bisa saja tumbuh, tetapi jumlah orang miskin belum juga berkurang. Bagi Panutan, problem itulah yang harus diselesaikan pemerintah. "Skenario dibangun dan potensi masalah yang muncul harus diantisipasi. Memang itu tugas tim pembangunan skenario," katanya. Jika itu bisa dikelola dengan baik, ujar Panutan, pada tahun 2045 ketahanan ekonomi Indonesia menjadi lebih tangguh.

Skenario Indonesia 2045 (1): Seabad RI dalam Empat Skenario

Seri Skenario Indonesia 2045 - Kompas (15/2/2016) Oleh BUDIMAN TANUREDJO Lembaga Ketahanan Nasional menyusun empat skenario Indonesia pada tahun 2045. Dokumen berisi empat skenario Indonesia 2045 itu telah disampaikan Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji kepada Presiden Joko Widodo dan dipaparkan ke pimpinan redaksi media massa beberapa waktu lalu. Dokumen skenario itu tahun lalu telah disampaikan kepada Presiden Jokowi," kata Budi Susilo Soepandji kepada Kompas, Minggu (14/2) di Jakarta. Dalam pengantarnya, Budi menegaskan, "Lemhannas berkepentingan terhadap kondisi NKRI pada tahun 2045 tersebut karena keberadaan dan integritas bangsa Indonesia merupakan fokus perhatian Lemhannas." Kemampuan imajinasi manusia membayangkan situasi dan kondisi 30 tahun kemudian tidak mudah. Banyak faktor yang memengaruhi dan menentukan masa depan. Jumlah cadangan energi fosil berkurang dan lahan pertanian tak kunjung bertambah. Jumlah penduduk Indonesia pada 2045 menurut Lembaga Demografi diperkirakan 321,85 juta. Adapun menurut proyeksi Population Reference Bureau,jumlah penduduk Indonesia menjadi 365 juta tahun 2050 atau 350 juta pada 2045. Menurut Sekretaris Utama Lemhannas Komjen Suhardi Alius, Lemhannas menyusun skenario Indonesia 2045 dengan melibatkan narasumber lintas profesi. Ada birokrasi, pengusaha, peneliti, gubernur, hingga bupati/wali kota di Jakarta dan di daerah. Salah seorang penulis skenario Indonesia 2045, Panutan S Sulendrakusuma yang juga ketua tim, saat bertemu dengan pemimpin redaksi di Gedung Lemhannas mengatakan, skenario disusun menggunakan orientasi transformatif. Skenario bukanlah proyeksi atau target. Skenario adalah kisah tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan. Skenario dibentuk bukan hanya untuk lebih memahami masa depan, melainkan lebih dari itu, yaitu untuk memengaruhinya. "Skenario bukanlah perencanaan," kata Budi Soepandji. Masih ada 29 tahun Menuju Indonesia 2045. Jika regularitas pemilu terjaga, tetap lima tahun sekali sebagai pertanda kian matangnya demokrasi, masih akan ada enam pemilu lagi menuju Seabad Republik Indonesia. Menurut catatan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Yudi Latif dalam curah pendapat diskusi di Kompas, menapaki Indonesia 2045 dunia akan dihadapkan pada dua fundamentalisme, yakni fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. "Keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama, globalisme triumphalist yang berlomba menaklukkan setiap jengkal dunia hidup atas dasar hegemoni penunggalan agama dan pasar," tulis Yudi Latif dalam makalah Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme." Dengan menggunakan skenario transformatif, ada empat skenario yang dikembangkan Tim Lemhannas, yakni Skenario Mata Air, Skenario Sungai, Skenario Kepulauan, dan Skenario Air Terjun. "Lemhannas tidak punya preferensi skenario mana yang akan terjadi, tetapi semuanya butuh antisipasi," kata Budi Soepandji. Skenario Mata Air Dalam Skenario Mata Air, pada tahun 2045, Lemhannas memproyeksikan Indonesia akan diisi generasi baru yang punya pandangan berbeda dengan pendahulunya. Penduduk Indonesia mulai didominasi generasi berpendidikan tinggi, menguasai teknologi komunikasi, aktif bermedia sosial, dan terpapar dengan nilai-nilai global. Mereka adalah generasi baru yang berasal dari keluarga biasa yang sudah terpisah jauh dari generasi pendahulu masa kemerdekaan Indonesia. Menurut kelompok ini, mempertahankan kesatuan NKRI harus lebih didasarkan pada prinsip integrasi fungsional dibandingkan integrasi historis. "Generasi inilah yang akan menempati posisi penting di bidang politik, birokrasi, bisnis dan ormas. Ide tentang cara berindonesia yang baik berbeda dengan ide generasi pendahulunya. Ini harus diantisipasi," kata Dr Panutan. Suhardi menambahkan, generasi ini menghargai prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Mereka terbiasa mengkritik kekuasaan secara lugas. Setiap ketidakadilan akan dilawan melalui ormas dan kekuatan politik. Dalam Skenario Mata Air, kebijakan publik masih diwarnai percampuran kepentingan bisnis dan politik yang menyebabkan suhu politik meningkat. Di tingkat daerah, kualitas institusi dan sumber daya manusia yang belum merata menyebabkan tidak saja sering terjadi korupsi, tetapi juga menimbulkan gesekan sosial antara putra daerah dan pendatang sebagai akibat persaingan untuk memperoleh akses sumber daya ekonomi. Ketimpangan antardaerah masih terjadi sehingga aspirasi memisahkan diri kadang masih terdengar. Dalam Skenario Mata Air yang terfokus pada manusia, Indonesia tahun 2045 jadi lebih sejahtera dengan adanya penyebaran pusat pertumbuhan, meskipun dinamika politik di tingkat pusat akibat persinggungan politik kepentingan bisnis, politik, dan birokrasi masih tinggi. Ketimpangan antardaerah terjadi sehingga memunculkan gesekan sosial, termasuk aspirasi pemisahan diri.

