Learning Farm di Maleber

Langit Jakarta masih gelap sewaktu kami meninggalkan rumah dan beranjak menuju daerah Ceger, Cipayung. Di sana, telah menunggu Agus Tjiptomo, sahabat saya sejak zaman kuliah, yang kini tengah menekuni bidang pertanian dan peternakan. Hari ini kami hendak menuju ke Cianjur untuk meninjau Perkebunan Teh Maleber.

Perkebunan Teh Maleber

Di lahan perkebunan seluas 50 hektar tersebut Medco Foundation telah menanam 5000 pohon untuk mendukung program penghijauan Indonesia.

Setelah menempuh dua jam perjalanan, sampailah kami di kawasan Cipanas. Kami sempat mampir sebentar untuk minum kopi di Restoran Puncak Pas. Kami memilih duduk di dekat perapian karena udara cukup dingin pagi ini. Sayangnya, tungku perapian itu harus ditiup berulang-ulang dengan suluh bambu agar apinya tetap menyala.

Karang Widya: The Learning Farm

Di kawasan Perkebunan Teh Maleber ini juga berdiri Karang Widya, sebuah sekolah pertanian yang memberdayakan anak-anak muda yang semula hidup di jalanan dan para pemuda pengangguran yang putus sekolah. Mereka dididik untuk belajar hidup melalui pendidikan pertanian organik yang berlangsung selama enam bulan. Karang Widya dalam bahasa Sansekerta berati kebun belajar.

Tanaman sayuran diselingi tanaman bunga

Di sini para pemuda itu tidak hanya belajar teknik-teknik dalam pertanian organik, tetapi juga dilatih untuk hidup disiplin. Bangun pukul enam pagi, membersihkan rumah, bekerja di ladang dari pagi hingga tengah hari, mempelajari teori pertanian, komputer dan berorganisasi.

Bersama pemuda Karang Widya

Di dalam green house

Alumni dari Karang Widya ini ada yang kemudian berhasil mengelola pertanian sendiri, ada pula yang terpacu untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, dan ada pula yang termotivasi untuk mengembangkan diri di bidang lain.

Tjiptomo, Jiway Tung, Rela, Dedi Panigoro

Project manager learning farm ini adalah Jiway Tung, seorang pemuda Taiwan yang lahir dan besar di Amerika Serikat kemudian terpikat dengan mojang Bogor, Rela. Maka sejak menikah, ia pun menetap di Indonesia. Menurut Jiway, memang sasaran dari learning farm ini bukanlah mencetak petani-petani terlatih, namun lebih kepada pengembangan diri mereka. Para koordinator memotivasi mereka dan membuat suasana belajar menyenangkan dengan menyanyikan lagu-lagu agar semangat.


"Organik, Yes! Racun, No!"

Ketika kami akan meninjau perkebunan, kami pun disambut dengan lagu-lagu bertema pertanian organik serta Mars Perjuangan. Di sana sempat pula saya sampaikan kepada para pemuda itu bahwa kunci kesuksesan itu ada tiga: jujur, kerja keras, dan bersikap ramah kepada orang lain.

Mengobrol dengan suguhan teh mint

Kami pun berkeinginan untuk juga mengadakan pembelajaran peternakan di Karang Widya ini. Sepanjang perjalanan tadi kami banyak membahas soal pentingnya pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Amat menyedihkan bahwa setiap tahun satu juta sapi berkurang di negara ini. Tjiptomo sendiri telah mulai mengembangkan sektor ini sejak tahun lalu di peternakannya di Majalengka. Dari 50 sapi yang ia pelihara pada awalnya, kini telah meningkat jumlahnya menjadi 400, baik sapi perah maupun potong. Menurut Tjiptomo, memelihara sapi amat membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Dari mulai kebersihan, kesehatan, reproduksi, pakan serta nutrisi harus diperhatikan.

Tak terasa dua jam sudah kami berkeliling, hingga tepat pukul sepuluh kami bertolak kembali ke Jakarta dan membawa oleh-oleh sayuran organik.

