Dibal Ranuh, Kemenangan Tim

 



”Ini prestasi yang pantas dibanggakan karena bersaing dengan nama-nama besar dalam bidang video musik,” kata Dibal, Kamis (20/10/2022), dari Denpasar.

Dibal Ranuh benar-benar tidak menduga bahwa video musik yang ia ciptakan meraih prestasi membanggakan: Video Musik Terbaik AMI Awards 2022.

”Ini prestasi yang pantas dibanggakan karena bersaing dengan nama-nama besar dalam bidang video musik,” kata Dibal, Kamis (20/10/2022), dari Denpasar. Ia merasa lagu ”Dinasti Matahari” dari Navicula telah menginspirasinya mengeksplorasi kekayaan Nusantara.

Ia memilih melakukan shooting di Pulau Sumba untuk mencari bentangan sabana yang luas, di mana para penunggang memacu kudanya dengan cepat. Ia dibantu oleh koreografer Jasmine Okubo yang menciptakan koreografiberbasis kekayaan budaya Nunsantara.

Kemenangan ini, kata Dibal, kemenangan sebuah tim yang penuh daya ledak kreativitas. 

”Tentu saja Navicula punya peran besar dengan melahirkan lagu yang keren,” ujar Dibal.

Sampai saat ini, tambah sutradara kelahiran Singaraja ini, AMI Awards masih menjadi barometer insan musik Indonesia. Oleh karena itu, ia merasa bangga bisa menjadi pemenang. ”Ajang ini ajang yang paling ditunggu insan musik Indonesia. Tentu saya senang bisa menang,” katanya.


Selain melahirkan video musik, Dibal juga menyutradarai beberapa film untuk ajang kompetisi tingkat internasional.


1 OKTOBER




Kalaupun tuntutan penuntasan Tragedi Kanjuruhan itu terpenuhi, ia merupakan reaksi keras pada kasus besar. Namun, tindakan itu tidak membongkar akar masalah struktural yang sudah kronis dalam sejarah nasional.

Ada yang lebih mengerikan daripada kisah gas air mata dan besarnya jumlah korban dari Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Yang paling mengerikan: tragedi itu seharusnya bisa dihindarkan. Hingga kini berbagai kajian rinci tidak menemukan alasan mengapa tembakan gas air mata diobral ke tribune penonton.

Bukan saja gas air mata terlarang digunakan di sana. Yang lebih memilukan: tak ada situasi gawat yang membutuhkan satu pun tembakan terlarang itu. Tak ada tawuran antar-suporter. Tak ada serbuan massa yang mengancam nyawa pemain atau petugas.

Tidak semua kekerasan negara bisa dibenarkan sekalipun dampaknya membawa manfaat bagi negara atau masyarakat umum. Ada kekerasan yang tidak bisa dibenarkan karena kadarnya berlebihan. Apalagi, kekerasan yang bersifat acak atau membabi buta, yakni kekerasan yang diobral tanpa alasan, tujuan, atau keuntungan bagi pelakunya atau siapa pun.

Sebesar apa keuntungan yang dicari pihak di balik pembunuhan Udin, Marsinah, atau Munir? Sudahkah proses hukum diusahakan maksimal untuk memberi keadilan bagi semua kasus itu? Apakah Orde Baru tidak bisa bangkit tanpa pembantaian hampir sejuta anak bangsa setelah Soeharto menaklukkan G30S pada 1 Oktober 1965?

Pertengahan Mei 1998 Jakarta terbakar oleh ledakan amunisi yang lazim di medan perang. Penjarahan dan perkosaan massal marak selama 48 jam nyaris tanpa hambatan dari aparat. Adakah keuntungan besar yang dicari atau diperoleh sebagian elite negara? Jika ada, betapa kejinya. Jika tidak, betapa mengerikan kekerasan acak itu!

