Bali Emerging Writers Festival 2011


Bali Emerging Writers Festival (BEWF) 2011, diadakan pada tanggal 27-29 Mei 2011 di Serambi Arts Antida, Jl. Waribang No. 32, Sanur Denpasar. Didukung penuh oleh Ubud Writers & Readers Festival (Yayasan Mudra Swari Saraswati)


Bali Emerging Writers Festival (BEWF) sebuah festival bagi penulis muda, merupakan gagasan Janet De Neefe, pendiri Ubud Writers and Readers Festival.

BEWF dirancang untuk menjadi wahana dialog dan saling berbagi pemikiran bagi para penulis muda Bali, dan juga diharapkan akan mampu menjadi ajang pendewasaan diri bagi para penulis muda Bali serta media untuk menularkan kecintaan mereka terhadap sastra kepada para pelajar dan mahasiswa.



Sarapan di Sanur Beach Hotel dengan Dorothea Rosa Herliany

Dorothea Rosa Herliany, lahir di Magelang 20 Oktober 1963. Karyanya dimuat disejumlah media di Australia, Jerman, Jepang, Korea, Vietnam, Usa, Italia, Inggris. Menerima penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup RI (1994), buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta (2000). Pengarang terbaik Pusat Bahasa (2003), serta penghargaan seni dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004).


Akar Narwastu

Akar Narwastu aktif melatih musik untuk musikalisasi puisi, menyanyi & berteater. Karya yang telah ditulis diantaranya Mei, Suara Hati, Kopi Pagi Ini, Sayap-sayap cahaya, Cindel Jepit, Ibu Pelacur, dll

Suasana diskusi dengan Harian Bali  Post & Majalah Rolling Stone

Minum teh sore di Sanur Beach Hotel dengan Iyut Fitra (kiri)


Iyut Fitra penyair terkemuka dari Payakumbuh. Buku kumpulan puisi yang sudah terbit, Musim Retak (2006). Sangat fasih membacakan sajak Alm. Chairil Anwar yang juga sekampung dengan Iyut di Payakumbuh.

Ayu Diah Cempaka (kanan)

Ayu Diah Cempaka lahir di Gianyar 18 Juli 1993, peserta termuda di Festival. Mengenal sastra & jurnalistik sejak bergabung dengan teater lingkar dan team sekolah SMP 2 Denpasar. Saat SMA aktif di Madyapadma Journalistic Park yang juga mengenalkannya pada film dokumenter. Tahun 2010 meraih The Best Documentary Film HIV/AIDS The Bodyshop Documentary Film Competition.

The Passion within Dedi Sjahrir Panigoro


Source: Aero Life, The Magazine From Aerowisata Hotels & Resort, 20th Edition, May-June 2011




When someone is passionate about something, age doesn’t become a limit. At the age of 64, The Chairman of Medco Holdings is still highly active in various business companies, social and cultural organizations and still spares some time to write in his online blog which provides an insight to the things he deems most important: music, architecture and family.

For Dedi, there are a lot of ways to express his passion in music. In his 60th birthday, he produced a compilation CD filled with his favorite songs including “Smile” by Tony Benett and “Fly Me to the Moon” by Nat King Cole and George Shearing. Apart from enjoying classic-jazz and a little bit of keroncong in his free time, the casual piano player helped raising Ruth Sahanaya and Andien to their current popularity. His “Orkes Symphony Nusantara” specializes in classical music and performs six times a year in Jakarta.



This music enthusiast cares a lot about aspiring musicians who are often unable to explore their talents to the fullest. As the Chairperson of “Yayasan Musik Sastra Indonesia”, he had gathered donations from various companies and individuals for the cause. The organization had taken a hawker who loved to play melodica onto receive a scholarship in France. As a form of support to traditional music, the organization also enrolled Jithron Pha, a sasando player from East Nusa Tenggara who entered the “Indonesia Mencari Bakat” competition in national television, into a bachelor degree program.



