Giatnya Komunitas Musik Remaja di Ciseeng

Di satu Jum'at siang, 13 Februari 2009, di sebuah kafe di Pacific Place Lt. 5, berkumpul ibu Pia Alisjahbana, Bapak Dedi Panigoro, Ananda Sukarlan, Chendra Panatan, serta anggota pengurus Yayasan Seni Musik Tari Indonesia yang baru saja dibentuk oleh antara lain Dewi Gadjahmada, Karina dan Putu Swasti.

Pada kesempatan tersebut dibicarakan program apa yang akan dijalankan Yayasan pada tahun 2009 ini. Ananda mengusulkan untuk membantu komunitas anak-anak pedagang pasar yang gigih berlatih bermain piano dan setiap ada kesempatan konser Ananda, mereka beramai-ramai mengumpulkan uang untuk menonton konser tersebut. Terakhir yang mereka tonton adalah Java New Year’s Concert 2009 yang diadakan di TIM beberapa waktu lalu. Diputuskan kami bersama-sama akan mengunjungi mereka untuk melihat langsung bagaimana mereka berlatih dan melihat apa kebutuhan mereka secara langsung. Ditetapkan untuk pergi ke tempat mereka di daerah Serpong pada tanggal 23 Februari 2009, berangkat dari kantor Pak Dedi di jalan Ampera.

Ananda dan Chendra sudah membuat janji dengan Tati, koordinator komunitas anak-anak pedagang tersebut untuk bertemu di tempat mereka pukul 3. Tati sang koordinator yang lulusan Psikologi UI merupakan anak didik kakak Ananda yang juga seorang psikolog. Dia berhasil menghimpun anak-anak pedagang kaki lima di Pasar Depok dan mengumpulkan anak-anak itu semua pada satu tempat di daerah Parung untuk belajar bermain piano pada seorang remaja perempuan, salah seorang anak pedagang pasar juga, bernama Cinta.


Pada tanggal 23 Februari 2009 tersebut, pertemuan didahului makan siang di kantor Pak Dedi yang juga dihadiri Edward Van Ness, konduktor orkestra kondang yang biasa menjadi konduktor Orkes Simphoni Nusantara pimpinan Ibu Miranda Gultom. Sesuai janji, hadir pada kesempatan tersebut Ibu Pia, Pak Dedi, Ananda, Chendra, Karina dan Karini.

Tepat pukul 2, Ibu Pia, Ananda, Chendra dan Putu Swasti berangkat bersama dalam satu mobilnya Ibu Pia menuju Serpong. Dengan Tati kami janjian untuk bertemu di satu titik dan ditentukan di seberang pemukiman The Green di Serpong. Tidak terlalu susah untuk bertemu dengan Tati. Kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti mobil Tati. Dari situ perjalanan cukup berliku-liku dan melewati beberapa ruas jalan yang rusak berlubang penuh genangan air mengingat hujan gerimis yang tak putus sejak siang. Perlahan-lahan kami memasuki area pemukiman Lembah Bukit Calincing di daerah Cogrek, Ciseeng yang masih masuk dalam area Parung.

Pada satu rumah di tengah-tengah area pemukiman dengan diiringi hujan rintik-rintik, mobil Tati berhenti dan kami berhenti di belakangnya, dan pada saat keluar mobil, Ananda langsung disambut oleh tuan rumah beserta beberapa orang tua. Kami digiring masuk ke dalam rumah. Kami tertegun melihat jejeran rapi anak-anak perempuan dan laki berhadap-hadapan dari rentang usia sekitar 6 tahun hingga 20-an. Kedatangan Ananda dan kawan-kawan disambut dengan lagu Panjang Umurnya dan lagu perjuangan. Kami pun bertanya, kenapa menyanyikan lagi Selamat Ulang Tahun? Tati menyampaikan bahwa itu adalah harapan mereka, panjang umur selalu bagi kamu selaku tamu-tamunya.


Ternyata rumah itu adalah rumah Cinta, seorang remaja perempuan yang paling berbakat dari semua anak di situ. Ayahnya adalah salah satu pedagang kaki lima yang berjualan di Pasar Depok, yang gigih memperjuangkan ketiga anak-anaknya untuk belajar bermain piano. Bapak dan Ibu Cinta menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat belajar piano.

