PERTANIAN, PANGAN DAN INDUSTRI, TIGA MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI

Petani Memompa Air

Pembangunan ekonomi Indonesia periode 2024-2029 akan mengandalkan sektor pertanian, energi, dan manufaktur. Dengan ketiga mesin tersebut, ekonomi Indonesia diharapkan tumbuh lebih cepat, mandiri, dan inklusif.

Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhannudin Abdullah, Jumat (22/3/2024), mengatakan, arah kebijakan ekonomi yang mengandalkan tiga mesin utama itu didasarkan kenyataan bahwa Indonesia sampai saat ini masih sangat bergantung pada negara lain untuk mencukupi berbagai kebutuhan dasar.

”Setelah krisis moneter yang melanda pada 1997-1998, kita pelan-pelan menghadapi tiga macam defisit, yaitu defisit pangan, energi, dan barang manufaktur, yang membuat kita terus bergantung pada impor,” kata Burhanuddin dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) Afternoon Tea di Jakarta.

KCF adalah wadah para pemimpin perusahaan yang diselenggarakan harian Kompas. Dalam KCF edisi Maret 2024 tersebut, sejumlah pemimpin perusahaan hadir. Mereka berasal dari berbagai sektor, antara lain perbankan, tekstil, properti, pertanian, manufaktur, pangan, dan otomotif.

Indonesia sampai hari ini masih mengimpor berbagai jenis komoditas pangan yang merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari. Sebut saja beras, jagung, kedelai, bawang putih, dan tapioka.

Di sektor energi, Indonesia mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji dalam jumlah yang besar. Akibatnya, anggaran subsidi energi yang harus ditanggung negara per tahun terus membengkak.

Deindustrialisasi
Industri manufaktur dalam negeri juga belum cukup berdaya saing. Burhanuddin mengatakan, Indonesia sampai saat ini masih menjadi net importir barang manufaktur. Hampir 40 persen dari pasar manufaktur Indonesia dikuasai China. Hasilnya, industri dalam negeri pun kerap kali tidak berdaya menghadapi gempuran impor barang manufaktur.

Di sisi lain, ancaman deindustrialisasi dini semakin nyata terjadi. Ia membandingkan, pada 1997-1998, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih berkisar 28-29 persen, hampir mendekati kategori negara industri yang porsi manufakturnya terhadap PDB adalah 30 persen.

“Saat ini, share industri manufaktur kita hanya di kisaran 18 persen. Itu di bawah 20 persen, yang artinya kita kembali ke kategori negara pra-industri, kita kembali lagi ke tahun 1971, kembali ke kondisi awal pemerintahan Presiden Soeharto dulu,” ucap Burhanuddin.

Oleh karena itu, arah kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran ke depan akan mengandalkan ketiga mesin ekonomi itu. Industrialisasi, khususnya yang berbasis sumber daya alam, mesti dipacu dengan memperbaiki kondisi daya saing berusaha, mulai dari sisi kepastian hukum, perizinan, dan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Menurut Burhanuddin, hal itu tidak mustahil dilakukan. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam serta energi baru dan terbarukan yang melimpah dan bisa diolah menjadi beragam produk manufaktur. Ketiga sektor itu, terutama pertanian dan manufaktur, juga akan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

“Oleh karena itu, tiga hal ini, pertanian, pangan, dan industri, harus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi kita ke depan. Meskipun, pada dasarnya, tentu saja semua sektor ekonomi ke depan akan didorong untuk tumbuh dan berkembang,” kata Burhanuddin.

Menanggapi arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru ke depan, Regional CEO PT Triputra Agro Persada Tbk Budiarto Abadi mengingatkan akan pentingnya memperkuat ketahanan pangan nasional. Salah satunya, swasembada beras.

Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Indonesia juga pernah mengalami kesulitan mendapatkan beras seperti yang terjadi saat ini. "Ibu-ibu membeli beras dengan harga mahal, sedangkan petani diuntungkan karena harga gabah naik," ujarnya.
Budiarto berharap pemerintah bisa mewujudkan kembali swasembada beras. Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara produsen beras. Meskipun terdampak El Nino, negara-negara tersebut tetap bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan mengekspor beras.

Salah satu upayanya adalah mengoptimalkan peran badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah telah memiliki Perum Bulog yang menyerap gabah dan beras di dalam negeri, serta mengimpor beras untuk cadangan pangan.