Zaman Batu

Zaman batu tidak berakhir karena kehabisan batu, tetapi zaman minyak berakhir jauh sebelum bumi ini kehabisan cadangan minyak.
James Canton
(The Extreme Future, CEO & Chairman Institute for Global Futures)

Merekam Petruk, Gareng, Bagong

Komponis Ananda Sukarlan merekam karya-karya Amir dalam cakram digital. Sebuah rekaman cakram pertama seumur hidup Amir.

SUATU Ahad di pengujung 2006. Pianis Ananda Sukarlan, 41 tahun, dirundung bingung di Kota Medan. Bersama koreografer Chendra E. Panatan, ia agak tersesat saat mencari rumah Amir Pasaribu di kawasan Karya Wijaya. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka tiba di alamat tujuan.

Diketuk berkali-kali, rumah tampak kosong. ”Tuh, mungkin sedang ke gereja,” kata Chendra. Ananda pun menyerah. Namun, ketika mereka berbalik, tiba-tiba pintu terbuka dan muncul Amir di kursi roda mengenakan kaus oblong dan sarung.

Ananda menyapa dengan suara agak keras karena Amir sudah mulai kehilangan pendengaran. Ananda memperkenalkan diri sebagai pianis yang kini menetap di Spanyol. Wajah Amir, yang tadinya kelihatan galak, berubah jadi cerah. Ia langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman. ”Ik ken jouw naam (Saya tahu nama Anda)!”

Pertemuan itu terjadi berkat jasa Nurman, putra Amir yang kini menetap di Negeri Kincir Angin. Nurman tahu Ananda kerap memainkan karya Amir di pentas internasional. Nurman kemudian mengirim surat elektronik mengabarkan keberadaan Amir di Medan. Ananda sendiri sempat mengira Amir telah tiada.


CD Ananda yang berisi karya-karya Amir Pasaribu (direkam di Spanyol)

Ananda juga hendak meminta izin Amir untuk merekam karya-karyanya ke dalam cakram digital. ”Beliau tidak mengira bahwa ada orang yang ’peduli’ dengan musiknya, sampai bikin rekaman CD yang terlaksana sebelum dia menutup usianya,” kata Ananda. Maka, pada 4 dan 5 Februari 2007, bertempat di Hall of Conservatorio de Amaniel, Madrid, Spanyol, Ananda merekam 14 komposisi Amir.

Karya monumental Amir seperti Tjapung Ketjimpung di Tjikapundung, Variasi Sriwidjaja, Si Bongkok, Petruk, Gareng, Bagong, Puisi Bagor, The Juggler’s Meeting, Ole-ole Melojo-lojo, Tante-tante Mau Ngebut, Ball Dance of River Fish Princess, Kesan, dan Bangkok’s Bamboo Flute meluncur dalam CD tersebut. Cakram digital hasil rekaman tersebut diberi tajuk Ananda Sukarlan: Piano Works of Amir Pasaribu. Demi mendengar rekaman itu, Amir pun bercucuran air mata.

Ananda memutuskan merekam partitur Amir yang sudah komplet. ”Banyak partitur Amir yang hilang karena dia sering pindahan maupun karena lain hal,” ujar Ananda. Menemukan komposisi Amir bukanlah hal yang mudah. Ananda memperoleh karya-karya Amir melalui pianis senior Latifah Kodijat. Partitur tersebut merupakan warisan almarhumah Charlotte Sutisno, pianis yang kerap memainkan karya Amir pada 1960-an.

Charlotte juga meninggalkan warisan berharga berupa rekaman permainan pianonya saat mementaskan karya Amir di Radio Republik Indonesia. ”Arsip yang bunyinya sudah kresek-kresek ini sangat berguna dalam mempelajari gaya musik Amir dan hal-hal lain yang tidak bisa tertulis dalam partitur,” Ananda menjelaskan. Arsip rekaman itu kini disimpan Nurman di Belanda. Gonny Pasaribu, putri Nurman, juga mengumpulkan partitur-partitur kakeknya yang pernah dimuat di majalah Zenith sampai Pujangga Baru. Ia datang ke Jakarta, mencari majalah-majalah tersebut di perpustakaan H.B. Jassin.



