Kunci Sukses Kemajuan Korea Selatan

Oleh Lieke Kusumaida

Sejongno, Gwanghwamun, Seoul

Korea Selatan adalah salah satu negara maju di kawasan Asia selain Jepang dan Tiongkok. Korea Selatan terkenal dengan budaya K-Pop atau “Hallyu” (Gelombang Korea) yang sedang menyebar keseluruh belahan dunia. Dengan adanya Hallyu, banyak orang ingin mempelajari bahasa dan budaya Korea Selatan. Tidak hanya budaya pop-nya saja, Korea Selatan juga terkenal dengan industri elektroniknya seperti Samsung dan LG, serta industri otomotif seperti Hyundai dan KIA.


Sebelum mencapai kemajuan ekonomi seperti sekarang ini, Korea Selatan pernah mengalami kehancuran pada masa penjajahan Jepang (1910-1945), pemisahan bangsa Korea oleh sekutu (1945) dan Perang Korea (1950-1953), yang mengorbankan jutaan jiwa dan menghancurkan semua fasilitas industri dalam negerinya. Setelah mengalami masa perang yang berkepanjangan, Korea Selatan menjalankan program pembangunan ekonomi yang dinamakan “Miracle on the Hangang River”. Program ekonomi ini dicetuskan oleh presiden Park Chung Hee (1963-1979), di mana salah satu strateginya adalah pembangunan ekonomi beriorientasi ekspor.

Pada tahun 1960-an, komoditas ekspor utama Korea Selatan adalah produk industri ringan yang diproduksi di pabrik kecil dan barang mentah. Lalu pada tahun 1970-an, Korea Selatan mulai mengekspor produk industri berat. Pemerintah juga meningkatkan infrastruktur, melakukan pemerataan pembangunan, dan membuat kebijakan yang memacu semua industri baik yang besar maupun kecil agar dapat berkembang. Perkembangan industri manufaktur berdampak langsung pada penciptaan lapangan pekerjaan. Ini yang menjadi pondasi penting bagi peningkatan perekonomian Korea Selatan. Sebagai hasilnya, Korea Selatan berhasil meningkatkan volume ekspornya dari US$ 32.8 juta di tahun 1960 menjadi US$ 559.6 miliar di tahun 2013. Kemudian produk domestik bruto per kapitanya naik dari hanya US$ 60 pada tahun 1948, menjadi US$ 26,205 di tahun 2013.

Sadar akan keterbatasan sumber daya alamnya, Korea Selatan mengembangkan sumber daya manusia untuk meningkatkan perekonomian dan industrinya. Sejak tahun 1948 Korea selatan membangun sekolah yang menggunakan sistem pendidikan yang modern, kemudian pada tahun 1953 setiap anak wajib mengikuti pendidikan dasar 6 tahun. Saat ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang mempunyai tingkat melek huruf tertinggi di dunia. Selain meningkatkan SDM, Korea Selatan juga memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mendirikan Korea Institute of Science and Technology (KIST) dan Kementerian Pengetahuan dan Teknologi (MOST) pada tahun 1966 dan 1967. Pada awalnya. Korea Selatan hanya menyerap dan menggunakan teknologi asing, namun sejak tahun 1980-an mereka mulai mengembangkan proyek R&D untuk meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk sumber daya manusianya. Hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang Korea Selatan memiliki industri pembuatan kapal, semi konduktor, baja, elektronik, otomotif, dan lain-lain yang bermutu tinggi.

Kemajuan Korea Selatan juga tidak terlepas dari peran masyarakatnya sendiri. Masyarakat Korea Selatan lebih mementingkan urusan kenegaraan dibandingkan dengan urusan pribadi (Yang Seung-Yoon dan Mochtar Mas’oed, 2003). Selain itu, masyarakat Korea Selatan sangat mencintai tanah airnya yang diwujudkan dengan menggunakan hasil produksi dalam negeri. Kecintaan masyarakat pada tanah airnya mencangkup cinta kepada ideologi, tradisi dan kebiasaan yang menciptakan identitas nasional. Masyarakat Korea sangat mudah disatukan teruma ketika menghadapi situasi yang sulit. Contohnya pada tahun 1998, untuk memulihkan krisis keuangan, masyarakat Korea Selatan menyumbangkan emasnya secara sukarela. Gerakan ini berhasil mengumpulkan emas senilai US$ 20 miliar. Selain itu, masyarakat Korea Selatan dikenal pekerja keras dan disiplin. Hal ini disebabkan masyarakat Korea Selatan banyak mengalami masa sulit, sehingga mereka berusaha keras memperbaiki kehidupannya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kunci sukses kemajuan Korea Selatan selain ditunjang oleh strategi kebijakan pemerintahnya, juga ditunjang oleh karakter masyarakatnya yang bekerja keras, disiplin, serta mempunyai rasa nasionalitas yang tinggi. Rasa nasionalisme tersebut direalisasikan dengan mencintai produk, perusahaan, dan budayanya sendiri, sehingga dapat berjaya di dalam negeri sekaligus di luar negeri. Di samping itu, tenaga kerja yang terlatih, situasi dalam negeri yang kondusif dan pemerintahan yang relatif bersih juga ikut berperan dalam memajukan Korea Selatan.


Referensi:


Novotel Berkibar Kembali di Bukittinggi

Nadya Hutagalung bilang dia jatuh cinta pada Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang memiliki banyak pemandangan indah, termasuk Ngarai Sianok, lembah curam yang tak jauh dari pusat kota "Jam Gadang" itu.

"Selama ini, kan, kalau liburan enggak pernah ke Bukittinggi. Pas ke sana baru tahu bahwa Bukittinggi itu ternyata bagus banget," kata Nadya seperti dikutip oleh Kompas (27/12/2015)

Panorama paling spektakuler di Bukittinggi di mata Nadya adalah kala matahari tenggelam. "Saya sampai menahan napas karena indahnya," kata Nadya. Nadya pun menuliskan kekagumannya di akun Twitter-nya, "Bukittinggi is beautiful!".

Well, it is beautiful... :)

Di Bukittinggi ini juga berdiri the most romantic hotel in Indonesia, Hotel Novotel Bukittinggi, yang baru saja merayakan anniversary-nya yang ke-20. Hotel yang arsitekturnya memadukan budaya Muslim dan Minang ini diresmikan pada tanggal 10 November 1995 oleh Menteri Pariwisata saat itu, Joop Ave.



Sepuluh tahun yang lalu hotel ini sempat dikelola sendiri dengan nama The Hills Bukittinggi, kemudian pada tahun ini, 2015, dikelola kembali oleh Novotel, Accor Asia Pacific. Meski sempat pasang surut, namun hingga kini Hotel Novotel Bukittinggi masih berkibar di hadapan Gunung Merapi dan Singgalang.

(Baca juga: The Hills dan Bung Ciil)





Santa Klaus Main Jazz di Kafe

Sambil menikmati soto bandung, nasi udang goreng mentega, atau menyeruput bandrek dan bajigur, kita ”menyantap” jazz hidangan Salamander Big Band di Café Halaman, Tamansari, Bandung. Dengan topi Santa Klaus, Senin (21/12) malam, mereka menyuguhkan lagu Natal berasa jazz swing yang rancak dan nyaman.

