Bob Dylan: Suara Si Tukang Protes

Oleh Laraswati Ariadne Anwar, Kompas, 15/10/2016 Sepanjang kariernya sebagai penyanyi dan penggubah lagu, Bob Dylan menjejali karya-karyanya dengan kritik dan protes. Awalnya ia dihujat, tapi belakangan dipuja, bahkan diidolakan oleh beberapa lapis generasi di seluruh dunia. Pada usia 75 tahun ini, ia menjadi musisi pertama yang menerima Nobel Sastra.
AFP/GETTY IMAGE/NORTH AMERICA/KEVIN WINTER

Robert Allen Zimmerman-begitu nama asli Dylan-diumumkan sebagai penerima Nobel Sastra 2016 oleh Sekretaris Permanen Akademi Swedia, Sara Danius, Kamis (13/10), di Stockholm, Swedia. Ketika namanya disebut, berbagai reaksi muncul dari para wartawan yang hadir. Ada yang terkejut, tetapi banyak pula yang bertepuk tangan dan berseru, "Sudah saatnya!"

Danius menjelaskan, Dylan dipilih karena lagu-lagu yang ditulisnya mencerminkan syair tradisi Amerika Serikat (AS). Namun, lagu-lagu itu disampaikan secara modern, lugas, dan menohok permasalahan yang dialami masyarakat AS, bahkan warga dunia. Ia membandingkan Dylan dengan dua pujangga klasik Yunani, Homeros dan Sapfo, yang juga menggunakan musik sebagai alat untuk berkisah.

"Seperti Homeros dan Sapfo, karya Dylan tidak lekang oleh waktu," tuturnya.

Dylan berasal dari keluarga sederhana Yahudi yang bermigrasi ke AS dari Eropa Timur untuk menghindari pembunuhan besar-besaran oleh gerakan anti semitis. Sejak remaja pada pertengahan 1950-an, ia menyukai musik rock serta mengidolakan penyanyi Little Richard dan Elvis Presley. Namun, ia juga suka blues dan country.

Saat itu, musik rock diasosiasikan sebagai ekspresi pembangkangan generasi muda terhadap aturan dan norma yang mapan. Tidak heran, ketika Dylan muda tampil bersama grup rock di SMA-nya, kepala sekolah mencabut colokan pengeras suara karena musik yang mereka mainkan dinilai terlalu bising.

Namun, Dylan tak peduli dengan keberatan semacam itu. Ia terus nge-rock meski diganjar dengan label anak nakal dan pembangkang.

Musik rakyat

Pada 1960, ia memutuskan berhenti kuliah agar bisa fokus bermusik. Periode ini merupakan masa penting bagi Dylan karena secara perlahan ia mulai meninggalkan musik rock dan beralih pada musik rakyat (folk).

Dalam album Biograph (1985), ia menjelaskan alasannya berpindah aliran. "Musik rock saat itu memang ingar-bingar, tetapi liriknya tidak terlalu dalam. Adapun musik rakyat bercerita tentang keluh kesah, masalah yang nyata, tentang ketakutan, kebahagiaan, hingga hal-hal kecil yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.

Ia mulai mencuri perhatian pada 1961. Wartawan musik surat kabar New York Times, Robert Shelton, pada 29 September 1961 menulis, suara Dylan sebenarnya jauh dari merdu. Namun, kepiawaiannya bermain gitar, harmonika, dan piano serta kemampuannya mengimprovisasi lagu di atas panggung membuktikan pemuda itu sangat berbakat. "Terlebih lagi, ia bisa menyanyikan tragedi dan komedi sosial apa adanya."

Lagu demi lagu lahir dari benak Dylan. Ia seniman yang sangat produktif yang berkarya selama 57 tahun dan menghasilkan 60 album. Lewat lagu-lagunya, ia kadang menertawakan, kadang menangisi berbagai fenomena sosial di AS.

Ia mengkritik sikap konsumtif, sikap tak peduli, dan diskriminasi berdasarkan ras dan kepercayaan. Ia menentang kebijakan politik AS yang dianggap sewenang-wenang. Dari sini, ia dikenal sebagai "Si Tukang Protes".

