Suryadi, Pengelana dari Pariaman

Dia percaya pada takdir. Jalan hidupnya yang penuh onak dan duri diyakini bukanlah kebetulan. Ada semacam garis nasib yang membentang antara kampung halaman di pedalaman Pariaman, Sumatera Barat, hingga Leiden, Belanda, tempat ia bermukim sejak 10 tahun terakhir.


Suryadi memang tipikal perantau Minang. Ulet dan tahan banting. Hanya saja, sebagai perantau, ia tak menekuni sektor informal, sebagaimana profesi urang awak perantauan umumnya. Ia memilih jalur keilmuan melalui dunia akademik. Bidang yang ia tekuni pun tak terlalu umum: naskah-naskah lama!

Menjadi penelaah naskah dan buku klasik (bahasa kerennya filolog) memang bukan profesi yang bisa mengantarkannya menjadi selebritas, seperti fenomena para ”komentator” bidang ekonomi, politik, dan hukum di Tanah Air. Dari aspek ekonomi pun, profesi ini jauh dari menjanjikan kehidupan mewah dan berkecukupan.

Namun, di balik dunia yang sepi itu, ketika larut bersama naskah tua yang ia kaji di pojok perpustakaan di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Suryadi mengaku menemukan ”dunia kecil”-nya itu justru luas membentang. Jalan kehidupan dia kian terbuka lebar.


”Ternyata saya tidak sendiri. Ada juga orang lain yang menyukai bidang ini, yang bisa menjadi teman dalam satu network keilmuan,” tuturnya.

Hasil penelitian yang ia publikasikan di sejumlah jurnal internasional banyak mendapat tanggapan. Kajiannya atas surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau, misalnya, dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance Project) yang berpusat di Australian National University, Camberra, Australia.

Berkat penelitiannya atas naskah-naskah lama itu pula ia kerap diundang menjadi pemakalah seminar di mancanegara. Suryadi bahkan dipercaya memimpin satu proyek pernaskahan yang didanai the British Library.

Kajian komprehensif atas Syair Lampung Karam—satu-satunya sumber pribumi tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang diikuti gelombang tsunami dan memorak-porandakan wilayah sekitar Selat Sunda (Kompas, 12 September 2008)—hanya satu dari sekian banyak teks Melayu klasik yang sudah ia teliti.

Syair dalam tulisan Arab-Melayu alias Jawi itu kemudian ia transliterasikan ke teks beraksara Latin, sebelum dibandingkannya dengan pandangan para penulis asing (baca: Eropa).

Menggeluti naskah lama atau buku-buku klasik mengenai Nusantara ternyata memberi keasyikan tersendiri bagi Suryadi. Perpustakaan KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden menjadi rumah kedua, tempat ia ”bersemedi”, intens menekuni ribuan naskah tentang Indonesia yang pada zaman kolonial diangkut ke negeri Belanda.

”Saya seperti menyelam ke masa lalu. Banyak hal menarik dari bangsa kita yang terekam dari naskah-naskah lama. Kadang, sewaktu membaca, saya tertawa sendiri,” ujarnya.



Honor seadanya

Tahun 1998 menjadi semacam titik balik bagi Suryadi. Sejak September 1998 ia menetap di Belanda, negeri tempat naskah-naskah lama tentang Nusantara menumpuk. Ia memulai bekerja sebagai pengajar di Universiteit Leiden untuk penutur asli bahasa Indonesia.


Jalan menuju ke Leiden penuh tikungan. Setelah menunggu tanpa kepastian sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia (UI, 1994-1998), pada pertengahan 1998 lowongan (vacature) mengajar di Universiteit Leiden datang. Peluang itu langsung ia tangkap. Lamarannya diterima.

”Ini sebenarnya soal jalan hidup saja. Soal pilihan,” kata Suryadi terkait kepergiannya dari UI.

Menunggu tanpa kepastian—juga tanpa masa depan yang jelas—seperti dilakoninya semasa menjadi asisten dosen di UI, bukan hal baru. Sebelumnya, saat diajak Lukman Ali (alm)—dan didukung filolog senior Achadiati Ikram—untuk merintis pengembangan studi Bahasa dan Sastra Minangkabau di UI, Suryadi sudah tiga tahun diterima sebagai asisten dosen di almamaternya: Universitas Andalas (Unand) di Padang.

Seperti halnya saat meninggalkan UI, di Unand pun ia menunggu tanpa kepastian kapan diangkat menjadi dosen tetap. Tentang hal ini, ia hanya berkata, ”Konon, kata mereka, karena tak ada posisi. Tapi anehnya, yang belakangan lulus dari saya diangkat jadi dosen. Saya tidak tahu kenapa?”

Begitu pun di UI. Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen tentu sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di UI, ia menerima Rp 70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia mendapat honor Rp 35.000 sebulan.

Untuk biaya kontrak rumah saja tak cukup. Menyiasati keadaan ini, Suryadi mendekati teman-teman sesama asisten dosen. Dengan semangat gotong royong ia bersama empat teman bisa menyewa rumah kontrakan di Gang Fatimah, Depok, Jawa Barat.

