"Comandante"

Fidel Alejandro Castro Ruz telah tiada. Mulai kemarin (26/11/2016), Kuba tidak lagi memiliki El jefe máximo, pemimpin tertinggi. El Jefe, bahasa Spanyol yang berarti 'bos' atau 'ketua', begitu nama panggilan mantan Presiden Kuba Fidel Castro-El Jefe diambil dari gelar yang disandangnya, Comandante en Jefe atau Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Kuba, meninggal kemarin.

Memang, sejak 2006, kekuasaan Kuba telah diserahkan kepada saudara lelakinya, Raul Castro, tetapi Comandante di Kuba hanya satu: Fidel Castro, yang meninggal pada usia 90 tahun.



Fidel Castro lahir pada 13 Agustus 1926 di Biran, sebuah desa di Kuba bagian timur. Ayahnya seorang imigran, Angel Maria Bautista Castro Arguiz, yang memperistri pembantu perempuannya, Lina Ruz.

Ia menjadi tokoh terakhir, pengawal komunisme dunia sepanjang abad ke-20 dan awal ke-21. Tokoh lainnya, antara lain Mao Zedong dan Ho Chi Minh dari Vietnam, sudah mendahului. Bahkan, Castro yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai Don Quixote-seperti Don Quixote yang berjuang melawan ancaman baik nyata maupun imajinatif, selama berdekade mempersiapkan invasi militer dari AS setelah insiden Teluk Babi (1961), tetapi tak pernah terjadi-setia mempertahankan ideologi komunisme di negaranya meski komunisme sudah mati dan dikubur di Rusia pada 1991.

Castro selalu menyebut dirinya seorang Marxist-Leninis. Dan, menyatakan akan tetap seperti itu hingga mati. Ia yang mengunyah dan menelan karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, memang menjelma menjadi seorang Marxist-Leninist.

Castro juga menghayati kredo yang pernah diteriakkan oleh Karl Marx (1818-1883) bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu masyarakat. Karena itu, sejak berkuasa, menjadi perdana menteri mulai 1959, secara resmi Kuba adalah negara ateis.

Akan tetapi, runtuhnya Uni Soviet menandai pula perubahan di Kuba. Pada 1991, Castro mengubah status Kuba dari negara "ateis" menjadi "sekuler" dan setahun kemudian mengamandemen konstitusi. Pada November 1996, Castro pergi ke Vatikan dan bertemu Paus Yohanes Paulus II. Hasil pertemuan tersebut, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Kuba pada 21-25 Januari 1998.

Pertemuan kedua tokoh itu oleh banyak pihak dimaknai-dari sudut pandang Vatikan-sebagai penziarahan pastoral atau penziarahan Paus sebagai gembala yang dimaksudkan untuk memperkuat Gereja Katolik Kuba guna menghadapi masa depan Kuba, apa pun bentuknya. Dari sudut pandang Havana, inilah bagian dari usaha pemerintahan Fidel Castro untuk mengintegrasikan Kuba dengan kehidupan belahan bumi Barat.

Drama ideologi

Apabila dilihat secara lebih luas, inilah sentuhan terakhir dalam drama ideologi terbesar pada akhir abad ke-20, yakni konflik antara humanisme ateistis dan humanisme Kristiani. Komunisme, yang dianut oleh Kuba, adalah ekspresi humanisme ateistis. Dan, kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Kuba menawarkan kembali humanisme Kristiani.

Castro memang penuh warna. Ia membenci dan bahkan mengecam dollar AS yang dianggap sebagai simbol korup dari kapitalisme. Karena itu, ia menyatakan Kuba sebagai satu-satunya negara di dunia yang tidak perlu menjalin hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Namun, runtuhnya Uni Soviet dan tiadanya bantuan subsidi dari Moskwa, pada 1993 memaksa Castro melegalkan orang Kuba memegang dollar AS, yang dibelanjakan para wisatawan atau kiriman dari para keluarga pelarian Kuba yang tinggal di AS.

Bahkan, kedua negara menyadari zaman telah berubah. Dari sudut pandang AS, sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Kuba selama hampir 60 tahun tidak banyak artinya: tak dapat menjatuhkan Castro, juga tidak mengubah sifat dasar masyarakat Kuba. Karena itu, jika AS membuka pintu bagi Kuba, perubahan diharapkan lebih cepat terjadi di Kuba. Kuba pun ingin bergabung dengan dunia yang berderap dalam pawai modernisasi. Keinginan tersebut mustahil tanpa persetujuan Castro meski ketika itu sudah sakit-sakitan.

