ARIES SUSANTI RAHAYU: Target Pecahkan Rekor Dunia


Aries Susanti Rahayu terbilang ”wajah baru” di dunia panjat tebing. Dia belum lama tergabung di pelatnas, tepatnya sejak April 2017. Hebatnya, gadis manis kelahiran Grobogan, 21 Maret 1995, ini langsung menjadi juara pada seri piala dunia di Chongqing, China, Mei 2018. Kegesitannya memanjat di nomor speed menjadikan Aries salah satu andalan Indonesia di Asian Games 2018.
Aries mulai menekuni panjat tebing pada akhir 2007 setelah dikenalkan oleh guru SMP-nya. Kebetulan pengurus cabang panjat tebing Grobogan tengah merekrut calon atlet baru untuk persiapan PON 2008. Aries yang sebelumnya sudah menekuni atletik tertarik mencobanya. Dia kemudian ketagihan dan terus menekuni panjat tebing hingga sekarang.
”Awalnya orangtua agak berkeberatan. Perempuan, kok, menekuni olahraga seperti itu. Tetapi, saya jelaskan tenang keamanannya sehingga mereka pun tidak khawatir lagi. Lagi pula, dari kecil, saya sudah suka memanjat pohon,” ungkap Aries sambil tertawa.
Perjalanan Aries di panjat tebing terbilang wajar-wajar saja. Pada PON 2012 di Riau, Aries hanya menempati posisi delapan besar. Di PON Jawa Barat 2016, Aries dan kawan-kawan menempati posisi kedua untuk nomor speed beregu.
Aries bergabung di pelatnas selepas Lebaran 2017 berkat upaya Hendra Basir yang sekarang menjadi pelatih nasional untuk nomor kecepatan ini. Setelah bergabung di pelatnas, Aries tampil di Kejuaraan Asia 2017 di Iran. Di sana dia meraih emas nomor speed beregu dan menempati posisi ketiga di nomor perorangan.
Berbagai prestasi lain kemudian ditorehkan mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Muhammadiyah Semarang itu.
Lima seri piala dunia diikuti Aries, berawal dari seri Piala Dunia di Wujiang, China, pada 2017. Akan tetapi, baru di Chongqing Aries mencapai penampilan terbaiknya dengan merebut tempat pertama.
Fokus ke Asian Games membuat Aries untuk sementara cuti kuliah, tetapi akan melanjutkannya lagi setelah Asian Games selesai. ”Saya sudah sangat siap dan senang bisa ikut Asian Games. Saya ingin memecahkan rekor dunia. Semangat yang tinggi itu yang kadang susah mengontrolnya saat bertanding, tetapi saya terus belajar mengendalikannya,” papar Aries.
Catatan waktu Anouck Jaubert asal Perancis, yang menyamai rekor dunia atas nama Jullia Kaplina (Rusia), yaitu 7,32 detik di nomor speed perorangan, menjadi patokan bagi Aries. Ketika menjadi juara di Chongqing, catatan waktu terbaik Aries adalah 7,51 detik. Dengan demikian, anak bungsu dari tiga bersaudara putri pasangan S Sanjaya dan Maryati itu masih perlu mengejar selisih waktu 0,2 detik untuk mencapainya. (OKI)
Dikutip dari Kompas edisi 24 Juli 2018

FESTIVAL KOPI NUSANTARA: Mengenal Indonesia Melalui Kekayaan Kopi Nusantara

Oleh: AYU PRATIWI/SIWI YUNITA/DAHLIA IRAWATI




Festival Kopi Nusantara yang berlangsung pada 19-22 Juli 2018 di Bentara Budaya Jakarta memperkenalkan beberapa kopi dari sejumlah daerah. Melalui festival ini, seluruh pihak terkait, dari petani, pemerintah, dan pemain kopi, dapat saling bertemu dan berbagi.