Dari berawal piano bekas merk Petrof setahun yang lalu, sekarang sudah menjadi 4 piano yang menjadi saksi semangat anak-anak tersebut belajar setiap hari mulai pukul 4 subuh hingga sore hari pukul 5. Keseluruhan anak tersebut berjumlah 52 anak, yang kecil-kecil dikontrakkan rumah dekat rumah Cinta oleh orang tua mereka dan terutama remaja-remaja perempuan yang lebih besar menjaga adik-adiknya di rumah kontrakan tersebut, Untuk remaja laki-laki yang besar mereka datang setiap hari dan kembali ke rumahnya masing-masing, karena mereka sudah mulai berjualan dengan membantu orang tuanya di pasar.

Dengan gotong royong, para orang tua anak-anak ini memberikan uang untuk makanan mereka sehari-hari. Agar tetap belajar secara formal, mereka belajar secara home-schooling setiap hari. Buku-buku diperoleh dari sumbangan para orang tua dan para pengajarnya merupakan ibu-ibu sekitar pemukiman yang mampu untuk mata pelajaran tertentu dan mengajarkannya sesuai mata pelajaran yang berlaku di sekolah.

Ketika kami digiring keluar rumah ke halaman samping, kami terpana dengan dua spanduk plastik besar berisikan mengenai Ananda yang dicetak dari website Ananda. Kami sangat terkesan dengan persiapan mereka menyambut sang maestro. Yang menarik dan unik dari halaman rumah tersebut adalah, adanya tempat duduk dari semen yang dibuat ‘theater style’ dan menghadap ke panggung terbuka yang di pinggir sekelilingnya dibuat area jalan setapak dengan keramik. Di depan tempat duduk semen tersebut, ada kolam penuh terisi air dan selebihnya merupakan tanah merah dicampur sedikit pasir yang terlihat becek sesudah diguyur hujan sesiangan itu.


Di pinggir tengah area terbuka tersebut, ada sebuah “gubuk” bambu dengan satu piano di bawahnya. Sepertinya terlihat akan ada konser mini dari anak-anak tersebut. Belajar bermain piano terutama musik klasik mengubah anak-anak tersebut menjadi lebih santun. Mereka duduk berjajar rapi di atas keramik mengelilingi arena panggung.

Ibu Pia dan Ananda ditemani orang tua Cinta duduk di tempat duduk ‘theater style’ menunggu diadakannya konser mini. Chendra dan Putu sibuk mengabadikan setiap momen berharga yang sayang untuk dilewatkan. Satu-satu anak-anak memperlihatkan kebolehannya bermain sepenggal aransemen, membuktikan bahwa mereka serius belajar.
Setiap tampil setiap anak memberikan hormatnya layaknya seorang “performer” sejati kepada Ananda dan Ibu Pia serta para hadirin yang duduk di bangku duduk depan.


Ternyata Cinta yang paling berbakat dari semua, disepakati oleh semua yang mengikuti kursus belajar piano di JCom, Cipete, dan sekembalinya dari kursus, dia menularkan ilmuya ke adik-adiknya semua. Yang lebih pintar mengawasi adik-adiknya yang baru belajar. Dan secara berkala Cinta mengecek kemajuan adik-adik kecilnya.

Tak terbayangkan, Cinta yang baru berusia 16 tahun sudah mempunyai tanggung jawab sebesar itu. Dari rumah ke tempat kursus di Cipete memakan waktu 1,5 – 2 jam. Secara bergantian para orang tua mengantarkan Cinta ke sana, dengan menaiki sepeda motor, atau bila ada salah satu pedagang pasar bermaksud ke pasar besar di Jakarta, Cinta diantarkan oleh mobil tersebut. Berdasarkan penuturan Ananda, Cinta mengetahui tempat kursus tersebut dua tahun lalu dari Ananda sendiri. Cinta merupakan salah satu anggota fans club Ananda di jejaring Facebook, yang pada saat itu bertanya melalui Facebook dimana tempat kursus yang tepat untuk berlatih piano. Kebetulan memang Ananda juga merupakan salah satu pendiri JCom.