Salamander Big Band (KOMPAS/FRANS HARTONO)

Suasana sangat kasual. Tidak ada jarak antara big band dan pengunjung. Musisi dan pengunjung berada selevel. Ke-22 awak Salamander Big Band seperti berdesak-desakan di bagian kafe yang setengah terbuka itu. Adapun pengunjung yang padat duduk dalam temaram nyala lilin serta belaian sejuknya angin malam Kota Bandung. Musik tidak menjadi sekadar teman santap, atau sebagai pencipta ambiance kafe. Pengunjung menyantap dua menu sekaligus: makanan dan jazz yang hangat.

Salamander Big Band membuka dengan ”Christmas Joy and Spirit” yang diambil dari aransemen karya Sammy Nestico. Ia adalah penggubah (arranger) genius yang kini berumur 90 tahun, belasan tahun menggarap aransemen untuk Orkes Count Basie dan masih berkarya. Pembuat aransemen berperan penting dalam big band jazz karena dari garapan penggubah yang baik, komposisi menjadi bernyawa. Peran big band adalah membunyikan nyawa tersebut.

Kegembiraan dan semangat

Salamander Big Band menyalakan ”Christmas Joy and Spirit”, yang memuat tiga rangkaian lagu Natal, yaitu ”Jingle Bells”, ”Away in a Manger”, dan ”Gloria”. Cukup unik karena ketiga komposisi itu mempunyai karakter rasa berbeda. ”Jingle Bells” sesuai dengan jiwa lagu dibuat dengan semangat sukacita, riang-riang ceria. Dengan tempo cepat, semua seksi tiup, yaitu trompet, trombon, serta saksofon sopran, alto, tenor, dan bariton seperti ”membadut”. Terdengar ada sense of humor atau kejenakaan dalam suaranya. Sangat pas dengan judul karya yang memilih menggunakan kata joy.

Rangkaian berikutnya terasa sangat kontras, yaitu ”Away in a Manger” yang bertempo lambat. Disusul bagian selanjutnya, yaitu ”Gloria”, kembali digunakan tempo cepat. Satu hal yang menarik, dua bagian terakhir itu lebih terkesan seperti layaknya paduan suara brass. Bisa dikatakan sangat berbeda dengan garapan Sammy yang bisanya menggunakan ”ajian” swing yang membuai. ”Christmas Joy and Spirit” pas sebagai nomor pembuka. Ia menjadi semacam overture, yang menjadi kata pengantar untuk komposisi selanjutnya.

Salamander Big Band menampilkan tiga penyanyinya, yaitu Gail Satiawaki, Nenden, dan Imelda Rosaline, yang juga pianis big band ini. Imel dengan lincahnya membawakan ”Santa Claus is Coming to Town” dengan aransemen garapan Dave Wolpe, salah seorang arranger big band jazz yang populer dan produktif sejak era 1960-an. Wolpe antara lain pernah menggarap aransemen untuk Glenn Miller Orchestra, antara lain dalam album In The Christmas Mood.

Dalam ”Santa Claus is Coming to Town”, hampir semua instrumen diberi ruang, termasuk gitar. Vokal dan cara bernyanyi Imel yang lepas berada satu semangat dengan seluruh komponen instrumen musik, yaitu menyala-nyala gembira, atau electrifying. Terasa ada warna khas Glenn Miller yang dikenal sebagai Miller Sound, seperti terdengar dalam lagu kondang mereka, yaitu ”In The Mood”.

Semangat riang berapi-api juga terasa dalam nomor ”Sleigh Ride” yang dibawakan Gail. Juga pada instrumentalia ”Winter Wonderland”. Rancak, kompak, dan terasa rasa swing-nya. Padanan kata swing dalam bahasa Indonesia mungkin bukan sekadar goyang, melainkan juga ada nuansa mengayun, membuai. Ritme yang secara tidak sadar menjadikan pendengarnya menepak-nepakkan kaki, seakan berayun-ayun dalam buaian.

Swing juga bisa lembut. Seperti ditunjukkan Salamander Big Band dalam ”Christmas Time is Here” yang menampilkan penyanyi Nenden. Penyanyi yang mengingatkan pada gaya penyanyi jazz Diane Schuur itu membawakan lagu tersebut dengan gaya balada yang mellow, hangat, lembut, dan tenang. Secara suasana sangat kontras dengan nomor-nomor lain berapi-api.

Lea Simanjuntak

Di tempat yang sama malam itu, sebelumnya tampil pula Lea Simanjuntak. Dengan diiringi Rabukustik, ia membawakan lagu Natal yang sebagian besar termuat dalam album barunya, The Perfect Year. Album memuat sejumlah lagu antara lain ”O Holy Night”, ”It’s the Most Wonderful Time of the Year”, dan ”The First Noel.” Lagu ”O Holy Night” dibawakan dalam remang-remang nyala lilin. Vokal Lea terdengar lantang, jernih, dengan artikulasi jelas, dan ekspresif menjadikan sosok dan jiwa lagu tertangkap secara lebih utuh.

Lepas dari perhelatan di kafe itu, tahun ini album Natal juga dibuat gitaris Venche Manuhutu, yaitu Jazz in Christmas. Album didukung Arief Setyadi pada saksofon, Gerry Herb (drums), dan Bintang Indrianto (bas). Permainan gitar Venche dengan petikan lembut terdengar mengalir runut, bersih, fasih, dan nikmat pada setiap lagu. Seperti pada ”Winter Wonderland”, ”White Christmas”, ”Jingle Bells”, dan ”Santa Claus is Coming to Town”.

Pada album ini, terasa ada upaya memperkaya khazanah bunyi untuk lagu Natal. Misalnya ada sentuhan bernuansa Sunda dalam ”We Wish You a Mery Christmas” dengan kehadiran kendang sunda dari Ki Dunung. Dihadirkan pula suara harmonika dari Hari Pochang dan selo dari Yana Aditya dalam ”O Holy Night”. Dilibatkan juga paduan suara GII Dago pada lagu ”Go, Tell it on the Mountain” dan Paduan Suara Gema Kasih dalam ”Silent Night”.

Menarik menyimak bagaimana lagu-lagu Natal dimainkan sesuai dengan interpretasi personal. Ada rasa big band jazz, ada pula gitar jazz yang melibatkan sejumlah elemen instrumen musik. Jazz yang demokratis, dan merangkul siapa saja yang menginginkan keindahan. (XAR)


Sumber: Kompas, 27/12/2015

Rumah, Organisme yang Bernapas

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ

Mengunjungi rumah pendiri Jurusan Arsitektur Universitas Sumatera Utara, Rudolf Sitorus (57), seperti menemukan irisan Batak dan Jawa. Ornamen dan perabot Jawa dan Batak bertebaran di dalamnya. Sebut saja ini rumah ”pejabat”, percampuran Jawa-Batak. Rumah itu juga segar karena sang arsitek memperlakukan rumah sebagai organisme yang perlu bernapas.

(KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Siang itu, udara kota Medan cukup panas. Setidaknya membuat orang berkeringat meski hanya memakai kaus oblong. Tetapi begitu masuk rumah Rudolf, suhu udara seperti diturunkan tiba-tiba, begitu sejuk. Padahal tak ada penyejuk ruangan yang menyala dalam bangunan seluas 400 meter persegi itu.