JAKARTA, KOMPAS – Harian Kompas bekerja sama dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk menggelar Festival Kopi Nusantara yang berlangsung Kamis (19/7/2018) hingga Minggu (22/7/2018) mendatang di Bentara Budaya Jakarta. Festival Kopi Nusantara merupakan rangkaian ekspedisi jurnalistik harian Kompas bertema Jelajah Kopi Nusantara yang digelar sejak April 2018.
Festival Kopi Nusantara menjadi cara Kompas “mengenalkan” Tanah Air Indonesia kepada pembaca dan khalayak ramai. Festival Kopi Nusantara dibuka secara resmi oleh Menteri Desa, Pembanguan Daerah  Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, bersama dengan Pimpinan Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan  Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo.
Festival menghadirkan stan petani kopi dari beberapa wilayah seperti kopi Jayawijaya Papua, kopi Jambi, kopi Sumba Barat Daya, kopi Malang (Sridonoretno Dampit), dan aneka kopi Sumatera dari Lampung, Jambi, Sumatera Utara (Mandailin, Lintong, Karo dan Sidikalang) hingga Aceh (kopi gayo). Di luar itu, ada sejumlah stan kedai kopi dan kedai alat-alat kopi, pameran foto tentang kopi selama pelaksanaan  Jelajah Kopi Nusantara, serta diskusi, kompetisi roasting dan brewing.
“Bagi Kompas, Pak Jakob Oetama selalu mengajak generasi muda untuk mengenal tanah air. Untuk itu, Kompas dengan bantuan dari Bank BRI, menggali cerita tentang kopi. Karena bercerita soal kopi juga bercerita soal Indonesia itu sendiri,” ucap Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi harian Kompas, saat pembukaan Festival Kopi Nusantara di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (19/7/2018) malam.

Bagi BRI, keterlibatan salah satu bank BUMN terbesar di Tanah Air dalam Festival Kopi dan Jejajah Kopi Nusantara adalah bagian dari komitmen mereka membantu petani. Menurut Haru, jumlah produksi kopi di Indonesia nomor tiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. “Kalau konsumsi kopi di Indonesia meningkat, saya yakin kita bisa menjadi produsen kopi nomor satu di dunia,” ujarnya.
Hingga kini, Bank BRI juga telah menyalurkan kredit sebesar Rp 1,4 triliun kepada 48.000 pengusaha kopi, dari penanam, produsen, hingga distributor. “Bank BRI juga berkomitmen untuk membatu petani dan pelaku kopi memajukan Kopi Nusatara,” kata Haru.
Eko percaya, kopi memiliki potensi ekonomi yang besar melalui nilai tambahnya, seperti proses produksinya, kemasannya, dan cara menyajikannya. “Kopi dalam bentuk bean saja nilai tambahnya sedikit. Apabila proses produksi, kemasan, dan cara menyajikannya baik, nilai tambahnya bisa tinggi sekali,” tuturnya.
Bagi Eko, animo masyarakat untuk konsumsi kopi semakin besar. “Pembangunan café juga diperlukan di sektor pariwisata. Peluang ini bisa membuka lapangan kerja dan mempercepat perkembangan ekonomi di desa. Bondowoso misalnya, kini menjadi daerah penghasil kopi yang dikenal dengan republik kopi. angka kemiskinan turun dari 24 persen menjadi 14 persen,” ucapnya.
Eko mengharapkan kopi bisa menjadi bagian kebangkitan rakyat. Di sejumlah daerah,kopi benar-benar memberi manfaat. “Bondowoso misalnya, kini menjadi daerah penghasil kopi yang dikenal dengan republik kopi. angka kemiskinan turun dari 24 persen menjadi 14 persen,” katanya.
Jelajah Kopi Nusantara
Untuk menceritakan kisah mengenai kopi nusantara itu kepada masyarakat, Kompas bersama Bank BRI menggelar liputan jurnalistik dalam bentuk “Jelajah Kopi Nusantara” pada Maret hingga Mei 2018.
Eksplorasi itu mengungkapkan sejumlah persoalan yang dihadapi industri kopi dalam negeri, seperti produktivitas kopi yang masih rendah, yakni rata-rata 0,5 ton per hektar per tahun, kurangnya pendampingan kepada para petani, kualitas bibit tanaman yang rendah, panen yang belum matang, penanganan pasca panen yang belum optimal, serta teknologi pengolahan yang masih tergantung dengan produk impor.
Festival Kopi Nusantara yang berlangsung pada 19-22 Juli 2018 di Bentara Budaya Jakarta merupakan rangkaian dari eksplorasi itu dan memperkenalkan beberapa kopi dari sejumlah daerah, yakni Aceh (Gayo), Sumatera Utara (Sidikalang dan Mandailing), Jambi (Kerinci dan Liberika Tungkal), Lampung, Malang (Dampit), Bondowoso (Ijen), Flores (Bajawa dan Manggarai), Sumba, dan Papua (Pegunungan Jayawijaya dan Dogiai). Jenis kopi yang dipamerkan adalah Arabica, Robustam dan Liberika.

