Retronesia: Dangdut, Jengki, dan Tiga Dara

Oleh TARIQ KHALIL, Kompas, 24/12/2016

Saya datang ke Indonesia pertama kali saat liburan tahun 2005, lebih dari 10 tahun lalu. Musik dangdut menjadi bagian dari liburan itu, musik yang menemani perjalanan. Terpukau, saya menganalisis musik baru itu dalam pikiran. Vokalisasi khas Asia, ketukan rasa Bollywood, liak-liuk seruling, dan suara kencang gitar elektrik menggiring ingatan pada gaya rambut heboh dan semarak suasana. Saat saya mulai tenang dan menghayati, dangdut berubah menjadi musik yang luar biasa, sesuatu yang sangat khas Indonesia.



Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2008 saya pindah ke Jakarta. Saat berkunjung di Bandung, Jawa Barat, saya melihat bangunan-bangunan tua dari era 1950 dan 1960 yang mengingatkan saya pada pengalaman mendengarkan dangdut. Penggabungan antara elemen-elemen khas yang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Arsitektur yang berkarakter, dan bangunan khas Amerika di alam tropis Indonesia.

Diawali dengan ketidaktahuan tentang arsitektur, saya memulai sebuah misi. Misi untuk menemukan kembali dan memperkenalkan kepada awam kisah menarik, melebihi sekadar soal arsitektur, tentang bangunan di era 1950-1960-an.

Setiap akhir pekan saya bertemu dengan pelajar, sejarawan, dan aktivis budaya yang mengantarkan saya ke bangunan-bangunan indah. Saya menggunakan pesona saya untuk memasuki berbagai rumah, bahkan sempat mengajarkan seorang pembantu rumah tangga di daerah Tebet, Jakarta, cara memasak masakan india.

Bulan demi bulan, perjalanan demi perjalanan, koleksi bangunan saya, yang ditandai oleh garis tebal dan sudut tak lazim, bertambah. Namun, seakan ada lubang hitam menatap saya, perasaan kosong misterius yang mengisap segala cerita yang mungkin ada dari situs-situs itu, meninggalkan kekosongan budaya. Saya kembali menggunakan pesona dan bahasa Indonesia yang pas-pasan agar bisa memasuki gedung-gedung tersebut dengan segala ceritanya yang menghanyutkan. Pintu-pintu yang tak terhitung banyaknya pun terbuka seiring sang pemilik, entah penjaga atau seseorang dari warung, berbagi cerita tentang masa lalu yang menakjubkan.

Jejak 1950-an

Cerita dimulai sekitar tahun 1950, persis pada pertengahan abad. Insinyur-insinyur dan arsitek-arsitek Belanda sedang menjalankan bisnis besar, mengalirkan berbagai macam proyek atas nama untuk pembangunan negara, tanpa menyadari suasana pasca revolusi Soekarno.

Art Deco khas tropis dan hibridisasi Indo-Eropa, gaya Indische-yang populer pada era 1920 dan 1930-kembali marak. Arsitek Belanda datang kembali dan memulai revitalisasi arsitektur: gaya empire akhir, seperti yang dicontohkan di Kebayoran Baru, Jakarta.

Mulai tahun 1948 sampai 1957, walaupun tidak semua arsitek Belanda sibuk membuat gaya tua-baru Indonesia, beberapa arsitek, seperti Ger Boom dan Gmelig Meyling mengambil langkah lebih maju untuk menggabungkan gaya arsitektur. Mereka menggabungkan bentuk geometris dan ekspresionisme dari akhir tahun 1940-an khas California selatan. Inilah semangat pasca perang Amerika yang bertanggung jawab dalam memperkenalkan kultur mobil, masakan cepat saji, dan motel flamboyan ke dunia. Pada pertengahan abad, arsitektur modern telah tumbuh di Jawa yang sekarang dikenal sebagai gaya jengki.

Hasil-hasil pertama dari eksperimen modern tropis itu ditampilkan di dalam film Usmar Ismail, Tiga Dara, 1956. Adegan-adegan ikoniknya mulai dari Kebayoran Baru sekitar tahun 1956, melambangkan puncak dari inovasi arsitektur dan masa depan yang glamor. Art Deco dan gaya Indies "dibumbui" dengan geometris miring dan pengerjaan ulang yang serba bermain-main. Gaya Twilight Indies ini akan mengalami revolusi kedua.

Rumah bergaya jengki di jalan Martimbang, Kebayoran Baru, Jakarta, tampil dalam film Tiga Dara, 1956. Foto ini merupakan bagian dari hasil restorasi film Tiga Dara, 2016 (ARSIP RIZKA FITRI AKBAR SA FILMS PERFINI)

Optimisme film itu tampak tidak peduli dengan ketidakstabilan perjalanan geopolitik Soekarno menuju kemakmuran dan kemandirian ekonomi. Pada akhir 1957, masyarakat sedang berada dalam arus perubahan, terlepas dari Belanda sedang dipaksa untuk Dexit dan aset-aset mereka dijadikan milik negara (nasionalisasi). Pengusiran mereka memancing terbukanya ketegangan sosial. Di bawah sadar, ketimpangan, dan keretakan sosial mulai meletus. Konflik tak terselesaikan ini tecermin, misalnya dalam jejaring intrik novel Senja di Djakarta karya Mochtar Lubis. Ditulis di penjara, nada gelap novel itu menggambarkan situasi kemasyarakatan yang kejam, yang gagal menyebarkan kemakmuran dan peluang, seperti dijanjikan poros Asia-Afrika Soekarno.