Setelah dirasa-rasa, sesekali berembus semilir angin dari arah depan dan belakang rumah menuju ruang tamu, terus naik ke lantai dua. Rudolf sengaja membangun rumahnya dengan tembok lantai satu setinggi 4,2 meter. Adapun dinding di lantai dua setinggi 3,6 meter. Dinding yang relatif tinggi itu memberi ruang yang cukup bagi udara untuk bergerak bebas sehingga sirkulasi lancar dan tidak panas.

Itu didukung oleh banyaknya pohon di sekitar rumah. Di depan rumah terdapat pohon mahoni, dadap, dan dua pohon mangga, yang demikian rimbun, sehingga tanpa kanopi pun halaman rumah itu begitu teduh. Di belakang rumah, Rudolf sengaja menyediakan lahan seluas 400 meter persegi untuk taman yang ditumbuhi belasan jenis pohon, seperti rambutan, mangga, jambu biji, dan palem.

Di antara pepohonan itu juga terdapat dua kolam kecil. ”Ini mata air yang kami pelihara. Musim kemarau pun, tidak susah air di sini,” kata suami Morida Siagian (55) ini.

Di salah satu kolam itu, Rudolf memelihara beberapa ikan emas yang setiap pagi dia sambangi untuk diberi makan. Lebih dari itu, memelihara ikan merupakan cara dia mendidik keempat anaknya tentang cara menumbuhkan kasih kepada sesama makhluk hidup. Dengan memelihara binatang, seseorang belajar untuk tidak egois. ”Dulu kami memelihara ayam. Anak-anak saya ajak membeli ayam, merawatnya sampai besar, bahkan sampai bertelur,” kata penyuka warna putih ini.

Keempat anaknya kini sudah tumbuh besar. Romora Edward Sitorus (29), lulusan Birmingham University, Inggris, bekerja di Jakarta. Riomardo Albert Sitorus (24), lulusan Universitas Indonesia, menjadi dokter di Timika. Anak ketiga, Evelyn Mirandha Sitorus (22), menjadi arsitek di Ubud, Bali. Rudolf dan Morida kini hanya tinggal bersama anak bungsunya, Dinah Myron Sitorus (18), yang masih SMA.

Ketika senggang atau libur mengajar, Rudolf kerap menghabiskan waktu di kolam tadi. Kalau tidak di sana, bisa dipastikan dia asyik membaca buku di salah satu sudut ruang tamu yang berdekatan dengan jendela. Di sana, ia membiarkan angin berembus lembut membelainya, sementara ia asyik melahap buku-buku bacaan. Dia juga kerap tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen di ruang pribadinya di lantai dua yang demikian luas dan dihiasi belasan lukisan.

Rudolf maupun Morida kerap mengajak belasan mahasiswa ke rumah untuk menikmati keasrian sekaligus belajar mendesain rumah yang ramah lingkungan. ”Rumah ini menjadi inspirasi sekaligus tempat bersyukur. Sambil membersihkan rumah, hati saya sering berkata-kata tentang syukur kepada Tuhan atas tempat yang demikian membuat saya betah ini,” papar mantan Rektor Institut Sains dan Teknologi TD Pardede, Medan, ini.

Bahan bekas

Rumah ini didesain oleh Morida dan tentu saja dibantu Rudolf. Sekilas rumah di Jalan Sei Siput, Medan, ini mirip bangunan bergaya Eropa. Temboknya yang berbahan bata merah dibiarkan begitu saja tanpa lapisan cat. Di bagian dalam, puluhan lukisan menghiasi dinding-dinding berdampingan dengan jendela-jendela yang kalau dibuka, membuat orang leluasa melihat isi rumah.

Morida dan Rudolf sengaja membiarkan sepertiga bagian lantai dua bolong sehingga memungkinkan udara bebas merambat naik. Begitu pun cahaya langit dari genteng kaca di lantai dua leluasa menembus ruang tamu di lantai satu. ”Rumah itu perlu bernapas. Udara bisa naik ke atas. Debu-debu diserap oleh bata-bata merah sehingga mudah dibersihkan,” kata Rudolf.

Di antara ruang tamu dan dapur, terdapat tangga membentuk ujung anak panah. Ketika diterpa cahaya dari jendela, tangga itu begitu berdimensi seperti ujung anak panah bergerigi. Banyak tamu kepincut dengan tangga itu karena bagus untuk berfoto. Tangga itu sengaja didesain dengan mempertimbangkan sisi dekoratif, tanpa kehilangan aspek ergonomisnya.

”Tangga itu idealnya mempunyai tinggi 15 sampai 18 senti meter dan lebar antara 28 dan 30 sentimeter biar tidak bikin orang capek. Ini tingginya 18 sentimeter dan lebar 30 sentimeter,” kata Rudolf menjelaskan prinsip pembuatan tangga.

Sekitar dua pertiga bahan bangunan itu didapat dari bahan bekas. Kusen-kusen maupun lemari ukuran jumbo didapat dari tukang loak atau goni butut yang kerap memborong gudang-gudang rumah lama. Kebanyakan barang itu didapat dari Kesawan, kawasan kota tua di Kota Medan. Dua piano tua juga didapat dari berburu barang bekas itu.

Rudolf juga rajin berburu barang bekas di Pajak Ular, sebuah pasar yang terkenal menjual barang-barang antik. Beberapa barang koleksinya, seperti kacamata Rodenstock, dia dapat dari sana. Memang sejak kuliah di Ball State University, Amerika Serikat, pun, Rudolf dan istrinya kerap berburu ke pasar loak untuk mendapatkan barang-barang antik. Dari perburuan itu, mereka memboyong beberapa lampu di ruang tamu, juga ratusan patung burung hantu yang memenuhi salah satu lemari tua di ruang tamu. Kebetulan Morida gemar mengoleksi patung atau miniatur burung hantu.

Di dekat lemari itu terdapat kursi, meja, dan amben kayu jati yang mirip dengan perabot rumah-rumah tua di Yogyakarta. ”Iya, ini sengaja kami datangkan dari Jogja,” kata Rudolf.

Tak jauh dari meja kursi itu, terdapat beberapa perabotan Batak, termasuk alat penyimpan beras milik orang Batak Toba, Rumba, juga ada sapa, sejenis talam atau pinggan kayu untuk makan bersama.

Rudolf yang lahir di Parapat, tepian Danau Toba ini, tumbuh besar di Purwokerto dan Magelang, Jawa Tengah, mengikuti ayahnya, MM Sitorus, seorang tentara. Tumbuh di tengah budaya Jawa membuat Rudolf lekat dengan Jawa. Bahkan dia dan anak-anaknya fasih berbahasa Jawa. Namun, dia tak ingin kehilangan akar sebagai orang Batak.

Maka, Rudolf seolah menjadikan rumahnya sebagai irisan Batak-Jawa itu. Dia mengajarkan unggah-ungguh Jawa sekaligus prinsip dalihan natolu, kearifan lokal orang Batak tentang wawasan sosio-kultural orang Batak.

Pasangan suami-istri ini mencoba hidup selaras bersama alam dengan membangun hutan di belakang rumah sebagaimana suasana pedesaan di Jawa. Mereka juga memegang prinsip ruma atau jabu nabolon yang menitikberatkan pada keberhasilan (hagabean), kekayaan (hamoroan), dan kehormatan (hasangapon).

Dari rumah nan asri itu, Rudolf membiarkan anak-anaknya merantau untuk mandiri dan merengkuh keberhasilan, kekayaan, dan kehormatan seperti ajaran nenek moyang Batak.