Melalui festival ini, seluruh pihak terkait, dari petani, pemerintah, dan pemain kopi, dapat saling bertemu, berbagi, mengevaluasi, serta membangun komitmen untuk mendongkrang kualitas dan kuantitas komoditas kopi sesuai standar pasar.
Selain pameran kopi, kegiatan dan hiburan lain juga akan digelar, seperti diskusi, pameran foto hasil liputan “Jelajah Kopi Nusantara”, kelas roasting kopi, kompetisi manual browing, cup tastes, peramal, dan live music.
Diskusi mengenai persoalan, tantangan, dan masa depan industri kopi di Nusantara akan digelar pada Jumat (20/7/2018), Sabtu (21/7/2018), dan Minggu (22/7/2018). Acara itu akan menghadirkan pembicara dari instansi terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Asosiasi Kopi, Produsen Peralatan Kopi, serta pengamat ekonomi.
Festival ini juga akan memarken sejumlah peralatan untuk pengolahan kopi, seperti mesin roasting, pada 20-22 Juli 2018. Selama empat hari, Festival Kopi Nusantara dimulai pukul 10.00-21.00, tidak dipungut biaya, dan terbuka untuk siapa pun.

Dikutip dari Kompas edisi 19 Juli 2018

Membuka Jendela Dunia

Oleh DWI AS SETIANINGSIH


Buku tak pernah jauh dari kehidupan Laura Bangun Prinsloo (35). Sejak belia, ia terbiasa dekat dengan buku. Kini, buku menjadi jalan bagi Laura untuk berkontribusi memanggungkan karya-karya penulis Indonesia di pentas dunia agar semakin banyak mata melihat kekayaan negeri ini.
Buku barangkali adalah cinta pertama Laura. Cinta yang tumbuh perlahan sejak dia menjadikan perpustakaan, toko buku, dan pameran-pameran buku sebagai tempat baginya bermain sejak belia.
Namun, buku tak pernah secara sadar menjadi pilihan Laura mendedikasikan diri. Menjelang dewasa, Laura justru merasa jatuh cinta pada angka-angka.
Dia bahkan bercita-cita menjadi aktuaris, seorang ahli yang mengaplikasikan ilmu keuangan dan teori statistik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bisnis aktual. Saat bersama keluarganya diboyong sang ayah ke Selandia Baru, Laura memilih kuliah di jurusan matematika, lalu melanjutkan jenjang S-2 di jurusan ekonomi finansial.
Persinggungan Laura secara intens di dunia perbukuan dimulai sekitar 10 tahun kemudian. Kala itu sang ayah, Antonius Bangun, pendiri usaha penerbitan PT Kesaint Blanc Indah, yang telah lebih dulu pulang ke Indonesia, memintanya kembali ke Indonesia setelah 11 tahun tinggal di Selandia Baru.
Saat itu, kehidupan Laura sudah sangat mapan. Dia dan suaminya yang berasal dari Afrika Selatan, Pieter Prinsloo, sama-sama memiliki karier cemerlang. Namun, sang ayah tetap memintanya pulang.
”Kamu mungkin nyaman di sini, kamu enggak ngeliat banyak orang susah. Negara kamu butuh orang-orang kayak kamu. Kamu di sini mungkin bisa sukses, tapi enggak kelihatan. Kalau kamu pindah ke Indonesia, bisa melakukan sesuatu, bisa kelihatan,” begitu sang ayah membujuk Laura. Ia ingat betul kata-kata itu.
Rabu (18/7/2018) siang, kami berbincang di kedai kopi yang dikelola Laura bersama Pieter di kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Itu perjumpaan yang kesekian kali dengan Laura di antara kesibukannya sebagai Ketua Komite Buku Nasional (KBN). Salah satu agenda besar Laura adalah mempersiapkan Indonesia sebagai negara market focus di London Book Fair 2019.
Kata Laura, sebenarnya dirinya pernah tak paham dengan maksud sang ayah. Ia hanya mengerti, pada intinya, sang ayah memintanya pulang ke Indonesia untuk mengabdi kepada negaranya.
