Oleh M. SUBHAN SD Tanggal 13 Februari 1922, Tan Malaka ditangkap di Bandung saat memimpin sekolah Sarekat Islam (SI). Bagi Belanda, ia berbahaya. Tanggal 23 Maret 2016, juga di Bandung, Tan Malaka dilarang tampil. Pementasan "Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah" di pusat kebudayaan Perancis IFI batal karena ditolak massa. Setelah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil turun tangan, baru esoknya bisa dipentaskan. Masa lalu telah berlalu, tetapi kecemasan sejarah terus saja membayang: Tan Malaka masih dianggap berbahaya. Dia memang sosok kontroversial. Ditolak karena Marxis/komunis. Namanya dihapus dalam sejarah bangsa oleh rezim Orde Baru. Tan Malaka memang misterius. Jejak perjuangannya melampaui 11 negara di dua benua. Namun, di mana pun ia berada, selalu dianggap berbahaya. Dialah orang paling dicari polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok. Terpaksa ia bersembunyi dan menyamar. Sedikitnya ia punya 23 nama samaran. Toh, pernah merasakan bui di Filipina dan Hongkong.
(sumber gambar: zenius.net) |
Tan Malaka memang sosok kontroversi. Marxis, tetapi mengkritik keras Komunisme Internasional (Komintern) karena enggan bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Pada usia 25 tahun (1921), dia sudah memimpin PKI, tetapi ditolak oleh PKI. Dia menolak rencana pemberontakan tahun 1926-1927, juga tak terlibat pemberontakan Madiun tahun 1948. Dari tempat persembunyiannya di Bangkok, dia membangun partai sendiri, Partai Republik Indonesia (Pari) tahun 1927.
Tan Malaka juga ironi. Mendapat gelar pahlawan pada 1963, tetapi akhir hayatnya sangat tragis. Dia dieksekusi dengan tangan terikat ke belakang, yang disinyalir dilakukan tentara pada 1949. Harry A Poeze, sejarawan Belanda yang setia menelusuri jejak Tan Malaka, menelusuri makamnya di Selopanggung, Kediri.
Namun, sulit membantah Tan Malaka tokoh legendaris. Sesungguhnya ia nasionalis tulen. Apa pun ideologinya, ia mencurahkan hidup untuk kemerdekaan bangsanya. Bahkan, tak hirau dengan kehidupannya sendiri. Tak heran, nama besarnya menjadi patron bagi para pejuang bangsa. Dia disebut "Bapak Republik Indonesia", setelah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik) tahun 1925.
Di kalangan mahasiswa sampai awal 1990-an, ia adalah idola. Pada zaman Orde Baru, buku-bukunya dicari lewat bisik-bisik. Madilog (1943) jadi puncak karya Tan Malaka, sebagai filsuf sampai tataran praksis, bukan cuma tataran ide. Berburu buku-buku Tan Malaka tak saja sulit, tetapi juga kater-ketir. Sekitar 1988-1989, karena sering berjongkok di penjual buku loakandi Pasar Senen, Jakarta Pusat, beruntung mendapatkan buku-buku lawas Tan Malaka, termasuk masih dalam bentuk ketikan.
Tahun 1994, ketika pergi ke Bayah, Banten selatan, salah satu tempat persembunyian Tan Malaka zaman penjajahan Jepang, ada orang tua yang mengenalnya. Pak Tua cuma ingat, tahun 1940-an, ada lelaki bertubuh tidak tinggi, tetapi dikenal pintar dan jago bicara. Sayang, sewaktu di Haarlem, Belanda, tahun 2014, tak sempat menelusuri jejak Tan Malaka (1913-1919).
Sekarang tahun 2016. Komunisme telah lama apkir. Rezim pun telah berganti. Namun, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka, begitu nama lengkapnya, tetap saja "berbahaya". Dia benar-benar pejuang revolusioner yang kesepian. Sejarah memang penuh ironi. Padahal, kata sejarawan Sir John Seeley (1834-1895), belajar sejarah agar kita lebih bijak. Kita-generasi yang merasakan kenikmatan kemerdekaan sekarang-sesungguhnya telah berutang kepada Tan Malaka dan pendiri bangsa yang lain.
Sumber: Kompas, 31/3/2016
No comments :
Post a Comment