Sumber: Kompas, 20/12/2015

Reuni di Konser Bimbo

Sedikit nostalgia sewaktu saya menjelang usia 30 tahun, saat sedang kuliah kembali di ITB dan keadaan tidak menentu alias galau karena tidak punya pacar :D

Ketika sedang mengobrol di beranda keluarga besar Bimbo di Jalan Sultan Agung, Bandung, Iin Parlina nyeletuk, "Ded, sudahlah sama Sommy Dharsono aja. Gadis ITB baik, cerdas...," dan seterusnya. Maka setelah itu saya tancap gas, walhasil setahun kemudian pada tanggal 12 Desember l975 kami jadian di restoran Tizzi, Jalan Hegar Manah, Bandung.

Jauh sebelumnya, tahun 1959, saya sekelas dengan Djaka Purnama di SMPN 2 Bandung, dan kemudian sekelas lagi di SMAN 2 Bandung. Lalu Djaka Purnama menikah dengan sahabat Sommy, yaitu Novani .

Konser Bimbo tanggal 17 Desember 2015 lalu menjadi reuni besar bagi kami.

Indonesia Menyanyi Bimbo

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Konser yang bertajuk "Indonesia Menyanyi Bimbo" ini digelar oleh Lima Dimensi Production yang sebagian besar awaknya adalah alumnus ITB. Bimbo dipanggungkan karena dianggap sebagai aset budaya nasional.

"Kami mengangkat Bimbo karena selama 20 tahun ini Bimbo nyaris terlupakan dan tidak dikenal oleh generasi muda. Bimbo juga menjadi simbol perjuangan musisi Indonesia terhadap hak cipta dan royalti yang selama ini kurang diperhatikan masyarakat dan pemerintah," kata Sapti M Wahyudi, Ketua Lima Dimensi Production, seperti dikutip oleh Kompas (18/12/2015).

Pada malam itu tampil juga Vina Panduwinata, Candil, Sandhy Sondoro, Farman Purnama, Andrea Miranda, Ghaitsa Kenang, Dita "The Voice", serta pemain harpa Maya Hasan. Musik digarap dengan indah oleh Purwatjaraka dengan Purwacaraka Light Orchestra-nya. Sebanyak 24 lagu lagu, seperti Balada Seorang Biduan, Gadis Desa, Citra, Dengan Puisi, Antara Kabul dan Beirut, Melati dari Jayagiri hingga lagu Tuhan dibawakan oleh penyanyi dan musisi favorit Indonesia.

Konser ini digelar menjelang 50 tahun Bimbo yang jatuh pada 2017. Selama puluhan tahun itu, Bimbo berlagu tentang kehidupan, cinta, Tuhan, juga tentang Indonesia dengan segala dramatika, romantika, dan perilaku insannya yang "lucu-lucu". Konser ini cukup bijak memilih lebarnya tema lagu-lagu Bimbo.

Bimbo sebagai grup memang tidak "diperbudak" oleh lagu cinta thok yang menjadi dagangan abadi dalam industri musik pop di mana pun. Ketika melihat kondisi sosial-politik negeri yang karut-marut, mereka tidak tinggal diam. Lantas muncul "keusilan" kreatif mereka. Salah satunya dalam lagu "Romantika Hidup" yang di panggung dibawakan oleh Bimbo sendiri.

Dalam lagu itu, Bimbo mengingatkan,
"Jangan lupa tugas mulia
Berbakti pada negara
Tuhan sungguh Maha Kuasa
Gajah mati tinggalkan gading
Macan mati tinggalkan belang
Kita mati tinggalkan kebajikan...
"


Baca juga:

Konser Bimbo: "Bila Kita Punya Jabatan..." (KOMPAS, 18/12/2015)

Dua Lelaki Italia dan Botolnya

Oleh HARIADI SAPTONO

Kedua lelaki itu sama-sama mengesankan. Yang muda tulus dan lempeng. Yang lebih sepuh tak kalah tulus, namun caranya berkomunikasi amat memukau. Keduanya telah membuat Fremantle, kota kecil di pinggir laut, dan bagian kota Perth di Australia Barat, punya selera yang elok.

(KOMPAS/HARIADI SAPTONO)

Kedua lelaki itu pada hemat kami telah melampaui ”kasunyatan”; istilah kuna untuk menyebut orang yang menghadapi derita dan keberuntungan dengan apa adanya. Bersorak riang tidak, menggerundel pun tidak.

You came from Indonesia? Well, so we are family. My family name is Corrapsi and many Indonesian also ’korapsi...,” kata Nunzio Gumina (75-an tahun), memulai perkenalannya dengan plesetan yang menyentak peserta International Media Hosting Programm (IMHP) dari Tourism Western Australia yang bekerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia mempromosikan pariwisata Australia, khususnya menyongsong musim panas di Australia akhir November 2015 hingga awal tahun depan. Garuda Indonesia, sejak Oktober lalu pun sudah menyediakan penerbangan rutin langsung dari Jakarta ke Sydney, Melbourne, dan Perth.

Merasa kata pembukanya bisa melukai, cepat-cepat ia merangkainya dengan bilang pada tamunya, ”Haaii, saya pernah tinggal di Bali lama. Lalu di Jakarta juga.”

Sambil memanggil asisten-asistennya dan menyajikan rangkaian kuliner khas Italia, Nunzio mulai mendongeng segala hal. Keluarganya, katanya, datang dari Sicilia Italia, ketika usia Nunzio masih berumur 6,5 tahun. Ayahnya yang bernama Corrapsi membawa Nunzio bersama empat saudara sekandungnya. Itu sekitar tahun 1940, saat kondisi Australia masih buruk dan keluarga Nunzio bahkan belum bisa berbahasa Inggris.

Ayahnya kemudian jadi orang pertama yang membuka restoran di kota Fremantle. ”Kalau tidak ada Corrapsi, tidak ada restoran di sini,” kata Nunzio, masih dengan gaya plesetan sambil tertawa. Nunzio sendiri kini direktur restoran Nunzio’s di Jalan Essex 20, Fremantle; sebuah restoran mungil di kawasan lama Fremantle, dengan banyak dinding antar-ruangan dibuat melengkung dan berbagai lukisan cat minyak koleksinya.

Nunzio menambahkan, ia pernah membuka coffee shop, restoran, dan membuka hotel di Bali berpatungan dengan pengusaha Bali. Tapi usahanya di Bali gagal karena kesepakatan perjanjian tidak ditepati. ”I am a man of my word. I am Italian,” katanya.

”Kamu akan bilang I am ugly dengan wine gelas pertama yang saya tawarkan. Tapi, nanti kamu akan bilang I am handsome pada gelas kedua,” kata Nunzio dengan melanjutkan cerita. Ia lalu membual tentang tiga biji kopi dan segelas minuman sambuca.

Konon 25 tahun lalu, seorang pemuda yang jatuh cinta kepada gadis idamannya linglung tak berdaya di Piazza Italia. Seorang kakek bertanya, mengapa engkau linglung anak muda? Si anak muda bilang, saya akan mati kalau saya tidak menjadi kekasih gadis cantik idaman saya ini. Tapi saya tidak punya nyali dan saya tidak punya kata-kata untuk menyatakan cinta saya. Oo sini aku beri tahu. Ambil tiga biji kopi ini dan masukkan ke dalam gelas sambuca. Tunggu beberapa saat, engkau akan dengan sendirinya mengucapkan kata-kata cinta. Benar saja, tiga biji kopi yang dimasukkan ke dalam gelas itu, masing-masing adalah kata Ti Amo (ti ah mo), aku cinta padamu.