Bagaimana untuk hidup sehari-hari? ”Saya terpaksa mencari obyekan. Misalnya, selama beberapa tahun saya membantu Ibu Pudentia di Asosiasi Tradisi Lisan. Barangkali memang tidak ada suratan tangan saya menjadi pegawai negeri,” katanya.



Masa kecil


Hidup di tengah penderitaan bukan hal baru baginya. Terlahir sebagai anak petani kebanyakan di Nagari Sunur, Pariaman, sejak kecil Suryadi hidup hanya dengan ibunya, Syamsiar. Orangtuanya bercerai. Ibunya kawin lagi, tetapi perkawinan itu pun bubar setelah memberi Suryadi satu adik lelaki bernama Mulyadi.

Di tengah kondisi serba pas-pasan, ia menamatkan SD di Sunur (1977). Kesulitan hidup juga menyertainya saat di SMP Negeri 3 Pariaman di Kurai Taji (1981). Begitu pun ketika menyelesaikan pendidikan lanjutannya di SMA Negeri 2 Pariaman (1985).

Akibat kesulitan biaya hidup, setamat SMA Suryadi tak bisa langsung kuliah. Setahun ia menganggur, sebelum masuk Unand di Padang. ”Saya masih ingat, Ibu menjual cincin satu-satunya untuk membayar uang masuk kuliah saya.”

Selama kuliah, ia mondok di rumah saudara ibunya, Emi. Suami Emi, Duski Sirun—yang dipanggil Suryadi dengan sebutan Apak—punya beberapa toko kain di Pasar Raya Padang. Di sinilah Suryadi kerja, membantu Apak-nya sambil kuliah. Tak ada gaji, kecuali imbalan tinggal dan makan gratis di rumah sang Apak, serta dibayarkan uang kuliah.

Begitulah selama lima tahun ia kerja siang-malam, termasuk kuliah. Pagi sekitar pukul 05.00 ia bangun dan segera ke pasar untuk membuka toko. ”Kalau ada kuliah, saya ’lari’ ke kampus, lalu kembali ke toko. Malam hari, di tengah rasa capek, saya ulangi pelajaran. Kadang sampai larut, padahal pagi-pagi saya harus bangun dan ke pasar membuka toko,” ujarnya.

Hidup memang butuh perjuangan. Pengelanaannya hingga bermukim di Leiden, meretas tradisi pengajar tamu bagi penutur asli bahasa Indonesia di Leiden yang maksimal lima tahun, tetap saja membutuhkan perjuangan baru. Ia merasa seperti pengelana (wanderer) yang tak punya rumah tetap, tempat berdiam.


Tak ingin pulang? ”Pasti saya tidak selamanya di Leiden. Suatu saat saya dan keluarga tentu pulang ke Indonesia, atau mungkin pindah rantau ke negara lain. Biasanya seorang wanderer selamanya akan jadi wanderer,” tambahnya.

Itulah Suryadi. Berbeda dengan slogan seorang politisi masa kini bahwa hidup adalah perbuatan, ia masih dibelenggu masa lalu: hidup adalah perjuangan! Entah sampai kapan.... (ken)

Sumber: Kompas, 17 Oktober 2008

Fine Art di STSI Padang Panjang


Di kota Padang Panjang terdapat STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) yang terletak di hamparan tanah yang luas, tidak jauh dari Sate Padang Mak Syukur yang terkenal lezat. Perguruan seni ini cukup banyak diminati pemuda-pemudi dan sekitar 400 siswa-siswi diterima setiap tahun.



STSI Padang Panjang didirikan pertama kali dengan nama Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR). Namanya kemudian diubah menjadi Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang. Menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang pada 15 Juni 1999. STSI ini menyelenggarakan 5 program studi/jurusan, yaitu Seni Karawitan, Tari, Musik, Kriya, dan Teater. Saat ini para dosen dan siswa STSI tengah mengadakan pameran lukisan di The Hills Bukittinggi Hotel & Convention.

Krisis, Sabri Marka

Saya melihat teknik lukisan mereka mengalami kemajuan pesat sejak lima tahun yang lalu ketika kami mengunjungi kampus Padangpanjang. Seorang mahasiswa, Sabri Marka, dengan karya "Krisis", kemampuannya menyerupai karya seniman Melodia dari Jogjakarta. Lukisannya tentang realitas yang ada di kehidupan kita dengan bungkus sunyi-sepi, karena dalam hening dan sunyi banyak yang bisa didengar.

Sedang Sang Dosen, Hanafi Ns, dengan karyanya, "Terbelenggu" menyerupai karya Dede Supria, bergaya realisme baru.

Terbelenggu, Hanafi Ns

Ibu Sri Mulyani Indrawati, di tengah kesibukannya yang padat membuka kantor pajak di Bukittinggi, juga sempat mengunjungi pameran dan tampak terkesan dengan karya anak-anak muda ini.


