Fenomena Citayam Fashion Week

 

Anak muda dari Citayam, Bonge dan Kurma, yang viral di media sosial melalui "Citayam Fashion Week", dikerubuti para remaja di kawasan Dukuh Atas, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (22/7/2022) sore.

Dukuh Atas tujuan ideal karena menjadi persimpangan moda transportasi Jabodetabek. Di situ ada kawasan umum terbuka luas. Hanya perlu biaya tiket kereta api dan jajan minuman botol bisa nongkrong berjam-jam.


Nama Citayam Fashion Week sebulan terakhir sangat populer. Awalnya, penamaan itu lebih bernuansa merendahkan, belakangan jadi perbincangan serius.


Citayam Fashion Week (CFW) sama sekali tiada hubungan dengan Desa Citayam yang dilintasi dan menjadi salah satu stasiun kereta api Jakarta-Bogor yang beroperasi sejak 1873. CFW justru merujuk kawasan di stasiun kereta api Dukuh Atas, Jakarta Pusat.


Sebagai catwalk adalah tempat penyeberangan orang (zebra cross) di sana. Di tempat itulah para ”model” bergantian melintas sambil menampilkan gaya berbusana mereka.
Dalam waktu hanya sebulan, CFW menjadi isu penting tentang kota dan warganya. Megawati Institute perlu mengadakan diskusi, menghubungkan mencerdaskan bangsa dan fenomena CFW (Kompas, 28/7/2022).


Sejumlah remaja berjalan di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, 8 Juli 2022.

Belakangan, CFW mendapat julukan baru ”Haradukuh”, mengacu pada gaya berbusana anak muda di Tokyo. Pada awal 1980-an, sekelompok anak muda menempati jalanan di kawasan stasiun kereta api Harajuku. Mereka menggunakan busana nontradisional sebagai ekspresi diri menghadapi kekangan norma masyarakat yang kaku.


Aktivitas CFW dalam catatan Kompas.com mulai viral akhir Juni 2022. Sejumlah video wawancara remaja yang nongkrong di kawasan Stasiun Dukuh Atas viral di media digital. Busana yang mereka kenakan mulai beraneka. Mereka dari daerah Bojonggede, Citayam, dan Depok. Belakangan, aktivitas mirip CFW muncul di beberapa kota lain, salah satunya Surabaya.


Dari pengakuan beberapa remaja, mereka berkumpul di Dukuh Atas karena butuh tempat berkumpul. Tanpa perlu bersusah payah kita bisa melihat kepadatan kota dan ruang terbuka yang mudah diakses melahirkan CFW. Kegagalan pemerintah kota memberikan ruang kota yang terjangkau menyebabkan mereka menciptakan ruangnya sendiri.




Seorang remaja berjalan di trotoar di sekitar Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, 8 Juli 2022.



Dukuh Atas tujuan ideal karena menjadi persimpangan moda transportasi Jabodetabek. Di situ ada kawasan umum terbuka luas. Hanya perlu biaya tiket kereta api dan jajan minuman botol bisa nongkrong berjam-jam tanpa terintimidasi jarak kelas sosial Jakarta. Kreativitas remaja itu sementara ini muncul dalam busana yang ternyata juga bisa barter.


Hal yang para pemimpin dan perencana kota bisa mengambil pelajaran adalah remaja yang jumlahnya akan semakin membesar, karena bonus demografi, memerlukan ruang terbuka. Ruang yang dapat diakses dengan menyambungkan titik-titik pertemuan strategis (node) pendukung di dalam satu rangkaian.


Sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum, aktivitas ini biar berlangsung tanpa perlu bercuriga. Ali Sadikin berpuluh tahun lalu melakukan dengan membangun gelanggang remaja. Biarkan CFW menjadi merek publik, seperti Harajuku membawa Tokyo terkenal ke seluruh dunia. Remaja CFW membawa semangat sama. Bebas melahirkan ide baru, inovasi, menyatakan identitas. Waktu akan membuktikan apakah CFW sekadar fad, mode yang datang hanya sesaat, atau menjadi awal perubahan sosial menetap.


Avip Priatna, Arsitek Pemantik Musik Klasik

     





Siapa yang tidak mengenal Avip Priatna, konduktor terkenal, sekaligus pendiri Batavia Madrigal Singer (BMS) dan Jakarta Chamber Orchestra, atau sekarang lebih dikenal dengan Jakarta Concert Orchestra.