Dexit tahun 1957-1958 bagai durian runtuh yang menciptakan jutawan dalam semalam, menyegarkan kembali elite-elite dunia masa lalu, dan membantu mendanai institusi negara baru. Suasana politik baru terbuka diamdiam, sekaligus membangkitkan dorongan kreatif. Gaya Twilight Empire Belanda mengalami revolusi, dipimpin oleh kontraktor bangunan atau Aannemer. Yang dulu hanya dipimpin oleh arsitek elite, sekarang dipegang oleh tangan-tangan baru dan lokal.

Pemimpin-pemimpin yang baru ditunjuk ini mulai memonopoli desain serta membangun proyek sederhana dan prestise. Sedikit hal yang dianggap pakem atau sakral kepada masa estetika merdeka: insinyur, pembangun, asisten, beberapa arsitek -dan kadang pemilik-menambah corakjengki ke vila, hotel, kantor, pabrik, ruko, gereja-bahkan kuburan.

Situs-situs itu menghadirkan kecanggihan dan daya tarik modern pada kota. Bagi kebanyakan orang, ini adalah zaman atom, saat ambisi Indonesia, kepercayaan diri menuju modernitas berdering keras. Melompat ke masa depan, beberapa generasi kemudian, yang tersisa adalah vila-vila yang terabaikan di kota-kota dan desa serta penginapan-penginapan di pegunungan yang ditinggalkan. Itulah warisan kultural dari masa ultra kreatif selama 15 tahun yang kini terserak.

Retronesia

Perjalanan saya mewujud Proyek Retronesia. Dengan bantuan ahli-ahli atau terkadang hanya dengan perjumpaan di jalan, saya menemukan lebih dari sekadar gedung-gedung elegan, tetapi aneh. Gedung-gedung itu ternyata adalah monumen budaya yang terkubur, tidak oleh bumi atau abu, tetapi karena ketidakacuhan.

Setelah misi selama 7 tahun menggali lapisan budaya ini, bangunan kuno terus bermunculan dan sejarah lisan yang terlupakan disatukan kembali. Kisah tentang keberanian dan memilih mengambil risiko yang mendefinisikan kehidupan para pemimpi, petualang, dan institusi publik mereka. Mulai dari pengusaha batik dari Solo, kehidupan puitis para elite dan vila-vila mahal mereka di pegunungan, hingga institusi yang bertransformasi, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Alam milik Belanda pendahulu LIPI serta klub yang didirikan oleh pemilik perkebunan Belanda di Bandung tahun 1956.

Meskipun para pembangkit budaya itu telah lama pergi, keanehan mereka yang luar biasa entah bagaimana tetap bertahan-bahkan di Jakarta yang cepat berubah. Bangunan tempo dulu, alternatif di era tahun 1950-1960-an Indonesia ini terus dikalahkan oleh periode kolonial dan kolonial tempo dulu. Namun, meski hanya sebentar, era yang kental penanda budaya zamannya itu berhasil menginspirasi seni, desain, dan kreativitas masa kini.

Sejalan dengan waktu, Retronesia telah menjadi "urban archeology 101". Arkeologi perkotaan tidak membutuhkan ekspedisi mahal ke wilayah terpencil, tidak perlu membeli berbagai peralatan baru-ataupun pakaian mahal untuk segala cuaca dan tidak memerlukan latihan khusus. Hanya minat dan semangat yang dibutuhkan untuk menemukan sesuatu yang sangat menakjubkan.



Harmoni Rasa di Ujung Tenggara

Matahari menyengat di sebagian besar wilayah Desa Liya Togo. Cuaca terik pada Senin (19/9/2016) yang melanda desa di Kecamatan Wangiwangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu membuat perjalanan mengelilingi desa cukup melelehkan bulir-bulir keringat.

Tubuh terasa seperti didekatkan dengan kobaran api unggun bersuhu relatif konstan. Seluruh tubuh terpapar dan membuat topi atau lilitan kain sebagai pelindung penting bagi wajah dan leher.

Sejumlah jurnalis mengelilingi sebagian wilayah Liya Togo atas undangan Swisscontact, lembaga berbentuk yayasan berorientasi bisnis pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kunjungan itu merupakan bagian dari perjalanan ke sejumlah lokasi di Wakatobi yang dilangsungkan pada 14-20 September lalu.

Akan tetapi, perjalanan dengan terik matahari yang seperti ”menggigit” permukaan kulit itu berakhir manis atau lebih tepatnya berakhir asam-manis.



Ini dikarenakan sajian minuman ringan bernama sampalu yang disajikan penduduk setempat. Minuman ini terbuat dari campuran buah asam (tamarind) yang dijadikan cairan berwarna coklat pekat untuk lantas diblender dengan susu kental manis dan es batu.