Obral kekerasan acak atau tanpa alasan yang sepadan dengan akibat yang bisa diduga sebelumnya bisa terjadi bahkan berulang-ulang jika kondisi memungkinkan. Misalnya bila ada pihak yang menikmati impunitas. Mereka merasa kebal hukum, maka tak khawatir sanksi hukum. Kalaupun diadili,mereka yakin akan dibebaskan. Jika terdesak tekanan massa atau tekanan internasional, mereka hanya meminta maaf. Kalau perlu, beberapa orang kecil ditumbalkan sebagai ”oknum”.

Kita terpaksa berdamai dengan aneka bahaya yang tak mampu kita taklukkan, misalnya Covid, korupsi, dan impunitas. Tragedi Kanjuruhan mungkin tidak terjadi, atau terjadi tidak separah itu, jika berbagai kasus kekerasan di sekitar pertandingan sepak bola sebelumnya diusut tuntas. Berbagai kasus lama itu sendiri tidak terulang andaikan berbagai kekejaman berat lain di luar lingkungan sepak bola sudah ditindak tegas, adil, dan tuntas secara hukum.

Tragedi 1 Oktober 2022 di Kanjuruhan menguji penegakan hukum dan kesabaran bangsa. Langkah awal pemerintah dan berbagai lembaga swasta layak dihargai. Semoga kasusnya diusut tuntas dan yang bersalah dihukum setimpal.

Namun, kerugian para penyitas dan keluarga korban tidak terlunasi oleh ganti rugi sebesar apa pun. Tuntasnya satu kasus itu juga tidak membasmi habis akar masalah yang memungkinkan obral kekerasan. Tragedi Kanjuruhan bukan kasus tunggal yang lepas dari sejarah kekerasan nasional.

Kunci kejayaan Indonesia di masa depan terletak pada pembenahan radikal dalam bidang hukum dan pendidikan. Pendidikan membuka peluang selebar-lebarnya bagi pertumbuhan kreatif anak bangsa. Hukum menutup serapat mungkin peluang dan bakat kita yang bersifat merusak.

Pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah. Hukum tidak terwujud sebatas ruang pengadilan. Keduanya dihayati warga dalam aneka ruang dan ragam, termasuk kehidupan sehari-hari di rumah tangga, tempat kerja, juga lapangan sepak bola.

Perombakan hukum dan pendidikan tidak mudah. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak berjangka-panjang, selain dana besar. Dana bukan masalah besar bagi Indonesia. Dibandingkan dengan banyak negara lain, Indonesia terbilang makmur walau kemakmuran itu tidak merata. Yang lebih sulit diharapkan adalah komitmen bersama bagi perbaikan radikal dalam bidang hukum dan pendidikan.

Di mana pun hukum cenderung bias menguntungkan elit. Tak ada insentif bagi mereka untuk merombaknya secara radikal karena itu berisiko ”bunuh diri” secara politis dan ekonomis. Kaum elite memiliki peluang terbesar, tetapi bukan minat besar untuk investasi pendidikan nasional berjangka panjang.

Pendidikan cemerlang di banyak negara merupakan kerja keras yang hasilnya baru bisa dinikmati beberapa generasi kemudian. Kebijakan demikian membutuhkan negarawan berwawasan jauh ke depan. Sosokdemikian bisa lahir dari tuntutan mayoritas pemberi suara dalam pemilu, yang disambung dukungan, pantauan dan evaluasi dari lembaga independen seusai pemilu.

Kebijakan berkiblat masa depan sulit diharapkan bila debat publik terpusat pada sosok personal individu politikus, agamanya atau etnisitasnya. Jika setiap pergantian pemerintah terjadi perubahan kebijakan pendahulunya. Jika ambisi pejabat negara terpusat pada prestasi jangka pendek, sesuai tuntutan masyarakat akan hasil instan dari setiap pemerintah.

Membandingkan prestasi satu pemerintahan dengan pendahulunya sebatas masa jabatan merupakan kebiasaan buruk. Kinerja sebuah rezim sering ditentukan oleh warisan prestasi dan masalah dari pendahulunya.