Suspicious, Rajudin


Biola, Edmon


Parasite, Rajudin

Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

"Di samping segala-galanya, perjuangan untuk Kemerdekaanlah yang harus menjadi pokok pekerjaan semua orang Indonesia di zaman-zaman kesukaran seperti sekarang ini." (Ismail Marzuki, dalam ”Minggu Merdeka”, 1/6/1958)


Ismail Marzuki: Komponis Pejuang

Ucapan itu sendiri keluar dari Bang Mail—panggilan akrab Ismail Marzuki—semasa pemerintahan bala tentara Dai Nippon berada dalam kemegahannya; semasa semua segi kehidupan kita—politik, ekonomi, kebudayaan—harus ditujukan dan dilakukan untuk kepentingan Jepang, dan ”menang perang” (Asia Timur Raya).

Berarti Bang Mail menyadari bahwa tujuan utama bermusiknya, semangat yang menggebu untuk mencipta lagu, sebetulnya untuk mendukung upaya mencapai kemerdekaan. Jadi, tidak mengherankan kalau banyak dari 202 lagu ciptaannya bercorak romantika perjuangan. Bahkan, ketika kemerdekaan yang telah dikumandangkan 17 Agustus 1945 itu terancam oleh kekuatan kolonial yang ingin kembali berkuasa, Ismail terus menggugah semangat bangsanya melalui lagu-lagu perjuangan, seperti Sepasang Mata Bola (1946) dan Melati di Tapal Batas (1947).

Penggolong-golongan karya Ismail dalam tiga periode perjuangan, yakni Hindia-Belanda (1900-1942), Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950), menyiratkan kentalnya konteks karya musik komponis kita ini dengan perjuangan. Dalam hal Ismail, karya pertamanya pun—O Sarinah (1931)—menggunakan judul yang maknanya lebih dari sekadar nama seorang wanita. Sarinah juga lambang bangsa yang tertindas penjajah.


Ismail tentu tidak sendirian dalam musik bergenre perjuangan ini. Lainnya, antara lain R Maladi, yang dikenal sebagai pencipta lagu Rangkaian Melati, dan Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Lagu-lagu tersebut ia ciptakan semasa penjajahan Jepang, 1942-1945. Rangkaian Melati disebut diilhami kisah nyata seorang putri cantik Solo yang punya kekasih tampan. SN Ratmana di harian ini (12/2/1978) menulis, sang kekasih ini ditangkap perwira Dai Nippon, lalu dikirim ke Burma (Myanmar) untuk dijadikan romusa atau heiho.

Syair lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama sendiri juga simbolik, seperti ”Si Miskin pun yang hidup sengsara, semalam itu bersuka”. Maladi mengakui, rakyat hidup miskin semasa penjajahan. Namun, sesekali mereka bisa merasa senang karena kemerdekaan telah membayang, seperti dilukiskan dalam simbol bulan purnama.

Pada lagu Solo di Waktu Malam, Maladi menulis ”Daun berbisik di tepi sungai”, yang menyimbolkan para pemuda pejuang yang bertukar pikiran di kawasan Jurug dan Tirtonadi. Namun, perbincangan para pemuda itu dilakukan dengan berbisik, sementara pada Ombak Samudra terdapat lirik ”Kapan kau pulang ombak samudra. Kembali ke pantai bahagia”. Ini juga ekspresi kerinduan pada sesuatu yang membahagiakan, yang tiada lain adalah kemerdekaan.

Selain simbolisme dan cita-cita, ciptaan Maladi juga mencoba merekam sejarah. Di Sela-sela Rumput Hijau merupakan rekaman pemberontakan Peta di Blitar, Februari 1945, di bawah pimpinan Supriadi. Sementara Ombak Samudra mencatat peristiwa bertolaknya Soekarno dan Hatta ke Saigon untuk menemui Jenderal Terauchi akhir Juli 1945 dan Nyiur Hijau melukiskan fajar Indonesia Merdeka, yaitu ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk awal Agustus 1945.



Memuncaki penggunaan musik untuk menggelorakan semangat perjuangan menuju kemerdekaan tentu saja kiprah WR Supratman, yang sudah menggubah Indonesia Raya tahun 1928. Supratman menuliskan ”lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya, hal yang kemudian dilarang Pemerintah Hindia Belanda. Seperti ditulis Bondan Winarno dalam buku tentang Indonesia Raya (2003), Gubernur Jenderal Jonkheer de Graeff mungkin saat itu beralasan, ”Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi bangsa yang toh tidak ada?”

Indonesia Raya yang susunan liriknya merupakan soneta (sajak 14 baris)—mengingatkan orang kepada Empu Walmiki ketika menulis epik Ramayana—segera setelah dikumandangkan menjadi seloka sakti yang mempersatukan bangsa. Belanda yang lebih suka menyebut bangsa Nusantara sebagai bangsa Jawa, Sunda, atau Sumatera, tahu potensi lagu ini untuk mempersatukan dan melarangnya. Tetapi, semakin dilarang, semakin kuatlah lagu ini menjadi penyemangat dan perekat bangsa.