As a man who loves travelling, Dedi had seen a lot of architectural grandeurs and found himself attracted to them. “I love classic-modern style which is not too minimalist and also not too intricate,” Dedi answered when asked about his favorite style. He once invited a Thailand architect, Lek Bunnag to design his establishment in Bukittinggi, resulting in a Minangkabau atmosphere with an Islamic architectural concept and complemented beautifully with the landscape design from Bill Bensley.

But nothing completes life more than the existence of a family. Dedi met his wife in Bandung Insitute of Technology (ITB) who blessed him with a daughter and a son, and all of them show constant support to Dedi. The fact that he has just returned from a trip to India and Melbourne with his family proved just how much he enjoys spending time together with them. His classic-modern home and vast lush garden holds numerous painting collections of all styles and two more family members: an oddly domesticated Rottweiler and a Terrier dog. “I’m not born to be solitary,” Dedi Sjahrir Panigoro said. “I always need someone to talk to.”



Gayatri Pamoedji, nominator Seputar Indonesia Social Transformer

Hari Selasa, 17 Mei 2011 kemarin. Saya dan dr. Lula Kamal mewakili Sahabat Gayatri Pamoedji, yang masuk sebagai nominator Seputar Indonesia Award 2011 dalam kategori Seputar Indonesia Social Transformer.


Bersama Lula Kamal


Jokowi (kanan) Walikota Surakarta dan Mas Bambang (kiri) pendiri majalah Trubus.

Acara ini diadakan di studio 4 RCTI, Jl. Raya Perjuangan, Kebon Jeruk Jakarta Barat.

Kategori Seputar Indonesia Social Transformer ini didedikasikan untuk insan terpilih Indonesia yang telah memberikan kontribusi pada perjalanan bangsa.

Gayatri Pamoedji, lahir di Jakarta 27 Maret 1962, seorang ibu dari remaja penyandang autis yang penuh dedikasi dalam membesarkan anak autis dan percaya akan kesembuhan dan pendidikan anak autis melalui pemberdayaan orang tua, sehingga bisa menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.


Mendirikan Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) tanggal 24 Juni 2004, sebuah yayasan nirlaba yang memfokuskan pada masalah autisme di Indonesia.

Buku pertama yang ditulis berjudul Meniti Pelangi, terbit bulan Juli 2004, mengisahkan perjuangan seorang ibu yang memiliki anak penyandang autis.



Tanggal 3 April 2010, dalam rangka menyambut hari autisme sedunia, Gayatri meluncurkan buku kedua berjudul “200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme”.Buku ini terinspirasi dari berbagai pertanyaan yang selama ini diajukan oleh beragam pihak terutama dari orangtua penyandang autis di Indonesia kepada Gayatri

Sumber :
http://www.autismindonesia.org/
http://gayatri-autisme.com/

Untuk informasi, VCD & buku :
Tini & Reni
Ruko Darmawangsa (DMS)
Jl. Darmawangsa VI No. 26
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp. 021 - 72796533, 72787562
Fax. 021 - 72796508
SMS 0813 8074 1898
E-mail : yayasan_mpati@yahoo.com

BELITUNG

Pada tanggal 13-15 Mei 2011 kemarin, kami berkunjung ke Belitung, sebuah kota yang terletak di Kepulauan Bangka Belitung. Pulau Belitung dulu lebih dikenal sebagai tempat penambangan timah terbesar di Indonesia. Setelah terbang selama +/- 60 menit, sampailah kami di Bandar Udara H.AS Hanandjoeddin atau dikenal dengan nama Bandar Udara Buluh Tumbang yang terletak di Tanjung Pandan.


Bandar Udara H.AS Hanandjoeddin - Tanjung Pandan

Hari Pertama, Jumat 13 Mei 2011
Kami menginap di Cottage Pondok Impian, Jl. Pattimura No. 8, Tanjung Pandan – Belitung. Cottage ini terletak di tepi pantai tanjung pendam, tempat menanti sunset di pusat kota tanjung pandan. Terdapat 11 kamar Deluxe dan 9 Cottage.

