Rofikoh Rokhim dan Makanan nan Langka

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Jakarta Prof Dr Rofikoh Rokhim membuka usaha rumah makan di Jakarta Selatan dengan menawarkan makanan tradisional yang sudah langka.

Oleh TRI AGUNG KRISTANTO

Kompas, 15 Maret 2022

 


Berangkat dari kegemarannya menikmati makanan tradisional dari sejumlah daerah dan kesulitan untuk mendapatkannya saat pandemi Covid-19, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Jakarta Prof Dr Rofikoh Rokhim pun membuka usaha rumah makan. Restoran di Jakarta Selatan, yang, antara lain, menyajikan makanan nan langka dari sejumlah daerah di Nusantara itu sekaligus menjadi pertemuan antara hobi dan ilmunya.

”Saya ingin nguri-uri (melestarikan) pengananlawas agar tidak punah karena kaum milenial kini mengetahui makanan itu-itu saja, misalnya ayam geprak geprek saja,” kata Rofikoh di Jakarta, Minggu (13/3/2022) malam. Untuk olahan ayam, restoran yang dinamai Sumber Asli: Kuliner Tempo Dulu itu, misalnya, menawarkan menu ayam sasando (Nusa Tenggara Timur), ayam arohu (Ambon), ayam paniki (Ternate), ayam cincane (Samarinda), ayam panggang (Klaten), ayam andaliman (Tapanuli), ayam malbi (Palembang), ayam bekakak (Sunda), ayam bacem (Yogyakarta), ayam tangkap (Aceh), dan ayam garang asem (Kudus).

Selain itu, ada kudapan nan langka juga, terutama dari wilayah Jawa, yang disajikan, seperti bongko, proltape, mentho, gempol plered, carang gesing, stoombrood, jalangkote (Makassar), dan rujak Aceh. ”Restoran ini dibuka pada 18 Agustus 2020, pas pandemi Covid-19 menyebar di Indonesia. Saat itu banyak orang enggak bisa mudik. Kalau mereka kangen dengan makanan tradisional dari daerahnya, ya, bisa makan di Sumber Asli saja. Lumayan ada perwakilan dari berbagai daerah,” kata Rofikoh, yang juga Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) itu.

Dengan banyak menu yang ditawarkan, termasuk aneka olahan nasi dan lauk pauk dari sejumlah daerah, Rofikoh mengaku tak khawatir jika tak semuanya bisa diserap pembeli. Ia dan karyawan serta koleganya bisa saja menghabiskannya.

”Niatnya kalau enggak laku, ya, dimakan sendiri. Saya, kan, suka sumua makanan itu,” ujarnya sambil tertawa. Rofikoh yang memang gemar memasak terlibat langsung dalam penyusunan resep, terutama untuk makanan yang langka. Ia juga ikut memasak saat senggang.

”Cak Lontong (komedian) pun mengatakan, di restoran ini, salah nuding (menunjuk) masakan saja enak…,” ucap Rofikoh. Kali ini, perempuan lulusan Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, serta peraih gelar master dan doktor ekonomi dari Université de Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Paris, itu menerapkan ilmu ekonominya, berpromosi. (TRA)

 Editor: DAHONO FITRIANTO

Tumpal Tampubolon, dari Matematika ke Dunia Sinema

Di tengah pandemi Covid-19 yang menebar kepahitan bagi banyak orang, Tumpal justru mencicipi momen manis. Ia sukses meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri lewat film pendek yang ia sutradarai. 

Oleh WISNU DEWABRATA



Membangun karier di dunia film tak seglamor seperti yang kerap dibayangkan orang. Tumpal Tampubolon, misalnya, kariernya di awal-awal sempat naik turun. Dalam perjalanan berikutnya, ia melewati masa-masa pahit dan manis.

 

Di tengah pandemi Covid-19 yang menebar kepahitan bagi banyak orang, Tumpal justru mencicipi momen manis. Ia sukses meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri lewat film pendek yang ia sutradarai, Laut Memanggilku, secara beruntun pada 2021. Film itu dinobatkan sebagai film pendek terbaik, Sonje Award, Busan International Film Festival (BIFF) 2021, dan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021.

 

Saat berbincang daring, Selasa (8/3/2022), Tumpal menceritakan, setelah lulus sebagai sarjana Ilmu Matematika dari Institut Teknologi Bandung, ia memberanikan diri memilih sinematografi sebagai jalan hidupnya. Padahal, ia mengaku saat itu termasuk awam dalam urusan membuat film. Saking awamnya, ia mengira film dibuat dengan hanya melibatkan bintang film. Tidak heran jika lima tahun pertamanya di dunia film, ia merasa sangat berat.

