Bukittinggi telah banyak berubah dari asal muasalnya sebagai
kota dagang yang sederhana di Sumatera. Dengan menumpang bendi, Mark Eveleigh
menjelajahi kota terbesar kedua di Sumatera Barat ini untuk melihat betapa kota
ini masih menyimpang banyak daya tarik suasana pedesaannya.
“Bukittinggi adalah kota berkekuatan 300 tenaga kuda,” ujar
Andi Taufik sambil tersenyum saat mengarahkan kuda jantannya, Bersanok, keluar
dari semrawutnya kumpulan bendi yang menyesaki jalan di Pasar, di bagian kota
yang lebih rendah. “ Saya sudah menarik bendi sejak masih kecil dan waktu itu,
masih ada lebih dari 1.000 bendi.”
Udara pegunungan yang sejuk membawa aroma manis dari
buah-buahan tropis dan sayur mayor yang baru dipetik, diiringi angin yang sarat
wangi rempah dari kios penjual cengkih, pala, kopi, dan kayu manis terpanjang
yang pernah saya lihat. Bendi yang ada penuh dengan muatan bahan segar dan para
ibu rumah tangga menumpang bendi tersebut, sambil mengobrol dengan kurir
pilihan mereka hari itu.
Kota dataran tinggi yang berada di lereng gunung berapi
Sumatera Barat ini terkenal dengan bendi-bendinya yang berwarna cerah. Sebelum
tiba disini, saya menyangka kuda kuda tersebut hanya disediakan bagi wisatawan
yang ingin melihat tempat tempat bersejarah. Namun, Andi Taufik menjelaskan
kepada saya, dengan adanya lebih dari 300 bendi yang hilir mudik di jalan,
kendaraan tradisional ini masih tetap menjadi bagian penting dari system transportasi
umum Bukittinggi.
“Sehari-hari, banyak orang yang pergi berbelanja dengan naik
bendi, “ katanya seraya spontan menenangkan Benasok yang panik karena suara
klakson bus yang tiba-tiba menghentak. “Menurut saya, hal itu karena banyak
orang-orang tua yang cemas dengan cara berkendara tukang-tukang becak ini atau
ojek-ojek yang nekat. Mereka ini orang-orang desa yang lebih suka hidup dalam
irama yang tenang.”
Sesungguhnya, Bukittinggi ini memiliki satu hal yang khusus.
Begitu anda menginjakkan kaki disana, anda seperti langsung terbebas dari irama
kota modern yang serba cepat. Kota ini berdiri dalam Negara agraris yang
berfungsi sebagai pusat logistic bagi lima desa di sekitarnya. Tetapi kini,
Bukittinggi menjadi pusat bisnis dan pendidikan yang terkemuka. Meski menjadi
kota terbesar kedua di Sumatera Barat (setelah Padang), kota yang ramai dengan
117.000 penduduk ini tentu merupakan salah satu kota paling santai di
Indonesia. Luangkanlah waktu untuk menjelajahi kota sambil menumpang bendi
(atau berjalan kaki) dan anda dapat melihat bahwa Bukittinggi masih
mempertahankan suasana kota dagang yang tenang.
Meskipun Bendi dapat ditemukan dengan mudah, sebagian besar
objek wisata yang wajib dikunjungi di kota bersejarah ini justru lebih mudah
dijelajahi dengan berjalan kaki. Penjajah Belanda memosisikan pasukan utama
mereka di sini dan menamai kota ini Fort de Kock, sesuai nama Letnan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Merkus de Kock. Benteng itu sendiri, Benteng Fort
de Kock, dibangun selama Perang Padri tahun 1825. Kini, area benteng batu tua
tersebut merupakan tempat yang sangat tenang dengan adanya pasangan dan
keluarga yang berjalan-jalan diantara pavilion kecil nan indah serta meriam
besi kuno uang ditinggalkan penjajah Belanda. Jembatan Limpapeh yang panjang
ini menjadi penghubung antara Benteng dengan seperempat bagian kota yang lebih
tinggi, yang dikenal secara harafiah sebagai “Bukit Tinggi” pada 1949
Jembatan ini (kini menjadi jembatan pedestrian) merupakan
hasil peninggalan kejayaan masa colonial di Sumatera dan kini menawarkan
pemandangan terindah yang dapat dinikmati dari bangunan beton beratap lengkung
khas arsitektur tradisional Minangkabau di Bukittinggi. Di ujung timur
jembatan, anda dapat menemukan Kebun Binatang Bukittinggi dan diseberangnya ada
Pasar Atas dengan sejumlah gang berkelok. Jika pasar di kaki bukit selalu
menjual bahan bahan pangan sejak dulu, Pasar Atas kini menjadi pasar besar
menakjubkan yang menjual segala sesuatu, mulai dari pakaian dan perabot kayu
buatan lokal hingga peninggalan unik zaman Jepang dan Belanda. Semakin keatas,
di Taman Bundo Kanduang, anda akan mendapati ikon paling terkenal di
Bukittinggi yaitu Menara Jam Gadang yang dibangun Belanda tahun 1926. Semula
menara iin memiliki atap dengan hiasan ayam jantan (saat itu merupakan ornamen
Jepang pada masa perang), namun setelah kemerdekaan, atap tersebut digantikan
dengan atap yang lebih sesuai dengan gaya Minangkabau. (Ada keunikan lain pada
jam ini yang hanya dapat dijelaskan oleh almarhum pembuat jam, mengapa angka 4
dilambangkan dengan IIII, bukan dengan IV seperti pada umumnya).