Nasionalisme melalui musik


Chairil Anwar: "Aku suka pada mereka yang berani hidup"

Dalam perjalanannya, musik Indonesia melahirkan satu genre yang dikenal sebagai seriosa. Sebagian mengangkat puisi penyair termasyhur, seperti Chairil Anwar, sebagai lirik (Cintaku Jauh di Pulau/FX Soetopo). Di Barat, genre ini dikenal sebagai art song atau lied (Jerman).
Dalam genre ini banyak pula terkandung elemen nasional, juga perjuangan. Tetapi, setelah sempat mengalami kejayaan di dekade 1960-an dan 1970-an, seriosa Indonesia meredup.

Kalau semangat perjuangan melalui musik seriosa cukup ditopang vokalis dan pianis, semangat sama bisa pula diangkat ke dalam musik orkestra. Meski di Barat dikenal musik nasional yang hebat seperti Finlandia karya Sibelius dan Moldau (nama sungai besar yang melewati Praha) karya Smetana, pemusik Indonesia yang punya tekad dan kapasitas untuk mentransformasikan semangat tersebut ke dalam musik orkestra adalah mendiang Yazeed Djamin. Setelah menghasilkan musik orkestra untuk lagu seperti Betawi (Ondel-ondel), Yazeed—atas pesanan mantan Presiden BJ Habibie—menggubah Variasi Sepasang Mata Bola pada tahun 1999.


Yazeed Djamin: Sang Guru Musik Klasik Indonesia

Terlepas dari warna diatonik pada karya ini, Variasi Sepasang Mata Bola merupakan upaya untuk menghidup-hidupkan semangat kemerdekaan melalui musik.

Kemerdekaan, sebagaimana musik nasional yang pada masa lalu ikut membantu kelahirannya, kini sama-sama berhadapan dengan arus global yang kuat. Namun, dalam tekanan itu pula, melalui musik nasional selalu menyusup kenangan kebangkitan bangsa.

Dalam kaitan ini pula kita terus merindukan pemusik ulung Indonesia, yang menjawab tantangan untuk melahirkan musik nasional sehingga kita bisa punya sosok, seperti Vaugh Williams yang unmistakably Inggris dan Aaron Copland yang tak salah lagi Amerika.


Giuseppe Verdi: "Tiada hal yang bisa membungkam suara bangsa"

Komposer besar Italia, G Verdi, meyakini, ”Tiada hal yang bisa membungkam suara bangsa”. Kini pun, ketika masih banyak suara hati bangsa yang harus dikumandangkan ketika lidah masih belum sepenuhnya terampil mengatakannya, musik adalah kanalnya, sebagaimana telah diperlihatkan Ismail Marzuki, Maladi, dan WR Supratman pada masa prakemerdekaan.


Sumber: Kompas, 15 September 2008

A Meeting of minds and words: the 2008 Ubud Writers & Readers Festival

It was truly a meeting of minds and words…. It is festivals like these that continue to remind us that the work we do is crucial and integral to defining and redefining the world around us. Bernice Chauly, poet Malaysia.

The 2008 Ubud Writers & Readers Festival drew a close on Tuesday 21 October, with an elegant evening by the sea at the Sofitel Seminyak, featuring John Berendt, author of the bestselling Midnight in the Garden of Good and Evil.


With John Berendt & Janet De Neefe
This entertaining in-conversation event concluded what had been an unforgettable few days of literature and ideas not only from Indonesia and South East Asia but around the world.

This year’s program was the largest ever, with over 150 events featuring 21 Indonesian authors and 60 international guests from countries as far a field as Jordan, Ireland, Egypt, Hungary, Kenya, India, the Philippines, New Zealand and Canada.

Audiences responded enthusiastically and the festival recorded a 30 % increase in attendances, with special events and workshops selling out.


With Vikram Seth
Highlights of the program included interviews with the inimitable Vikram Seth, who had won the WH Smith Literary Award and the Commonwealth Writers Prize for his epic of Indian life, A suitable Boy (1993).

Also presents Indonesia literary star Andrea Hirata, Chinese authors Lijia Zhang and Geling Yan, winner of the Arabic Booker Prize Bahaa Taher, The recipient of the Alternative Nobel Prize Helena Norberg-Hodge, former East Timorese resistance leader Naldo Rei and the effusive Mexican novelist Alberto Ruy-Sanchez. Night-time entertainment was as ebullient as ever, with many new and dynamic events featured in the program. A trio of outrageous Australian performance poets Tug Dumbly, Benito di Fonzo and Edwina Blush stole the show on many occasions.


With Bahaa Taher, an Eqyptian novelist
With Helena Norberg-Hodge, Gouri Mirpuri & Kristina Holdaway
Helena Norberg-Hodge is a pioneer of the worldwide localization movement and a leading analyst of the impact of the global economy on culture and agriculture.

This year’s theme Tri Hita Karana was explored in a number of sessions addressing issues of spirituality, humanity and the environment. Panel debates and discussions on Pluralism & Religious Tolerance in Indonesia; Conservation Challenges in 21st Century Indonesia; Writing About Africa; Inside the Sex Trade; and Killing People for Killing People; Writing the Death Sentences, drew record crowds to the festival’s three main venues: Indus Restaurant, HSBC Lounge and the Neka Art Museum.
With Desi Anwar & Ayu Utami
Ayu Utami’s first novel, Saman, was awarded the Prince Claus Prize in the year 2000.

