DALAM sebuah tulisan singkat, saya menyebut Ali Audah (1924-2017) sebagai sosok yang tidak mudah diterjemahkan. Ketika itu di Salihara, Jakarta Selatan, berlangsung acara ulang tahunnya yang ke-90. Membaca sosok penerjemah yang tangkas itu sama sekali tidak menimbulkan kesulitan. Ia bukan pribadi yang membuat repot karena "bahasa"-nya sulit, tapi "menerjemahkan"-nya ke dalam sebuah tulisan ringkas tidak mudah saya lakukan. Pak Ali--begitu saya memanggilnya--menunjukkan sikap yang tidak pernah berlebihan: cara bicaranya, gerak-geriknya, tatapan matanya, dan pokok pembicaraannya tidak menimbulkan rasa kikuk.
Dalam sebagian besar tulisan tentang Ali Audah selalu terbaca rasa kagum dan heran atas kemampuannya mendidik diri sendiri di luar sekolah. Bisa dipahami: orang yang hanya berpendidikan formal sampai kelas I madrasah ibtidaiyah (sekolah rakyat/dasar) mampu menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa pada dasarnya adalah lisan, tapi penguasaan bahasa di zaman aksara ini juga terletak pada kemampuan merekam yang lisan itu menjadi tulis, suatu keterampilan yang tidak dikuasai banyak orang yang pandai berbicara dalam kampanye politik ataupun dalam perkuliahan. Di samping itu, beberapa jabatan penting, seperti dekan universitas, pemimpin penerbit Tinta Mas, dan ketua pertama Himpunan Penerjemah Indonesia, tentu menambah rasa hormat orang terhadapnya.
Sejak mengenalnya, saya tidak pernah mendengarkannya berbicara berapi-api di hadapan khalayak atau menulis karangan yang kasar nadanya. Dengan sikap dingin, ia pernah ambil bagian dalam suatu polemik panas ketika pada 1960-an sejumlah penulis, antara lain Pramoedya Ananta Toer, menuduh Hamka bahwa novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah jiplakan. Ali Audah tidak ikut menjadi panas dalam hal yang tentu dilihatnya sebagai bagian dari langkah politik kaum kiri.
Namun ia tidak mau juga tinggal diam. Maka ia pun menerjemahkan novel Al-Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, yang dianggap sebagai sumber jiplakan Hamka. Langkah penerjemahan itu jelas sebuah tindakan untuk ikut aktif dalam polemik--dengan cara yang sama sekali lain. Ia telah masuk ke situasi sastra-cum-politik dengan cara yang sealur dengan imannya sebagai penerjemah. Sikap politiknya juga terbaca dalam beberapa cerita pendek yang dikumpulkannya dalam, antara lain, Icih. Kita tidak akan menemukan "tanda seru" dalam karya-karyanya.
Ali Audah mula-mula adalah sastrawan yang suka menerjemahkan dan dalam perjalanan hidup selanjutnya berubah menjadi penerjemah yang sesekali menulis karya sastra. Ali berpendapat bahwa karya yang diterjemahkan harus berharga, hasil terjemahannya harus menjadi karya yang berharga pula. Terjemahan sastra bukan sekadar bayang-bayang pucat karya aslinya, tapi merupakan karya baru. Dipandang dengan perspektif ini, karya asli mengalami second existence (kehidupan kedua) yang berharga bagi kelangsungan tradisi kesusastraan.
Imannya pada penerjemahan telah mendasari niat mendirikan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) bersama rekan-rekannya, antara lain Winarsih Arifin, pada 1974. Dan orang yang sekolah formalnya hanya sampai kelas I sekolah dasar itu memiliki pandangan yang sangat bijak untuk mencerdaskan masyarakat. Setahu saya, pemerintah pun tidak pernah dengan sungguh-sungguh memikirkan membentuk lembaga khusus untuk melaksanakan gagasan mulia yang masuk akal itu. Mungkin saja masyarakat tidak mengingat lagi jasanya sebagai sastrawan, tapi beberapa karya terjemahannya, seperti Konkordinasi Qur'an: Panduan Dalam Mencari Ayat Qur'an, Sejarah Hidup Muhammad karya Husain Haikal dan The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary karya Abdullah Yusuf Ali, satu di antara dua terjemahan Quran dalam bahasa Inggris yang paling banyak dibaca di samping tafsir karya Marmaduke Pickthall.