 

Dunia film bagi Tumpal sama sekali baru dan hampir 100 persen tak berurusan dengan latar belakang pendidikannya. Sebagai mahasiswa jurusan ilmu matematika, dunia Tumpal hanya seputar mengkaji, memecahkan, dan membuktikan jawaban untuk setiap soal matematika.

”Keluarga dulu jelas khawatir, ya. Ini kok sudah disekolahin terus jadi apa? Memang lima tahun pertama berat banget. Ya, mau gimana. Dari (latar belakang) matematika terus ke film. Kadang kalau lagi kesulitan uang, ia pulang ke rumah. Ibu di rumah paling nanya, kerja apaan lu kok enggak ada duitnya. Aduh...,” kenang Tumpal.

 

Walau kerap merasa seperti menelan harga dirinya sendiri, Tumpal berusaha tetap bertahan. Dia yakin apa yang dilakukannya sudah benar dan sesuai panggilan jiwanya. Kerja keras dan konsistensinya akhirnya berbuah manis saat memenangi Piala Citra pertamanya pada 2014 di Palembang, Sumatera Selatan, kategori Penulis Skenario Terbaik lewat film Tabula Rasa (2014). Piala itu dia dedikasikan untuk ibunya, seperti juga beberapa penghargaan lain yang diperoleh kemudian.

 

Hingga kini, Piala Citra pertamanya dipajang sang ibu di lemari rumahnya. Ibunya kerap membanggakan dan memamerkan piala anaknya itu ke setiap tamu dan kenalan yang datang. Menurut Tumpal, keluarganya bangga dengan penghargaan yang familiar bagi mereka.

 

”Sebelumnya saya ikut banyak festival film. Mereka enggak paham dan enggak terlalu peduli. Apaan itu, mereka bilang. Tapi kalau Piala Citra mereka tahu. Soalnya, kan, memang sudah ada sejak dulu. Jadi mereka lihat, wah kayaknya anak gue benaran sudah jadi orang nih, ha-ha-ha,” kenangnya sambil terbahak.

 

Kaset video

Sejak kecil Tumpal senang menonton film lewat kaset video. Dia gemar menyewanya, terutama film anak-anak, untuk disetel di rumah. Terkadang dia nekat menyetel film video sewaannya di toko rental lantaran berkategori tontonan usia di atas 17 tahun, seperti film laga Hollywood atau film kungfu Hong Kong.

 

Keluarganya juga familiar dengan teknologi video lewat hobi mendiang sang ayah. Semasa hidupnya, ayah Tumpal, seorang pilot helikopter, senang merekam berbagai momen keluarganya. Rekaman itu juga dikirimkan ke opung (nenek) Tumpal di Medan, Sumatera Utara, sebagai ganti surat.

 

Biasanya Tumpal sekeluarga berkirim ucapan selamat hari raya atau sekadar rekaman kegiatan sehari-hari untuk menghibur dan melepas rindu keluarga di kampung. Saat sang nenek meninggal, Tumpal menemukan banyak kaset video, yang dulu dikirim, masih tersimpan rapi. Ibarat harta karun sejarah keluarganya, Tumpal berencana mendigitalisasikan semuanya.

Saat kuliah, terutama di semester-semester akhir, Tumpal baru mulai berkenalan lebih jauh dengan dunia film. Dia rajin ikut lomba penulisan naskah film pendek. Satu kali dia memenangi hadiah Rp 15 juta yang digunakan untuk memfilmkan naskahnya.

 

Film pendek perdananya itu bercerita soal para joki kuda sewaan, yang banyak beroperasi di jalan raya dekat kampus ITB. Kuda-kuda disewa wisatawan, seringnya anak kecil, yang naik berkeliling area luar kampus ITB. Sang joki berlari mengikuti kudanya. Hasil filmnya juga ditayangkan di acara salah satu stasiun televisi swasta penyelenggara lomba.

”Filmnya sih ya, lumayan berantakan, ha-ha-ha. Tapi dari situ saya terpikir, oh, apa mungkin ini jalan hidup saya? Saya enggak tahu juga waktu itu. Cuma memang yang jelas saya rasakan, ada sesuatu di sini,” kenangnya.

 

Keseriusan Tumpal berlanjut dengan rajin mengikuti beberapa festival film, salah satunya Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2006. Naskah film usulannya masuk final dan dia diberi kesempatan memfilmkannya, dengan melibatkan proses produksi lebih serius.