Next year’s festival will be held mid-October 2009. Dates will be released shortly, along with the festival’s 2009 theme, on the UWRF website: www.ubudwriterfestival.com


Source: UWRF Newsletter November 2008

Links:

Suka Duka di Ubud Writers & Readers Festival 2009

Quien Ama La Musica Ama La Vida

"Mencintai musik berarti mencintai kehidupan"
- Pujangga Spanyol, Miguel de Cervantes


Terbangunnya masyarakat Indonesia yang mencintai kehidupan yang berbudaya merupakan tujuan yang ingin kami capai melalui pengembangan musik klasik di Nusantara.

Berbagai konser telah kami selenggarakan di berbagai tempat di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Jogja, Bali, Surabaya, Magelang, dan Medan. Selain itu kami juga memprakarsai kompetisi musik melalui Yazeed Djamin Award (2007) dan Ananda Sukarlan Award (2008). Kompetisi ini bertujuan menumbuhkan hasrat untuk meningkatkan kinerja musikalnya hingga mencapai tahap diakui dunia.

Sebagai musikus Indonesia yang menyandang reputasi Internasional, Ananda Sukarlan melalui Ananda Sukarland Award berhasil 'menyemai' bakat-bakat unggul di antaranya Inge Buniardi, menempuh pendidikan di Sweelinck Conservatory, Amsterdam, Belanda; Edith Widayani, menempuh pendidikan di Music–Piano Performance di TCU, Amerika Serikat; Stephanie Onggowinoto, siswi SMA swasta di Jakarta; Randy Ryan, siswa SMP Permai Jakarta; Handy Suroyo, siswa SMAK Kolese Santo Yusuf, Malang; Victoria Audrey Sarasvathi, menempuh jalur home schooling, demi fokus pada minatnya di bidang musik; Marcella Yuwono Halim, pelajar dari Surabaya; Sofi Natalia, pelajar dari Medan; Victor Nathanael, pelajar dari Surabaya; dan Fariz Elka Prawira, mahasiswa Universitas Pelita Harapan.

"Sukarlan is recognised as one of the world's leading pianists and has been at the forefront of championing new piano music."
- Sydney Morning Herald

Guna melanjutkan langkah kegiatan kami di masa depan maka pada tanggal 4 Januari 2009 kami akan menyelenggarakan Java New Year's Concert di Grand Theater, Taman Ismail Marzuki di Jakarta dengan menghadirkan Ananda Sukarlan sebagai pemusik utama. Sebelumnya, tepat pada tanggal 1 Januari 2009 konser ini dilaksanakan di Taman Budaya, Yogyakarta.

Pada penyelenggaraan Java New Year's Concert 2009 kami akan mengadakan program beasiswa diperuntukkan bagi pelajar-pelajar musik berbakat yang membutuhkannya. Program ini terinspirasi dari pengalaman Ananda Sukarlan yang kini telah menjadi maestro pianis dunia yang pada usia belianya juga mendapat bantuan moral dan material antara lain dari Almarhum Prof. Dr. Fuad Hasan. Dengan dukungan tersebut Ananda Sukarlan menimba pendidikan musiknya di Belanda dan Spanyol dan kemudian meniti karirnya di Spanyol dan daratan Eropa, sehingga menjadikan ia seorang maestro muda dunia. Semangat ini yang ingin ditularkan dan diteruskan kepada generasi muda penerus untuk menghasilkan Ananda Sukarlan-Ananda Sukarlan yang lain.

"One of the hottest - and youngest - conducting properties around"
- New York Times

Pengalaman lain telah dijalani oleh Gustavo Dudamel, seorang konduktor dan music director Los Angeles Philharmonic Orchestra. Lahir di Barquisimeto, Venezuela pada 26 Januari 1981, seorang anak jalanan yang kemudian mengikuti program pendidikan musik dari El Sistema. Program ini menyediakan kursus musik gratis bagi anak-anak dari kalangan marjinal dan membagikan instrumen ke tangan anak-anak di Venezuela tiap tahun.

Dudamel telah menjadi konduktor pada usia 12 tahun, dan lima tahun kemudian ia memimpin Simon Bolivar Youth Orchestra, kelompok orkestra terbaik pada program ini. Di usia 22 tahun ia memenangkan Gustav Mahler Conducting Prize di Jerman dan Newsweek Magazine menyebutnya sebagai "one of the most charismatic conductors of his generation." Kisah sukses inilah yang ingin kita tularkan kepada ratusan pemuda-pemudi Indonesia yang berbakat.

Kegiatan ini tentu tidak akan terlaksana tanpa didukung oleh perusahaan-perusahaan yang terdorong untuk mendukung perkembangan musik klasik Indonesia dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah penggalangan dana pribadi untuk menampung partisipasi pencinta dan pelaku musik klasik. Bagi Bapak/Ibu yang berminat untuk berpartisipasi dapat menghubungi:

  • Chendra Panatan: ycep@yahoo.com
  • Putu Swasti: putuswasti2002@yahoo.com
  • Evi Widya Putri: wid_dee@yahoo.com

Besar harapan kami Bapak/Ibu dapat memenuhi harapan para musisi-musisi muda untuk melanjutkan pendidikan musik di mancanegara demi turut membangun masyarakat yang mencintai kehidupan berbudaya sebagai langkah membangun bangsa yang berbudaya.