Dari sisi produksi, pemerintah juga bisa meminta BUMN, seperti PT Perkebunan Nusantara atau Perhutani bekerja sama dengan petani. BUMN tersebut bisa mengadopsi cara kemitraan pengelolaan produksi dari perusahaan sawit.

"Kenapa sistem petani plasma di industri sawit tidak dicoba diterapkan di sektor perberasan nasional. Kalau semua diserahkan ke swasta, banyak perusahaan yang enggan, karena bisnis beras itu ngeri-ngeri sedap," katanya.

Skema industrialisasi

Sementara itu, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Manufacturing Indonesia, Bob Azam, berharap pemerintahan baru punya skema tepat untuk mendorong industrialisasi. Berkaca dari bidang yang ia geluti, dalam 10 tahun terakhir, industri otomotif baik mobil maupun sepeda motor mengalami stagnasi dalam hal produktivitas maupun pengembangan pasar.

Sayangnya, di tengah stagnansi sektor industri, para pelaku industri sudah dihadapkan pada rencana peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan ini dikhawatirkan dapat memukul kinerja industri pengolahan yang dapat memberikan kesempatan kerja yang luas.



"Rantai pasok akan terdampak kenaikan PPN. Dari barang mentah menjadi barang setengah jadi terdampak (kenaikan) PPN. Lalu barang setengah menuju barang jadi juga terdampak. Pengadaan komponen pun terimbas kenaikan PPN. Mohon ini jadi perhatian," tuturnya.



Di luar itu, Bob berharap pemerintahan baru menjadikan sektor tenaga kerja sebagai indeks atau faktor utama untuk mengambil berbagai kebijakan industri. "Negara sekelas Amerika Serikat saja menjadikan faktor tenaga kerja untuk mengambil kebijakan suku bunga," katanya.


MENANDINGI SINGAPURA?

Kalung penanda khusus untuk konser Taylor Swift: The Eras Tour di National Stadium, Singapura, Senin (4/3/2024). Suasana di dalam dan luar National Stadium, Singapura, riuhnya oleh suara ribuan orang. Konser ini dianggap sebagai megakonser dari seorang penyanyi global yang dijuluki banyak orang sebagai figur penghibur abad ini.

Berita tentang konser eksklusif Taylor Swift di Singapura awal bulan ini didominasi pernyataan kontroversial pejabat tinggi dari negara tetangganya. Bukan musikus, peneliti budaya pop atau fan Swifties. Aspek finansial dari konser itu agaknya dinilai lebih penting ketimbang yang lain-lain. Sementara itu, beda politikus dan pengusaha semakin kabur.

Seorang menteri kabinet RI berambisi bikin konser tandingan. Menteri yang lain mencari peluang menumpang keunggulan Singapura dalam bentuk kerja sama. Sebagian pihak meragukan kemampuan Jakarta menjadi tuan-rumah untuk konser sekelas Taylor Swift. Kalaupun Jakarta mampu, apakah perlu? Saya ragu.

Indonesia jauh lebih berlimpah berkah ketimbang Singapura dalam banyak hal. Mengapa politikus-bermental-pengusaha RI merasa perlu mengekor Singapura dalam bisnis konser? Untuk membuktikan dirinya tidak kalah hebat dari rekannya di Singapura? Mengapa baru sekarang elite politikus RImerasa kecolongan? Sudah berpuluh tahun dan dalam berbagai bidang Singapura super gesit dalam kompetisi transaksi global.

Walau unggul dalam sejumlah bidang, Singapura ditakdirkan hidup dalam keterbatasan. Wilayah negeri ini super-mini. Hanya sedikit lebih besar dari DKI Jakarta. Sumber daya alam dan manusia di sana sangat terbatas. Dua hal itu seperti takdir yang tidak bisa diubah. Uniknya, Singapura berhasil membalik keterbatasan itu menjadi pemicu kerja secara cerdas.

Demi bertahan hidup, Singapura sangat bergantung pada tambahan berbagai sumber daya dari luar. Memang, semua negara saling bergantung. Tapi, ketergantungan Singapura lebih kritis dibandingkan dengan banyak negara lain. Untuk mendapat tambahan sumber daya unggul, sejumlah persyaratan harus dipenuhi.

Pertama, dibutuhkan jaringan transportasi-komunikasi-finansial canggih dan andal agar sumber daya dari luar negeri bisa masuk dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Pesatnya pertumbuhan kapitalisme global, teknologi digital, dan stabilitas regional sangat menguntungkan Singapura. Jika terjadi krisis dalam berbagai jaringan internasional ini, Singapura akan lebih terpukul dibandingkan denagn negara-negara sekitarnya.

