Takdir Griya Kelahiran Putra Sang Fajar, di Jalan Pandean - Humaniora Kompas

Takdir Griya Kelahiran Putra Sang Fajar, di Jalan Pandean

Oleh  AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA

Kompas Cetak, 21 September 2020

 

 


Griya kuno warna krem itu memiliki enam jendela dan pintu kembar. Plakat di atas kusen pintu bertulis Jalan Pandean IV Nomor 40 RT 004 RW XIII Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, kodep pos 60274.

 

Plakat lain kuning mengilap bertulis Rumah Kelahiran Bung Karno Jl Pandean IV/40, rumah tempat kelahiran dan masa kanak-kanak Bung Karno (Presiden Pertama RI), Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/321/436.1.2/2013.

 

Di dalam rumah, prasasti marmer tertanggal 29 Agustus 2010 ditandatangani Bambang Dwi Hartono, Wali Kota Surabaya, saat itu. Di sana tertulis "Di Sini Tempat Kelahiran Bapak Bangsa DR Is Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat, Proklamator, Presiden Pertama RI, Pemimpin Besar Revolusi". Juga ada foto Soekarno, yang dijuluki "Putra Sang Fajar", dengan tulisan Pandean IV/40 06 Juni 1901 (Kamis Pon)

 

Bertepatan peringatan HUT Kemerdekaan Ke-75 RI, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengumumkan, rumah kelahiran Soekarno telah dibeli, akan direnovasi, dan dijadikan museum untuk kepentingan edukasi.

 

Demi mendapatkan rumah bersejarah itu, tim pemerintah dan pemilik terakhir, Siti Jamilah, saling tarik ulur, termasuk harga. Di satu sisi, pemerintah ingin griya berukuran 6 meter x 14 meter persegi itu dijadikan museum. Di sisi lain, ahli waris berat melepas karena menempati rumah dua kamar itu 30 tahun. Ada kenangan dan kebanggaan.

 

Bertahun-tahun lalu, pemilik mengajukan angka Rp 400 juta. Pemerintah setuju dan menambahkan rumah susun. Namun, tak berlanjut. Belakangan, taksiran nilai properti tim independen Rp 1 miliar.

 

Angka ini disepakati. Pemkot Surabaya, kata Risma, menanggung Rp 500 juta dari APBD, sedangkan Rp 500 juta sumbangan banyak pihak.

 

Menurut Siti, keluarga membeli rumah itu pada 1990. Sebelumnya ganti kepemilikan tiga kali. Saat membeli, Siti tidak tahu bangunan itu amat bersejarah.

 

Polemik kelahiran

 

Penelusuran rumah kelahiran Soekarno intens sejak Institut Soekarno yang didirikan jurnalis senior Peter Apollonius Rohi pada 2007. Dari sana takdir rumah itu ditentukan.

 

Sejak 2009, rumah Siti kerap didatangi peneliti. Rumah kian sering disinggahi, terutama pasca-peletakan prasasti Agustus 2010 dan penetapan sebagai BCB pada 2013.

 

Semasa hidup, Peter yang meninggal 10 Juni 2020, pernah mengatakan, Soekarno lahir dan pernah tinggal di Pandean. Dari buku sejarah, Proklamator lahir di Blitar, Jatim.

 

Soekarno remaja, seperti banyak banyak diinformasikan, ada di Peneleh dan indekos di kediaman tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto. Kegigihan Peter, mantan anggota Korps Komando/KKO, menggali dan mengonfirmasi cerita warga Pandean serta riset mendalam dari berbagai literatur, berujung kepastian rumah Pandean itu tempat kelahiran Soekarno.

 

Buku otobiografi Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterjemahkan Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia memuat lahir saat Gunung Kelud meletus.

 

Lalu, tanggal lahir Soekarno? Harian Kompas terbitan 5 Oktober 1975 memuat berita "Ibu kandung dan Tanggal Kelahiran Ir Soekarno." Subjudulnya "Bukan Lahir Tanggal 6 Djuni Tapi Sebelum Tanggal 23 Mei 1901". Berita ini memuat informasi dari Sumodihardjo, paman Soekarno, di Surabaya. Saat itu berusia 85 tahun.