Kami mengunjungi Pantai Tanjung Tinggi, di pantai ini beberapa adegan dalam film Laskar Pelangi 2 (Sang Pemimpi) diambil seperti adegan anak-anak yang duduk dibatu-batu besar. Pasir di Pantai Tanjung Tinggi ini berwarna putih dan lembut. Batu-batu besar tersebar di berbagai sudut pantai.

Pantai Tanjung Tinggi


Senja di Pantai Tanjung Tinggi





Dari Pantai Tanjung Tinggi kami kembali ke hotel di Tanjung Pandan, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit.

Malam harinya kami mengikuti acara pengajian di rumah Bupati Belitung, Bpk. Darmansyah Husein. Dilanjutkan dengan presentasi mengenai strategi pengembangan Kabupaten Belitung.




Hari Kedua, Sabtu, 14 Mei 2011
Setelah sarapan pagi, kami akan mengunjungi pulau-pulau kecil di utara Pulau Belitung, seperti Pulau Pasir, Pulau Burung, Pulau Lengkuas, dll.

Untuk mengunjungi pantai-pantai tersebut, kami menuju Tanjung Kelayang. Dari Tanjung Kelayang kami naik perahu nelayan dengan tujuan pertama adalah Pulau Pasir.


Pulau Pasir


Pulau pasir ini kecil sekali, terdiri dari gundukan pasir putih di tengah lautan. Di sekitar Pulau Pasir, banyak bintang laut dan bisa dipegang.

Selanjutnya kami mengunjungi Pulau Burung. Di sini bisa snorkling. Yang menarik disini terdapat batu granit yang berbentuk seperti burung. Dinamakan Pulau Burung mungkin karena hal tersebut.

Pulau Burung

Setelah mengunjungi Pulau Burung, kami mengunjungi Pulau Lengkuas yang luasnya kurang dari 1 hektar . Disini ada Mercusuar tua yang sudah tidak terpakai lagi, dibangun oleh Belanda tahun 1882. Tingginya sekitar 50 meter. Pemandangan dari atas mercusuar sangat indah.



Setelah dari Pulau Lengkuas, kami kembali lagi ke Tanjung Kelayang untuk makan malam di Hotel Grand Pelangi.

Hari ketiga, Minggu, 15 Mei 2011
Sekitar jam 7 pagi kami ke Kedai Kopi Tiga Jaman, yang terletak di depan alun-alun Belitung. Disebut Tiga Jaman karena turun temurun dihidangkan kopi, kopi susu dan teh susu. Makanan favorit di kedai kopi ini seperti : lontong cap gomeh, bakwan udang dan berbagi kue. Ada atraksi musik melayu di dekat Kedai Kopi Tiga Jaman.

Kedai Kopi Tiga Jaman


Pemandangan dari Hotel Lor in ke Pantai

Lokasi Syuting Film Laskar Pelangi

Kunjungan kami selanjutnya adalah Hotel & Resort Lor in, Tanjung Tinggi.

Dari Hotel & Resort Lor in, kami kembali lagi ke Pantai Tanjung Tinggi, berfoto di tempat lokasi film Laskar Pelangi. Setelah itu kami menuju ke Bandar Udara H.A.S Hanandjoeddin untuk kembali ke Jakarta.

Sangkala 9/10

Sandiwara Musikal Betawi "Sangkala 9/10" merupakan pagelaran sandiwara musikal ke 3 yang diselenggarakan oleh Ikatan Abang None Jakarta (IANTA) tanggal 6-8 Mei 2011 di Teater Jakarta. ”Cinta Dasima” tahun 2009 dan ”Si Doel’ tahun 2010, adalah dua pergelaran yang sukses diselenggarakan sebelumnya.


Sangkala 9/10 merupakan kisah nyata yang terjadi di Batavia pada tahun 1740, kolaborasi 3 unsur budaya Tionghoa, Betawi dan Belanda. Kisah perjuangan dan kekuatan cinta dari tokoh berbeda etnis, Said dari keluarga Betawi dan Lily dari keluarga Hong Jian yang bersatu membela Batavia dari kekejaman pemerintahan VOC.