Kini giliran Nunzio mendapat tugas, menyelesaikan masalah pribadi seorang wanita yang bermasalah dengan eks suami perempuan itu. Nunzio berstatus duda dengan dua anak, sedangkan perempuan Italia itu telah memiliki tiga anak. Namun, bukannya masalah selesai, Nunzio sendiri kini yang jatuh cinta kepada perempuan yang disebutnya sangat cantik itu.

That’s my destiny,” kata Nunzio yang lalu menemui lagi perempuan itu setelah menyiapkan tiga biji kopi dan sambuca.

Orangtua itu tergopoh-gopoh mencari handphone-nya yang lain lalu menunjukkan foto-foto istrinya kepada tamu-tamunya. Dan kami melihat, wanita kulit putih dengan rambut blonde itu memang tidak jelek. Perempuan itu sekilas mirip dengan penyanyi beken Madonna. Kontan muncul komentar, ”Kok, perempuan itu mau kawin dengan kamu Nunzio? Apa karena kamu merasa handsome?”

Nunzio tertawa sambil menggoyang-goyang gelas wine-nya. Ramalannya tepat, nanti setelah gelas kedua, orang akan berkomentar dirinya adalah laki-laki yang tampan.

Saat Nunzio berceloteh, dengan tempo lambat, yang terbayang di angan-angan saya justru adegan film The Godfather, saat keluarga Don Corleone tengah bercengkerama.

Saat rangkaian menu Italia dan wine sudah lewat, waktu baru menunjukkan pukul 14.35. Ini jelas bukan waktunya untuk makan siang karena kesorean. Makan sore pun tidak, apalagi makan malam karena sejak pagi kami terus diundang untuk menikmati aneka kuliner Fremantle, dengan porsi yang umumnya kegedean dan membuat klenger, serta jeda (jarak) waktu antar restoran yang terlampau pendek. Sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.35 itu, sudah lima restoran/kafe kami masuki dan jajal menunya.

Gudang ”wine”

(KOMPAS/HARIADI SAPTONO)

Enam hari kemudian, kami bertemu Antonio Vilaca (64), Manajer Hotel Terrace sekitar pukul 20.30. Ia pria Italia, manajer hotel kecil dengan 15 kamar, dan ternyata dulu bekas bangunan gereja di pinggir jalan besar kota Perth yang riuh pada siang ataupun malam. Hotel dan restoran Terrace malam itu juga penuh tamu yang menikmati makan malam.

Bukan cuma meja makan di dalam hotel, melainkan juga meja di teras pinggir jalan sudah riuh oleh denting garpu-sendok dan piring serta gelas wine yang dibenturkan perlahan oleh para tamu. Untunglah, Ryan Mossny, pemandu kami, mudah akrab dengan staf Antonio, sebelum Antonio kemudian muncul.

”Silakan di ruang pribadi Antonio, dia mengizinkan Anda makan di dalam. Pesan Antonio, dilarang ambil foto, ya, di ruang wine,” kata staf restoran perempuan agak berseru karena ia sibuk melayani tamu-tamu lain.

Saat masuk ke kamar kerja pribadi Antonio selaku manajer hotel dan restoran itu, suasananya memang lebih lega dengan nuansa dinding kayu dan rak-rak wine yang berderet-deret. Gudang penyimpan wine-nya sebenarnya ada di sebuah ruangan sempit memanjang di sisi kamar kerja Antonio itu.

”Silakan, silakan kalian ambil foto gudang wine tidak apa-apa. Silakan, di sini saya menyimpan hanya sekitar 3.000 botol, yang lain kami simpan di tempat lain. Yang ada di sini jenisnya lebih dari 400 macam,” kata Antonio, setelah tahu bahwa tamu-tamunya ini jurnalis dan blogger dari Indonesia.

Sebelum ia meninggalkan kami lagi untuk melayani tamu-tamu lain di ruang makan dan teras, dia menawarkan jenis wine sangat tua, mereknya PX (Pedro Ximenez Alvear, keluaran tahun 1927 dari Spanyol.

”Ini cuma sebagian kecil koleksi wine lama kami. Terus terang, saya sendiri selalu memburu jenis wine klasik dan keluaran produksi lama. Saya mencarinya bahkan lewat internet. Harganya bisa sangat mahal, tapi kami menyimpannya sebagai koleksi. Nanti koleksi kami juga akan dicari tamu-tamu atau pembeli lewat internet atau datang ke hotel ini,” kata Antonio.

Begitu tamu-tamunya di ruang makan surut, Antonio kembali menemui kami dan melanjutkan penjelasannya yang lempeng tentang bisnis hotel dan wine. Kata dia, tidak ada patokan harga pasti berapa sebenarnya harga sebotol wine pilihan. ”Bisa 10 juta (rupiah), bisa pula 20 juta (rupiah) sebotol,” ujarnya.

Ryan Mossny dan dua tamu lainnya yang mencicipi wine PX tadi mengaku, wine yang disajikan Antonio kali ini cita rasanya lain sama sekali. Halus, tetapi kemudian membuat mengantuk dengan perlahan.

Elok

Waktu kami keluar dari Hotel Terrace, suasana agak tergesa. Karena gerimis kecil turun dan beberapa staf hotel tadi masih sibuk merapikan kembali setelan meja dan kursi restoran. Dan, karena pulang kemalaman sekitar pukul 23.40, terpaksa hampir satu jam kami harus menunggu taksi.

Waktu sampai di hotel, menjelang naik ke tempat tidur, saya mempertanyakan kata-kata bijak para ahli masak yang saya temui di Australia: masakan yang hebat merupakan masakan dengan resep dan cara membuat yang simpel, tapi rasa masakannya enak tak terkira. Yang ngomong seperti itu, antara lain Pak Nunzio di restorannya serta Matt Moran (chef hebat Australia dan sering muncul di televisi) dan Datuk Shef Wan (Duta Masakan dan Wisata Malaysia), keduanya hadir sebagai bintang pada acara Margaret River Gourmet Escape 2015, undangan makan informal sambil berkemah di pinggir pantai, di Castle Bay Beach.

Jangan-jangan perkara perut sesungguhnya memang perkara sederhana. Tak perlu rumit membuatnya, tak perlu mahal harganya, dan jangan sekali-kali porsinya kebanyakan sehingga makanan dibuang-buang sebagaimana lazim terlihat di restoran-restoran di sana.

Saat mematikan lampu kamar tidur hotel, muncul lagi pertanyaan liar: kenapa, sih, perjumpaan hangat dan tulus lebih menggetarkan dan mengesankan batin daripada sekadar sajian tumpah-ruah kuliner dahsyat, atau berkoper-koper cenderamata yang tak menyentuh kemanusiaan kita sendiri?

Nunzio yang aksi dan baik hati serta Antonio yang lempeng dan apa adanya. Ah, mereka itu punya selera elok sebagai manusia.

Sumber: Kompas, 13/12/2015

Tempat Paling Kaya di Dunia

Oleh Steve Kosasih*

Bertahun-tahun lalu, salah seorang mentor saya pernah bertanya, “Steve, apakah kamu mau ikut saya melihat tempat paling kaya di dunia?” Dengan mata berbinar-binar, saya menganggukkan kepala. Dia lalu mengajak saya mengunjungi sebuah taman pemakaman yang sangat besar dan megah.