Kebetulan, ketika itu Kesaint Blanc yang dibangun sang ayah sedang surut karena kondisi dunia penerbitan yang juga tengah suram. Sang ayah bahkan telah merelakan Kesaint Blanc yang didirikan sejak 1979 ditutup.
”Oh, enggak tega, kan. Walau ayah saya punya beberapa bisnis setelah itu, Kesaint Blanc-lah yang membangun kehidupan kami. Dulu bisnis ayah yang pertama ya itu, sumber yang membuat kami jadi seperti sekarang. Masak iya mau dibiarin mati. Akhirnya ya udah, saya balik, saya bantu jalanin Kesaint Blanc,” kata Laura.
Mendidik
Tentu bukan pekerjaan ringan. Apalagi waktu itu Laura tak memiliki pengalaman di dunia perbukuan. Dia juga terbiasa bekerja sebagai karyawan, belum pernah menangani perusahaan.
”Akhirnya klise, kayak anak kuliahan, beli buku banyak-banyak tentang bagaimana mendatangkan profit, publishing industry, baca, ikut seminar. Ngajari diri sendiri aja,” ujar Laura.
Dia juga melakukan banyak hal radikal. Terpaksa menawari pegawai pensiun dini agar Kesaint Blanc bisa kembali sehat, juga melakukan perubahan besar-besaran dari sisi pemasaran. ”Kita, kan, fokus di pelajaran bahasa asing, jadi saya banyakin buku-buku yang memang memberi pelajaran penuh,” lanjutnya.
Laura juga lantas masuk Ikapi dan menjadi pengurus. Dengan begitu, dia makin mengenal industri buku dan para pelakunya. Kecintaannya pada buku sejak kecil pun kembali menguat.
”Sebenarnya, orang terjun ke penerbitan, kan, biasanya karena passion, karena suka buku. Tapi yang tidak boleh dilupakan, ini juga sebuah bisnis. Dan, seperti bisnis lain, mesti paham, jangan hanya passion,” ujarnya.
Menurut dia, konten memang perlu, tapi perlu juga memikirkan rencana bisnis sebuah buku. Apakah pasarnya ada dan waktunya tepat. Belum lagi soal urusan balik modal dan lain sebagainya.
Seluruh variabel juga harus diukur cermat. Tidak bisa hanya berpegang konten buku yang bagus, lalu mengeluarkan banyak uang dengan waktu editing lama. Akibatnya, harga buku sangat mahal. Menurut Laura, hal seperti itu perlu dipahami pelaku industri penerbitan.
Perjalanannya membesarkan kembali Kesaint Blanc juga mengajarkan Laura hal penting. Bahwa apa yang dia jalani bukanlah semata-mata bisnis. ”Saya pergi ke sejumlah daerah di Indonesia, ngajarin bahasa Inggris. Sedih banget sebenarnya karena di daerah gurunya enggak bisa bahasa Inggris, tapi harus ngajarin anak-anak bahasa Inggris. Gimana caranya,” tutur Laura.
Di situlah Laura merasa apa yang dia lakukan menjadi bagian dari upaya memperbaiki negeri melalui edukasi.
”Di satu sisi, itu bisnis, mesti berjalan. Tapi, di sisi lain, konten itu nanti akan dipakai untuk mengedukasi orang. Saya pernah ketemu pelayan hotel yang bertanya pakai bahasa Inggris. Saya tanya, belajar dari mana? Katanya otodidak, pakai buku 52M (Bahasa Inggris Sistem 52M). Itu buku terbitan saya, wah, enggak nyangka,” ujar Laura bernada bahagia.
Baginya, hal seperti itu sangat tak ternilai. Kepada tim editorial, Laura selalu mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan dengan konten buku-buku mereka bukan semata pekerjaan, tapi juga mengedukasi orang.
”Bahkan, dengan sekarang Indonesia tampil di pentas dunia, kita enggak hanya mengedukasi orang Indonesia, tapi orang luar juga. Saat terbit di China atau di Turki, anak-anak negara sana juga belajar dari kita,” kata Laura.
Duta bangsa
Berhasil mengembalikan Kesaint Blanc di dunia penerbitan, Laura melangkah makin jauh. Dari Ikapi, ia lalu melompat ke KBN, menjabat wakil ketua. Tahun 2016 awal, Laura ditunjuk menjadi Ketua KBN dengan masa kerja hingga 2019.