Pagelaran dibuka dan ditutup oleh Fauzan Ja’far – Bayang Pasir Orchestra, pendiri Loedroek ITB yang sangat memukau dengan lukisan pasir, yang ditampilkan melalui proyeksi berwarna kecoklatan. Jari Fauzan yang lincah mengikuti narasi Gambang Rancak oleh Firmansyah yang menceritakan suasana Batavia tahun 1740.

Suasana di perguruan kungfu Hong Djian



Suasana di Kampung Bidaracina
Di perguruan kungfu Hong Djian yang dipimpin oleh Niee Lee Kong dan anak muridnya yang bernama Nie Tse Pang, Nie Ghou Zong, Nie Cing Cong & Nie Tsa Pha sangat resah karena Gubernur Jenderal Adriaan Valckeneir (Teuku Zacky) membatasi aktivitas warga Tionghoa yang berdagang di Batavia. Valckeneir juga membujuk Bang Madi, seorang tokoh betawi dari kampung Bidaracina untuk mengusir pedagang Tionghoa dari Batavia.


Valckeneir & Bang Madi
Toko Obat Hong Djian
Bang Madi menolak dan memilih tidak mau ikut campur dalam perseteruan orang Tionghoa dan Belanda. Valckeneir mengatakan bahwa orang Betawi yang membela orang Tionghoa akan dianggap sebagai orang Tionghoa dan akan dibunuh.

Di pasar, tentara Belanda terus memunguti pajak dari para pedagang Tionghoa dan mengobrak-abrik toko obat Hong Djian, Lily/Nie Lie Hay anak gadis Hong Djian, berani melawan tentara Belanda dan ditolong oleh Said (Ade Firman Hakim) anak Bang Madi. Said kemudian belajar kungfu di perguruan Hong Djian, dan akhirnya jatuh cinta pada Lily.



Tanggal 9 Oktober 1470, peristiwa pembantaian itu terjadi. Suasana berubah menyeramkan. Ribuan orang Tionghoa dibunuh dan kampung cina hancur.

Di depan panggung dipasang tirai dari kain kelambu transparan, cahaya berwarna merah menyorot dari samping panggung dan membentuk siluet tentara Belanda yang sedang membantai .


Peristiwa pembantaian

Berbeda bukan berarti tak dibela, nyaris menjadi suatu keniscayaan di negeri tercinta ini. Mudah diucapkan tapi membutuhkan keberanian dari seluruh lapisan masyarakat untuk membela yang benar.

Maudy Koesnaedi

Tata panggung dengan paduan multimedia menjadi indah dan menarik, Penari kembar Gonjreng, Adella & Aletta, selalu menjadi ikon tari. Pemeran Said, Ade Firman Hakim keliatannya perlu memfokuskan dirinya dalam dunia entertainment. Pagelaran yang berlangsung selama +/- 3 jam membuat sebagian penonton merasa terlalu lama.



Untuk produser Sangkala 9/10, Maudy Koesnaedi jangan pernah jera untuk menyuguhkan hiburan sarat budaya, dan kepada seluruh keluarga besar Abang None Jakarta pertahankan semangat kalian mengabdi kepada Nusa & Bangsa.