Ketahanan Energi Perlu

Bandung, Kompas, 1 November 2008

Tarikan kebutuhan antara energi terbarukan dan pangan akan terus meningkat pada masa depan. Untuk itu, gerakan bersama mewujudkan ketahanan energi dan pangan nasional harus segera dirintis guna menghindari krisis lanjutan yang mengancam Indonesia ke depan.

Salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi sekaligus pangan ini adalah dengan mengaplikasikan konsep Kawasan Terintegrasi Pangan dan Energi Terbarukan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua selatan.

Demikian disampaikan pendiri Grup Medco, Arifin Panigoro, dalam kuliah umum bertema ”Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan”, Jumat (31/10) di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.


(Arifin Panigoro memberikan materi kuliah umum bertema "Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan" di Aula Barat ITB, Jawa Barat, Jum'at (31/10). Ia berbicara soal perlunya upaya pemanfaatan lahan kritis, baik untuk tanaman energi terbarukan maupun tanaman pangan.)


Orasi dipandu Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Rosiana Silalahi dan dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, pemimpin sejumlah media cetak dan elektronik, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi.

Menurut Arifin, tingginya ketergantungan bangsa ini terhadap energi fosil telah mengantarkan Indonesia pada keterpurukan. Laju konsumsi energi fosil tak bisa dikendalikan, angka penjualan kendaraan terus meningkat pesat setiap tahun, sementara cadangan dan produksi minyak terus turun. ”Dollar yang paling banyak digunakan untuk BBM ini tak kurang dari 1 miliar dollar AS per bulan. Ini sangat berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah,” katanya.

Indonesia, kata Arifin, harus segera bangkit dan mengantisipasi kebutuhan pangan maupun energi terbarukan secara terintegrasi. Memiliki baik etanol, biofuel, biodiesel, tetapi di sini lain juga tidak mengabaikan kebutuhan pangan. ”Tarik-tarikan di antara dua hal ini (kebutuhan pangan dan energi terbarukan) dari tanaman ke depan bakal semakin serius,” ujarnya seraya mencontohkan kasus melonjaknya harga jagung akibat konversi 30 juta ton komoditas itu menjadi etanol di Amerika Serikat.

Dia mengatakan, keberhasilan Brasil menghilangkan ketergantungan pada energi fosil patut ditiru Indonesia. Di negara itu diterapkan lahan terintegrasi 3,6 juta hektar penghasil gula dan etanol berbasis tebu.

Papua Selatan cocok

Di Indonesia, wilayah yang paling cocok mengadopsi sistem lahan terintegrasi ini adalah Papua Selatan dengan lahan yang tersedia seluas 12 juta hektar. ”Kebutuhan 350.000 barrel BBM (konsumsi nasional) bisa disubstitusi dari Papua saja. Estimasi produksinya 21,6 juta ton dan penghasilan 16 miliar dollar AS.”


Dalam skala mikro, di lahan seluas 20 hektar, Medco tengah mengembangkan riset areal terintegrasi ini di wilayah Merauke, Papua selatan. Ia optimistis, ke depan lahan ini bisa dijadikan model pengembangan dalam skala yang lebih besar. Hanya saja, persoalan yang tersisa adalah mengenai infrastruktur jalan, transportasi, dan irigasi.

Menurut alumnus Teknik Elektro ITB ini, riset ini bersifat nonprofit dan bisa dimanfaatkan banyak pihak.

Sementara dalam acara halalbihalal di Hotel Grand Preanger, Bandung, Arifin menyatakan belum siap untuk maju sebagai calon presiden. Acara dihadiri, antara lain, mantan Gubernur Jabar Solihin GP, mantan anggota DPR Tjetje Padmadinata, dan mantan Ketua KPU Jabar Setia Permana. (JON/REK/JAN)

Selamat, Barry!

Ketika memasuki dekade 1970, Jakarta memasuki era kultural baru ”the post baby boomers”. Generasi baru era ini terdiri dari murid-murid 3 sampai 6 SD serta kelas 1 sampai 3 SMP. Kami masih remaja karena baru berusia 10-17 tahun. Kami secara samar-samar mendengar ingar-bingar Perang Vietnam, mulai tak menyukai The Beatles atau Bob Dylan, berani mencoba ganja, dan apolitis.

Dalam berbagai literatur, budaya pop tahun 1970-an disebut dengan the me decade karena semuanya ”serba saya”. Jika generasi the baby boomers memuja gaya hidup komunalisme ala hippy, kami the post baby boomers lebih nekat dan lebih egois.


(Gambar hitam putih tahun 1970-an yang disiarkan kubu kampanye Barack Obama memperlihatkan Barack Obama berusia 9 tahun (paling kanan), ibunya, Ann Dunham (tengah), dan ayah tirinya yang asal Indonesia, Lolo Soetoro, serta saudari tirinya, Maya Soetoro, yang berusia kurang dari 1 tahun di tempat tinggal mereka di Jakarta. Obama saat di Indonesia sering dipanggil Barry oleh teman-temannya.)