Dalam posisi itu, Laura juga dituntut mampu berkomunikasi, menjadi duta bangsa di dunia luar, juga mampu memosisikan Indonesia bukan sebagai bangsa ”pemalu”, melainkan bangsa yang bisa bersaing.
Lagi-lagi ini bukan jalan mudah bagi Laura. Apalagi di pasar Eropa, buku-buku dan penulis Indonesia tidak dikenal.
”Selama ini, Indonesia selalu beli hak cipta dan diterbitkan di Indonesia. Seperti buku JK Rowling, Dan Brown, dan lainnya. Kita belum pernah mencoba menjual keluar. Baru tahun 2015, itu pun penjualan right-nya sangat kecil, kebanyakan ke Malaysia. Gimana penulis kita bisa dikenal,” papar Laura.
Melalui KBN, Laura dan tim kemudian merancang rencana. Mereka membuat beberapa divisi untuk menangani konten, program pelatihan penulis agar bisa bersaing dengan penulis luar, mampu memasarkan diri, menjalin jejaring, hingga strategi berpromosi. Tim Laura pun bekerja sama untuk mewujudkan tujuan agar buku Indonesia makin banyak diterbitkan di luar negeri.
”Kami berusaha terus meyakinkan penerbit bahwa buku mereka bagus. Ke penulis juga, bahwa mereka menulis enggak hanya untuk pasar Indonesia, jadi pastikan buku yang ditulis adalah masterpiece. Kami bantu dengan pelatihan,” ucap Laura.
Ia juga berharap, Indonesia mau belajar dari negara lain dalam hal memanggungkan buku-buku ke pentas dunia. Salah satunya, dengan memiliki lembaga khusus yang menangani buku dengan tenaga profesional yang mengurusi buku secara penuh dan sifat organisasinya pun permanen. ”Karena ini bukan urusan yang setahun dua tahun selesai,” kata Laura.
Dia mencontohkan negara-negara seperti Korea, Turki, dan China yang pemerintahnya serius memberikan perhatian pada buku. Begitu juga dengan China. ”China itu dari tiada menjadi ada. Dari yang tidak kedengeran jadi top 10. Sekarang malah posisinya top 2.”
Apalagi dibandingkan negara-negara ASEAN, industri buku Indonesia paling besar dari sisi net revenue, jumlah penerbit, dan jumlah buku yang diterbitkan.
Local content kita banyak, budaya kita banyak, budaya dongeng, banyak cerita, tapi enggak dieksplor. Sebagai orang yang lama tinggal di luar, sedih banget. Punya sesuatu yang berharga, bagus, tapi orang enggak tahu,” lanjutnya.
Pembenahan hulu hilir mendesak dilakukan. Saat ini penjualan hak cipta buku dari Indonesia mulai meningkat. Namun, jalan masih panjang.
Laura terus mencoba membuka jendela-jendela dunia itu lewat buku.
Laura Bangun Prinsloo
Lahir: Jakarta, 20 November 1983
Pendidikan:– S-2 (MCom in Financial Economics), The University of Auckland, Selandia Baru (lulus 2006)
– S-1 (BSc in Mathematics) dari The University of Waikato, Selandia Baru (lulus 2004)
Karier:1. Head of National Organizing Committee (2018)
2. Chairperson of National Book Committee (2016-sekarang)
3. Co-Founder & Owner of PT Maju Mundur Kena (2016-sekarang)
4. Deputy Head of Book Committee (2015)
5. Director of PT Jakarta Pallet Service, Indonesia (2014-sekarang)
6. Founder & Owner of GO Taxi (2012-2014)
7. Director of PT Kesaint Blanc Indah, Indonesia (2010-sekarang)
8. Corporate Strategist ASB Bank, Selandia Baru (2008-2010)
9. Portfolio Risk Management GE Money, Selandia Baru (2006-2008)
Organisasi:
  1. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, 2016-sekarang, Deputy Head of Permanent Committee for Multilateral Institution & FTA
  2. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), 2016-sekarang, Head of International Corporations
  3. Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, 2015-2016, Head of Bureau of Economic and Banking
  4. 4. Yayasan Sapo Ribu, 2011-2015, Head of Foundation
Dikutip dari Kompas 22 Juli 2018

