Suatu Hari di Wastukencana

Pada 6 Mei 1994, saya datang ke Bandung untuk menghadiri acara pernikahan Ruth Sahanaya dan Jeffry Waworuntu. Masih teringat jelas bagaimana musik organ di Gereja GPIB Bethel pada waktu itu mengiringi Harvey Malaiholo yang melantunkan lagu-lagu yang amat indah.

Di hari yang sama saya mengunjungi Ibunda di rumah yang berada di Jl. Wastukencana, No. 79, sebuah rumah tua peninggalan Belanda. Ketika itu Ibu duduk di sofa, tampak begitu ceria dan mulai bercerita macam-macam hal mengenai kenangan masa lalunya. Tentang Ayah, tentang masa-masa perang dan pengungsian, dan banyak lagi.

Ayah saya, almarhum Jusuf Panigoro dilahirkan di Gorontalo, pada 5 Mei 1920. Setamat SD di Gorontalo, ia meneruskan sekolah di Manado lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke sekolah pendidikan guru di Bandung. Tepatnya di Jl. Merdeka yang bangunannya bersebelahan dengan SR Banjarsari yang kini menjadi kantor polisi. Sedang di sebelah SR Banjarsari ini adalah sekolah Santa Angela, yaitu tempat Ibu saya di saat yang bersamaan menempuh pendidikan, juga di bidang keguruan.

Setelah lulus, mereka pun mengajar di sekolah-sekolah di Bandung. Ayah saya, seorang guru Kesenian, bersama-sama dengan Pak Kasur mengajar menyanyi ke sekolah-sekolah, yang barangkali bahkan tanpa bayaran. Mereka bermodalkan kertas karton dan tongkat penunjuk serta piano, yang dimainkan oleh Ayah.

Tak banyak teman-teman sekolah Ayah yang masih ada, salah satunya adalah Ny. Kartini Widya Latief, yang sekarang tinggal di Jl. Teuku Umar No. 64 Jakarta Pusat. Ibu Kartini inilah yang kemudian pada masa-masa pengungsian membuatkan surat pengantar, yang dibawa oleh Ayah saya, untuk keluarga Sanusi Galib di Sumedang ketika kami mengungsi ke sana.

Cerita Ibu tentang saat-saat pengungsian itu selalu membuat saya trenyuh. Tentang bagaimana beratnya sepanjang perjalanan di atas pedati, serta bagaimana usaha-usaha para pengungsi waktu itu demi mempertahankan hidup keluarga.

(DSP)

Untungnya Bersepeda

November lalu, Presiden SBY telah melepas 50 orang bersepeda untuk melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Denpasar. Ini sebagai bagian dari kampanye lingkungan hidup menjelang konferensi PBB untuk Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali. Peserta Bicycle for Earth Goes to Bali tersebut adalah anggota dari Komunitas Pekerja Bersepeda Indonesia yang telah beberapa tahun terakhir ini giat mengkampanyekan naik sepeda ke kantor. Logo “Bike to Work” mulai banyak terlihat di mana-mana di jalan raya terutama pada jam-jam berangkat dan pulang kantor. Mengapa bersepeda? Apa sebenarnya keunggulan bersepeda dibanding kendaraan lainnya?

Sedikitnya ada empat keuntungan, yang disebutkan oleh Presiden, jika beraktivitas menggunakan sepeda, yaitu badan menjadi sehat, pengeluaran bisa dihemat, lingkungan bersih, dan ada unsur kegembiraannya.

Konon, bersepeda selama 45 menit setiap hari akan membuat seseorang merasa lebih segar dan merasa lebih sehat. Jika bersepeda 2 jam per hari, akan membuat tubuhnya menjadi kuat dan berat badan pun terjaga. Pembakaran kalori dengan bersepeda oleh para ahli dinyatakan lebih efisien dibanding dengan jalan kaki. Dan jika seseorang bersepeda 6 jam per hari, ia akan merasa seperti Superman. Boleh dicoba.

Bersepeda juga memiliki nilai ekonomis. Tidak ada pengeluaran pajak kendaraan, tidak ada biaya parkir, dan tidak perlu khawatir soal harga BBM. Biaya perawatan sepeda pun lebih murah dibanding motor atau pun mobil. Di samping itu, bersepeda di jalan raya, utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, akan terhitung lebih cepat dibanding berkendara mobil. Sepeda dapat mengabaikan kemacetan dengan terus meluncur di pinggir-pinggir jalan, atau juga untuk menghindari risiko kecelakaan, dapat melalui jalan-jalan alternatif (jalan tikus) untuk sampai lebih cepat di tujuan.

Kalau ingin lebih cepat lagi, utamanya bagi yang mempunyai hobi bersepeda ke pegunungan (mountain bike) atau bagi para atlet sepeda, ada empat jenis gaya bersepeda yang efisien yang dikemukakan oleh Yohannes Surya, Presiden Olimpiade Fisika Asia. Yaitu, gaya angin, gaya hambat udara, gaya gesekan, dan gaya gravitasi. Fred Rompelberg dari Belanda berhasil mengefisienkan usaha dari gaya-gaya ini sehingga ia berhasil memecahkan rekor dunia untuk kecepatan tertinggi pada tahun 1995.