Coba simak lagi "Blowin' in the Wind" dari album The Freewheelin' Bob Dylan (1962). Dylan sengaja mengambil irama lagu "No More Auction Block" yang merupakan ekspresi kegembiraan penduduk kulit hitam atas kemerdekaan mereka dari perbudakan. "Aku mempertanyakan makna kemerdekaan karena pada faktanya meski kebijakan pemerintah mengatakan semua orang memiliki hak yang sama, ada kelompok yang disisihkan," ujarnya dalam buku The Bob Dylan Encyclopaedia (2006) karya Michael Gray.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia semakin terlibat dalam gerakan HAM. Lagu-lagunya semakin bernuansa politis sehingga sering dijadikan tema perjuangan oleh gerakan mahasiswa di AS dan Eropa. Lagu "The Times are A-Changin'" (1963) menyuarakan kemarahan generasi muda tentang masa depan yang tidak pasti. Lagu itu sekaligus bentuk kenyinyiran Dylan pada Perang Vietnam (1959-1975) yang tidak kunjung usai.

"Come mothers and fathers throughout the land ... your sons and daughters are beyond your command," tulisnya. Dylan menggambarkan para orangtua yang harus berpisah dengan anak-anak mereka yang dikirim berperang di negeri orang.

Pengaruh musiknya dirasakan oleh penyanyi dan grup musik seperti Jimi Hendrix, The Beatles, Johnny Cash, dan Velvet Underground. Sementara lirik tajamnya menginspirasi berbagai gerakan HAM di seluruh dunia hingga sekarang.

Kontribusi Dylan memang melewati berbagai zaman, mulai masa Perang Dingin hingga krisis migran sekarang. Bahkan, ketika ia menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya Seumur Hidup pada ajang Grammy 1991, Dylan menyanyikan lagu "Masters of War". Ketika itu tengah berkecamuk Perang Teluk yang dipimpin AS lewat operasi "Desert Storm".

"You that build the big bombs/ you that hide behind the walls/ you that hide behind the desk// I just want you to know/ I can see through your mask (Kamu yang membuat bom/ kamu yang bersembunyi di balik dinding/ kamu yang ada di balik meja// Kamu harus tahu/ aku bisa menerawang topengmu)."

"Para pelaku kekerasan kini justru bukan orang-orang bersenjata, melainkan kaum elite berkerah putih di kantor yang nyaman. Mereka membuat kebijakan yang membawa petaka," tutur Dylan pada harian USA Today, Oktober 2001.

Karya sastra

Lirik Dylan yang sederhana, tajam, dan berdampak kepada publik membuat penyair Inggris, Andrew Motion, berargumen, karya-karya musisi harus dipelajari di perkuliahan sastra. "Puisi bertujuan menggugah perasaan pembacanya. Lirik Dylan tidak hanya menggugah, tapi juga menghasilkan aksi," tulisnya dalam esai yang diterbitkan The Times (2007).

Pada 1997, American Academy of Arts and Letters sebenarnya telah mengusulkan nama Dylan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Salah satu anggota lembaga itu, yakni Guru Besar Sastra Inggris Universitas Lexington, Gordon Ball, menilai, seni syair selama ribuan tahun bertahan melalui bahasa lisan.

"Dylan mengembalikan penyebaran puisi ke bentuk dasar, melalui napas dan emosi manusia," ujarnya dalam laman komite kampanye Dylan untuk Nobel Sastra.

Dua tahun kemudian, majalah Time menobatkan Dylan sebagai salah satu dari 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia.

Tahun 2016, Dylan akhirnya menerima Nobel Sastra. Penghargaan tersebut kian memantapkan pijakannya sebagai salah satu seniman paling berpengaruh dunia abad ke-21. Dialah tukang protes yang suaranya didengar. (Mic/Salon)

Sumber: Kompas, 15/10/2016


Warung Taru di Bandung


Di daerah Dagopakar, Bandung, ada warung terkenal, namanya Wale singkatan dari Warung Lela. Menu andalannya adalah mie baso, selain juga banyak menu lain seperti sop buntut dan sop kaki sapi.

Pemilik Warung Lela ini ialah Leila dan suaminya Hari. Mereka berdua adalah penggemar barang antik dan Hari juga adalah seorang pengelana dengan motor besar.

Kakak dari pemilik warung ini, almarhum Dikot, sekelas dengan kakak saya, Arifin. Adik dari Dikot yaitu almarhum Firman, sekelas dengan saya, dan adiknya lagi, Maratua, sekelas dengan adik saya Ramdan. Sementara Leila adalah adik dari Maratua.

Warung Taru adalah warung baru mereka di daerah Dago Giri, sebelum Dago Pakar. Warungnya tidak terlalu besar, sederhana namun artistik. Lokasinya di pinggir sebuah tebing yang indah. Harganya sangat terjangkau. Top markotop-lah.


Warung Taru













Alamat Warung Taru
Jl. Ir. H.Djuanda, Dago, Coblong, Bandung, Jawa Barat 40198, Indonesia
Telp. 022-2533854