Sejak umur delapan tahun, Avip Priatna (57) sudah jatuh cinta pada arsitektur dan musik klasik. Memori masa kecilnya banyak diisi dengan menggambar bangunan dan bermain organ. Cinta itu menuntunnya meraih gelar sarjana di bidang arsitek serta melambungkan namanya di panggung musik klasik dunia.

Avip Priatna di Balai Resital Kertanegara

Senyum Avip merekah saat penonton bertepuk tangan di akhir penampilan paduan suara Batavia Madrigal Singers (BMS) di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Sabtu (9/7/2022). Sebagai konduktor, ia memimpin 44 anggota BMS membungkukkan badan, tanda hormat atas apresiasi penonton.

Penampilan paduan suara Batavia Madrigal Singers (BMS) di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Sabtu (9/7/2022). BMS menjuarai European Grand Prix for Choral Singing 2022 di Tours, Perancis, Juni lalu.

Apresiasi itu tidak berlebihan. Selain karena penampilan sore itu yang mengesankan, mereka baru saja membawa pulang piala European Grand Prix (EGP) for Choral Singing 2022 di Tours, Perancis, Juni lalu.

Capaian itu menambah jejak prestasi Avip dalam kompetisi paduan suara tertua dan tersulit di dunia yang telah berlangsung selama 33 tahun tersebut. Empat tahun lalu, ia menjadi dirigen paduan suara anak The Resonanz Children’s Choir ketika menjuarai kompetisi serupa di Maribor, Slovenia.


Penampilan paduan suara Batavia Madrigal Singers (BMS) di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Selasa (7/6/2022). BMS saat itu bersiap mengikuti European Grand Prix for Choral Singing 2022 di Perancis pada 18 Juni.

Lulusan Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria, itu menjadi orang Indonesia pertama yang menorehkan prestasi tersebut. Ia menyamai capaian konduktor asal Slovenia, Stojan Kuret, yang dua kali menjuarai EGP.

”Saya berharap capaian ini memantik semangat anak-anak muda Indonesia dalam bidang musik klasik. Jika kami bisa (berprestasi tingkat dunia), paduan suara atau penyanyi lain juga bisa,” ujar Avip.

Kemenangan di EGP menjadi prestisius karena ajang itu mempertandingkan juara umum dari enam kompetisi paduan suara paling bergengsi di Eropa. Kompetisi itu meliputi Concorso Polifónico Guido d'Arezzo (International Guido d’Arezzo Polyphonic Contest) di Arezzo, Italia; Béla Bartók International Choir Competition di Debrecen, Hongaria; International Choral Competition Gallus Maribor di Maribor, Slovenia; Certamen Coral de Tolosa (Tolosa Choral Competition) di Tolosa, Spanyol; Florilège Vocal de Tours (Tours Vocal Competition) di Tours, Perancis, dan International May Choir Competition ”Prof. G. Dimitrov” di kota Varna, Bulgaria.

Berdasarkan laman egpchoral.com, sejak pertama kali digelar pada 1989, pemenang EGP didominasi negara-negara Eropa. Hanya tiga negara Asia yang pernah menjadi juara, yaitu Jepang, Filipina, dan Indonesia.

”Orang Indonesia dibekali insting musikal yang kuat. Cita rasa musik itu harus diolah. Prestasi ini menunjukkan posisi Indonesia di panggung musik klasik dunia,” ucapnya.

Organ mainan

Saat masih anak-anak, Avip suka mengamati bangunan yang ada di sekitar rumahnya di Bogor, Jawa Barat. Bermodalkan pensil, kertas, dan penggaris, ia menggambar bangunan apa saja yang dilihatnya.

”Waktu di sekolah, guru sering tanya bangunan apa yang saya gambar. Saya jawab, itu semua rumah tetangga saya,” ujarnya diikuti tawa, mengingat kepolosan masa kecil.

Dua gelar juara EGP sangat disyukuri, tetapi tidak membuatnya cepat berpuas diri. Pencapaian itu bukan garis finis, melainkan landasan bagi paduan suara anak bangsa untuk menapaki anak tangga prestasi yang lebih tinggi.

Selain menggambar, Avip juga senang mendengarkan musik. Ia rutin menonton musik klasik orkestra Jepang yang ditayangkan TVRI.
Saat berusia sembilan tahun, Avip melihat ibunya membawa organ mainan yang dibeli dari pasar. Organ itu akan dijadikan kado untuk tetangganya yang mengadakan sunatan.