Bagaimana Castro akan dikenang

Pada akhirnya, setelah tiada, akan dikenang sebagai apakah Fidel Alejandro Castro Ruz, selain sebagai mantan Presiden Kuba? Barangkali, pendapat Martin Heidegger (1889-1976), filsuf asal Jerman, bisa menjadi dasar untuk menempatkan di mana Castro diletakkan. Heidegger mengatakan, manusia harus terus mencari makna hidup, mengukir dan menciptakan sejarah sekaligus melakoninya. Manusia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Ia, manusia, berjalan, berziarah, menggoreskan setiap perjalanannya sebagai sebuah pengalaman bernilai, indah, berisi, bermakna, tetapi juga gelap, tak berarti.

Dalam setiap momen, setiap peristiwa sejarah, manusia adalah sekaligus pemenang dan pecundang, menjadi pihak yang kalah. Oleh karena itu, sejarah tidak bisa diartikan hanya sekadar sejarah kemenangan, melainkan juga kadang sejarah kekalahan; bukan hanya sejarah kesenangan, melainkan juga sejarah kepiluan; bukan hanya sejarah keberhasilan yang memberikan semangat, melainkan juga sejarah kegagalan yang membuat frustrasi.

Semua itu dilakoni Castro. Karena itu, kiranya orang akan lebih mengenang Castro sebagai tokoh sejarah ketimbang seorang politisi. Castro adalah simbol revolusi di seluruh dunia dan inspirasi bagi banyak penirunya, seperti Hugo Chavez dari Venezuela, yang telah mendahuluinya.

Sumber: Kompas, 27/11/2016
Sumber foto: godfather.wikia.com


Pahlawan Nasional TAN MALAKA Akan Dimakamkan Kembali Di Kampung Halamannya

Wakil Bupati Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Ferizal Ridwan, mendatangi makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis, pekan lalu. Kedatangan Ferizal terkait dengan rencana Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota membawa pulang jasad pahlawan nasional itu untuk dikuburkan di kampung halamannya. "Kami datang untuk menjemput datuk kami yang hilang," kata Ferizal.


Rencana pemindahan jasad sudah dibicarakan Pemerintah Lima Puluh Kota dengan Kementerian Sosial. Menurut Ferizal, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kediri sebagai pemegang otoritas wilayah. Pemindahan jasad Tan Malaka ditargetkan tuntas pada 21 Februari 2017. Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota akan membawa jasad Tan Malaka melalui perjalanan darat. Upacara adat telah disiapkan untuk menyambut kedatangan jasad sebelum dikuburkan di kompleks rumah kelahirannya, Nagari Pandam Gadang, Suliki.



Sumber : Tempo - Majalah Berita Mingguan 21 - 27 November 2016.


Seno, Pemburu Bibit Baru

Suatu saat produser musik Seno M Hardjo berkata, "Saya sedang mencari penyanyi bersuara bulat seperti Syaharani." Di saat lain, ia bercerita, "Saya sedang menulis lirik lagu." Lalu hadirlah duet Syaharani bersama Kamasean Matthews dalam lagu "Seperti Dikejar Dosa". Seno menuliskan liriknya, sementara musik ditulis oleh Aldi Nada Permana. Setelah lebih dari 20 tahun bergelut di jagat musik, Seno meluaskan sayap. Dari jadi direktur musik di rumah produksi hingga direktur di label rekaman milik sendiri, Target Pop. Menjadi produser musik dan pencipta lagu adalah obsesi Seno. "Mencari bakat baru lalu melejitkannya adalah pekerjaan berat," katanya pada suatu sore, beberapa waktu lalu, di Jakarta. Menurut Seno, bakat belia mengalir dari berbagai penjuru. Beragam ajang pencarian bakat di beberapa stasiun televisi menawarkan rombongan pemenang. "Namun, hanya sejumlah nama yang bertakhta di pasar musik sebenarnya," ujarnya. Seno saat ini mempromosikan album Born to be Singers (BTBS). Hampir semua pengisinya adalah penyanyi anyar. Nama mereka belum akrab di telinga publik, seperti Barsena Bestandhi, Brianna Simorangkir, dan Fadil Jaidi. Di album ini, Seno mengundang bintang tamu Syaharani, Nicky Astria, Harsya Rieuwpassa, dan Maruli Tampubolon. Barsena berduet dengan Nicky dalam lagu lama karya Bartje Van Houten, "Mengapa Harus Berjumpa". Barsena adalah juara kontes NEZ Academy 2013 di NET TV. Album BTBS menjadi seri ketiga proyek Seno M Hardjo Present. Sebelumnya, ia merilis Fariz RM & Dian Pramana Poetra In Collaboration serta The Great Composer. Seno biasanya cukup bersorak ketika lagunya nangkring di posisi atas unduhan iTunes. Ia membagi kabar di Facebook, "Sobats, lagu ini...." (IVV) Sumber artikel dan foto: Kompas, 18/11/2016