Pada mulanya, Ananda mengalami tantangan musikal untuk memainkan karya-karya Amir. Bunyi komposisi Amir menurut Ananda sangat khas dan karakteristik, terutama dari segi ritme. Beberapa karya Amir bagi pria kelahiran 1968 itu juga menuntut suatu virtuosisme yang cukup unik. Yang paling sulit menurut dia adalah bagaimana supaya musik Amir yang kadang njelimet itu mampu terdengar direct, flowing, dan komunikatif. ”Komposisi Amir menurut saya adalah komposisi yang pertama kali memberi cap identitas Indonesia. Musiknya itu tidak bisa ditulis oleh, misalnya, komponis dari Finlandia atau Jerman,” ungkap alumnus Koninklijk Conservatorium, Den Haag, Belanda, itu.

Di mata Ananda, Amir adalah komponis Indonesia yang mempelopori teknik baru seperti teknik Debussy dan Ravel serta mengaplikasikannya ke konteks lokal. Teknik kontemporer Barat di tangan Amir digunakan untuk mencipta lagu bernuansa Indonesia. Komponis-komponis segenerasi Amir, seperti Ismail Marzuki, menurut Ananda, meski melahirkan komposisi yang sangat indah, gaya bermusiknya masih kental kebarat-baratan. Itu berbeda dengan karya Amir. Memang, bila kita mendengarkan karya Amir Petruk, Gareng, Bagong seperti yang dimainkan Ananda, kita seolah bisa membayangkan ketiga punakawan itu berkejaran, bergulingan, ketawa-ketawa, gelitik-menggelitik bersama.

Semula Ananda tak terlalu gandrung pada komposisi Amir. Namun, setelah bekerja sama dengan komponis Eropa dan mendalami musik sastra Eropa, ia mulai mengenal kelebihan Amir. Setelah rekaman ini, Ananda berencana merekam karya-karya piano Amir lainnya yang memang tidak terlalu banyak beredar. Ia menganggap musik Amir justru lebih dimengerti di Eropa daripada di Indonesia. ”Paling tidak di saat ini,” tutur Ananda.

(Sita Planasari Aquadini)

Sumber: Majalah Tempo, 15 Februari 2009

Medan, bah!

Dari Berastagi, kami tancap gas menuju Medan mengejar makan siang di restoran Jemadi, di kawasan kota yang terkenal dengan gulai kepala ikan. Namun apa daya restoran itu hari Minggu tutup.

Kami pun menemukan di sekitar itu restoran Padang-Melayu bernama Goyang Lidah di Jl. Krakatau yang mirip dengan restoran Jemadi, tetapi tidak ada menu gulai kepala ikan. Kami bertiga makan dengan lahap dan menghabiskan Rp. 113.000.

Setelah makan siang kami langsung cek in di hotel JW Marriott Medan. Jl. Putri Hijau no. 10. Telp (62-61) 455 3333 / 451 7333 dan fax. (62-61) 452 3333. E-mail: jwmarriott.medan@marriott.com


Hotel JW Marriott Medan

Tidak dapat disangkal, it's the real first five star in Medan. Hampir setiap malam coffee shop penuh. Karena masyarakat Medan mendambakan service F&B yang berkualitas internasional, tidak tanggung-tanggung dikerahkan dua orang chef dari India dan Amerika, mereka masih menawarkan tarif promo US$ 79.


Bersama adik ipar Eli Hafild

Pada sore harinya kami mengunjungi adik ipar Eli Hafild di kawasan Johar Permai dalam rangka silaturrahmi dan mencari informasi soal ulos.

Setelahnya, karena kami kelelahan saat itu, kami pulang ke hotel dan hanya mencicipi vegetable soup dan sandwich di coffee shop lalu langsung menuju kamar dan tidur lelap.

Keesokan paginya setelah ngopi dengan adik kelas di ITB, Andoko Alimin, yang sekarang menjadi Area Manager Carrefour Sumatra, kami berburu oleh-oleh ke Pasar Sentral, sebuah pasar tertua di kota Medan, dengan becak motor yang bertarif Rp 10 ribu.