Padang Panjang Menuju ”Kota Keju”

Oleh ISMAIL ZAKARIA


Produk olahan susu sapi, keju, ditunjukkan, Sabtu (7/7/2018). Keju disiapkan sebagai salah satu produk olahan baru dari Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.

PADANG PANJANG, KOMPAS — Keju disiapkan menjadi produk olahan susu segar yang dihasilkan peternak sapi perah di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Kementerian Pertanian melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian mengembangkan keju di sana dengan meluncurkan ”Rumah Keju”, cikal bakal unit pengolahan keju di Padang Panjang, Sabtu (7/7/2018).
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Risfaheri pada Peluncuran ”Rumah Keju”, Demo, dan Bazar Keju Serta Aneka Olahan Susu di Gedung M Syafei Padang Panjang, mengatakan, Padang Panjang dipilih karena salah satu daerah di Sumbar yang terkenal sebagai penghasil susu segar.
Berdasarkan data Dinas Pangan dan Pertanian Kota Padang Panjang, ada sembilan kelompok peternak sapi perah dengan total peternak 100 orang. Setiap hari mereka memproduksi 1.600-1.800 liter susu segar. Sekitar 54 persen susu segar di Sumbar dari Padang Panjang. Selain dikonsumsi di Sumbar, susu segar dikirim ke Pekanbaru (Riau), Batam (Kepulauan Riau), dan Jambi.
”Susu segar itu sebagian besar dikonsumsi. Dengan pengembangan keju ini, jika tidak kuat dipasarkan dalam bentuk susu segar, bisa dalam bentuk olahan seperti keju,” kata Risfaheri, Sabtu kemarin.
Program pengembangan keju  itu bagian dari upaya mendorong pengembangan daerah-daerah baru agar tak hanya terpusat di Jawa. ”Kalau di Jawa, seperti Jawa Barat, sudah banyak. Perlu pembangunan di daerah baru,” katanya.
Menurut Risfaheri, Sumbar berpeluang besar menjadi produsen keju karena sudah menjadi produsen susu. Apalagi, Sumbar adalah daerah wisata.
Demi memastikan mutu keju di Padang Panjang sesuai harapan, kata Risfaheri, pihaknya tidak hanya mengajarkan bagaimana membuat keju, tetapi juga menyediakan bahan seperti starter dan rennet, peralatan, tenaga pendidikan, serta teknisi.
Keju produk lokal Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, ditunjukkan di Rumah Keju, Sabtu (7/72018).
Untuk bersaing dengan produsen keju besar memang belum bisa. Yang terpenting, produk keju Padang Panjang  menjangkau masyarakat sekitar.
”Paling tidak, keju untuk wilayah Padang Panjang dan Sumbar tidak lagi dari luar, tetapi sepenuhnya dari Padang Panjang, termasuk daerah lain di Sumbar yang juga mengembangkan keju, seperti Limapuluh Kota dan Payakumbuh. Peluangnya besar apalagi tren produk makanan dengan campuran keju semakin meningkat,” kata Risfaheri.
Mereka tidak akan membantu penjualan langsung ke pasar, tetapi menjembatani produk-produk keju dari Padang Panjang ke pembelinya melalui pameran. Hal serupa juga akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
”Melalui program ini, kami coba mencari model yang nantinya bisa dikembangkan juga oleh pemerintah daerah atau direktorat jenderal terkait,” katanya.
