Eksekutor dari Halaman Istana

SEORANG kakek mendadak menangis di depan Tengku Tahura. Sambil terisak, ia meminta maaf kepada putri tunggal Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah tersebut. "Ia mengatakan terlibat penculikan Atuk," kata Ameliah Hariana, cucu Amir Hamzah, pada Kamis medio Juli lalu. Ameliah biasa menyebut kakeknya dengan panggilan Atuk. Rina-sapaan Ameliah-lupa persisnya kapan kejadian tersebut berlangsung. Kala itu, ia masih duduk di kelas II sekolah menengah pertama. Siang itu, Rina menemani ibunya menyelesaikan beberapa urusan di Kantor Pemerintahan Kota Binjai. Saat mereka sedang istirahat, kakek itu menghampiri Tahura, ibu Rina. Selain ikut menculik Amir Hamzah, pria tua itu mengaku menjarah harta benda di Istana Langkat. Salah satunya cincin yang ia pakai. "Gara-gara cincin itu, anaknya tidak bisa memiliki keturunan," ujar Rina. Maka kakek itu ingin mengembalikan cincin tersebut. Tahura sempat naik pitam. "Kakek jangan bilang seperti itu, karena kami sudah ikhlas," kata Rina menirukan Tahura. "Kami juga sudah memaafkan Ijang Widjaja, yang membunuh Bapak." Anak Amir satu-satunya itu kemudian meminta kakek tersebut pergi. Setelah itu, Rina bertanya kepada ibunya. Rina: Siapa Ijang Widjaja? Tahura: Dia itu sahabat Atuk kamu. Rina: Kenapa dia membunuh Atuk? Tahura: Dia disuruh orang. Kalau dia tidak mau, keluarga Ijang Widjaja yang dibunuh. *** AWAL Maret 1946. Amir sedang makan siang dengan Kamaliah dan Tahura di Gedung Kerapatan Binjai. Pintu depan diketuk. Sekelompok pemuda menunggu di luar. Mereka lalu "menjemput" Amir. Menurut Rina, yang mendapat cerita dari Tahura, Amir sempat pamit kepada istri dan anaknya. Ia berjanji kembali setelah rapat. Nyatanya, selama hampir sepekan, Amir tak memberi kabar. Kamaliah lalu membawa Tahura pulang ke Istana Langkat di Tanjung Pura, 50 kilometer di sebelah utara Binjai. Setelah menikah, Amir tinggal di Gedung Kerapatan Binjai. Bangunan itu kini menjadi Gedung Pengadilan Agama Kota Binjai. Saat Kamaliah pulang ke Langkat, revolusi sosial pecah. Keluarga kesultanan kocar-kacir. Ada yang melarikan diri ke Medan dan berusaha kabur ke Malaysia. Namun tak sedikit yang ditangkap pejuang revolusi, termasuk Tahura dan Kamaliah. Tiga tahun setelah revolusi sosial pecah, istri Amir itu baru mendapat kabar bahwa suaminya meninggal. Kematian Amir diketahui dari persidangan Ijang Widjaja. Pembunuhan itu terungkap setelah pemerintah pusat-di bawah pimpinan Perdana Menteri M. Sjahrir-menugasi sejumlah petinggi Republik ke Sumatera Utara, April 1946. Tujuannya: meredam revolusi sosial. Menteri Perhubungan A.K. Gani dan Menteri Sosial Abdul Madjid pergi ke sana. Setiba di Langkat, keduanya bertemu dengan sejumlah pejabat daerah. Mereka bertanya tentang "revolusi sosial", termasuk soal Amir yang tak kunjung pulang. "Di mana Amir Hamzah?" kata Gani. Karena tak ada yang menjawab, dia langsung menduga Amir sudah wafat. Ia mengenang Amir sebagai salah satu pujangga besar yang sukar sekali dicari gantinya. "Kalau ada di Jakarta, mungkin ia diberi tugas dalam kabinet." Dari kunjungan itu, pemerintah pusat memperoleh informasi bahwa masih banyak orang ditahan. Gani meminta tahanan diinterogasi agar bisa ditentukan kesalahannya. Polisi getol melakukan pencarian setelah salah satu anggotanya, Philips Simandjuntak, hilang di masa revolusi sosial. Pengusutan itu menuntun polisi pada sosok Ijang, yang pernah bekerja di kompleks Kesultanan Langkat. Menurut Pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Tengku Azwar Aziz, ia hanya tahu Ijang berasal dari Rambung, Binjai. Ijang