Ia memainkan organ itu semalaman. ”Saat organnya dibungkus untuk kado, saya merasa sedih sekali karena enggak bisa main lagi,” katanya.
Kesedihan itu sepertinya ”ditangkap” oleh ibunya. Beberapa bulan kemudian, Avip mendapatkan kado serupa saat ulang tahunnya yang ke-9.

Momen itu masih sangat membekas di ingatannya. Saat bermain layangan di lapangan, ia dipanggil ibunya untuk segera ke rumah.

”Waktu saya masuk rumah, ada organ di atas meja makan. Meski hanya mainan, rasanya gembira sekali. Selama seminggu, saya enggak pernah keluar rumah setelah pulang sekolah,” ujarnya.

Avip menyalurkan hobinya itu dengan menjadi pianis paduan suara di tingkat SD, SMP, dan SMA. Ia juga mengikuti les musik untuk mengasah kemampuannya.

Setelah lulus dari SMA Negeri 3 Bandung pada 1983, ia kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Sejak bergabung dalam paduan suara di kampus inilah ia mulai mengenal beberapa orang yang menyukai musik klasik.

”Akhirnya bertemu teman yang satu selera musik. Saya pun makin serius belajar piano. Mulai mendengarkan Vienna Boys Choir (kelompok kor laki-laki asal Austria) dan paduan suara lainnya,” ucapnya.

Kesempatan menjadi konduktor datang saat pelatih paduan suara mahasiswa Unpar lulus kuliah. Avip memberanikan diri mengambil posisi kosong tersebut.

Salah satu konser JCO (Sumber gambar: Jakarta Concert Orchestra)

”Sebenarnya saya terpaksa melatih saat itu. Bermodal pendengaran dan imajinasi saja. Tetapi, justru kami bisa juara,” katanya.

Avip diminta segera mengirimkan daftar riwayat hidupnya. ”Saya ingat betul, waktu ditelepon Pak Benny (Benedictus), saya sedang mencuci mobil. Ternyata berlanjut dan bisa kuliah musik di Austria,” kenangnya.

Hal itu memantapkan keinginannya untuk kuliah di bidang musik. Peluang tersebut datang pada 1998 ketika rektor Unpar saat itu, Prof Benedictus Suprapto Brotosiswojo, bertemu duta besar Austria untuk Indonesia.

Panen prestasi

Alasan Avip memilih memperdalam cintanya pada musik klasik ketimbang arsitektur sangat sederhana. ”Arsitek sudah banyak, sementara pengaba musik klasik belum,” ujarnya.

Pilihan itu tak keliru. Ia menuai panen prestasi berkat ketekunannya bermusik. Berbagai gelar yang diraih antara lain juara The Dutch International Choir Festival di Arnhem, Belanda (1995), juara kategori lagu rakyat pada lomba kor Guido d’Arezzo di Italia (1997), tiga medali emas Olimpiade Kor di Linz, Austria (2000), dan juara interpretasi lagu Perancis terbaik pada kompetisi paduan suara di Tours (2001).

Selain itu, meraih tiga gelar pada Florilège Vocal de Tours (2015), tiga gelar Tolosa Choral Contest di Spanyol (2016), dan juara umum Tolosa Choral Contest (2019) yang mengantarkan BMS berkompetisi di EGP. ”Juara EGP bisa dibilang prestasi paling pamungkas karena persaingannya sangat ketat,” katanya.

Prestasi itu tidak diraih dengan mudah. BMS mengungguli peserta asal Indonesia lainnya, yaitu Paduan Suara Mahasiswa Universitas Padjadjaran, dan dua kontestan asal Latvia.

Konsistensi berlatih juga diuji karena EGP sempat tertunda dua tahun akibat pandemi Covid-19. Tim paduan suara yang menjuarai Tolosa Choral Contest 2019 pun dibubarkan.

Avip membentuk tim baru dengan menggelar latihan dan konser daring. Hal itu membuatnya bisa mengenal lebih detail karakter, keunggulan, serta kelemahan vokal setiap penyanyi. ”Dengan begitu, akan terlihat siapa yang potensial untuk bergabung,” ujarnya.

Dua gelar juara EGP sangat disyukuri, tetapi tidak membuatnya cepat berpuas diri. Pencapaian itu bukan garis finis, melainkan landasan bagi paduan suara anak bangsa untuk menapaki anak tangga prestasi yang lebih tinggi.