Becak motor

Objek pertama adalah pasar ulos, berada di lantai dasar bagian belakang. Kami terkejut melihat variasi ulos yang sangat beragam dari berbagai daerah Batak, antara lain Tapanuli Selatan, Karo, Berastagi dan lain-lain. Harganya berkisar dari Rp 50 ribu sampai Rp 1 juta. Kami sedih melihat stok ulos yang sudah bertahun-tahun tidak terjual dan sebagian sudah berlubang, dijual dengan harga hanya puluhan ribu rupiah.


Pusat Ulos di Pasar Sentral

Yang pasti setelah melihat beragam ulos terasa adat istiadat yang tinggi dimiliki oleh warga Batak.


Ikan Asin & Terasi


Membeli ikan asin

Kemudian istri saya memburu ikan pari asin dan teri yang merupakan khas Medan, tempatnya tidak jauh dari pasar ulos. Harga ikan pari Rp 75 ribu/kg dan teri Rp 60 ribu/kg. Di sebelahnya dijual terasi Medan Rp 10 ribu dalam satu pak kecil, dan kata penjualnya, sehari ia dapat menjual 200 pak.


Bersama penjual terasi

Terasi di sini biasa disebut Belacan Jermal. Jermal adalah sebuah bangunan dari kayu yang terletak di laut dangkal khusus untuk membuat terasi dari udang.

Setelah selesai belanja, kami mengejar makan siang di Sun Plaza, mal terbesar di Medan. Di sana kami memilih sup ikan Batam, mie Aceh dan ayam Hainan. Kesemua makanan dan minuman seharga Rp 82.500.

Dari mal kami mampir di toko Bolu Medan terkenal, Meranti, Jl. Kruing No. 2 K Medan. Tlp. (061) 453 8217. Keistimewaannya adalah bolu gulung spesial dengan berbagai rasa dengan harga Rp 45.000 - 70.000. Jika Anda membeli 4 buah, maka Anda mendapatkan sebuah dus terikat rapi siap masuk bagasi pesawat.

Kemudian kami kembali ke hotel, untuk mandi yang lama menghilangkan bau ikan asin dan terasi. Lalu bersiap untuk meninggalkan Medan dengan Garuda jam 7 malam ke Jakarta.

Sebuah kunjungan singkat tapi padat selama dua malam dan kami merasakan budaya yang tinggi di daerah Sumatra ini.

Horas!

Danau Toba

Berkunjung ke Tanah Karo (2)

Keesokan harinya, setelah sarapan pagi, kami menjemput Ija Anwar, adik ipar kami, di hotel Sibayak Berastagi. Ija seorang arsitek muda yang berani meninggalkan Jakarta untuk mengembangkan Taman Simalem, sebuah resor perawan di bukit Merek, di tepi Danau Toba.


Bersama adik ipar Ija Anwar

Setelah perjalanan selama satu jam, kami memasuki daerah hutan indah dan bersih dan segera tampak gerbang Taman Simalem.


Pintu gerbang Taman Simalem

Kami sempat terkejut karena tiket masuk seharga Rp 150.000 per mobil termasuk kupon makanan senilai Rp 50.000. Namun begitu masuk, kami paham bahwa tiket masuk tersebut wajar karena resor tersebut dilengkapi dengan infrastruktur yang modern.


Ampi Theater

Di dalamnya jalan-jalan tertata rapi, dilengkapi dengan camping ground, flower nursery, helipad, argo tourism farm, restoran, ampi theater dan last but not least adalah pemandangan yang menakjubkan ke Danau Toba. Taman Simalem ini terletak di arah Barat Daya danau.


Pemandangan di Taman Simalem


Pemandangan Danau Toba

Bicara mengenai danau Toba, tak banyak yang tahu bahwa danau ini adalah salah satu danau vulkanik terbesar dan terdalam di dunia.


Air terjun di Taman Simalem

Di area Taman Simalem yang luasnya 200 ha ini terdapat beragam flora dan fauna. Di mana-mana kerap terdengar suara orang utan dan kera.

Taman ini juga dikembangkan sebagai agrotourism dan telah ditanami jeruk, loquat, markisa, terong Belanda, jambu, teh, kopi dan alpukat.