Saat melihat wajah saya yang keheranan, dia pun berkata, “Ini tempat paling kaya di dunia. Di sini terkubur mimpi-mimpi besar yang tak pernah diwujudkan, penemuan-penemuan dahsyat yang tak pernah ditemukan, dan buku-buku yang tak pernah dituliskan. Semuanya hilang terkubur di sini.” Saya pun mengangguk-angguk, sama sekali tidak menduga jawabannya.

“Jangan biarkan semua kekayaan itu terkubur bersamamu saat kamu dipanggil Tuhan. Keluarkan semua kekayaan yang masih tersembunyi dan jadikan berguna bagi banyak orang. Sangat menyedihkan jika kita mati dengan semua kekayaan itu hilang terkubur bersama kita. Hiduplah penuh isi, matilah dengan kosong. Hanya dengan begitu, hidup kita tidak sia-sia.” Kata-kata mentor saya itu masih terngiang di telinga saya hingga hari ini.

Tidak berani bermimpi



Di sela-sela kesibukan melayani masyarakat, saya mencoba meluangkan waktu untuk berbagi dengan mengajar anak-anak jalanan atau murid-murid sekolah dasar dari kalangan ekonomi bawah.

Menurut saya, kecerdasan dan keceriaan murid-murid di sekolah dasar yang kumuh sekalipun relatif tidak jauh berbeda dibandingkan rekan-rekan mereka dari kalangan ekonomi menengah atau atas. Namun, ada satu hal yang sangat berbeda, yaitu keberanian mereka untuk bermimpi.

Suatu hari, saya bertanya, “Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?”Jawaban yang saya terima rata-rata berkisar antara “sopir bajaj!”, “tukang cuci!”, atau “sekuriti!”. Mengapa demikian? Karena orangtua mereka adalah sopir bajaj, tukang cuci, atau penjaga keamanan yang menjadi role-model anak-anak yang cerdas dan ceria itu. Mereka tidak berani bermimpi lebih tinggi daripada apa yang mereka lihat. Waktu saya tanya “Kenapa tidak punya cita-cita yang lebih tinggi?”, mereka menjawab “Yah, kami tahu diri lah, Pak. Orangtua kami itu siapa, kami bukan siapa-siapa.” Ironisnya, para orangtua anak-anak itu membanting tulang agar anak-anak mereka dapat bersekolah dan memiliki nasib lebih baik daripada mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah.

Karena penasaran, saya bertanya kepada anak-anak itu, “Kalau kamu punya uang banyaaakkk sekali dan kamu bisa beli apa saja yang kamu inginkan, kamu mau beli apa?” Jawaban yang paling popular hari itu adalah “nasi padang”. Ternyata mereka sering melihat orang-orang makan hingga berkeringat dengan begitu enaknya di rumah makan Padang. Mereka hanya mampu menonton dan menelan ludah karena tidak mampu membelinya. Itulah impian mereka.

Sungguh miris hati saya karena masih banyak anak-anak yang memimpikan sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana. Merekalah generasi yang akan mewarisi bangsa dan negara ini. Generasi yang mimpinya hanya setinggi meja di rumah makan dan hanya sebesar piring nasi padang.

Mulailah bermimpi

Ibu saya berkarier sebagai pegawai negeri sipil, guru sekolah menengah atas. Ayah saya pun dulu hanya pegawai biasa. Saya bersyukur bahwa ayah dan ibu saya selalu menyemangati saya dan adik-adik untuk berani bermimpi besar dan mau bekerja keras untuk meraih mimpi-mimpi kami. Meskipun mewujudkan mimpi itu sama sekali tidak mudah dan sering kali mahal harganya, tanpa diawali mimpi kita tidak akan ke mana-mana. Mulailah bermimpi. Karena mimpi, doa, dan kerja keras menyiapkan diri kita untuk menerima karunia-Nya.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

Sumber: Kompas, 10/12/2015

Mengunyah Otentisitas Minang

Oleh PUTU FAJAR ARCANA

(KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA)

Di tepian timur Padang Panjang, berbatas Kabupaten Tanah Datar, kita bisa duduk bersila sambil menikmati lanskap persawahan. Meski di sana-sini sudah tumbuh perumahan, mengunyah menu Minang tetaplah terbayang rumah gadang, kelebat gerak silat, dan seni randai yang rancak. Ada sensasi rasa yang berbaur, antara pencecap pada lidah dan lanskap kultur yang romantik.

Kira-kira itulah yang ingin digugah Eka Sapta (43) bersama istrinya, Elvi Zubir (43), ketika memutuskan memilih lokasi di Kampung Batu Tagak Ekor Lubuk, Padang Panjang, Sumatera Barat, untuk mendirikan rumah makan Pondok Baselo Baramas. Cara makan dengan posisi bersila mengingatkan para petani ketika sedang istirahat di dangau-dangau. Cara makan mereka hampir senantiasa memperlihatkan kenikmatan rasa syukur yang luar biasa. Pasti bukan saja karena menu makannya yang aduhai lezat, melainkan juga pemandangan sawah yang memberikan sen- tuhan berbeda. ”Itulah cara makan yang nikmat dan bersyukur,” ujar Eka Sapta, akhir November 2015.

Eka dan Elvi lalu menyiapkan menu asli Minang seperti karadu patai, berupa gorengan petai renyah yang diramu dengan teri. Lalu ada pula sambal lado jariang alias jengkol yang disambal dengan racikan cabe ijo lalu ditaburi minyak kelapa yang ditanak sendiri. Dua menu ini, kata Eka, paling favorit di warungnya. ”Tak jarang langganan dari Padang kemari hanya untuk menikmati sambal lado jariang,” kata Eka.

Jangan salah. Petai dan jengkol, tambah Eka, adalah suguhan tradisional khas Minang. Warung ini bisa menghabiskan 4-5 kilogram jengkol setiap hari. Elvi biasanya membeli jengkol Rp 300.000-Rp 400.000 per karung langsung di pasar. ”Menu jengkol ini selalu dipesan kalau mengantar katering,” ujar Elvi.

Eka punya pengalaman menarik soal jengkol. Pada 1985 ketika mengelola perusahaan keluarga penambangan kapur bernama PT Bukit Baramas, ia termasuk pemakan jengkol yang lahap. Suatu hari perutnya mengeras karena keracunan jengkol. ”Saya berminggu-minggu menderita, seperti tak ada obatnya,” tutur Eka. Saat itu, ia bertekad tak akan makan jengkol lagi. Tetangga kampungnya, seorang nenek tua, memberikan petunjuk, ”Makanlah daun singkong, kata nenek itu. Benar, hanya dalam 30 menit saya sembuh,” kata Eka.

Sejak itu ia paham, mengapa menu jengkol di rumah-rumah dan kemudian warung-warung selalu didampingi daun singkong. Sajian menu tradisional Minang dari singkong di Baramas diolah menjadi anyang (urap), yang dipadukan dengan daun pepaya, taoge, kacang panjang, berbalur parutan kelapa bumbu. Anyang samar-samar memunculkan rasa pedas dari kelapa bumbu, tetapi umumnya memberikan rasa natural, seperti menyantap rebus-rebusan. Menu sayuran lainnya ada sambal lado uwuk, yang terdiri dari terung ungu, buncis, dan kubis, lalu ditotolkan dalam ulekan cabai hijau.