Redy Eko Prastyo: Panggung untuk Kampung

Oleh DEFRI WERDIONO, Kompas, 18/11/2016
Tujuh tahun lalu, Redy Eko Prastyo (37) menggagas Festival Kampung Cempluk di Malang, Jawa Timur. Ajang itu disebut-sebut sebagai festival pertama yang mengangkat potensi kampung di seantero Malang. Apa yang ia rintis lantas berkembang dan melahirkan Jaringan Kampung Nusantara.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Ingar-bingar menguasai Dusun Sumberejo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, selama lima hari berturut-turut, September lalu. Begitulah yang terjadi setiap Festival Kampung Cempluk (FKC) berlangsung. Aneka bunyi-bunyian alat musik mengalun sepanjang hari, seolah tanpa henti. Pria-wanita, tua-muda, larut dalam kegiatan itu. Mereka menyanyi, menari, atau sekadar menonton.

Tahun ini, FKC memasuki tahun ketujuh. Festival diawali dengan pawai, berlanjut dengan kegiatan tematik, seperti Cempluk Bergerak, Cempluk Bernyanyi, dan Cempluk Berkolaborasi. Cempluk diambil dari nama lampu tradisional berbahan bakar minyak tanah.

Selain warga Sumberejo, acara itu juga dimeriahkan sejumlah penampil dari kampung di Banyuwangi dan Tulungagung, Jawa Timur. Bahkan, festival tingkat kampung ini bisa menarik sejumlah musisi asing. Tahun ini ada pemain flute asal Spanyol, Rudrego Parejo, yang nimbrung di antara sejumlah penampil. Tahun lalu, tampil Kumayl Mustofa Daood, anggota grup musik Debu asal Amerika. Pada 2014, ada musisi jazz asal Perancis, Gills Saisi.

Redy mengklaim, dari tahun ke tahun festival yang digelar di jalan kampung itu terus berkembang, baik dari sisi durasi maupun materi. ”Saat ini, FKC sudah menjadi semacam hari raya kebudayaan bagi warga Sumberejo,” ujar sarjana sastra dan psikologi itu.

Menghapus stigma

Redy sebenarnya bukan penduduk asli Sumberejo. Ia pendatang yang mengontrak sebuah rumah di sana. Kebetulan pemilik rumah memiliki grup musik dangdut. Redy yang menggemari musik kadang ikut nimbrung. Dari situ dia tahu bahwa warga Sumberejo punya potensi berkesenian yang besar.

Sayangnya, potensi itu tidak berkembang lantaran tidak mendapat panggung. Seperti kampung-kampung lainnya di Malang, Sumberejo gamang dengan perkembangan zaman. Kampung yang tadinya kental dengan nuansa agraris itu kini mulai dikepung dan didesak perumahan-perumahan besar.

Yang menyakitkan, perkembangan zaman mencitrakan kampung sebagai wakil dari keterbelakangan. Apa saja yang berasal dari kampung disebut ”kampungan” dan warganya disebut ”orang kampung”.

Sebutan itu tidak enak didengar di telinga dan terasa memojokkan. Akibatnya, banyak orang kampung mencoba keluar dari situasi itu. Mereka ingin dianggap sebagai orang modern yang memiliki aktivitas sebagaimana orang kota pada umumnya.

Sebagian dari mereka rela melakukan apa saja, termasuk menjual lahan pertaniannya, kemudian pindah ke perumahan modern atau kota. Secara fisik mereka memang pindah, tetapi secara psikis ”jiwa kampung” tak bisa ditanggalkan.

Redy merasa gejala seperti itu mesti dihentikan, apalagi dia melihat kampung menyimpan modal besar untuk berkembang. Semangat gotong royong dan kebersamaan warga pun masih sangat kental.

Dibantu seorang warga pendatang lainnya, Priyo Sidi, Redy berusaha menciptakan ruang inspirasi dan kreasi buat warga kampung dalam bentuk FKC pertama pada Agustus 2009. Mereka mendorong warga kampung untuk unjuk kekayaan yang mereka punya, mulai dari kuliner hingga seni pertunjukan seperti bantengan, singo budoyo, dan angklung cempluk.