 

Avip Priatna

Lahir: Bogor, Jawa Barat, 29 Desember 1964
Pekerjaan:
- Direktur dan Pendiri Batavia Madrigal Singers
Pendidikan:
- SD Regina Pacis, Bogor (1976)
- SMP Negeri IV, Bogor (1980)
- SMA Negeri III, Bandung (1983)
- Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur (1990)
- Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria (1998)

 

Tayang di Harian Kompas 26 Juli 2022 Hal.16

Oleh TATANG MULYANA SINAGA

 

 

Jan Djuhana, Kehangatan Sang Penaksir Lagu


Jan Djuhana

Insting Jan Djuhana (73) pada lagu tenar telah memengaruhi jutaan pendengar musik di Indonesia. Pada 1970-an, ia mengedarkan kaset yang diperbanyak dari piringan hitam lagu Barat agar lebih bisa merakyat di telinga pendengar dalam negeri. Lantas, ia juga mengorbitkan musisi dalam negeri dari bukan siapa-siapa menjadi bintang. Wajar jika menyebut Jan bertanggung jawab atas pembentukan selera musik orang kita.

Identitas profesi Jan sudah sangat kentara begitu memasuki JD Records di Jakarta Selatan. Di kantor itu, poster musisi-musisi dunia, seperti The Beatles, Mick Jagger, Keith Richards, hingga Marilyn Monroe, terpajang di dinding. Ruang Jan juga disesaki foto Jan bersama pesohor nasional, juga penyanyi AS, Taylor Swift.

Ia berpose, antara lain, dengan Achmad Albar, Superman Is Dead, Yon Koeswoyo, Ahmad Dhani, Titiek Puspa, dan Ruth Sahanaya. Tembok yang dilabur warna-warni tak lazim, coklat dipadu oranye namun terlihat serasi, turut memampangkan intuisi seni Jan.

”Saya senang mendekor. Warna, saya yang pilih. Saya senang oranye karena cerah. Ceria. Dulu, waktu kantor Sony Music Indonesia masih kosong, saya bantu dekor juga,” ujarnya. Di sudut ruang seluas 16 meter persegi itu tampak tumpukan kaset, cakram kompak, sampai piringan hitam.

Bicara musik dengan Jan memang tak ada habisnya. Ia dengan antusias lalu menyetel ”Jagalah Hatimu”, nyanyian terbaru Pinkan Mambo. ”Luar biasa, the queen is back (sang ratu sudah kembali). Vokalnya masih prima. Baru dirilis kemarin lagunya,” katanya, Jumat (8/7/2022). Pinkan Mambo, yang pernah berduet dengan Maia Estianti dari duo Ratu itu, merupakan salah satu artis di bawah payung JD Records, label bikinan Jan.

Jan Djuhana Produser Musik
KOMPAS/PRIYOMBODO

Jan Djuhana Produser Musik

Jan juga memainkan lagu teranyar band VOC, ”Jelangkung” yang lucu. Alunan pop yang diselaraskan dengan keroncong itu divisualisasikan dengan komik dalam klip videonya. ”Seram tapi liriknya, kok, kocak. Sebenarnya, saya lebih suka pencipta lagu yang baru untuk diorbitkan,” katanya.

Media yang menunjukkan kedekatan Jan dengan bintang-bintang tersebut diimbuhi plakat dari para karyawan Sony Music Indonesia atas rekam jejaknya yang cemerlang. Pada bilah kayu tertanggal 17 Maret 2000 itu tercantum ”Godfather of Music” yang disematkan pendiri Sony Music Indonesia Sutanto Hartono kepada Jan.

Ia memang diberkahi naluri teramat tajam untuk menaksir lagu-lagu yang bakal digilai penikmat musik. Jan menemukan bibit-bibit unggul yang siap bersemi untuk merajai dunia musik. Sebut saja Kla Project, Dewa 19, Padi, dan Sheila On 7 yang diantar menuju gerbang popularitas.

Jan sudah menggeluti perekaman sejak tahun 1968. Ia menjual kaset dengan lagu-lagu direkam dari piringan hitam. Labelnya kecil-kecilan, yaitu Saturn Records dan Team Records. Setelah Team Records gulung tikar, Jan bergabung dengan label besar seperti Sony Music Indonesia dan Universal Music Indonesia. Seusai purnatugas dari Universal, Jan akhirnya mendirikan JD Records.