Bunga Edelweiss

Untuk informasi Taman Simalem, dapat menghubungi no telp. (62-21) 4577616 dan fax. (62-21) 4577605. Website: www.tamansimalem.com dan E-mail: info@tamansimalem.com.

Setelah puas mengelilingi taman indah ini, tibalah waktunya berpisah dengan Ija. Maka dengan perasaan galau, kami pun berangkat lagi menuju Medan.

Berastagi

Berkunjung ke Tanah Karo (1)

Telah sekian lama saya merindukan kota Berastagi yang sejuk di ketinggian 1400 m di atas laut di kaki Gunung Sibayak.

Kunjungan pertama saya ke kota ini terjadi tanpa terduga pada tahun 2001 pasca tsunami Aceh. Pada waktu itu saya bersama Garin Nugroho dan Indra Piliang berangkat dengan helikopter dari Medan hendak mengunjungi Meulabouh. Namun baru saja terbang, tiba-tiba turun hujan lebat sehingga heli pun mendarat di sebuah kebun jeruk di Berastagi. Itulah pengalaman pertama saya dengan Berastagi.

Minggu lalu, saya dan istri berkunjung lagi ke Berastagi. Kami terbang dengan pesawat Garuda pertama dari Jakarta, mendarat pukul 9 pagi. Dari situ kami langsung tancap gas ke Berastagi melalui ibukota Kab. Kabanjahe.


Pemandangan di perjalanan

Setelah berjalan selama satu jam, kami berada di ketinggian kira-kira 1000 m. Di situ jalan mulai berkelok-kelok dan di mana-mana tampak pemandangan hutan yang rindang serta suasana pegunungan pun mulai terasa.


Bersama penjual buah

Kami berhenti sejenak di warung buah-buahan dan mencicipi manggis yang manis dan buahnya putih segar.


Hotel Sinabung

Setiba di Berastagi, kami cek in di hotel Sinabung. Sebuah hotel yang memiliki halaman luas serta asri dengan 100 kamar dan bertarif Rp 250.000 per malam.

Hotel Sinabung beralamat di Jl. Kolam Renang, Berastagi. Telp. 0628 91400. www.sinabungresorthotel.com

Suasana di dalam hotel ini serasa seperti di Puncak. Di sana telah menunggu Bapak Tjiptono Darmadji dan putranya yang terampil, Irsan Budianto. Kami berdiskusi panjang lebar mengenai kemungkinan pengembangan pariwisata Sumatra Utara khususnya alam Danau Toba sebagai warisan budaya Nusantara.

Karena malam itu adalah akhir minggu, maka hotel ini terlihat cukup sesak. Pada saat sarapan pagi dan makan malam, restoran sangat ramai dan kami harus antri untuk memperoleh makanan.

Setelah beristirahat sejenak, kami mengunjungi pasar buah di pusat kota. Di samping buah yang biasa kita makan, seperti jeruk dan manggis, yang khas di Berastagi adalah markisa, terong Belanda, dan buah biwa.


Pasar Buah

Buah biwa yang dapat dilihat tergantung pada foto di atas ini berwarna kuning dan berupa suatu rangkaian, seperti buah anggur. Rasanya asem manis seperti campuran antara jeruk dan kesemek. Saya belum pernah melihat buah ini sebelumnya sehingga saat itu serasa melihat buah-buahan liar di hutan.

Di pasar buah itu banyak terdapat barang kerajinan. Tentu yang kita buru adalah ulos yang datang dari berbagai daerah di Batak dengan beragam tenunan.

Singkatnya, Berastagi adalah kota sejuk, buah-buahan, pemandangan indah dan kerajinan tradisional.


Bersama Pak Tjiptono dan Irsan di kebun bibit


Tak lupa mencicipi durian


Kelinci di Pasar Buah


Selamat tinggal, Berastagi akan selalu dikenang!

