Mengenang Ayah Ton



Demikian bunyi ucapan pada secarik kertas berlampir sejuta kenangan dan rasa bangga, memadati rumah Jalan Setiabudi 281 Bandung yang sedang dirundung duka. Sang Maung telah mangkat dengan meninggalkan teladan dan kesederhanaan yang penuh hormat. Almarhum Ayah Ton telah tiada.

Biasanya pagi-pagi Ayah Ton (begitu para cucu HR Dharsono menyebutnya) sudah duduk membaca koran sambil sesekali bercakap-cakap atau menghabiskan waktu membaca buku, mengikuti berita dan mendengarkan musik. Itulah aktivitas-aktivitas menjelang kepergian beliau, yang di bulan-bulan terakhirnya memang lebih banyak diam sejak penyakit saluran pernafasan yang dibawanya dari LP Cipinang semakin akut.

Almarhum Let. Jen (Purn) Hartono Rekso Dharsono lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggal 10 Juni 1925. Beliau adalah anak kesembilan dari 12 bersaudara, putra R. Prajitno Rekso, mantan Wedana Paninggaran pekalongan. Sang Maung memulai karir militernya dari Divisi Siliwangi.

Di saat genting tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, Pak Ton yang waktu itu berpangkat Mayor Jenderal dipercaya menjadi Pangdam VI Siliwangi (1966-1969). Sosok Pak Ton yang kerap tampil dengan baret hijau kebanggaannya mulai melontarkan gagasan-gagasan baru di tingkat nasional yang sasarannya adalah perombakan system politik Orde Lama.

Bandung yang masa itu tampil sebagai kiblat Orde Baru dengan mahasiswa ITBnya yang militan telah turut mempercepat laju perubahan tersebut. Namun langkah pembaruan yang sering diusulkan Pak Ton rupanya terlampau cepat. Keteguhannya dalam mempertahankan pendapat telah menempatkan dirinya seolah berseberangan dengan arus besar pimpinan Orde Baru. Hal ini akhirnya berpengaruh pada karir militernya.
Tahun 1969 sang Maung dialihkan ke dunia diplomatik menjabat Duta Besar RI untuk Muangthai. Bahkan di tahun 1972-1975 Pak Ton memegang dua jabatan penting sekaligus selaku Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Khmer dan Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) yang berperan aktif dalam upaya mengakhiri perang Vietnam.


Ketika Sekretariat ASEAN dibentuk, Pak Ton menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama (1976-1978). Namun lima bulan sebelum jabatannya berakhir, pemerintah RI menarik dukungannya. Ada yang menganggap Pak Ton menyimpang dari tugasnya. Sebab selaku SekJen ASEAN Pak Ton dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, setelah ia mengkritik kebijakan pemerintah dalam pidatonya di upacara peringatan ke-10 Tritura, Februari 1978 di Bandung.
Setelah itu banyak pintu lembaga pemerintahan yang tertutup baginya. Apalagi setelah Pangkopkamtib yang kala itu dijabat Laksamana (Purn) Sudomo mencapnya desiden.

Posisi berseberangan (dengan penguasa) tersebut kian melebar yang pada akhirnya memicu timbulnya pemikiran-pemikiran kritis menyoroti persoalan politik melalui diskusi-diskusi. Salah satunya adalah catatan keprihatinan atas tragedy berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang dikenal sebagai “Lembaran Putih Tanjung Priok.”
8 November 1984 Mantan Sekjen ASEAN ini memasuki babak baru sebagai tahanan politik, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidangnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikurangi menjadi 7 tahun setelah mantan Pangdam Siliwangi ini menyatakan banding. Hukuman 7 tahun itu lalu dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Pak Ton dinyatakan bersalah karena melakukan delik politik dan tindak pidana subversi ketika ia menghadiri rapat-rapat setelah “Peristiwa Tanjung Priok” 1984. Rapat-rapat itu dianggap berkaitan dengan peledakan bom di pusat perdagangan Glodok dan BCA tahun 1984. Sampai akhir sidang, Pak Ton tetap menolak dakwaan karena merasa tidak bersalah. Pak Ton menjalani hukuman di LP Cipinang hanya 5 tahun 10 bulan setelah akhirnya dinyatakan bebas pada hari Minggu 16 September 1990.

PERJALANAN SANG MAUNG

1945 - 1949 Menjadi komandan regu, komandan peleton, kemudian Komandan batalyon 322/Siluman merah yang ditugaskan menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
1950 - 1953 Menjadi Kepala Staf Brigade 23/Siliwangi yang ikut serta merencanakan operasi penumpasan RMS. Kemudian diperbantukan pada Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dan menjadi Asisten II Staf persiapan Akademi Militer Nasional (AMN).
1952 Mendapat tugas belajar di Hogere Krijge School, Denhaag, Belanda.
1954 - 1956 Menjadi Kepala Staf AMN.
1957 Wakil Gubernur AMN.
1958 Gubernur AMN.
1960 Menjadi kepala Staf Kodam III Siliwangi.
1962 - 1964 Menjadi Atase Militer RI di London.
1965 - 1966 Menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat.
1966 - 1969 Dengan pangkat Mayor Jenderal menjadi Pangdam VI Siliwangi.
1969 -1971 Mengakhiri karir di militer dan menjadi Duta Besar RI untuk Muangthai.
1972 - 1975 Menjadi Duta Besar RI untuk Rakyat Khmer dan juga menjabat Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) dalam upaya untuk mengakhiri perang Vietnam.
1976 - 1978 Menjadi Sekjen ASEAN yang pertama.
1978 - 1980 Beralih ke swasta menjadi direktur utama Propelat, lalu mengundurkan diri dan aktif pada Forum Studi & Komunikasi (FOSKO) TNI-AD.


Links:

No comments :