Kemudian, bersepeda juga terbukti berakibat baik bagi lingkungan. Jika seseorang menggunakan sepeda sebagai pengganti mobil sepanjang perjalanan, maka pengurangan zat karbon di udara sebanding dengan menanam 170 pohon. Betapa baiknya untuk kota penuh polusi seperti Jakarta.

Beberapa kota besar di negara lain, baik di negara maju maupun berkembang, telah menyediakan jalur khusus sepeda. Hingga persentase pengendara sepedanya pun dapat mencapai angka cukup besar dibanding pengendara kendaraan lain. Kota Tianjin di Cina misalnya, persentase pengguna sepedanya sangat besar yaitu 77%, sedang kota Shenyang 65%. Berikutnya kota Gronigen di Belanda yang 50% penduduknya berkendara sepeda sehari-hari, demikian pula Dhaka di Bangladesh yang mencapai angka 40% (sumber: Beritaiptek.com).

Sementara di kota-kota negara Jerman, Denmark, Rusia, India, Prancis, Denmark dan Swiss, hingga kota Tokyo di Jepang yang terkenal terpadat dan termahal di dunia itu, seperempat dari jumlah penduduknya adalah pengguna sepeda di jalan raya.

Sedang di Jakarta, pemerintah kota telah berjanji bahwa jika pengguna sepeda mencapai angka satu juta jiwa, barulah akan dibangun jalur khusus sepeda. Jadi, jangan ragu bersepeda!

(Rina Nazrina)

Shalat yang Menyembuhkan

“Kita tidak dituntut untuk bisa khusyu’, meredam marah, atau berakhlak mulia. Kita hanya perlu datang kepada Allah dengan apa adanya, tidak perlu merekayasa dengan ‘gaya teater’ yang penuh kepura-puraan.”

(Abu Sangkan)

Apa yang Anda harapkan ketika Anda shalat? Apakah sekadar pemenuhan kewajiban? Atau mencari pengampunan dan pahala? atau bahkan tidak berharap apa-apa karena itu sudah menjadi kebiasaan Anda lima kali sehari hingga merasa aneh jika tidak melakukannya?

Abu Sangkan dalam bukunya Pelatihan Shalat Khusyu’ (2004) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa shalat adalah cara untuknya beristirahat. Shalat menjadi sebuah kebutuhan dasar, seperti halnya makan dan minum. Hingga shalat semestinya menimbulkan perasaan butuh, senang, lega dan bukannya malah menjadi beban kewajiban yang terasa berat.

Ketika shalat, pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan peristiwa sekitarnya, termasuk keterikatannya terhadap sensasi tubuhnya seperti rasa sedih, gelisah, rasa cemas dan lelah. Di sini terjadi keharmonisan antara pikiran, tubuh, dan jiwa.

Descartes, seorang filsuf abad ke-17 telah menyebutkan teori dualisme antara tubuh dan jiwa (mental). Hingga baru pada era post-modernisme Laurence Foss mengembangkan teori biomedical dalam ilmu kedokteran bahwa adanya hubungan antara tubuh, pikiran dan jiwa pada manusia yang satu sama lain dapat saling mempengaruhi. Ada yang disebut sebagai gejala psikosomatis, yaitu misalnya ketika seorang penderita kanker, terus menerus memikirkan hal-hal yang buruk dan merasa sedih, cemas, dan perasaan negatif lainnya, maka itu akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan hormon hingga tubuhnya akan makin lemah dan penyakit makin parah.

Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan seseorang karena terdapat lima unsur di dalamnya, yaitu:

- Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari

- Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat

- Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat

- Terapi kelompok (group-therapy) dalam shalat jama’ah, atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal ada ‘aku’ dan Allah

- Terapi air (hydro therapy) dalam wudhu atau pun mandi junub

Mungkin kebanyakan dari kita telah lupa tentang bagaimana caranya relax. Apalagi di saat beraktivitas secara padat yang menuntut dan menekan hingga membuat kita lelah. Pada tingkat tertentu dapat memicu stres atau pun depresi. Abu Sangkan juga telah dengan menarik menuntun pembaca bukunya untuk melakukan teknik-teknik dalam shalat yang menyeimbangkan antara jasmani dan rohani, otak kiri dan otak kanan, juga energi positif dan negatif.

Jika seseorang mempunyai kecenderungan untuk menjadi terlalu intelek, ia sebaiknya berpindah ke sisi emosional dan intuitif alamiah dengan menjadi lebih terbuka dan menerima apa yang dikatakan nurani, yaitu ikhlas. Shalat merupakan pelatihan yang tepat untuk menghasilkan manusia yang mampu menjalankan kehidupannya dengan nurani. Kita datang saja kepada Allah, apa adanya, menyerahkan sepenuhnya apa yang kita miliki dengan kesadaran bahwa sebenarnya kita tidaklah memiliki apa-apa.