Jangan takut keracunan kalau kebanyakan makan jengkol di Baramas. ”Daun singkong jadi penawar racun yang dikeluarkan jengkol. Saya sudah membuktikannya,” kata Eka.

Kearifan lokal

(KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA)

Eka memang tak pernah meneliti kandungan zat-zat dalam jengkol dan singkong sehingga keduanya saling menetralkan. Ia belajar secara empiris, sebagaimana diturunkan lewat tradisi di Minang. Oleh sebab itulah pesanan katering di kantor-kantor pemerintahan Kota Padang Panjang tak pernah meluputkan jengkol dan daun singkong dalam berbagai bentuk olahan. Kedua menu ini seolah selalu berpasangan.

Pondok Baselo Baramas berdiri di perbatasan kota sejak 4 Januari 2013. Warung ini bermula dari usaha katering kecil-kecilan yang dilakukan Eka dan Elvi pada 2001. Setelah usaha penambangan kapur bangkrut, Eka dan Elvi mencoba membuat ketupat gulai untuk sarapan warga Padang Panjang. Seorang teman bernama Joni Aldo memesan ketupat gulai untuk 40 orang. ”Saya bilang tak punya modal buat katering. Joni malah meminjami saya uang Rp 600.000 untuk modal, ha-ha-ha…,” kata Eka.

Sejak itu, pesanan mulai mengalir dan banyak di antaranya minta makanan rumahan Minang. Ia ingat peristiwa jengkol yang pernah dialaminya. Eka dan Elvi lalu mulai dengan jengkol dan petai, dua jenis makanan yang tak boleh luput dalam deretan menu masakan Minang kampung. Rupanya, kata Eka, tradisi merantau dan peningkatan kualitas hidup membuat orang Minang selalu rindu masa lalu. Masa lalu itu adalah kampung halaman. Di kampung halamanlah otentisitas kultural itu berpadu dengan romantisisme. Jengkol dan petai adalah dua dari banyak hal yang membuat para perantau Minang bagai menyesap masa lalu.

Eka tak heran kalau beberapa perantau Minang sering kali memesan menu jengkol. ”Termasuk mereka yang merantau dan tinggal di kota Padang, banyak yang hanya datang untuk makan jengkol di sini,” ujar Eka.

Baramas selalu buka pukul 10.00 sampai 16.00 setiap hari. ”Kalau sudah habis, tutup. Tidak memasak lagi,” kata Elvi. Setiap bulan warung ini bisa menghabiskan 2 ton beras untuk rumah makan, tetapi bisa mencapai 5 ton, termasuk melayani pesanan katering. Eka dan Elvi, dengan sekitar 9 karyawan di warung dan 15 tenaga kontrak, bisa melayani sampai tiga kendurian sekaligus. Tak tanggung-tanggung, kini mereka bisa melayani katering kendurian sampai ke Bukittinggi. ”Pernah kita terima untuk 1.500 orang,” kata Eka.

”Kalau mau rasa asli Minang, saya selalu kemari,” ujar Uni Ina, seorang PNS di Kota Padang Panjang, yang siang itu bersantap bersama seorang temannya.

Otentisitas rasa itu selalu seperti memanggil orang-orang perbatasan. Bukankah kebetulan warung Baramas didirikan di batas dua kota, Padang Panjang dan Tanah Datar? Di tengah gemuruh perubahan gaya hidup di sejumlah kota, termasuk di kedua kota itu, orang-orang kembali mencari asal-usul, di mana mereka dulu pernah berakar. Di situlah menu kampung seperti karadu patai dan sambal lado jariang menjadi obat penawar rindu pada masa lalu.


Sumber: Kompas, 6/12/2015

~ o 0 o ~

Alamat Pondok Baselo Baramas:

Kampung Batu Tagak Ekor Lubuk,
Padang Panjang, Sumatera Barat
Telp: 0812 672 7110 / 0813 7441 7110

Mark Zuckerberg: Surat untuk Putri Kami

Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg pada tanggal 1 Desember 2015 mengumumkan bahwa istrinya, Priscilla Chan telah melahirkan seorang anak yang mereka namakan Maxima (panggilannya Max). Untuk menyambut kelahiran putri pertamanya itu, Zuckerberg memasang foto dirinya bersama istrinya dan Max di laman Facebook-nya, dengan sebuah catatan berjudul “A letter to our daughter”.

Dalam surat yang cukup panjang tersebut Zuckerberg mengatakan bahwa ia dan istrinya akan menghibahkan 99% saham perusahaan mereka –yang diperkirakan bernilai 45 milliar dolar AS— selama masa hidup mereka dalam usaha membuat dunia yang bahagia dan sehat. Mark dikabarkan memegang 54% kekuatan saham perusahaan itu.

Proyek suami istri yang dinamakan “Chan Zuckerberg Initiative” ini bukanlah proyek filantropis pertamanya. Ketika berusia 26 tahun, dia menandatangani Giving Pledge atau Janji Memberi, yang mengundang keluarga-keluarga terkaya dunia untuk berjanji memberi lebih dari setengah kekayaan mereka untuk amal. Sampai bulan Agustus 2015, tercatat 137 bilyuner, baik perseorangan maupun keluarga, telah menandatangani Janji Memberi ini, di antaranya Warren Buffett and Bill dan Melinda Gates.

Berikut isi lengkap surat yang ditulis Zuckerberg untuk anaknya:



Dear Max,

Your mother and I don't yet have the words to describe the hope you give us for the future. Your new life is full of promise, and we hope you will be happy and healthy so you can explore it fully. You've already given us a reason to reflect on the world we hope you live in. Like all parents, we want you to grow up in a world better than ours today.

While headlines often focus on what's wrong, in many ways the world is getting better. Health is improving. Poverty is shrinking. Knowledge is growing. People are connecting. Technological progress in every field means your life should be dramatically better than ours today. We will do our part to make this happen, not only because we love you, but also because we have a moral responsibility to all children in the next generation.

We believe all lives have equal value, and that includes the many more people who will live in future generations than live today. Our society has an obligation to invest now to improve the lives of all those coming into this world, not just those already here.

But right now, we don't always collectively direct our resources at the biggest opportunities and problems your generation will face. Consider disease. Today we spend about 50 times more as a society treating people who are sick than we invest in research so you won't get sick in the first place.

Medicine has only been a real science for less than 100 years, and we've already seen complete cures for some diseases and good progress for others. As technology accelerates, we have a real shot at preventing, curing or managing all or most of the rest in the next 100 years. Today, most people die from five things -- heart disease, cancer, stroke, neurodegenerative and infectious diseases -- and we can make faster progress on these and other problems.

Once we recognize that your generation and your children's generation may not have to suffer from disease, we collectively have a responsibility to tilt our investments a bit more towards the future to make this reality. Your mother and I want to do our part. Curing disease will take time. Over short periods of five or ten years, it may not seem like we're making much of a difference. But over the long term, seeds planted now will grow, and one day, you or your children will see what we can only imagine: a world without suffering from disease. There are so many opportunities just like this. If society focuses more of its energy on these great challenges, we will leave your generation a much better world.

• • •

Our hopes for your generation focus on two ideas: advancing human potential and promoting equality.

Advancing human potential is about pushing the boundaries on how great a human life can be.