Penampilannya secara visual jika dilihat dari penampang depan gelas terbagi dua. Coklat muda di bagian tengah hingga dasar gelas. Buih putih dari batas tengah gelas ke permukaan.

Rasanya asam, manis, dan dingin yang meledak hingga ke langit-langit mulut di tengah hawa panas matahari.

Sejumlah pohon asam yang rimbun di perkampungan, selain mengurangi intensitas sorotan matahari, turut pula memastikan pasokan buah asam yang konstan. Tentu saja segelas tidak cukup, oleh karena itulah berlanjut pada gelas kedua.

Sajian kedua adalah penganan dari bahan tepung singkong yang menyelimuti buah pisang di dalamnya. Parutan kelapa menambah rasa gurih, selain manis yang diberikan pisang dan kelegitan tepung singkong yang membungkusnya.

Itu masih ditambah dengan sajian ubi goreng yang diambil tak jauh dari sana. Sebagian wilayah Liya Togo, dengan bebatuan memenuhi sebagian permukaannya, memang digunakan untuk menanami sejumlah jenis komoditas.

Beberapa di antaranya delima, srikaya, mangga, dan nangka. Sela-sela di antara bebatuan karang menjadi tempat yang dicari untuk menanam bibit tanaman, dengan tambahan dedaunan dan serakan sampah organik sebagai tambahan media tanam yang diselipkan di dalam sela-sela bebatuan itu.

Selain itu, karena berdekatan dengan pantai, pohon kelapa juga banyak terdapat di wilayah desa tersebut. Daging pohon kelapa inilah yang juga dijadikan campuran sayur daun kelor dengan kuah bening untuk menu makan siang.

Itu masih ditambah dengan suwiran daging ikan pari, sambal, irisan tipis sayur pepaya, dan kasoami atau soami.



Soami atau kasoami adalah sumber karbohidrat yang terbuat dari ampas singkong. Cara pembuatan makanan pokok ini relatif sederhana.

Singkong dikupas dari kulitnya sebelum diparut. Lantas parutan singkong diperas hingga tinggal ampas. Ampas singkong ini lantas dikeringkan untuk menghilangkan asam sebelum diolah lebih lanjut.

Pengolahan lebih lanjut melibatkan proses penghalusan bahan yang sudah kering itu secara manual, atau menggunakan tangan. Proses selanjutnya mencetak kasoami atau soami ke dalam cetakan khusus, biasanya berbentuk kerucut dari bahan cetakan anyaman daun kelapa untuk selanjutnya dikukus.

Serasa roti

Kasoami atau soami yang dijadikan makanan pokok ini menghadirkan sensasi tersendiri tatkala disantap. Cara menikmatinya mirip seperti mengonsumsi roti. Dipegang seluruhnya untuk digigit sebagian, atau dipotong sebagian untuk dikunyah sedikit demi sedikit. Rasa asam, terkait kandungan air dalam singkong dari proses sebelumnya, tidak serta-merta hilang begitu saja. Namun, kadarnya relatif tak berpengaruh besar, dan justru memberikan tambahan pada keragaman rasa.

Adapun sayur bening dengan kombinasi daging kelapa muda relatif menjadi sebuah kejutan. Namun, tentu saja, dengan ketersediaan pohon kelapa yang tumbuh di banyak lokasi dalam pulau tersebut, daging kelapa muda relatif tidak sulit disediakan.

Hal pasti yang bisa dirasakan dari sayur tersebut adalah kerenyahan serupa menggigit buah segar yang baru dipetik dari pohon. Kombinasi bumbu yang diracik juga seolah mempertemukan semua rasa di tengah-tengah. Ada gurih, manis, dan asin.

Belum lagi ikan segar berteman sambal yang sekali dua kali dicocolkan dengan potongan kasoami atau soami. Kata kunci semua menu itu adalah ”segar” sebab nyaris semua bahan baku berasal dari pulau yang sama, dengan ikan yang ditangkap dari perairan terdekat.

Semua sajian itu dihidangkan di dalam wadah anyaman bambu beralaskan daun pisang. Adapun sayur bening berisikan daging kelapa muda dan daun kelor disajikan dalam batok kelapa.

Kelompok Pengelola Pariwisata Liya Togo, Kepo’oli, menyiapkan dan mengirimkan sajian makan siang itu dari bagian lain pulau tersebut. Mereka juga membawa kami ke bagian lain lagi dari pulau tersebut untuk menikmati sajian makan siang itu.



Untuk mencapai tempat makan siang tersebut, pengunjung mesti berlayar dalam sampan yang bergerak dengan tenaga tolakan batang kayu ke dasar laut. Letaknya berada di dalam cekungan dengan dua bagian pulau yang menjorok di kedua sisi.

Kombinasi pemandangan lautan lepas, kecipak air laut, dan semilir angin terus-menerus memberikan asupan pada lima indera. Bagi pengunjung, ini seperti keseimbangan rasa di ujung Sulawesi Tenggara. (Ingki Rinaldi)

Sumber: Kompas, 27/11/2016