Di Rumah Kelahiran Tan Malaka

Foto: Tan Malaka di Jogyakarta (Oktober 1948)

Foto: Tan Malaka (Februari 1946)

Foto: Sesaat tiba di negeri Belanda tahun 1914

Foto: sumbangan dari Kel. Drs. H. Idrus Iskandar (Pekanbaru - Riau)

Stop Konser, Tutup Anggaran Dulu

Mencari Anggito Abimanyu menjelang tutup tahun seperti sekarang jelas bukan urusan gampang. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan ini punya segambreng kerjaan.

Saat banyak orang merayakan tahun baru dengan berlibur dengan keluarga, ayah dua anak ini masih harus menyelesaikan kerjaannya. "Tahun baru di kantor saja," ucap suami dari Arma Latif ini. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini memang punya tugas berat: menutup buku anggaran 2008.

Itok, panggilan akrab Anggito, harus menghitung ulang semua pnerimaan dan pengeluaran anggara menjelang tutup tahun 2008. Dari angka-angka itu pula, pria kelahiran Bogor, 19 Februari 1963 ini akan membuat proyeksi dan analisis anggaran tahun 2009.

Meski begitu, Itok mengaku masih punya waktu untuk melakoni hobinya, meniup flute. Alat musik yang satu ini bahkan menjadi obat penat bagi lulusan University of Pennsylvania, Amerika Serikat, bila berhadapan dengan angka-angka. Maka jangan heran bila alat musik tiup ini pasti mencuil tempat di antara tumpukan berkas dalam ransel yang selalu dia usung ke mana-mana.

Cuma, Itok harus menunda dulu keinginan manggung di ujung tahun 2008 ini bersama grupnya, Cisya Kencana. Bukannya tak ada permintaan, tapi lantaran kesibukan para personel Cisya Kencana, seperti Djokosantoso Moeljono dan Dedi Panigoro, membuat mereka tak bisa tampil.

Namun, Anggito bilang, rindu penonton bakal sedikit terobati. Soalnya, sebuah stasiun televisi akan menayangkan konser mereka pada awal Januari 2009 nanti. "Saat it kami konser 55 Tahun Taufik Ismail di Dunia Sastra (Tribute to Taufik Ismail)," ujar Itok. Nah, untuk sementara, Itok memilih off dulu dari kegiatan konser.

Sibuk banget, ya!

(Titis Nurdiana)

Sumber: Kontan, Minggu I, Januari 2009

Berbagi Harapan

Audwin bersekolah di SMA umum dan tahun ini akan lulus. Hobinya memotret. ”Observasinya terhadap karakter orang luar biasa,” kata Gayatri.

Audwin juga pintar masak. ”Ia belanja sendiri dan membantu mengerjakan pekerjaan di rumah,” lanjut Gayatri. Seperti remaja umumnya, Audwin bisa menyetir mobil dan biasa melakukan perjalanan sendiri dengan pesawat terbang.

Kata Gayatri, Audwin ingin melanjutkan ke perguruan tinggi untuk belajar produksi makanan. ”Ia ingin menjadi chef di restoran. Sekarang ia bekerja paruh waktu di toko kue. Ia pernah bilang, ingin bisa memberi makan mereka yang kelaparan.”

Sekarang Gayatri ingin membagi pengalaman dan harapan kepada orangtua anak-anak autis. Ia menggalang dana, menjadi pelatih, motivator dan konselor, menulis buku, membuat video, dan bercita-cita melakukan perjalanan ke seluruh provinsi di Indonesia—sekarang baru 12 provinsi—untuk membantu orangtua dengan anak-anak autis.

Ia menjawab pertanyaan siapa pun yang membutuhkan melalui surat elektronik di alamat yayasan_mpati@yahoo.com

”Saya ingin memberikan hidup saya untuk kegiatan ini,” ujar Gayatri.

Kepada orangtua dari anak- anak autis, ia berpesan, ”Kita harus melatih mereka sendiri sedini mungkin. Jangan tergantung orang lain. Jangan mudah putus asa.”

Gayatri mengingatkan pada tiga inti penanganan autis: diagnosis akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat. Namun, ia juga paham, jangankan terapi yang tepat, mencari diagnosis yang akurat pun harus dilakukan di kota besar. Banyak orangtua melakukan apa saja untuk membeli harapan ”kesembuhan” bagi anak mereka, padahal tak ada terapi instan untuk autisme.