Barrack Hussein Obama atau Barry bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Saya ”mengenal” dia dua tahun lalu lewat perjumpaan kebetulan. Akhir 2006 Ufuk Press menghubungi saya menulis Kata Pengantar buku kedua Barry, The Audacity of Hope (2006).

Di buku ini dan juga buku Dreams from My Father (1996) Barry banyak menyinggung periode dia tinggal di Jakarta tahun 1968-1971. ”Ia termasuk anak hiperaktif. Kami tak berhenti bermain kelereng, tak gebok, tak lari, dan gambaran,” kata Rully Dasaad, sohib Barry di SD Besuki. ”Waktu tiga bulan pertama Barry anak alim. Tetapi, setelah itu nakal. Tingkat kebandelan kami masih wajar,” ujar Rully, yang kini fotografer profesional.

”Saya ingat kalau bermain detektif ala film serial I Spy Barry memilih peranan aktor kulit hitam di film itu, Bill Cosby. Padahal, Barry itu tak terlalu hitam karena ibunya bulé,” kenang Rully. Berbicara tentang ibunya, suatu kali Ann Dunham datang ke SD Besuki untuk memprotes guru siapa yang usil melempar kepala anaknya dengan batu sampai bocor.

Apa bakat Barry yang menonjol? ”Ia senang menggambar. Saya suka bawa komik-komik impor ke kelas, Barry suka meniru gambar Superman, Batman, atau Spiderman. Kami sering bertukar koleksi komik, ia suka membaca komik yang waktu itu terkenal, Wiro Si Anak Rimba. Tetapi, jangan suruh Barry bernyanyi. Pernah dia disuruh guru nyanyi lagu untuk mengenang pahlawan, Syukur. Wah, lucu banget,” kenang Rully lagi.

Ketika terbit, Hope bertengger selama sembilan pekan di Daftar Buku Terlaris. Bangsa Amerika Serikat tak pernah bosan didongengi kisah ”Obambi” ini. Film Bambi bercerita tentang seekor anak rusa lugu yang berkenalan dengan kejamnya rimba belantara. Barry calon presiden terfavorit Demokrat meskipun dianggap ”mentah” alias kurang berpengalaman.

Ibu Barry asal Kansas, ayahnya orang Kenya. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa pengacara top lulusan Harvard. Setiap orang terkesiap mendengar ia menyebut namanya ”Barry Hussein Obama” (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden) sambil mengulurkan tangan saat kampanye jadi anggota Senat di Springfield, Illinois.


Hope ibarat skripsi berpredikat summa cum laude yang meluluskan Barry sebagai pemimpin masa depan. Ia terpilih sebagai Senator Negara Bagian Illinois setelah meniti karier dari bawah. Ia bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, tetapi dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.

”Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika—yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain kecuali memercayai visi Amerika. Sebagai anak lelaki hitam dan perempuan putih, sebagai orang yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keponakan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher..., saya tak bisa setia pada sebuah ras saja.”

Di Hope, Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek politik dan ekonomi AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.

Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam peliharaan, dan di dekat jendela banyak jemuran bergelantungan. ”Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk sekolah biasa dan bermain dengan anak-anak jongos, tukang jahit, atau pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini tak sama lagi. ”Indonesia terasa jauh dibandingkan dengan 30-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,” tulisnya.

Di buku Dreams of My Father, ia banyak bercerita tentang ayah kandungnya, jebolan University of Hawaii (UH) yang jadi anggota Phi Beta Kappa—komunitas akademisi elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ia diterima di Harvard dan pulang meninggalkan Barry kecil untuk mengabdi negaranya. Ayahnya dari suku Luo yang lahir di Alego yang menikahi ibu Barry tahun 1959 di Honolulu saat miscegenation (pernikahan antarras) dilarang di banyak negara bagian Amerika Serikat.

Ia penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar ekonometri dengan menggaet terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan jadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa. Ia senator kulit hitam yang ketiga dalam sejarah Amerika Serikat.

Dreams bercerita tentang perjalanan hidup dia yang biasa saja. Ia dari kecil hidup dengan ayah tiri, waktu remaja ditinggal ibu, dan sampai dewasa diasuh kakek-nenek. Ia pernah tinggal di Honolulu, Jakarta, New York City, Boston, Chicago, Springfield, kini Washington DC. Tanpa malu ia mengaku pernah dijerat ganja dan alkohol serta menjadi perokok berat selama bertahun-tahun.

Ia memiliki keyakinan pada organisasi politik yang dikelola atas basis komunitas tempat tinggal. Dreams menyajikan perjuangan Obama mengorganisasi ”mikropolitik” yang mudah diberdayakan ke skala lebih besar, mulai dari tingkat kota, regional, sampai nasional. Ia memulai awal karier politik di Chicago tahun 1983. Ia tinggalkan gaji besar di pasar saham Wall Street, New York, untuk menjadi community organizer alias politisi. ”Perubahan bukan slogan kosong yang datang dari atas, tetapi dari pengalaman berpolitik di akar rumput,” kata Barry.