diketahui bekerja sebagai pelatih silat dan mandor kebun. Menilik namanya, Azwar yakin Ijang bukan orang Sumatera Utara. "Yang bekerja di kebun itu kebanyakan orang Jawa," ujar Azwar, akhir Juli lalu. Kepala Polisi Binjai Tengku Anuah Husny memeriksa Ijang pada awal 1947. "Pemeriksaan itu berdasarkan perintah atasannya," tulis Saidi Husny dalam buku Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah. Upaya mengusut Ijang tak berlangsung mulus. Rupanya, orang-orang "kiri" berusaha menghentikan pemeriksaan itu. Caranya: melobi tokoh-tokoh sosialis di Jakarta. Menurut Saidi, upaya ini berhasil. Tak berselang lama, muncul perintah baru dari pemerintah pusat. Isinya meminta pemeriksaan terhadap Ijang Widjaja dihentikan. Dua tahun kemudian, berdasarkan instruksi Pemerintah Negara Sumatera Timur, kasus Ijang kembali diusut. Pemeriksanya adalah jaksa Lubis. Berbeda dengan sebelumnya, kasus Ijang dilimpahkan ke Pengadilan Binjai. Dalam persidangan yang dipimpin hakim W.C. Soatarduga, Ijang mengaku membunuh Philips di Kwala Begumit. Yang membuat banyak orang terperenyak, ia juga mengaku mengeksekusi Amir Hamzah. Berbekal informasi itu, Soatarduga memerintahkan lokasi tempat eksekusi yang ditunjuk Ijang dibongkar. Selama persidangan, Ijang mengaku bersimpati kepada Amir. Di matanya, Amir tidak pernah berbuat sewenang-wenang dan bersedia mengulurkan tangan menolong sesama. Sang algojo sebenarnya tak kuasa melakukan eksekusi. Namun ia tidak berdaya menolak perintah. Ijang sempat dikabarkan ragu-ragu saat hendak melakukan eksekusi. Orang-orang di belakangnya berteriak: "Cepat, mandor!" Amir sempat meminta tak dieksekusi. "Mohon jangan bunuh saya," katanya. "Nanti Republik yang dipersalahkan." Ijang tak memenuhi permintaan itu. "Saya hanya menjalankan perintah." Pengadilan Binjai menghukum Ijang Widjaja 20 tahun penjara. Menurut keterangan petugas penjara, Ijang tiap malam meraung-raung dihantui bayangan orang-orang yang dipenggalnya. "Matanya liar seperti orang ketakutan," tulis Tengku M.H. Lah Husny dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Jumlah orang yang dieksekusi Ijang tak pernah jelas. Saat lahan yang menjadi tempat pembantaian di Kwala Begumit dibongkar, setidaknya ditemukan 26 kerangka di sana. Dua di antaranya Amir Hamzah dan Philips Simandjuntak. Di dalam salah satu lubang ditemukan sejumlah barang, termasuk cincin emas berbatu nilam dan jimat timah yang terselip di celana. Barang itu milik Amir. Belum selesai menjalani masa hukuman, Ijang mendapat amnesti dari pemerintah Republik Indonesia Serikat di Jakarta pada 1950. Alasannya, menurut Lah Husny, "…perbuatan Ijang Widjaja akibat dari perjuangan." Tengku Kamaliah sempat mempertanyakan bebasnya Ijang kepada Saidi Husny, yang saat itu bertugas sebagai kepala polisi di Langkat. Menurut Saidi, dalam buku Kenangan Masa, saat datang ke kantornya, wajah Tengku Kamaliah terlihat tidak begitu gembira. "Apakah orang yang telah dihukum pengadilan sampai 20 tahun penjara dapat dikeluarkan begitu saja?" Saidi hanya mendengarkan keluhan Kamaliah dan berjanji menyampaikan pesan itu kepada atasannya. Meski telah bebas, Ijang tak bisa menghirup udara segar. Di rumahnya di Kampung Rambung Binjai, ia dikurung dalam kamar tertutup karena dianggap gila, terlihat ketakutan, dan seperti berusaha selalu kabur. Menurut Nh. Dini, Tahura pernah bertemu dengan Ijang Widjaja. "Tapi ngomong-nya sudah tidak keruan. Mungkin dia juga stres." Sang mandor mati dalam keadaan gila empat tahun setelah keluar dari penjara. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

No comments :