Can you learn and experience 100 times more than we do today?

Can our generation cure disease so you live much longer and healthier lives?

Can we connect the world so you have access to every idea, person and opportunity?

Can we harness more clean energy so you can invent things we can't conceive of today while protecting the environment?

Can we cultivate entrepreneurship so you can build any business and solve any challenge to grow peace and prosperity?

Promoting equality is about making sure everyone has access to these opportunities -- regardless of the nation, families or circumstances they are born into.

Our society must do this not only for justice or charity, but for the greatness of human progress.

Today we are robbed of the potential so many have to offer. The only way to achieve our full potential is to channel the talents, ideas and contributions of every person in the world.

Can our generation eliminate poverty and hunger?

Can we provide everyone with basic healthcare?

Can we build inclusive and welcoming communities?

Can we nurture peaceful and understanding relationships between people of all nations?

Can we truly empower everyone -- women, children, underrepresented minorities, immigrants and the unconnected?

If our generation makes the right investments, the answer to each of these questions can be yes -- and hopefully within your lifetime.

• • •

This mission -- advancing human potential and promoting equality -- will require a new approach for all working towards these goals.

We must make long term investments over 25, 50 or even 100 years. The greatest challenges require very long time horizons and cannot be solved by short term thinking.

We must engage directly with the people we serve. We can't empower people if we don't understand the needs and desires of their communities. We must build technology to make change. Many institutions invest money in these challenges, but most progress comes from productivity gains through innovation.

We must participate in policy and advocacy to shape debates. Many institutions are unwilling to do this, but progress must be supported by movements to be sustainable.

We must back the strongest and most independent leaders in each field. Partnering with experts is more effective for the mission than trying to lead efforts ourselves.

We must take risks today to learn lessons for tomorrow. We're early in our learning and many things we try won't work, but we'll listen and learn and keep improving.

• • •

Our experience with personalized learning, internet access, and community education and health has shaped our philosophy.

Our generation grew up in classrooms where we all learned the same things at the same pace regardless of our interests or needs.

Your generation will set goals for what you want to become -- like an engineer, health worker, writer or community leader. You'll have technology that understands how you learn best and where you need to focus. You'll advance quickly in subjects that interest you most, and get as much help as you need in your most challenging areas. You'll explore topics that aren't even offered in schools today. Your teachers will also have better tools and data to help you achieve your goals.

Even better, students around the world will be able to use personalized learning tools over the internet, even if they don't live near good schools. Of course it will take more than technology to give everyone a fair start in life, but personalized learning can be one scalable way to give all children a better education and more equal opportunity.

We're starting to build this technology now, and the results are already promising. Not only do students perform better on tests, but they gain the skills and confidence to learn anything they want. And this journey is just beginning. The technology and teaching will rapidly improve every year you're in school.

Your mother and I have both taught students and we've seen what it takes to make this work. It will take working with the strongest leaders in education to help schools around the world adopt personalized learning. It will take engaging with communities, which is why we're starting in our San Francisco Bay Area community. It will take building new technology and trying new ideas. And it will take making mistakes and learning many lessons before achieving these goals.

But once we understand the world we can create for your generation, we have a responsibility as a society to focus our investments on the future to make this reality.

Together, we can do this. And when we do, personalized learning will not only help students in good schools, it will help provide more equal opportunity to anyone with an internet connection.

• • •

Many of the greatest opportunities for your generation will come from giving everyone access to the internet.

People often think of the internet as just for entertainment or communication. But for the majority of people in the world, the internet can be a lifeline.

It provides education if you don't live near a good school. It provides health information on how to avoid diseases or raise healthy children if you don't live near a doctor. It provides financial services if you don't live near a bank. It provides access to jobs and opportunities if you don't live in a good economy.

The internet is so important that for every 10 people who gain internet access, about one person is lifted out of poverty and about one new job is created.

Yet still more than half of the world's population -- more than 4 billion people -- don't have access to the internet.

If our generation connects them, we can lift hundreds of millions of people out of poverty. We can also help hundreds of millions of children get an education and save millions of lives by helping people avoid disease.

This is another long term effort that can be advanced by technology and partnership. It will take inventing new technology to make the internet more affordable and bring access to unconnected areas. It will take partnering with governments, non-profits and companies. It will take engaging with communities to understand what they need. Good people will have different views on the best path forward, and we will try many efforts before we succeed.

But together we can succeed and create a more equal world.

• • •

Technology can't solve problems by itself. Building a better world starts with building strong and healthy communities.

Children have the best opportunities when they can learn. And they learn best when they're healthy.

Health starts early -- with loving family, good nutrition and a safe, stable environment.

Children who face traumatic experiences early in life often develop less healthy minds and bodies. Studies show physical changes in brain development leading to lower cognitive ability.

Your mother is a doctor and educator, and she has seen this firsthand.

If you have an unhealthy childhood, it's difficult to reach your full potential.

If you have to wonder whether you'll have food or rent, or worry about abuse or crime, then it's difficult to reach your full potential.

If you fear you'll go to prison rather than college because of the color of your skin, or that your family will be deported because of your legal status, or that you may be a victim of violence because of your religion, sexual orientation or gender identity, then it's difficult to reach your full potential.

We need institutions that understand these issues are all connected. That's the philosophy of the new type of school your mother is building. By partnering with schools, health centers, parent groups and local governments, and by ensuring all children are well fed and cared for starting young, we can start to treat these inequities as connected. Only then can we collectively start to give everyone an equal opportunity.

It will take many years to fully develop this model. But it's another example of how advancing human potential and promoting equality are tightly linked. If we want either, we must first build inclusive and healthy communities.

• • •

For your generation to live in a better world, there is so much more our generation can do.

Today your mother and I are committing to spend our lives doing our small part to help solve these challenges. I will continue to serve as Facebook's CEO for many, many years to come, but these issues are too important to wait until you or we are older to begin this work. By starting at a young age, we hope to see compounding benefits throughout our lives.

As you begin the next generation of the Chan Zuckerberg family, we also begin the Chan Zuckerberg Initiative to join people across the world to advance human potential and promote equality for all children in the next generation. Our initial areas of focus will be personalized learning, curing disease, connecting people and building strong communities.

We will give 99% of our Facebook shares -- currently about $45 billion -- during our lives to advance this mission. We know this is a small contribution compared to all the resources and talents of those already working on these issues. But we want to do what we can, working alongside many others.

We'll share more details in the coming months once we settle into our new family rhythm and return from our maternity and paternity leaves. We understand you'll have many questions about why and how we're doing this.

As we become parents and enter this next chapter of our lives, we want to share our deep appreciation for everyone who makes this possible. We can do this work only because we have a strong global community behind us. Building Facebook has created resources to improve the world for the next generation. Every member of the Facebook community is playing a part in this work. We can make progress towards these opportunities only by standing on the shoulders of experts -- our mentors, partners and many incredible people whose contributions built these fields.

And we can only focus on serving this community and this mission because we are surrounded by loving family, supportive friends and amazing colleagues. We hope you will have such deep and inspiring relationships in your life too.

Max, we love you and feel a great responsibility to leave the world a better place for you and all children. We wish you a life filled with the same love, hope and joy you give us. We can't wait to see what you bring to this world.

Love,

Mom and Dad


~ o 0 o ~

Sumber: Laman Facebook Mark Zuckerberg's

Kompas, 3/12/2015