”Sepuluh tahun lalu, pertanyaan yang menghantui kami adalah ’apa yang bisa kami lakukan untuk Audwin?’ Sekarang, pertanyaan itu menjadi, ’Apa yang dapat kami lakukan untuk orangtua lain yang bernasib sama seperti kami?’”

(Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy)


BIODATA

Nama: Gayatri Pamoedji-Iskandar
Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 27 Maret 1962
Suami: Iskandar
Anak: Ananda (Audwin) dan Albie

Pendidikan: FE Universitas Indonesia (1986)
TAFE College, Australia Barat (1999); Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat (2000)

Riwayat pekerjaan: Penasihat manajemen PT Grahamas Citra Wisata Novotel (1995-1998); PT Meta Archipelago Hotels (1992-1995); PT Mega Adiboga Indonesia, Co owner dan Finance Director dari "Va Bene", Italian Fine Dining.

Pengalaman profesional lain: Pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD (1996); mendirikan Mpati, Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (2004); konselor pada ISHAR Multicultural Center for Women's Health (2000), Koordinator Kelompok Orangtua Pendukung Autisme di Perth, berasosiasi dengan Asosiasi Autisme Australia Barat (1999-sekarang); pembicara pada sedikitnya 20 seminar mengenai autisme, bincang-bincang radio dan kampanye-kampanye untuk mengenali autisme sejak dini dan merancang desain yang efektif untuk intervensi sejak tahun 2004.

Penerbitan: "Meniti Pelangi", perjalanan seorang ibu yang tak kenal menyerah dalam membimbing putranya kelar dari belenggu AD/HD dan Autisme (2004); VCD/DVD "Penanganan Dini Autisme 1", panduan praktis terapi perilaku (2005).

Sumber: Kompas, 1 Februari 2009 

Transformasi Gayatri Pamoedji

Waktu adalah uang. Begitu dulu Gayatri Pamoedji-Iskandar (47) memaknai hidupnya. Maklum, ia pemilik saham beberapa kegiatan bisnis sekaligus direktur keuangannya. Namun, waktu, sang penanda yang setia, mengantarnya untuk mampu menengarai bahwa setiap detik adalah keajaiban.

Kelahiran Audwin mengubah segalanya,” ujar Gayatri, suatu pagi di satu hotel berbintang lima plus di Jakarta.

Kondisi anak sulungnya itu membuat Gayatri harus meninggalkan dunia yang menjanjikan keuntungan material dan hasrat menumpuk modal yang tak ada batasnya.

”Saya memilih mengurus Audwin 100 persen,” ia menyebut itulah titik balik pertama dalam hidupnya.

Mata ibu dari Audwin (18) dan Albie (15) itu berbinar ketika mengisahkan perjalanannya 10 tahun untuk merebut kesempatan dan menguatkan keyakinan pada dirinya bahwa Audwin mampu berkembang penuh sebagai manusia mandiri.

Lahir normal

Ananda yang akrab disapa Audwin, anak laki-laki sulungnya, lahir dengan persalinan normal. Fisiknya tumbuh sehat dengan ASI. Tetapi, saat Audwin berusia 11 bulan, Gayatri mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda.

”Audwin tidak merespons panggilan saya. Kontak mata hampir tak pernah terjadi. Kalau saya pangku ia meronta. Saat lain ketika saya berusaha memeluknya, ia tak berusaha meraih. Ia ’pendiam dan pemalu’, jarang tersenyum kepada orang di sekitarnya dan selalu bergerak, tak tahan bising,” kenang Gayatri.

Namun, Gayatri masih berusaha membangun harapan. Apalagi, kata orang, keterlambatan komunikasi pada balita hal biasa. Ketika tak juga ada perubahan, ia mulai risau.

”Ada yang bilang, anak seperti Audwin karena ibunya lebih banyak bekerja di luar. Ada yang bilang keturunan,” tutur Gayatri, yang kemudian tahu, selain dugaan, penyebab attention deficit/ hyperactivity disorder (ADD/ADHD) seperti disandang Audwin, sampai kini belum diketahui jelas.