Ditunggu-tunggu
Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kota Padang Panjang Syahdanur menambahkan, program pengembangan keju dari Balai Besar Litbang Pascapnen Pertanian memang sangat ditunggu peternak sapi perah Padang Panjang. Apalagi, mereka telah menandatangani nota kesepahaman di Bogor pada Januari 2018.
”Selama ini, peternak kami hanya menjual susu segar dalam bentuk pasteurisasi dan yogurt. Program ini menambah diversifikasi produk. Artinya, dengan adanya olahan lain, seperti keju, mozarella, dan lainnya, nilai ekonomis dari susu itu akan bertambah,” kata Syahdanur.
Saat ini, susu segar di kandang dijual Rp 7.000 per liter. Artinya, jika susu yang dihasilkan sekitar 11 liter, nilai jualnya hanya Rp 77.000. Sementara, dengan 11 liter susu segar itu, peternak bisa menghasilkan 1 kilogram keju yang dijual dengan harga sekitar Rp 150.000.
”Memang susu segar produksi Padang Panjang selalu habis terserap pasar. Namun, ada waktu tertentu, seperti libur sekolah dan puasa, di mana susu tidak terjual seluruhnya. Saat itulah peternak mengolahnya menjadi keju. Mengingat nilai ekonomisnya lebih tinggi, ke depan kami ingin agar mereka sepenuhnya mengolah susu segar sebagai keju,” kata Syahdanur.
Sejak Akhir April lalu, peternak Padang Panjang sudah menghasilkan sekitar 100 kilogram keju. Mereka memanfaatkan peralatan bantuan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian secara gratis di Rumah Keju yang berada di Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Panjang Timur. Itu di bawah pengawasan petugas yang sebelumnya sudah mendapat pelatihan.
”Selanjutnya, Rumah Keju ini kami harapkan bisa menjadi cikal bakal unit pengolahan keju di Padang Panjang. Tahun ini, bangunan akan kami rehab menjadi lebih bagus lagi,” kata Syahdanur.
Sekretaris Koperasi Peternak Sapi Perah Merapi-Singgalang Amrizal mengatakan, mereka menyambut positif program pengembangan keju di Padang Panjang. Menurut dia, peternak memang belum beralih sepenuhnya ke keju, tetapi dia optimistis secara perlahan akan ke sana.
”Kami berharap ke depan juga ada satu koperasi yang mengelola keju dengan bahan baku susu segar dari peternak. Kalau saat ini, (mengolahnya) masih perorangan saja,” kata Amrizal.
Dikutip dari Kompas edisi 8 Juli 2018

Lepas Jabatan Tinggi, Nila Tanzil Bangun 29 Taman Bacaan di Indonesia Timur



















Jakarta - Sebagian orang merasa pekerjaan yang ditekuni sekarang ini bukanlah keinginan utamanya. Banyak di antara mereka yang justru ingin melakukan apa yang digemarinya namun tidak tahu cara mencapainya.
Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Nila Tanzil, seorang konsultan travel dan pendiri Taman Bacaan Pelangi, perpustakaan gratis yang ditujukan untuk anak-anak Indonesia yang terletak di Indonesia bagian timur. Ia rela meninggalkan pekerjaannya lamanya meski sudah menduduki jabatan sebagai kepala komunikasi di salah satu perusahaan swasta demi bisa melakukan suatu hal yang sangat digemarinya, yaitu travelling.