Sungguh satu tekad yang kuat dan luar biasa dari semua pihak untuk maju dan berkembang. Terlihat terutama Ananda sangat terkesan dan tersentuh dengan semangat dan keseriusan anak-anak ini untuk belajar bermain piano. Di akhir konser mini tersebut dimana semua anak tanpa terkecuali termasuk ibunya Cinta diberi kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya, Ibu Pia meminta Ananda untuk memainkan sebuah lagu untuk mereka. Pada saat Ananda duduk dan siap memainkan jari-jarinya di atas tuts piano, semua anak yang tadinya tertib duduk bersila, berhamburan lari mengelilingi Ananda, ingin menyaksikan kesempatan langka berada di dekat sang maestro pada saat bermain piano. Dentingan tuts piano dengan lagu sunda, membuat gemuruh riuh anak-anak itu. Di akhir permainan, tepuk tangan tak henti-hentinya pun terus bersahut-sahutan.


Ananda mengajak anak-anak disertai orang tuanya untuk berdialog. Banyak pertanyaan dilontarkan oleh baik oleh orang tua maupun anak-anak itu sendiri untuk mengikuti jejak Ananda menjadi seorang maestro.

Tak kuasa air mata terharu pun tergenang di pelupuk mata... sungguh satu sentuhan hati yang luar biasa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata...

Sesudah tanya jawab selesai, kami dijamu minum dan makan kue buatan salah satu ibu pedagang, lalu semua anak-anak beserta para orangtuanya mencemplungkan dirinya ke dalam kolam di depan tempat duduk kami. Begitulah mereka mengekspresikan kesukacitaannya telah mengundang maestro bermain piano di tempat mereka yang bersahaja.

Jam telah menunjukkan jam 5.30 kami pun berpamitan. Ketika menuju kendaraan memasuki mobil, mereka pun menyanyikan lagu perjuangan dan lagu sayonara.

Ach...sebuah perjalanan dan pengalaman yang tak mudah dilupakan. Sekarang pekerjaan rumah menanti. Apa yang dapat kami kerjakan buat teman-teman cilik kami untuk membantu mereka mewujudkan impian mereka menjadi Ananda-Ananda baru.

(Putu Swasti)

Java Jazz 2009

Tahun ini untuk kelima kalinya, saya bersama Sommy dan Ucha menghadiri Java Jazz 2009 di Balai Sidang Jakarta. Sudah dua tahun berturut-turut Mala tidak dapat menonton karena sedang bekerja di Prancis.


Pada festival kali ini ada beberapa perbedaan yang menyolok dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu diperdengarkannya lagu Indonesia Raya pada saat dimulainya acara dan penuh sesaknya penonton yang kelihatannya sudah melebihi kapasitas.

Karena sewa gedung terus meningkat, panitia penyelenggara sedang memikirkan untuk pindah ke arena Jakarta Fair Kemayoran. Namun masyarakat yang tinggal jauh dari lokasi itu banyak yang mengerutkan dahi.

Tahun ini juga istimewa karena Departemen Perdagangan RI memberikan sumbangan sebesar Rp 700 juta, sedang Depdikbud memberikan Rp 300 juta.

Dgn Yuni Shara

Dgn Eni Sukamto & Jilal MardaniDgn Carmanita & Tjut Deviana









Tak disangka pula, Java Jazz menjadi ajang silaturrahmi dengan para sahabat lama yang tidak terhitung banyaknya.


Tak Hanya Musisi Jazz


Ron King Big Band

Festival yang berlangsung pada 6-9 Maret ini menghadirkan lebih dari 200 pertunjukan dengan total musisi yang berpartisipasi lebih dari 2.000 orang. Sejumlah musisi dari luar negeri yang tampil antara lain Dianne Reeves, Jason Mraz, Ivan Lins, Mike Stern, New York Voices, Ron King Big Band, Bryan McKnight, Laura Fygi, Dave Weckl, Bones James, Swing Out Sisters, Matt Bianco, dan Peabo Bryson.