Kedua, Singapura harus memikat calon mitra kerja dari luar. Buat apa akses ke negeri itu dipermudah jika pihak luar tidak tertarik? Singapurameningkatkan daya pikat secara maksimal dengan imbalan besar bagi mitra asingnya. Sementara dalam negeri ”stabilitas dan keamanan” dijaga ketat. Penguasa Singapura cenderung semi-otoriter demi alasan praktis itu, bukan politis atau ideologis. Nyaris tak ada toleransi untuk politik oposisi, grafiti, fanatisme agama atau protes jalanan.

Lebih setengah abad lalu Singapura memikat dunia dengan kualitas layanan maskapai penerbangan dan bandar udara antar-benua. Bangkok menjadi pesaingnya di Asia Tenggara sebagai pusat transit untuk rute penerbangan antarbenua. Thailand kaya tradisi dan kesenian keraton, kuil, dan makanan yang tenar di dunia. Singapura tidak. Maka, Singapura terpacu bekerja lebih cerdas membangun bandar udara Changi.

Perkembangan serupa terjadi di bidang akademi. Pertengahan 1990-an terjadi konflik besar di sebuah universitas di Jawa. Akibatnya, puluhan dosen kehilangan pekerjaan, termasuk saya. Setelah berbulan-bulan hidupberkeluarga tanpa gaji, saya diundang bekerja di satu universitas besar di Singapura.

Universitas di Singapura tersebut baru selesai membangun sejumlah menara apartemen mewah di dekat kampus, khusus untuk dosen-dosen asing. Lebih dari separuh apartemen itu belum dihuni. Semua perabot dalam setiap unit masih terbungkus plastik dari toko. Sewanya hanya sekitar seperlima harga pasar. Penduduk lokal, termasuk para dosen lokal, merasa para pekerja asing dianak-emaskan pemerintah. Perasaan itu bisa dimaklumi.

Di departemen kami ada belasan dosen, mayoritasnya warga asing. Pernah hanya satu yang warga Singapura karena dua rekannya pindah kerja ke luar negeri. Dekan kami sering meminta usulan daftar tokoh-tokoh ilmuwan terbesar di dunia yang bisa dirayu bergabung di universitas ini dengan imbalan sangat menggiurkan. Selama belasan tahun kemudian, hingga kini Singapura menempati salah satu urutan tertinggi dalam ranking universitas global.

Ketika saya bersiap meninggalkan Indonesia, pemerintah Orde Baru masih mewajibkan mahasiswa di Tanah Air lulus mata-kuliah tentang Pancasila. Sebagai dosen, kami wajib lulus penataran Pancasila. Setiba di Singapura, saya lihat mahasiswa di sana wajib belajar literasi teknologi media digital. Para dosennya dituntut memublikasikan penelitian di jurnal terkemuka di dunia. Setelah lewat belasan tahun kemudian, tuntutan serupa ini baru menjadi kelaziman di Indonesia.

Singapura unggul bukan baru belakangan dan tidak hanya di bidang industri hiburan atau pendidikan. Negeri mini ini juga pusat belanja dan perawatan kesehatan. Tidak hanya anak-anak presiden Joko Widodo yang menempuh pendidikan di Singapura. Tidak hanya para menteri kabinet RI yang memilih berobat di Singapura, termasuk sang menteri yang berambisi mengadakan konser tandingan.

Tak perlu kaget atau kecewa jika pentas Taylor Swift untuk Asia Tenggara berhari-hari hanya di Singapura. Daripada bikin konser tandingan, mengapa tidak bersemangat membina universitas dengan kualitas tandingan? Siapa tahu Indonesia berhasil naik ke urutan setara atau mendekati Singapura dalam ranking global universitas dan anak presiden tidak perlu jauh-jauh berkuliah di sana?

Berpuluh tahun Singapura agak otoriter. Begitu juga negara-negara lain di sekitarnya. Mengapa yang lain-lain tidak semakmur dan seunggul Singapura? Mengapa Pemerintah RI tidak terpacu membenahi layanan kesehatan di negeri sendiri sehingga para menteri yang sakit bisa merasa nyaman dirawat di dalam negeri?

Tenaga kerja Indonesia berbondong sebagai PRT di Singapura. Mengapa pejabat tinggi negara tidak bertekad memperbaiki kondisi kerja di Tanah Air sendiri? Bayangkan andaikan orang-orang Singapura berbondong menjadi PRT keluarga di Indonesia.

Apakah konser tandingan dinilai lebih penting daripada semua hal itu?