Barangkali shalat dapat disebut sebagai Yoga-nya umat Islam. Bagi yang sehat, shalat dapat mencegah serangan penyakit, dan menenangkan atau menimbulkan perasaan damai. Sedang bagi yang sedang sakit, shalat dapat menjadi terapi yang menyembuhkan. Asal dilakukan dengan ikhlas, plong, dan dalam kesadaran yang sempurna hingga tubuh, pikiran, dan jiwa kita dapat menyatu dengan harmonis.

(Rina Nazrina)

Catur dalam Sejarah Islam

Di Indonesia, catur termasuk olahraga yang lumayan populer. Di setiap sudut wilayah kita dapat menjumpai orang bermain catur. Entah untuk mengisi waktu, entah untuk mempererat pertemanan. Saat perayaan hari kemerdekaan, catur juga hampir pasti ikut dipertandingkan. Selain persiapannya mudah, biaya murah, bisa diterapkan di lingkungan RT/RW, catur juga bisa dimainkan oleh siapa saja. Bahkan bagi beberapa orang, olahraga otak ini punya gengsi tersendiri.

Gambaran seperti di atas tentu berbeda dengan masa olahraga ini saat pertama dimainkan. Dahulu catur hanya dimainkan oleh para raja di istana. Makanya, kala itu catur sering disebut sebagai the royal game.

Soal negara asal catur, masih ada silang pendapat. Menurut H. J. R. Murray, penulis buku History of Chess (1913), catur berasal dari India dan mulai ada pada abad ke-6. Di sana catur dikenal dengan nama chaturanga, yang artinya empat unsur yang terpisah. Awalnya, buah catur memang hanya empat jenis. Menurut mistisisme India kuno, catur dianggap mewakili alam semesta ini, sehingga sering dihubungkan dengan empat unsur kehidupan, yaitu api, udara, tanah dan air karena dalam permainannya, catur menyimbolkan cara-cara hidup manusia.

Dalam permainannya, catur mengandalkan analisa dan ketajaman otak pemain, disertai keterampilan strategi dalam menentukan langkah, rencana, risiko, dan menentukan kapan harus berkorban agar menang.

Namun, pendapat Murray itu dibantah Muhammad Ismail Sloan, yang banyak mempelajari sejarah catur. Menurut Sloan, jika catur ditemukan di India, seharusnya permainan itu disebut-sebut dalam literatur-literatur Sanskrit. Kenyataannya, tak ada satu pun literatur Sanskrit di India yang menyebutkan soal permainan catur sebelum abad ke-6. Sebaliknya, para pujangga Cina sudah menyebutkan permainan ini salam syair-syair mereka, 800 tahun sebelumnya.

Jadi, menurut Ismail Sloan, di Cinalah catur pertama kali dimainkan. Tapi pada waktu itu bentuk arena caturnya tidak kotak-kotak, melainkan bulat-bulat. Buah caturnya juga hanya terdiri atas empat jenis, yaitu raja, benteng, ksatria (kuda), dan uskup (gajah).

Baru pada abad ke-6, catur dibawa orang Islam dari India dan Persia ke seluruh penjuru dunia. Konon, di zaman kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, catur merupakan permainan yang populer dimainkan. Bahkan mungkin juga oleh Khalifah Ali sendiri. Ada pula yang menyebutkan bahwa panglima perang Nabi Muhammad, Khalid bin Walid juga menggemari catur. Barangkali ini ada hubungannya dengan kelihayannya mengatur strategi perang.

Juga ada seorang sahabat Nabi yaitu Said bin Jubair yang terkenal bisa bermain blindfold (catur buta, bermain tanpa melihat papan catur). Di zaman kekhalifahan Islam berikutnya, seperti Khalifah Harun Al-Rasyid pun diketahui pernah menghadiahkan sebuah papan catur kepada seorang raja di Eropa, pendiri dinasti Carolia, yaitu Charlemagne.

Pada abad ke-8 ketika bangsa Moor menyebarkan Islam ke Spanyol, catur mulai menyebar ke daratan Eropa hingga sampai di jerman, Italia, Belanda, Inggris, Irlandia, dan Rusia. Di Nusantara, olahraga otak ini dibawa oleh bangsa Belanda pada waktu penjajahan dulu. Awalnya, hanya orang Belanda yang bermain catur, tapi menjelang kemerdekaan, mulailah banyak pribumi yang memainkannya.

Dalam sejarah catur bangsa Eropa telah banyak mengembangkan permainan catur ini, antara lain dengan membuat papan caturnya berwarna hitam dan putih. Ini terjadi kira-kira abad-10. Sebelumnya, kotak-kotak itu berwarna sama. Malah sering orang membuat arena permainan catur ini di atas pasir atau di mana saja yang bisa diberi garis. Dari Eropa ini juga dibuat peraturan bahwa pion boleh maju dua kotak pada langkah pertama dan menteri (ratu) boleh bergerak lebih leluasa baik maju ke depan maupun diagonal.

Perlahan catur mengalami perkembangan. Dari nama, bentuk, serta peraturan permainannya. Kesemuanya itu mewakili simbol perubahan peradaban.

(Rina Nazrina)