Teten Masduki: Beras dan Warung Kopi

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO


Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, yang lahir di Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963, Senin (1/2) lalu tampak sibuk bekerja di kantornya di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Di ruang bekas kantor presiden ke-2 RI (1967-1998) Soeharto itu, Teten dengan penuh semangat menjelaskan kepada rekannya soal peta persoalan beras dan padi di Indonesia, termasuk masalah swasembada dan impor beras.

Teten yang dulu aktif di lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) kini ternyata sangat fasih bicara soal pertanian dan pedesaan secara nasional. "Ini antara lain berkat pengalaman saya mendampingi Presiden Joko Widodo yang punya perhatian pada masalah beras. Ini jadi pengetahuan saya saja," ujarnya.

Rekannya yang ada di situ memberi nasihat agar Teten terus menimba pengetahuannya tentang masalah beras di Indonesia. Menurut rekannya itu, banyak pengusaha besar dan sukses di Indonesia mulai berusaha di bidang perdagangan beras secara kecil-kecilan. "Siapa tahu kelak bila sudah tidak kerja di istana bisa jadi ahli beras atau pedagang beras yang andal," ucap rekannya.

"Waduh, sejak dulu sebenarnya saya punya cita-cita punya warung kopi dan memelihara kambing," kata Teten sambil mengeluarkan gaya tawanya yang khas itu. (OSD)