 

Catatan buku induk mahasiswa Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung) menyebut Soekarno lahir 6 Juni 1902 di Surabaya.

 

Pernyataan Sumodihardjo, saat Kelud meletus, ia yang belajar di Kweekschool (Desember 1988-November 1903) di Probolinggo, diliburkan.

 

Tiba di Surabaya petang hari, Sumadihardjo menuju rumah kakaknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno), guru di kampung Pandean. Di sana ia melihat kakak iparnya, Idaju (Ida Ayu Nyoman Rai), telah melahirkan anak kedua, laki-laki, usia bayinya 5-6 hari. Di rumah itu juga ada keponakan pertamanya, Soekarmini, 2,5 tahun.

 

Seabad lewat, griya itu kini dimiliki pemerintah. Mari cintai, rawat, dan maknai sejarah bangsa dengan bijaksana. 

Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya Mengenal Jakob Oetama melalui tulisan Ninok Leksono, sebuah perjalanan batin

 

Tulisan Ninok Leksono ini tayang di Harian Kompas edisi cetak, edisi Kamis, 10 September 2020. Di bawah ini saya sarikan tulisan kawan, Ninok Leksono, Redaktur Senior Harian Kompas.

 

 


***

 

“Partir c’est mourir un peu… Mais mourir… c’est une grande perte” (Pergi itu kematian kecil… Namun meninggal adalah satu kehilangan besar)

(Paruh awal kutipan sering diucapkan Jakob Oetama yang senang dengan ungkapan Latin dan Perancis)

 

Pak JO, bagi kami adalah guru dan empu dalam bidang komunikasi dan jurnalistik, dan cendekiawan dalam pemikiran, khususnya bidang humaniora, sosial, kebudayaan, dan politik.

 

Setelah Pak Ojong tiada, Pak JO secara alamiah identik dengan  Kompas. Pak JO itu Kompas dan Kompas itu Pak JO. Kehadirannya amat dirasakan.

 

Pak JO saat aktif hadir dalam rapat redaksi dan rapat pimpinan, sering berudar rasa yang menggugah pergulatan pemikiran dan menambah wawasan  para cantrik (reporter). Pemantik ulang dengan tradisi literasi yang sangat tinggi, membuatnya jadi individu yang gemar gagasan dan punya kepekaan instingtif terhadap masalah politik, tanpa sedikitpun tergiur untuk terjun dalam politik praktis.

  

Profesi wartawan, yang ia ikuti atas anjuran Pastor JW Oudejans OFM, yang pada tahun 1950-an menjadi Pemimpin Umum Majalah Penabur, tak menghilangkan nalurinya untuk terus menjadi guru, profesi yang semula ia inginkan. Sebenarnya, dengan sukses mengembangkan Kompas yang ia dirikan, tujuan pendidikan masyarakat pun sudah ia tunaikan karena media massa adalah juga institusi pendidikan dalam skala luas. Sementara visinya tentang pendidikan ia wujudkan dengan mendirikan Universitas Multimedia Nusantara.

 

Tahun 80-an, Pak JO sering meminta wartawannya menulis tentang lomba senjata nuklir, itu juga karena kerisauannya yang besar tentang ancaman perang nuklir bagi umat manusia. Beliau juga meminta liputan tentang perubahan iklim, itu juga karena ia menyadari betapa akan menderitanya nasib umat manusia karena perubahan iklim.

 

Beliau memiliki semangat belarasa yang juga tinggi, dengan memberikan ruang bagi warga Palmerah untuk bekerja di Kompas karena memperjuangkan amanat yang ia ikut menggemakannya “Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan”, sebuah slogan dari humoris dan penulis Amerika Finley Peter Dunne, “Comfort the afflicted, afflict the comfortable”

 

Pak JO mendorong liputan ekonomi modern, pasar modal, dan rintisan digital (dengan menyetujui pendirian Kompas Cyber Media), tetapi hatinya terus risau dengan nasib petani dan nelayan. Ia banyak terkenang pada sosok seperti mendiang Prof Mubyarto dari UGM yang banyak menggagas sistem ekonomi Pancasila.

 

Beliau banyak memberi namun masih merasa kurang karena belum seperti apa yang ddikatakan Ibu Teresa, kalau memberi, “Give, but give until it hurts