Namun, yang paling mengganggunya adalah pertanyaan, ”Mengapa Audwin? Apa salah saya, Tuhan…?”

Memburu diagnosis dan terapi

Upaya mendapatkan diagnosis dan terapi yang tepat bagi Audwin dilakukan sampai Singapura dan Belanda. Gayatri juga berusaha melatih Audwin bersosialisasi dengan menyekolahkannya sejak usia dua tahun, sebelum seorang kenalan memberi tahu di Australia tersedia fasilitas khusus untuk anak-anak seperti Audwin.

”Kami memilih Perth yang tak terlalu jauh dari Jakarta karena orangtua saya sudah tua,” ujar anak keenam dari delapan bersaudara itu.

Di Darwin, Audwin menjalani berbagai tes. Tes intelegensia menunjukkan IQ-nya di atas 110. Audwin juga tak punya masalah dengan kemampuan otak kanannya, misalnya menggambar dan berhitung dengan angka.

Sebaliknya, tugas sekolah yang menggunakan kemampuan otak kiri dengan komponen bahasa, seperti mengarang dan matematika dengan cerita, akan sulit. Audwin kemudian mengikuti terapi wicara dan terapi-terapi lain yang dibutuhkan.

Diagnosis bahwa Audwin autis baru didapat ketika ia berusia sembilan tahun. ”Idealnya, gangguan neurologis itu diketahui sebelum usia lima tahun,” jelas Gayatri.

Namun, sebenarnya Gayatri sudah melakukan yang terbaik sejak Audwin berusia dini meski hanya berdasarkan naluri seorang ibu. Termasuk di antaranya, latihan menggunakan toilet dan mandi.

”Ternyata untuk anak-anak autis, itu persoalan besar. Bisa sampai dewasa tergantung kepada orang lain,” tutur dia.

Demi terapi Audwin di sekolah dan di rumah, Gayatri belajar lagi. Ia mendapat sertifikat konselor dalam bidang pelayanan anak dan orangtua dengan kebutuhan khusus. Sampai hari ini ia relawan di tempat-tempat pelayanan itu. Gayatri kemudian juga melanjutkan kuliahnya di bidang konseling kesehatan.

Titik balik kedua

Perkembangan Audwin dari waktu ke waktu adalah keajaiban. ”Ia bisa menalikan sendiri tali sepatunya setelah berlatih tiga bulan. Usianya delapan tahun waktu itu.”

Setelah itu keajaiban lain datang beruntun. ”Suatu pagi, ketika saya hampir emosi karena kenakalan Albie, tiba-tiba Audwin bilang, ’Ma... he’s just a little boy...’.”

”Saat itu rasanya jendela seperti terbuka dan saya melihat alam raya yang begitu indah,” kata Gayatri mengenang peristiwa delapan tahun lalu itu, yang ia katakan sebagai titik balik kedua dalam kehidupannya.

Seluruh perjuangan, termasuk kelelahan yang kadang hadir, seperti mendapatkan hasil tak ternilai. Sejak itu Audwin sering mengucapkan hal-hal yang menenteramkan saat ia sedang risau atau melucu saat sedang lelah.

”Guru kungfunya cerita, ketika ia risau dengan keberlanjutan tempat berlatih itu, seorang murid datang dan berkata kepada dia dan mengatakan, ’Jangan risau pada masa depan tempat ini sepanjang kita berbuat kebaikan’,” kata Gayatri menirukan sang guru. Baru kemudian Gayatri tahu, murid itu adalah Audwin.

”Seperti old soul,” ujar Gayatri yang kini mempraktikkan teratur yoga dan meditasi, selain mengatur makanan.

Ia mengaku perjalanannya belum berakhir. ”Saya rasa tak ada ibu yang pernah merasa selesai melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya....”

Pertanyaannya dulu telah terjawab. Pengalamannya bersama Audwin mengantarkan Gayatri pada pemahaman yang lebih subtil tentang hidup.

”Segala hal kecil yang dulu tak pernah saya perhatikan sekarang tampak seperti kejaiban, seperti melihat tunas tumbuh, mendengar kicau burung….”

(Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy)

Sumber: Kompas, 1 Februari 2009