Ia organisator komunitas di Calumet, Chicago selatan, yang dihuni kalangan bawah dari warna kulit yang berwarna-warni. Dana bagi politisi ”bau kencur” macam Obama datang dari kalangan kaya, kota praja, pebisnis, atau para donor di luar negeri. Gajinya pas-pasan, jadwal hariannya bagai ”diuber setan”, dan akhir pekan dia habiskan untuk belajar lagi.

Ia datangi rumah warga satu per satu mendata masalah mereka, mulai dari selokan mampat, leding air tak menetes, sampai bagaimana caranya mengusir para muncikari. Tak jarang ia ditolak, diusir, bahkan dimaki. Di Altgeld Gardens, Chicago selatan, Barry mencari lowongan bagi penganggur menyusul penutupan sejumlah small and medium enterprises (SME) atau pabrik-pabrik yang produk-produknya kalah bersaing dengan kualitas barang-barang serupa dari luar negeri.

Barry memaksa kota praja membongkar asbestos di apartemen karena bahan bangunan itu menjadi sumber penyakit kanker hati. Ia tak segan mengerahkan pendemo atau memanfaatkan pers untuk membongkar konspirasi pebisnis dengan politisi. Secara perlahan tetapi pasti, warga mendengar rekor Barry yang akhirnya memimpin CCRC. Ia sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan, dan membuat sistem keamanan mandiri.

Barry politisi yang merangkak dari bawah, yang telah membuktikan politik pengabdian tak kenal lelah, yang jika diseriusi pasti membuahkan hasil. Ia matang berkat ”politik eceran” (retail politics) yang rajin ditekuninya dengan menggeluti topik hubungan luar negeri, UU kode etik politisi, kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, masalah veteran, kesehatan, pendidikan, buruh, pensiunan, sampai pembasmian flu burung.

Hari-hari ini Barry bertemu ribuan orang tiap hari, sudah berdebat 20 kali di stasiun-stasiun televisi nasional melawan capres-capres Partai Demokrat, dan sedikitnya melakukan lima putaran reli per hari selama berbulan-bulan sejak akhir 2006. Barry adalah presiden pertama dari generasi the post baby boomers yang berslogan, ”Change, We Can Believe In”.

(Budiarto Shambazy)

Sumber: Kompas, 6 November 2008


Links:


Kembali ke Paris

Di tepi Sungai Seine

Sebelum dan sesudah ke Spanyol Selatan, kami transit di Paris. Kami mengunjungi salah satu pusat pariwisata yang populer di Paris yaitu Montmartre. Butte (bukit) Montmartre merupakan titik tertinggi Paris dengan ketinggian 130 m dari permukaan laut.


Asal kata Montmartre sendiri diambil dari ‘Mont de Mercure’. Namun di abad ke-13 diubah menjadi ‘Mont des Martyrs’ di mana Santo Denis, pastor pertama Paris terbunuh di sini saat mempertahankan keyakinannya pada abad ke-3.

Pada 1790, kawasan ini terbagi menjadi dua, kaki bukit dan puncak bukit. Bila kaki bukitnya termasuk dalam kota Paris, bagian puncak menjadi Montmartre Village.

Montmartre

Salah satu landmark kota Paris selain Menara Eiffel adalah sebuah gereja tua, Basilica of the Sacre Coeur (Gereja Hati Kudus). Gereja yang terbuat dari batu putih Chateau-Landon ini dibangun pada 1876 - 1912.

Basilica of the Sacre Coeur

Montmartre penuh dengan restoran, souvenir dan para pelukis yang melukis di tempat dengan pengunjung sebagai objeknya. Tempat ini memang kerap disebut 'desa seniman' karena pernah menjadi tempat bermukim para seniman dunia, seperti Van Gogh, Picasso, Henri Matisse, dan Monet. Pertunjukan kabaret seperti Moulin Rouge dan Le Chat Noir juga secara reguler diadakan di desa ini.


Wisata Kuliner Paris



Leon de Bruxelles

Kami sempat mencoba restoran terkenal Leon de Bruxelles, beralamat di 95 Bd Gouvion Saint Cyr 75017 Paris. Ph. 01 55 37 95 30. Restoran yang terletak di Champs Elysees, jantung kota Paris ini mengkhususkan makanan kerang hijau dari Belgia.


Yasmina & Mala, Chez Andre

Untuk makan malam, kami menjajal Chez Andre, sebuah restoran a la bistro Prancis. Alamatnya di 12, rue Marbeuf - 75008 Paris. Ph. 01 47 20 59 57.

Polidor

Kami juga tertarik untuk mencoba Cremerie-Restaurant Polidor, sebuah restoran Prancis tua. Restoran ini berlokasi di 41, rue Monsieur-le-Prince di daerah Odeon, dekat dengan Jardin du Luxembourg. Di sini yang khas adalah cream dessert yang dihidangkan layaknya seabad silam. Konon ini tempat favorit dari tokoh-tokoh seperti Ernest Hemingway, James Joyce, Andre Gide dan Luc Etienne.


Mala menangis mengantar Ucha pulang ke Jakarta


Artikel terkait: Paris