Lala (Phillipine)

Sedang dari tanah air tampil antara lain Benny Likumahua, Idang Rasjidi, Nial Djuliarso, Indro, D'Cinnamons, Dwiki Dharmawan, Glenn Fredly, Humania, Maliq n D'Essentials, Oele Pattiselano, Salamander Big Band, Margi Segers, Vidi Aldiano, Tompi dan bahkan Slank.

Jelas bahwa para musisi yang tampil tak melulu musisi jazz. Kompas menulis bahwa Java Jazz Festival kali ini makin kehilangan rasa jazz-nya. Tampilnya artis pop dan genre musik selain jazz yang diundang tampil sekadar untuk menarik massa penonton. Yang ditonjolkan juga pada festival kali ini adalah genre world music, yang menampilkan musisi dari India dan Jepang.


Jason Mraz

Jason Mraz, musisi pop yang kini banyak digemari kaum muda tampil di hari pertama festival dan lebih dari 6000 penonton ikut bernyanyi bersama. Lagu yang dinyanyikannya antara lain Make It Mine dan tentu saja Lucky.

Judul album terakhirnya cukup menarik, yaitu We Sing. We Dance. We Steal Things yang bercerita tentang hidup, cinta, persahabatan, bumi, rasa syukur, dan perdamaian.

Kepada Kompas, Mraz mengatakan, judul itu membuat dia berpikir tentang segala hal yang sering kali kita sebagai manusia mengambil begitu saja tanpa memikirkan asal-usulnya, apalagi mengucapkan terima kasih.

”Seperti kita memakan apel, kita tidak pernah memikirkan atau menaruh perhatian pada pohon apelnya. Juga udara yang kita hirup dan keluarkan yang membuat kita bisa hidup, kita tidak pernah memikirkan lebih jauh. Itu seperti mencuri,” ujarnya.

We Do Green

Selain pertunjukan musik, program Java Jazz kali ini juga melakukan kampanye lingkungan hidup yang bertajuk We Do Green. Panitia bekerja sama dengan Kementrian Lingkungan Hidup RI dan juga berbagai lembaga konservasi alam dunia.

Java Jazz dijadikan Zero Waste Event, yaitu sistem pengelolaan sampah dari sebuah event/kegiatan dengan cara melibatkan pengunjung untuk memilah sampahnya masing-masing.
Aksi ini merupakan proses edukasi dan bentuk nyata dalam upaya mengurangi dampak penumpukan sampah dari pelaksanaan sebuah event. Sampah yg terkumpul dan terpilah tersebut akan diolah dan didaur ulang.

Seperti kata Peter F. Gontha bahwa lingkungan yang bersih, lingkungan yang nyaman akan memberikan inspirasi bagi proses kreatif musisi jazz, jadi, musisi jazz itu juga peduli lingkungan.

Persiapan Java Music Camp 2010

Pada hari pertama bulan Maret 2009, saya dengan istri terbang dengan Mandala pagi ke Jogjakarta, dengan pesawat Air Bus yang masih baru. Setiba di bandara, kami menunggu Aki Adishakti yang berencana dengan istrinya, Sita, menjemput kami untuk terus menuju ke seniman Lima Gunung di kawasan Candi Mendut.

Setelah menunggu selama hampir setengah jam, datang berita yang mengejutkan, Aki terkena serangan jantung pada saat bersiap-siap hendak menjemput kami, dan sedang diberikan pertolongan pertama di Unit Gawat Darurat Jantung RS Sardjito. Kami segera menuju kesana dan ditemui oleh istrinya dan menjelaskan keadaan Aki.


Ibu Sita sedang menjelaskan keadaan Aki

Kemudian kami segera menelepon Ed Van Ness yang sedang dalam perjalanan ke Mendut dan kebetulan masih ada di dalam kota, untuk menjemput kami di bandara. Beberapa saat kemudian Ed Van Ness datang ditemani oleh tokoh ISI, Johan dan Mikael Asmoro, lalu kami langsung meluncur ke Padepokan 5 Gunung di Mendut.