Sepuluh hari sebelum Tragedi Kanjuruhan, Presiden Jokowi membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran berat HAM masa lalu. Keputusan itu menimbulkan dua kesan. Pertama, Presiden tidak percaya lembaga peradilan mau atau mampu menuntaskan masalah itu, maka diambilnya jalan pintas. Kedua, impunitas akan berumur panjang bagi yang punya koneksi kuat.

Kini banyak pihak menuntut kasus Kanjuruhan diusut tuntas. Kalaupun tuntutan itu terpenuhi, ia merupakan reaksi keras pada kasus besar. Namun, tindakan itu tidak membongkar akar masalah struktural yang sudah kronis dalam sejarah nasional. Maka ia tidak dengan sendirinya mengakhiri impunitas dan obral kekerasan.


Apa pun hasilnya, proses hukum kasus Kanjuruhan itu akan menjadi pelajaran nasional di luar sekolah tentang makna berbangsa dan bernegara. Apakah tanggal 1 Oktober layak diperingati dengan kibaran bendera nasional di puncak tiang sebagai warisan Orde Baru? Atau diturunkan setengah tiang untuk menge
nang para korban tragedi nasional?

SINDEN SUKOHARJO BERJAYA DI MUSKAT

 



Peni Candra Rini peraih Aga Khan Music Awards 2020-2022

Pengajar dan Komponis bersuara emas, berkarya dengan tradisi



Suara Peni Candra Rini terdengar bergetar menahan tangis. Sesaat ia diam, lalu suaranya kembali terdengar. “Al-Fatihah untuk beliau,” ujar Peni menyebut guru dan ayah angkatnya, (Almarhum) Rahayu Supanggah. Berkat kejelian sang maestro, Peni meraih puncak-puncak kesuksesan dalam berkesenian dengan tembang Jawa Tradisional dan kontemporer. Salah satu puncak kesuksesan yang baru saja diraih pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakart, Jawa Tengah, ini adalah Aga Khan Music Awards 2020-2022. “Ini amanah. Saya tidak tahu apakah ini ujian untuk saya,”


Ia menduga kiprahnya dalam kesenian dengan tradisi Jawa dan pengembangan dengan gaya kontemporernya selama ini serta upayanya menggaet anak-anak mudalah yang diakui para Juri Aga Khan. Adapun karya yang menurut dia diapresiasi adalah Maduswara yang dimainkan pula oleh Kronos Quarter di New York, Amerika Serikat, dan kota-kota besar lain di beberapa negara Eropa.


Pemenang sebutan khusus (special mention) datang dari Aceh, yakni Zulkifli dan Bur’am. Enam professional seni terkemuka dari Azerbaijan, Bahrain, India, Turki, Tunisia, dan Amerika Serikat, yakni H.E Shaikha Hala bint Mohammed Al Khalifa, Franghiz Ali-Zadeh, Divya Bhatia, Rachel Cooper, Yurdal Tokcan, dan Dhafer Youssef, memutuskan para pemenang Aga Khan Music Awards.


Para pemenang terpilih dari 400 nomine dari berbagai penjuru. Mereka dinilai para juri sebagai musikus dan pendidik music yang berkontribusi terhadap pelestarian dan pengembangan warisan music yang berkelanjutan, juga memanfaatkan kekuatan musik untuk meningkatkan kesadaran akan masalah sosial dan lingkungan.

Para pemenang akan berbagi hadiah sebesar US$500 ribu serta peluang pengembangan professional. Peluang ini termasuk komisi untuk pembuatan karya baru, kontrak rekaman dan manajemen artis, dukungan bagi inisiatif pendidikan percontohan, serta konsultasi teknis atau kuratorial buat proyek pengarsipan, pelestarian, dan penyebaran musik. Mereka akan menerima penghargaan tersebut di Muskat, Oman. Bersamaan dengan penghargaan Aga Khan for Architecture award pada 29-31 Oktober mendatang.