Sumber: Kompas, 6/2/2016

Nonton Gedung Putih di Layar Washington

Oleh FRANS SARTONO Hari menjelang sore ketika kami tiba di depan Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat. Rekan seperjalanan dari Jakarta sempat ragu, benarkah gedung yang berdiri di depan mata itu White House. Untuk meyakinkan diri, ia sampai harus bertanya kepada ”Mbah Google”, dan memang tidak keliru. Setelah mengetik ”w h i t e h o u s e” di mesin pencari, muncullah gambar Gedung Putih di layar ponsel rekan kami itu. Ia mencocokkan gambar itu, dengan rumah orang nomor satu di Amerika Serikat tersebut. Sesaat kemudian turis dari Jakarta itu tertawa. Ia bukan tidak percaya. Ia hanya heran karena Gedung Putih yang ia lihat dengan mata kepala sendiri itu berbeda dengan apa yang ia bayangkan selama ini. Dalam bayangannya, White House jauh lebih besar. Harap dicatat, selama ini Gedung Putih hanya ia tangkap dari televisi, foto-foto di media massa, dan terutama lewat film seperti White House Down dan Olympus Has Fallen. Ketika melihat sendiri, Gedung Putih serasa tidak semegah dengan gambaran yang tersimpan di benak. Itu salah satu pengalaman peserta acara Nissin Mendadak Eksis. Mereka mengajak pemenang untuk berkunjung ke Amerika Serikat, termasuk Washington DC dan New York. Keheranan lain muncul ketika melihat pengamanan di depan gedung yang tidak ”sangar”. Tampak hanya ada dua mobil polisi yang berada di jalan persis di depan Gedung Putih. Dan, hanya ada seorang polisi yang berdiri mengawasi para pengunjung yang melihat-lihat dari trotoar di seberang jalan depan White House. Pak polisi yang terlihat terus mengunyah permen karet itu akan segera berteriak jika ada orang yang melangkahkan kaki selangkah saja ke badan jalan. Penonton hanya boleh berada di trotoar. Ada puluhan pengunjung yang sore itu berkerumun di trotoar di depan Gedung Putih. Ditilik dari ciri fisik dan bahasa yang digunakan, mereka tampak datang dari berbagai kebangsaan, termasuk Tiongkok, India, selain juga Indonesia. Ada yang ber-selfie-ria, atau berswafoto menurut istilah baku yang katanya sesuai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ada pula pemrotes yang memasang poster perdamaian, anti senjata nuklir. Ada pula pengunjung remaja yang menghitung-hitung jendela. Rupanya mereka telah membawa data terkait Gedung Putih. Dari depan, tampak ”hanya” 21 jendela dari total 147 jendela White House. Gedung yang mulai dibangun tahun 1792 ini mempunyai 412 pintu. Data statistik Gedung Putih memang menarik. Gedung yang pertama kali ditempati Presiden John Adams itu mempunyai 132 ruang, 35 kamar mandi, 28 perapian, 8 tangga berundak, serta 3 elevator. Dan, seperti namanya, White House, tentu bercat putih. Diperlukan 570 galon cat. Itu hanya untuk mewarnai dinding bagian luar saja. Capitol Hill Sebelum ke Gedung Putih, kami terlebih dahulu ke Gedung Capitol atau Capitol Hill, tempat para anggota Kongres yang mulia bekerja. Jaraknya dengan Gedung Putih hanya sekitar 3,5 kilometer. Sempat ”kecewa” ketika melihat kubah atau Capitol Dome-nya sedang direnovasi. Seluruh bagian kubah yang menjadi salah satu ikon Amerika itu dipasang perancah untuk pengerjaan. Di antara perancah itu tampak menyembul Patung Kemerdekaan atau Statue of Freedom yang berada di puncak kubah. Rasa ”kecewa” terobati mendengar komentar pengunjung lain. ”Anda beruntung karena pemandangan Capitol Hill seperti ini belum tentu terjadi dalam 50 tahun....” Benar. Ternyata kubah itu terakhir direnovasi pada 1960. Laman Architect of the Capitol menjelaskan bahwa renovasi harus dilakukan karena kubah itu terbuat dari besi cor. Hujan, salju, dan terpaan sinar matahari menyebabkan kerusakan pada lapisan luar kubah. Air yang merembes atau menetes dari berbagai celah di sekitar puncak kubah mengakibatkan bahan-bahan besi yang digunakan dalam kubah berkarat. Jika tidak dilakukan perbaikan, kebocoran itu akan merusak karya seni yang mengisi interior bangunan bulat itu. Renovasi yang dimulai pada tahun 2013 itu direncanakan akan rampung pada 2017. Monumen Washington Capitol Hill terletak di kawasan yang disebut National Mall. Sebuah taman besar memanjang sekitar 1,6 kilometer. Ada tiga titik penting di sepanjang taman luas itu, yaitu Gedung Capitol, Washington Monument yang berupa tugu, dan Lincoln Memorial yang di dalamnya terletak patung Abraham Lincoln. Ketiganya, plus Gedung Putih merupakan penanda tempat atau landmark yang sangat Amerika. Kawasan ini menjadi sasaran wajib pengunjung ke Washington DC. Tercatat setiap tahun tempat ini didatangi sekitar 24 juta pengunjung. Washington Monument berupa tugu yang terbuat dari marmer dan granit itu bertinggi hampir 170 meter. Lebih tinggi dari Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta, yang bertinggi 132 meter. Tugu selesai dibangun tahun 1877 sebagai penghormatan untuk George Washington, presiden pertama Amerika Serikat. Gedung Lincoln Memorial mengingatkan Kuil Dewa Zeus di Yunani. Monumen ini dibangun sebagai pengingat akan presiden ke-16 AS, Abraham Lincoln. Pejuang demokrasi ini dibuatkan patung setinggi 11 meter karya pematung Perancis, Daniel Chester. Di depan ”kuil” terbentang kolam memanjang atau reflecting pool yang memantulkan panorama obyek di sekitarnya, terutama Tugu Washington. Nun jauh di seberang kolam tampak tegak berdiri tugu Washington. Lanskap antara Lincoln Memorial, kolam, tugu Washington, dan Capitol itu menjadi latar berbagai film, termasuk Forrest Gump. Salah satu adegannya, tokoh Forrest Gump mencemplung ke kolam dengan latar tugu Washington disaksikan ribuan orang yang duduk di tangga Lincoln Memorial. Sumber: Kompas, 7/2/2016