Jakarta, 10 Mei 2011

Cisanti Menerangi Peradaban Pulau Jawa


Situ Cisanti, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Sumber : Kompas
Siang itu, Mang Aep (43) hanya menatap kosong rombongan ikan yang bergerak-gerak di tengah Situ Cisanti, danau seluas 10 hektar di kaki Gunung Wayang, Bandung Selatan. Angin dingin bertiup kencang, karena sumber air hulu Sungai Citarum tersebut terletak pada kawasan hutan berketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut.
“Kalau angin begini, biasanya ikan tidak mau makan umpan,” ujar Mang Aep memberi alasan bahwa ia tak juga melempar mata pancingnya ke tengah danau. Hari itu Jumat (4/3), terlihat lima pemancing duduk berpencar di pinggir danau. Kalau lagi mujur, bapak lima anak ini bisa memperoleh satu kilogram ikan. Tidak dijual, tapi untuk makan sehari-hari keluarganya.
Sebuah perahu berisi empat pencari lumut hilir mudik mengambil lumut di dasar danau. “Lumut ini dijual sampai ke Waduk Saguling, Cirata, hingga Jatiluhur untuk umpan pancing ikan. Lumayan, sehari bisa memperoleh hasil jual lumut Rp 5.000-Rp 10.000 per orang,” kata Oman (58), salah seorang juru kunci di danau itu.

Lumut yang tumbuh subur di dasar danau juga merupakan sumber pakan ikan-ikan yang ditebarkan di danau itu. Ikan-ikan di danau ini ditebarkan  pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun dinas/instansi terkait seperti Perum Perhutani.

Hari Sabtu (5/3) misalnya, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menebar 25.000 ekor ikan Nila dan 500 ekor ikan Koi di Situ Cisanti. “Kami tinggal memancingnya dan tidak pernah memberi makan karena yang menyediakan pakannya, sudah disediakan alam,” ujar Aep pendek. 

Ikan dan lumut, hanyalah secuil potensi ekonomi Cisanti yang sangat bermanfaat bagi kehidupan warga. Potensi eknomi yang sangat besar dari situ yang terletak di Desa Hutan Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung ini adalah tak pernah berhenti mengaliri Sungai Citarum.
Kawasan sungai purba Citarum adalah daerah aliran sungai (DAS) utama di Provinsi Jabar yang melewati dan mengairi Waduk Saguling di Kabupaten Bandung, Waduk Cirata di perbatasan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta dan Waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta.
Ketiga waduk ini menghasilkan 2.585 megawatt listrik pada jaringan interkoneksi Pulau Jawa dan Bali.

Sejak berpuluh tahun lalu Cisanti, melalui ketiga waduk ini menerangi peradaban hampir separuh warga negara yang tinggal di kedua pulau padat itu.

Di hilir, air Citarum digunakan untuk mengairi 300.000 sawah di delapan kabupaten kota, termasuk lumbung padi nasional, Kabupaten Karawang, Purwakarta, Subang, dan Indramayu. Air Citarum juga merupakan bahan baku air minum 80 persen kebutuhan air minum warga DKI Jakarta.

Perambahan

   
Pasang surut peradaban juga pernah mendera Cisanti, pasca reformasi. Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Lestari Tarumajaya, Agus Darajat mengisahkan, kawasan petak 73 seluas 265 hektar di hulu Cisanti dirambah 334 kepala keluarga petani. Aktivitas itu berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2003. Komoditas yang ditanam adalah kentang, kubis, atau wortel. Di daerah kaki Gunung Wayang ini tanahnya subur sehingga satu hektar lahan bisa menghasilan 15-20 ton kentang per sekali panen. Jika harga kentang Rp 5.000 saja per kg, berarti sudah Rp 100 juta, modalnya hanya Rp 50 juta-an.

Selain itu perambahan juga terkait kepemilikan tanah yang sempit akibat tekanan penduduk. Di Kecamatan Kertasari, menurut Dede Jauhari, seorang penggerak Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam setempat, dihuni 70.000 penduduk atau 12 ribu kepala keluarga yang hampir seluruhnya berusaha tani.

Padahal tanah milik yang kini dijadikan lahan pertanian sayur mayur hanya 700 hektar saja.  Selain itu ada lahan 1.150 hektar eks perkebunan kina yang kini sudah disulap menjadi lahan sayur oleh 1.250 petani. Lahan itu terletak di Desa Cikembang, 600 hektar, Tarumajaya, 170 hektar, Sukapura 200 hektar dan Cibeureum 1.500 hektar.