Para peraih Aga Khan Music Awards 2022 adalah Peni Candra Rini (Indonesia), Zakir Hussain (India), Afel Bocoum (Mali), Asin Khan Langa (India) Coumbane Mint Ely Warakane (Mauritania), Daud Khan Sadozai (Afganistan), Soumik Datta (Inggris), Yahya Husein Abdallah (Tanzania), Yasamin Shahhoseini (Iran), dan Zarsanga (Pakistan). Adapun pemenang special mention adalah Dilshad Khan (India), Golshan Ensemble (Iran), Sain Zahoor (Pakistan), Seyyed Mohammad Musayi dan Mahoor Institute (Iran), serta Zulkifli dan Bur’am (Indonesia).


Oleh para juri, Peni dinilai sebagai komponis, vokalis, dan pendidik Indonesia yang berimprovisasi dengan pengetahuannya tentang seni pertunjukan tradisional Indonesia yang cukup luas dan menginformasikan penciptaan karya-karya barunya yang diproduksi di seluruh dunia.


 
Peni Candra Rini tak pernah menyangka bisa menapaki panggung-panggung dunia saat kecil. Lahir pada 22 Agustus 1983 di Desa  Ngentrong, Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, Peni tumbuh di lingkungan keluarga seniman tradisional, Ayahnya seorang dalang, sementara kakeknya pemain alat music gender. Sejak kecil ia mengikuti berbagai lomba olah suara. Ia memperdalam ilmu di Sekolah Menengan Karawitan Indonesia dan ISI Surakarta.


Ia pun sempat bergabung dalam kelompok Sono Seni Ensemble bentukan I Wayan Sadra dan menjadi sinden untuk karya Rahayu Supanggah bersama kelompok Garasi Seni Benowo. Ia kemudian diangkat sebagai anak oleh Rahayu. Sang maestro agaknya melihat bakat terpendam dalam diri Peni dan mengasahnya dengan mengajaknya tampai di berbagai pentas.


Hasilnya, Peni berhasil melompat dari satu titik ke titik, mulai melanglang buana dengan kemampuan vocal sebagai sinden, penembang Jawa yang kemudian mengeskplorasi tembang itu menjadi kontemporer. Ia tampil di berbagai panggung Internasional di Asia, Eropa, dan Amerika. Sebagai komponis ia sudah menciptakan ratusan tembang serta 12 album yang diproduksi di Amerika Serikat. Karya-karya itu beredar di luar negeri dan malah lebih dikenal di sana.


Peni bukan hanya seorang komponis perempuan yang diperhitungkan. Sehari-hari ia mengajar di almamaternya,bahkan meraih gelar doktor pada April lalu.   Ia juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat dan Eropa.


“Saya tidak pernah membayangkan, tak pernah terbayang. Dulu saya takut bermimpi karena tidak punya apa-apa kecuali suara dan tradisi. Saya Cuma yakin bergerak dan pintu akan terbuka” ucapnya.


Juli lalu, karyanya tampil di Goodman Arts Centre Singapura. Ia baru saja unjuk karya dalam perhelatan Indonesia Bertutur di Kawasan Candi Borobudur, Magelang. Tampil dalam konser tunggal terbatas yang diselenggatakan Kedutaan Besar Amerika Serikat dalam rangkaian acara pertemuan G-20 di Prambanan, Daerah Istimewa Jogjakarta. “Waktu itu saya membawakan karya berjudul air, tentang ancaman plastic, merenung dan mereka menangis” kata Peni yang sebelumnya menghasilkan karya Swarnadwipa berkolaborasi dengan Kitapoleng Bali. Sepak terjangnya inilah yang membuat para juri sudah mengintip semua aktivitas Peni.


Peni akan mengikuti acara diplomasi kebudayaan dunia melalui program residensi dalam OneBeat X di Taos, New Mexico, Amerika Serikat, pada 17 Oktober-7 November. Setelah menerima penghargaan Aga Khan, dia akan terbang ke Nex Mexico dan kemudian ke Los Angeles untuk memberikan workshop dan bertemu dengan pengelola Skirball Museum. Ia juga sudah menyimpan agenda pada 2023 berupa konser istimewa dengan Kronos Quartee, kelompok music berbasis di San Francisco. USA.