Jelang Gerhana Matahari 9 Maret 2016

Rabu pagi, 9 Maret 2016, Matahari yang tampak di Indonesia tak akan sama seperti biasanya. Matahari tetap akan bersinar seperti hari-hari sebelumnya. Namun, untuk sesaat, sinarnya akan meredup di beberapa tempat hingga suasana yang semula terang benderang akan berubah gelap kembali seperti saat senja. Hari itu, sebagian kecil wilayah Indonesia mengalami gerhana Matahari total dengan lama totalitas gerhana hanya 1,5-3 menit. Inilah gerhana Matahari total pertama yang melintasi wilayah Indonesia pada abad ke-21. Gerhana matahari total bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka Bumi. Lamanya rata-rata perulangan waktu terjadinya gerhana matahari total (GMT) membuat banyak orang berburu gerhana. Perburuan sering kali dilakukan dengan cara yang tidak biasa, mulai dari mendatangi lokasi-lokasi terpencil di berbagai belahan Bumi hingga mengamati gerhana dari ketinggian stratosfer Bumi. Alasan berburu gerhana pun beragam, mulai dari hanya ingin menyaksikan dan merasakan sensasi perubahan suasana saat piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan Bulan, melakukan berbagai penelitian ilmiah atau membuktikan teori baru, hingga melepaskan hasrat berkelana. Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, mengatakan, jumlah GMT yang melintasi Indonesia selama abad ke-21 bisa dihitung hanya dengan sebelah tangan. Oleh karena itu, Moedji menilai, masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa harus pergi berburu gerhana ke pulau lain jika ingin menyaksikan keindahan GMT, minimal sekali sepanjang hidupnya. Gerhana mendatang ini akan melintasi 12 provinsi dan 53 kabupaten/kota, mulai dari Kepulauan Pagai di Sumatera Barat hingga Pulau Halmahera di Maluku Utara. Di Jakarta, gerhana matahari akan terjadi sebesar 88,76 persen. Matahari mulai tertutup bulan pukul 06.19 WIB dan akan berakhir pada 08.31 WIB. Selain Jakarta berikut daftar daerah lain yang akan merasakan gerhana matahari sebagian (Sumber: Detik.com): 1. Padang Gerhana terjadi 95,41 persen Disaksikan mulai pukul 06.21 WIB hingga 08.27 WIB 2.Bandung Gerhana terjadi 88,76 persen Disaksikan mulai pukul 06.19 WIB hingga 08.32 WIB 3. Surabaya Gerhana terjadi 92,96 persen Disaksikan mulai pukul 06.23 WIB hingga 08.40 WIB 4. Pontianak Gerhana terjadi 92,96 persen Disaksikan mulai pukul 06.23 WIB hingga 08.40 WIB 5. Denpasar Gerhana terjadi 76,53 persen Disaksikan mulai pukul 07.22 WITA hingga 09.42 WITA 6. Banjarmasin Gerhana terjadi 98,22 persen Disaksikan mulai pukul 07.23 WITA hingga 09.47 WITA 7. Makassar Gerhana terjadi 88,54 persen Disaksikan mulai pukul 07.25 WITA hingga 09.54 WITA 8. Kupang Gerhana terjadi 65,49 persen Disaksikan mulai pukul 07.28 WITA hingga 09.55 WITA 9. Manado Gerhana terjadi 96,66 persen Disaksikan mulai pukul 07.34 WITA hingga 10.15 WITA 10. Ambon Gerhana terjadi 86,91 persen Disaksikan mulai pukul 08.33 WIT hingga 11.16 WIT ~ o 0 o ~ Referensi: Kompas: Berburu Kesempatan Langka Seumur Hidup Kompas: Kegelapan Sesaat Sepanjang 16.000 Kilometer DetikNews: Menpar Targetkan 100 Ribu Wisman Saksikan Gerhana Matahari Total di Indonesia