Pertunjukan kesenian tradisional itu disandingkan secara sejajar dengan performing art, teater, pantomin, musik, dance, dan film indie. Dengan cara itu, tumbuh kebanggaan dan rasa percaya diri di kalangan warga kampung yang sebagian berprofesi sebagai tukang kayu, tukang batu, dan penarik becak.

FKC pertama itu hanya berlangsung dua hari. FKC tahun berikutnya digelar setiap September agar tidak terlalu dekat dengan acara tujuh belasan. Redy mulai membenahi urusan publikasi yang tidak tergarap dengan baik pada FKC pertama. Ia pun membuat situs kampung www.kampungcempluk.com yang dikelola oleh anggota karang taruna.

Melalui situs itu, warga kampung mengunggah aktivitas kampung ”Cempluk”, ada atau tidak ada festival. Dari situ pula, anak-anak karang taruna belajar fotografi, video, dan jurnalistik.



Seiring dengan perkembangan pengetahuan anak-anak kampung, FKC juga berkembang. Festival yang awalnya digelar di sebuah gang di satu RT akhirnya digelar di satu kampung. Sejak saat itu pula nama cempluk atau lampu berbahan minyak tanah melekat kuat pada dusun yang terletak di sisi barat Kota Malang itu.

”Waktu festival juga ditambah, tidak hanya dua hari. Pada tahun keempat, kami bahkan menggelar festival selama 11 hari,” tambah Redy. Warga mendesak perpanjangan waktu festival karena memberikan keuntungan ekonomi.

Jaringan Nusantara

Perjalanan FKC tidak selalu mulus. Di antara warga yang antusias, ada juga warga yang apatis, pesimistis, bahkan sinis. ”Ada yang berusaha menggembosi, tapi saya cuek saja. Kami terus jalan sambil mencari dukungan dari luar melalui publikasi,” ujar Redy.

Baru pada tahun ke-7 semua hambatan itu bisa diatasi. Saat ini, FKC ditangani sendiri oleh karang taruna. ”Saya hanya sebagai penasihat,” kata pria yang kini tengah menyiapkan acara Hari Raya Kebudayaan Borobudur, semacam festival kampung di Magelang, Desember mendatang.

Redy terus bergerak membuatkan panggung bagi kampung-kampung lain di Nusantara. Setelah sukses di ”Cempluk”, ia membangun Jaringan Kampung Nusantara. Jaringan ini ia buat untuk membangun ketahanan budaya dan memperkuat entitas warga kampung di Nusantara. Dalam jaringan ini ada pula sejumlah musisi Tanah Air, seperti Trie Utami dan Leo Kristi.

Saat ini, anggota Jaringan Kampung ada 150-an pembakti di 25 kampung yang tersebar di 8 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Mereka memiliki latar belakang beragam, seperti dosen, sejarawan, kepala desa, dan ketua RT.

Lewat jaringan ini, warga kampung punya banyak panggung di sejumlah daerah. Di panggung-panggung itulah mereka membangun kebanggaan dan menunjukkan jati dirinya.



Ananda Sukarlan Mencari Bakat Baru



Awal bulan November ini, komponis dan pianis Ananda Sukarlan (48) akan berkeliling ke lima kota di Indonesia untuk mencari bakat-bakat baru. Dia menjadi juri dalam Kompetisi Piano Nusantara yang akan dimulai di Makassar pada 5 November dan berlanjut ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Jakarta.

"Kami memakai konsep baru, yaitu penyelenggara di empat kota di luar Jakarta saling bersinergi. Ini juga memudahkan para peserta. Misalnya, peserta dari Palu cukup datang ke Makassar atau yang dari Madiun bisa ke Surabaya," tutur Ananda, pekan lalu.

Kompetisi ini bertujuan mencari bakat-bakat pianis di bawah usia 18 tahun. Dengan adanya kompetisi ini, Ananda berharap menemukan bakat-bakat musik dari seluruh pelosok Tanah Air. Pemenang di setiap kawasan berhak mengikuti babak final di Jakarta dan mendapat hadiah berupa pelajaran langsung dari Ananda serta maestro yang lain.

Kompetisi ini juga masuk dalam rencana baru Yayasan Musik Sastra Indonesia yang ikut didirikan Ananda. "Peserta tak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Bakat-bakat besar yang tadinya tidak terlihat kini diharapkan bisa ditemukan," ujar Ananda.

Ananda mengatakan, kompetisi ini juga didukung Wali Kota Makassar Danny Pomanto dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. (SIE)

Sumber: Kompas, 3/11/2016

Sumber foto: Arsip pribadi