Kebanyakan asam garam Jan dicecapnya dengan pilah-pilih lagu dan artis. Pada puncaknya, seleksi kiriman sampai 350 grup musik dan solois per minggu bukan perkara baru buat Jan. ”Sempat keteteran juga. Awalnya, malah saya yang terima dan dengar semua demo lagu,” ucapnya.

Jan Djuhana Produser Musik
KOMPAS/PRIYOMBODO

Jan Djuhana Produser Musik

Ia bersyukur tak sampai stres, sakit, atau kurang tidur. Setelah lagu-lagu Sheila On 7, Padi, Cokelat, dan /rif meledak, demo yang diterima Jan mengalir deras. ”Waktu masih zaman kaset, dipaketkan pakai amplop. Setiap amplop bisa berisi sampai tiga kaset dari band yang beda,” ucapnya.

Pada masa itu, antara akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an, Sony Indonesia sampai membuat alamat khusus di kantor pos (PO Box). Kiriman kaset demo yang sampai berkarung-karung itu diambil hampir saban hari. Ia kerepotan juga memilah dan memilih demo yang sejalan dengan instingnya.

Belakangan, Jan dibantu tiga anggota staf untuk mendengar kreasi sebanyak itu. Lagu-lagu didengar di kantor, mobil, hingga rumah. ”Isi setiap kaset mulai satu, tiga, sampai lima lagu. Saya pantang kalau band membawakan lagu yang sudah terkenal,” ucapnya.

Jika lagu dianggap berpotensi, Jan selalu menyimaknya berkali-kali. Lelah, kesehatan yang sesekali terganggu, atau suasana hati sedang kalut tentu memengaruhi obyektivitas. ”Kalau enggak tenang begitu, break (istirahat) dulu. Minta pendapat staf juga, lagunya bagus atau enggak,” katanya.

Sebagian musisi tak dimungkiri memberondong Jan dengan pertanyaan hingga memaksa keyakinannya soal lagu yang bakal laku keras. ”Mereka tanya terus, gimana lagunya? Saya bilang, masih dengerin. Malah, dikirim dua sampai lima lagu lagi,” katanya sambil tertawa.

Banyak sabar

Kesabaran jelas terjejak dalam kiprah Jan yang menghadapi bermacam-macam keeksentrikan calon pesohor hingga megabintang. Pernah, terlontar celetukan musisi masyhur soal label yang digerakkan Jan tak kan ada apa-apanya tanpa figur tersebut. Ia tersenyum saja.

”Saya lupa namanya. Toh, kami, kan, partner. Paling penting, saya senang kalau mereka bisa terangkat fromzero to hero (dari nol sampai sukses),” katanya. Sindrom bintang beken tak melulu soal ulah, tetapi bisa merembet sampai narkoba, bahkan prahara keluarga.

Ia sungguh masygul saat mendapati mitra-mitranya terseret narkoba. Padahal, dalam kontrak terang-terangan dicantumkan, mereka dilarang mengonsumsi barang haram tersebut. ”Ada musisi yang sudah diurus pengacara, konser, tapi kena lagi. Artis lain main jadi ngawur sampai temannya marah,” ucapnya.

Gara-gara narkoba, beberapa band besar babak belur sampai terpaksa vakum dulu. Tak bisa berkarya, badan rusak, jadwal berpentas mereka pun berantakan. ”Perasaan saya campur aduk. Sedih, marah, atau kecewa. Diupayakan mereka rehab dulu, tapi produksi lagu jadi tertunda,” ucapnya.

Beberapa musisi juga tersandung cekcok keluarga. Jika tak dimintai tolong, Jan tetap tenang. Ia mewanti-wanti mereka membenahi keharmonisan pernikahannya dulu. ”Saya biarkan teman-teman membereskan urusan internalnya. Semua sudah dewasa,” ujarnya.

Sampul buku <i>Di Balik Bintang: Jan Djuhana dalam Industri Musik Indonesia</i> yang ditulis Frans Sartono.
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI

Sampul buku Di Balik Bintang: Jan Djuhana dalam Industri Musik Indonesia yang ditulis Frans Sartono.

Belum lagi, sejumlah artis punya kebiasaan jam karet setelah menyepakati janji bertemu, bahkan mendadak hilang tanpa mengabari. ”Janjinya jam 12.00. Eh, telat tiga jam. Ada juga yang begitu datang, malah ke sana kemari. Ternyata, punya janji sama beberapa temannya di meja-meja lain,” katanya.