Berawal dari kegemarannya itulah, wanita 36 tahun tersebut 'nekat' tinggal di Pulau Komodo selama satu tahun. Tujuannya ingin sejenak meninggalkan rutinitas kehidupan perkotaan. Selama tinggal disana, yang dilakukannya hanya menyelam dan bermain di pantai.
Namun hal itu justru membuatnya menemukan minat terbesar yang selama ini tersembunyi. Saat sedang berinteraksi dengan penduduk lokal, ia sering melihat anak-anak kecil berlalu-lalang menyusuri sungai untuk pergi ke sekolah dengan jarak yang ditempuh dua jam lamanya. Modal mereka hanya satu, buku dan pensil yang ditaruh di dalam kantong plastik. Tak jarang mereka harus mendaki gunung tanpa alas kaki untuk tiba di sekolah. Hal inilah yang menginspirasinya untuk berbuat sesuatu agar bisa mengedukasi anak-anak tersebut.

"Yang aku lihat, mereka sama sekali tidak punya buku bacaan dan seperti haus ilmu pengetahuan. Dari situ aku tergerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk anak-anak Indonesia," ceritanya saat menjadi salah satu pembicara dalam acara Cewequat International Forum 2015 di Kuningan City, Jakarta Selatan, Sabtu (7/2/2015).

Tak tanggung-tanggung, wanita yang pernah mengenyam pendidikan S2 di Belanda ini mendatangkan sekitar 2000 buku yang dibawa langsung dari Jakarta. Hal inilah yang akhirnya membuatnya mendirikan perpustakaan umum bernama Taman Bacaan Pelangi. Perpustakaan tersebut memang didedikasikan untuk anak-anak kecil sehingga mereka bisa membaca buku dengan mudah.

Sukses dengan perpustakaan pertamanya, lulusan hubungan internasional Universitas Parahyangan Bandung ini semakin tertarik untuk mengajarkan anak-anak yang tinggal di daerah terpencil lewat buku-buku yang disediakannya. Bahkan kini ia mempunyai 29 taman bacaan yang sudah tersebar di Indonesia bagian timur seperti Flores, Maluku, Sumbawa, Halmahera, hingga Papua.

Dengan melakoni pekerjaan ini, Nila merasa ia sudah menemukan minatnya, yaitu mengedukasi anak-anak Indonesia agar bisa mendapatkan pendidikan melalui buku yang dibacanya. Ada satu hal yang selalu ia cari saat dirinya membuka perpustakaan di daerah baru, yaitu semangat dan antusiasme anak-anak kecil yang melihat buku sebagai benda mewah.

"Setiap kali aku lihat mereka baca buku, seperti ada satu kebahagiaan di mata mereka. Itu kelihatan banget. Mereka berbinar-binar dan rasanya aku ikut bahagia juga. Untuk menciptakan Indonesia yang kuat kan dimulai dari anak-anaknya dulu. Aku rela bekerja nggak dibayar agar bisa mengedukasi mereka," katanya lagi.

Hingga kini, berbagai macam bantuan datang dari para relasinya. Mereka biasanya mengirimkan buku-buku bacaan yang akan disebar ke seluruh perpustakaan. Nila merasa hal ini terjadi berkat jaringan pertemanan yang luas dengan berbagai kalangan. Bahkan, rekannya yang merupakan warga negara Jerman pernah membantunya dengan menjadi pengajar sukarela di Pulau Flores selama satu tahun.

Seolah tak mengenal lelah, wanita yang pernah mengelilingi 28 negara ini mengaku akan tetap terus mengedukasi anak-anak Indonesia dengan menyebarkan semangat membaca karena ini adalah minat terbesarnya. "Passion is your greatest work. Percaya deh kalau kamu menemukan minatmu, kamu nggak akan pernah mengeluh saat bekerja. Bahkan kamu nggak akan merasa kalau lagi kerja," tutupnya.
Artikel ini dikutip dari https://wolipop.detik.com/read/2015/02/08/094332/2826697/1133/lepas-jabatan-tinggi-nila-tanzil-bangun-29-taman-bacaan-di-indonesia-timur [11/07/2018]