Bukittinggi memiliki tempat tersendiri di hati bangsa
Indonesia sebagai pusat perjuangan Indonesia sebagai pusat perjuangan kemerdekaan
dan ada satu tempat khusus untuk penghormatan yang benar-benar ingin saya
kunjungi, namun agak jauh dari pusat kota. Saat saya sedang berteduh di bawah
pohon-pohon rindang di sekitar Jam Gadang itulah saya bertemu dengan Andi
Taufik dan kudanya, Benasok. Dalam perjalanan menuju tempat kelahiran salah
satu bapak Proklamasi Indonesia, sang kusir menawarkan untuk membawa saya
mengunjungi kuburan Jepang. Saya tak yakin akan menemukan sesuatu selain
barisan pekuburan Jepang, tetapi saat Pak Andi bercerita tentang pemandangan
luar biasa diatas Ngarai Sianok, dengan antusias, saya setuju untuk mampir.
Ngarai itu sendiri memang sespektakuler seperti yang dikatakan sang kusir dan
karena taman yang berpanorama indah itu sedang mengalami perbaikan, hanya
sejumlah kecil bagian kuburan yang dapat dilihat. Pengalaman ini terus melekat
dalam ingatan saya sebagai satu pengalaman paling tak terlupakan di
Bukittinggi. Selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II, Tentara Kekaisaran
membuat bangunan luas dibawah tanah untuk kantor, barak, dapur, dan ruang
persenjataan jauh di dalam dasar bukit. Tangga batu yang terdiri dari 132 anak
tangga menurun hingga ke dasar gua-gua yang sepi menakutkan. Sungguh suatu
pengalaman menyeramkan jika harus berkeliling disini sendirian, bunyi langkah
kaki anda bergema di kegelapan lorong gua, mustahil untuk mengalihkan anda dari
imajinasi tentang hantu-hantu yang bersembunyi dan mengawasi dari balik
kegelapan.
Saya sempat tersesat sebentar dalam terowongan tersebut
sehingga saat kami tiba di rumah tempat Bung Hatta, salah satu pendiri
Indonesia, hari sudah sore. Rumah itu dipertahankan sebagai museum yang sarat
cita rasa dengan menyajikan wawasan langka tentang seperti apa kehidupan
keluarga kaya Indonesia dibawah penjajahan Belanda. Di zaman modern yag
sedemikian memudahkan komunikasi dan transportasi ini, sering kali sulit untuk
sungguh-sungguh merasakan kehidupan leluhur kita. Rumah kayu tua yang memiliki
perabot sederhana ini memberi kilasan pesona Indonesia yang nyaris pudar.
Sang proklamator bedar lahir tahun 1902. Sambil berkeliling
dan bertanya dalam hati seberapa banyak kiranya Bung Hatta masih dapat
mengenali kota Bukittinggi yang modern ini, saya pun memasuki kebun belakang
dan melihat sebuah benda yang tidak asing. Di halaman belakang, ada bendi yang
telah dipercantik, yang merupakan milik keluarga Bung Hatta saat dia masih
kanak-kanak.
Bendi itu nyaris sama dengan bendi milik Andi Taufik yang
sedang menunggu di luar. Saya pun menyadari, diantara sekian banyak kekayaan sejarah
di “kota 300 daya kuda” ini, pasti ada cukup banyak hal yang sangat dihargai
Bung Hatta seandainya dia dapat melihatnya.
Majalah Colours Garuda Indonesia, Januari 2015