Sungai di halaman Padepokan

Setelah menempuh perjalanan 45 menit, kami sampai di Padepokan tersebut dan langsung terasa suasana kerakyatannya. Kami disambut oleh pemilik Padepokan, Tanto dan istrinya seorang wanita Jepang, dan kami langsung melihat-lihat Padepokan tersebut yang berdiri di atas tanah sekitar lima ribu meter persegi.


Monumen 5 Gunung

Padepokan 5 Gunung diambil dari nama lima gunung yang mengelilingi daerah itu; Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong dan Menoreh.


Bersama Tanto, Seniman Lima Gunung

Tanto adalah alumni Akademi Musik Indonesia yang kemudian menekuni pendidikan non formal di Mendut. Ia membuka kelas terbuka untuk masyarakat sekitar tanpa dipungut biaya, dengan materi pengajaran antara lain seni suara, tari, lukis, kerajinan, patung dan lain-lain. Dia senantiasa mengajarkan kebebasan dalam ekspresi.


Galeri 5 Gunung

Satu hal yang menonjol alat-alat pendukung banyak menggunakan alat tradisional yang mudah didapat di daerah itu misalnya kendang, kentongan, suling, kecrekan, gambang, dan lain-lain.


Di Kelas Padepokan 5 Gunung

Tanto memiliki binaan sekitar seribu orang yang dapat dikerahkan setiap saat dengan hanya menyediakan truk dan nasi bungkus. Namun keadaannya sekarang sudah membaik karena kegiatannya telah dikenal luas di mancanegara maupun di Nusantara, dan mereka sering mendapat pesanan untuk manggung.

Ketika diadakan diskusi panjang lebar kami menyatakan kekaguman atas usaha swadaya Tanto di tempat yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Setelah pamit kami pulang ke Jogja dan tidak lupa mampir di rumah makan Bu Santi Gatak Gamol Pucungrejo yang terkenal dengan makanan brongkos, otak, tempe, pete dan berbagai jeroan. Restoran dikelola sendiri oleh Bu Santi. Setelah makan siang yang gurih dan mengenyangkan kami berlima menghabiskan Rp. 92.500.





Kunjungan ke P4TK

Keesokan harinya kami mengunjungi P4TK, sebuah kampus pelatihan yang terletak di kilometer 7 Kaliurang, terhampar di atas lahan 7 ha di alam pegunungan Kaliurang. Kampus ini dibangun oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan pada tahun 1975 dan merupakan sebuah pusat pelatihan dan pendidikan untuk para guru dari seluruh Indonesia untuk bidang kesenian, kerajinan dan berbagai bidang yang berkaitan dengannya.

Pusat pelatihan tersebut juga memiliki auditorium dengan akustik yang bagus dapat menampung 400 orang penonton. Yang tidak kalah pentingnya kampus tersebut juga memiliki griya yang dapat menampung akomodasi 300 orang, lengkap dengan segala fasilitas restoran, ruang baca, ruang makan dan lain-lain.


Eva Pitaloka, Ed Van Ness, Sardi, Dedi Panigoro, Ismail

Pada kesempatan tersebut Kepala Pelatihan Drs. Sardi menyambut dengan gembira rencana penyelenggaraan Java Music Camp (JMC) 2010 yang akan diadakan di kampus tersebut.

Kita telah bersepakat untuk segera membuat program kerja bersama untuk dapat diimplementasikan secepatnya berupa sebuah undangan kepada para calon peserta JMC 2010 dari nusantara maupun mancanegara.


Kunjungan ke Institut Seni Indonesia Jogjakarta


Dedi Panigoro, Prof. Suprapto, Eva Pitaloka, Ed Van Ness

Pada hari yang sama kami juga mengunjungi rektor ISI, Prof. Dr. Suprapto. Kami menyampaikan rencana kerjasama dengan ISI dalam penyelenggaraan JMC 2010. Beliau menyambut gembira rencana kegiatan ini, dan menawarkan berbagai fasilitas yang dimiliki ISI untuk menyukseskan program JMC 2010.

Beliau juga menyampaikan rencana peresmian auditorium ISI yang akan diadakan pada tanggal 22 Maret 2009. Perlu diketahui bahwa hampir semua panitia JMC 2010 adalah alumni ISI.