“Tanah itu sudah 13 tahun digarap petani dengan cara menyewa. Satu petani rata-rata menggarap 0,5 hektar dan 1 petani rata-rata memiliki 4 buruh tani,” ujar Agus. Kabarnya pihak perkebunan juga terus memproses perpanjangan HGU, namun Agus, bisa memprediksi harus kemana lagi petani juga harus terusir dari lahan itu.

Akibat perambahan hutan di sekitar Situ Cisanti, lekukan gunung yang melingkari danau tersebut hanya terlihat warna kecoklatan dan kadang hitam karena digunakan sebagai lahan pertanian. Karena merupakan daerah hulu, apa yang menimpa pasti lebih parah lagi peristiwanya di hilir. Malah tujuh mata air sebagian sempat tidak mengeluarkan air. Akibat paling parah adalah air danau yang menyusut dan kemudian terlihat seperti rawa-rawa karena tertimbun tanah dari atas yang tergerus air hujan.

Agus Deradjat mengungkapkan, komitmen bersama dari masyarakat untuk mengembalikan hijaunya Situ Cisanti memegang peranan paling penting. Buktinya setelah 334 KK petani tersebut tidak menggarap kawasan itu lagi sejak 2003, debit air Cisanti agak stabil. Namun sebagian besar kawasan berlereng terjal di sekitarnya masih dipenuhi lahan pertanian semusim yang tidak memperhatikan kaidah konservasi.
Pada awalnya kawasan itu gundul, lalu inisiatif masyarakat Citarum Bergetar (bersih, geulis, lestari) tahun 2000-2003 bergiat menyadarkan dan melakukan pendekatan kepada petani. Mereka akhirnya mau turun, namun tetap menggarap dengan menanami kopi. Mereka tidak lagi menaman sayur yang menyumbang laju erosi  cukup tinggi terhadap sungai.

Tujuh mata air
Situ Cisanti bersumber dari tujuh mata air, masing-masing bernama Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung dan Cisanti. Setiap mata air, menurut mitos, memiliki kesaktian. Di mata air Pangsiraman, misalnya, selalu menjadi tempat mandi bagi mereka yang ingin mencari jodoh, jabatan atau kekayaan. Bagi yang ingin mendapatkan ketenangan bathin bisa bermandi di mata air Cikahuripan, sedangkan untuk memperoleh kesaktian mandi di mata air Cikawadukan.

“Mitos ini masih tetap menjadi cerita di kalangan masyarakat Sunda. Bahkan, ada sejumlah pejabat dan masyarakat yang selalu datang mandi di sejumlah mata air di sekitar Situ Cisanti ,” kata Dudu Dudu Durahman, pimpinan Perhutani di Cisanti.

Harimau Putih Hingga Air Suci

Konon,  ada mitos yang menyebutkan kawasan Cisanti merupakan tempat petilasan Sembah Dalem Dipati Ukur. Dipati Ukur, yang konon kaya raya pada zamannya, lalu bermeditasi di Gunung Wayang.  “Beliau bersemedi seperti ingin melimpahkan kekayaannya, lalu tilem (menghilang) ke dalam air dan munculah mata air” ujar Oman.

Dipati Ukur bukan fiksi, melainkan tokoh sejarah manusia Sunda, wedana para bupati Priangan bawahan Mataram pada abad ke-17. Ia adalah seorang wedana yang telah memimpin sebuah pasukan besar untuk menyerang Belanda di Batavia (1628) atas perintah Mataram.

Dipati Ukur kemudan ditelikung oleh pimpinan masyarakat Sunda lain yang diajak angkat senjata, menikam dari belakang dan melaporkan niat pemberontakannya kepada Sultan Mataram. Dipati Ukur dan pengikutnya kemudian dihancurkan.

Boleh jadi antara mitos dan sejarah itu saling terkait. Ketika beratus tahun kemudian, ribuan keturunan Dipati Ukur “menelikung” Situ Cisanti dan Sungai Citarum, generasi itu pun menghancurkan kehidupannya sendiri.  Kompas.com (Dedi Muhtadi dan Jannes Eudes Wawa)