Hal itu berarti melibatkan peralatan dan para kru profesional. Awalnya Tumpal sempat tak percaya diri. Dia bahkan merasa canggung saat berada di sekitar kamera profesional 16 milimeter, yang digunakan di produksi itu.

 

”Di film soal joki kuda dulu kan saya cuma pakai kamera perekam biasa jadi pas lihat kamera 16 milimeter jadi takut. Apalagi lighting dan krunya semua profesional. Sampai-sampai saya ngerasa enggak layak ada di situ. Tapi ya, berlagak ngerti dan pede aja serta tetap bikin shot list dan storyboard,” tukas pengagum sutradara nasional Nya’ Abbas Akup itu.

Perjalanan dan pengalaman Tumpal terus berlanjut. Mengutip situs IdFilmCenter, pada 2009 Tumpal terpilih menghadiri Berlinale Talent Campus di Berlin, Jerman. Setahun kemudian dia kembali terpilih hadir di Asian Film Academy, Busan, Korea Selatan.

 

Pada dua kesempatan itu, Tumpal memanfaatkannya untuk memperdalam pengetahuan dan kemampuan lewat sejumlah workshop gratis. Dia sadar dirinya tak punya cukup biaya untuk belajar film secara formal.

 

Menjadi mumi

Selain menulis naskah dan menyutradarai, Tumpal juga berpengalaman menjajal dunia akting. Salah satunya di film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017). Perannya lumayan unik, menjadi mumi suami tokoh utama, Marlina (Marsha Timothy), dan hanya duduk diam mematung di pojok ruangan.

 

Tumpal tertarik terlibat lantaran bertekad ingin merasakan semua aspek proses pembuatan film. Dia tak segan mencoba dan mengerjakan tugas apa saja demi menambah pengetahuan dan pengalaman.

 

”Di film itu akting saya cuma duduk diam sambil tangannya begini (menyilang di dagu) selama shooting lima hari. Ha-ha-ha. Saya waktu itu juga cuma untuk bantuin teman. Tapi kalau ditanya mana lebih disukai, terus terang ya menulis (naskah),” ujar penggemar film bergenre drama itu.

 

Namun begitu, penyutradaraan tetap menjadi tantangan baginya. Menyutradarai sebuah film butuh kemampuan manajemen tinggi dan rumit, termasuk mengatur para kru dan mengerjakan proses shooting di set.

 

Saat ini dia tengah menyutradarai sebuah film panjang pertamanya, yang sayangnya sempat terjeda lantaran pandemi. Film bergenre drama psikologis itu berjudul Crocodile Tears.

Walau tak secara langsung, Tumpal merasa bekalnya saat menimba ilmu di kampus lumayan berguna. Selama kuliah dia terbiasa berhadapan dengan banyak tugas, yang mengharuskannya mencari pembuktian atas suatu persoalan matematika.

 

Dalam matematika seseorang, menurut dia, bisa melihat banyak kemungkinan untuk membuktikan dan menyelesaikan satu persoalan. Pendekatan pembuktian dan penyelesaian masalah seperti itu sangat membantunya merangkai cerita untuk filmnya. Dengan lebih banyak melihat kemungkinan lain, jalan cerita filmnya bisa semakin kaya.

 

Kesejahteraan

Tumpal merasa perfilman di Tanah Air masih punya banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan jika ingin menyejajarkan diri dengan perfilman negara-negara lain, yang sudah lebih maju. Setidaknya mengacu ke beberapa negara, seperti India atau Korea Selatan, yang terbilang produktif dan malah bisa ”mengekspor” budayanya ke luar negeri lewat produk-produk film mereka.

 

Beberapa hal yang sangat dibutuhkan untuk memajukan perfilman di Tanah Air, menurut Tumpal, antara lain dukungan lebih kuat dari pemerintah, baik berupa kebijakan maupun pendanaan. Dia mencontohkan, beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Filipina, punya program funding, yang tujuan utamanya mengajak produsen film negara lain berkolaborasi dengan industri perfilman mereka.

 

Tumpal juga menyoroti pentingnya penambahan jumlah layar bioskop secara signifikan mengingat luasnya wilayah dan besarnya potensi penonton, terutama film nasional, yang dimiliki Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang mendukung terbentuknya hub-hub baru produksi film, agar jangan terpusat hanya di Pulau Jawa juga diperlukan untuk mengangkat keberagaman.

 

”Selain itu, juga perbanyak sekolah film (formal) dan jangan dilupakan pula peningkatan jaminan kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan para pekerja industri film. Kalau tidak sejahtera, bagaimana bisa berpikir kreatif, kan?” kata Tumpal.