Ia meredam saja perasaannya. Paling-paling, Jan hanya menanyakan penyebab mereka bertingkah, tetapi nadanya tetap kalem. Jan mengaku kerap mesti menyabarkan diri. Sekonyong-konyong, Janawati Suratman (70) menambahkan bahwa suaminya itu kadang mangkel juga.

”Enggak pernah marah, tapi sudahnya kesal sendiri. Kalau artis bandel, saya yang ngomel. Anak-anak (kolega Jan) sampai sekarang masih sayang. Bapak ngomong apa, nurut,” ujarnya. Jana, panggilan akrabnya, lantas menuturkan vokalis kawakan yang terkenal keras kepala.

”Sambil bercanda, katanya, ’Kalau disuruh cium kaki, yang lain gue enggak peduli kecuali Pak Jan’. Saya ketawa saja,” kata Jana. Kehangatan itu juga memotivasi nama-nama kondang seperti Akhdiyat Duta Modjo, Armand Maulana, Andi Fadly, dan Kristina mau saja memeriahkan agustusan di lingkungan rumah Jan tanpa bayaran profesional.

Dicintai

Jan sungguh terharu lantaran band-band besar masih mengingatnya. Sheila On 7, misalnya, pernah mengirimkan undangan menghadiri konser di Kuala Lumpur, Malaysia. Demikian pula Padi yang menawarkan Jan untuk menyaksikan pertunjukannya di Padang, Sumatera Barat.

”Yovie & Nuno juga mengajak datang ke Kuala Lumpur. Mereka sekalian dapat penghargaan dari Sony Music Malaysia,” katanya.

Sebagian artis yang pernah ia asuh juga datang pada peluncuran buku biografi Jan di sebuah kafe di Jakarta, Rabu (22/6/2022). Ada Pinkan Mambo, Melly Mono, Terry, Teguh dan Sony dari band Vagetoz, Eross dari Sheila on 7, Piyu dari Padi, bahkan Kikan dan Edwin dari Cokelat reuni lagi di panggung setelah belasan tahun pisah jalan. Mantan rekan kerja Jan di Sony juga pada datang. Suasananya mengharukan.

Para artis bergantian bertestimoni, yang umumnya menceritakan perlakuan baik yang pernah mereka terima. Pinkan, misalnya, mengenang tanda tangan kontrak duo Ratu. ”Tanda tangan lain waktu saya mengirim surat resign (mundur dari Ratu), malah langsung ditawari kontrak baru sebagai artis solo,” kata Pinkan.

Teguh juga punya ceritanya sendiri. Sosok Jan, katanya, sangat perhatian untuk urusan di luar musik sekalipun. Dia sering ditanya kabar orangtuanya. ”Kami tak akan melupakan Pak Jan. Hampir semua label pernah kami datangi sejak 1999. Baru delapan tahun kemudian ada yang mau terima kami, yaitu Pak Jan,” katanya. Lagu pilihan Jan, ”Betapa Aku Mencintaimu”, kata Teguh, masih memberi penghasilan bagi mereka hingga sekarang.

Jan tak punya formula pasti untuk mencetak musisi sukses. Tak jarang, ia mengandalkan instingnya saja untuk menaruh kepercayaan kepada musisi.

Jan kini fokus menggandeng putra-putri daerah. Tunas-tunas muda dari Ambon, Purwakarta, Tegal, dan Majalengka ikut diangkat supaya meroket. ”Lebih dari 60 persen musisi saya bukan dari metropolis. Saya cari musisi, pencipta lagu, sampai pembuat klip video andal,” ujarnya.

Ia dengan senang hati mempromosikan generasi penerus, namun mereka pun harus berusaha dengan menambah pengikut media sosial, membuat klip video, dan melobi stasiun radio. ”Supaya lagunya sering diputar. Pesan saya, jangan bosan mencoba. Kalau gagal, jalan terus. Suatu saat, pasti sukses,” ucapnya.

Jan Djuhana

Lahir: Jakarta, 24 Agustus 1948

Istri: Janawati Suratman

Anak:

- Aulia Mariska Djuhana

- Angelika Agustin Djuhana

- Barry Hartanto Djuhana

Pendidikan:

- SD Pantjoran Jakarta

- SMP Pantjoran Jakarta

- SMA Negeri 19 Jakarta

- Program Studi Teknik Elektro Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Editor:
BUDI SUWARNA