Tentu karena kebiasaannya menulis sastra, terjemahannya menunjukkan keterampilan berbahasa yang tinggi. Sejarah Hidup Muhammad adalah contoh kepiawaiannya menerjemahkan ke bahasa Indonesia yang lancar, yang berhasil mengalihkan pesan dalam bahasa aslinya. Menurut Ali, keterampilan itu bukan bakat, melainkan hasil usaha yang terus-menerus dilakukannya dalam menguasai bahasa. Pandangan ini penting terutama dalam kaitannya dengan penerjemahan karya sastra. Betapapun tingginya penguasaan bahasa asli, tanpa keterampilan berbahasa, sasaran hasil terjemahan boleh dikatakan sia-sia. Ali Audah pernah menjelaskan bahwa pengalihan verbatim pasti menghasilkan terjemahan buruk, tapi ia juga berpendapat bahwa penerjemahan "liar" yang tidak mempedulikan gagasan pengarang asli juga haram.
Pandangan serupa disampaikan Yusuf Ali. Menurut juru tafsir itu, penerjemahan adalah not a mere substitution of one word for another. Dan saya pun belajar tentang itu dari Ali Audah ketika pada 1990-an diminta membantunya menerjemahkan karya Yusuf Ali tersebut. Saya waktu itu merasa ada yang aneh dalam sikap Ali Audah. Ia tahu bahwa saya tidak menguasai bahasa Quran. Namun rasa aneh itu langsung terhapus ketika dijelaskannya bahwa yang diminta adalah "hanya" menerjemahkan apa yang disebut oleh Yusuf Ali sebagai running commentary yang ditulis dalam bentuk puisi yang disisipkan di sela-sela surah dan ayat.
Running commentary merupakan tanggapan kreatif Yusuf Ali terhadap kitab yang diterjemahkannya, yang tersebar di semua teks terjemahan. Ada 300 sajak yang masing-masing diberi penanda C olehnya. Saya senang mendapat tugas tersebut karena tentu akan mendapat kesempatan berguru kepadanya. Menerjemahkan puisi biasa saya lakukan, tapi baru waktu itu menghadapi puisi yang tidak bisa, dan tidak boleh, dipisahkan dari Quran. Teks terjemahan ditulis dengan font yang ukurannya lebih besar daripada commentary-nya, agar segera diketahui bahwa commentary adalah bayang-bayang substansinya.
Rasa gamang saya pun muncul. Yang harus saya terjemahkan adalah bayang-bayang terjemahan Quran yang olehnya disebut sebagai substansi. Dalam proses penerjemahan itulah, yang berlangsung bertahun-tahun, Ali Audah dengan sangat cermat membaca, memberi komentar, dan dengan hati-hati mengusulkan perbaikan. Dan terjadilah tawar-menawar pilihan kata, istilah, dan frasa yang bagi saya merupakan pelajaran berharga dari seorang maestro.
Ketika memberikan sambutan dalam peringatan 90 tahun, Ali Audah sempat menyelipkan kisah ini. Di tempat tinggalnya di kompleks Bogor Baru, Jawa Barat, ia didatangi beberapa orang muda yang meminta masukan tentang nama masjid yang baru dibangun. Ia mengusulkan nama Masjid Bogor Baru, tapi mereka menganggap nama itu tidak sesuai untuk sebuah masjid. Maka Ali Audah pun mengatakan, agar sesuai, disebut saja Masjid Al-Bogor Baru.
Konon ia, bersama Andi Hakim Nasution, juga pernah menyarankan agar masjid tidak menggunakan pengeras suara, cukup suara bilal. Tidak perlulah apa sarannya itu dilaksanakan, tapi jelas hal tersebut mencerminkan sikapnya terhadap pelaksanaan agama dalam lingkungannya yang mungkin saja khas.
Sapardi Djoko Damono,
Guru, Sastrawan
Guru, Sastrawan
Dikutip dari rubrik Obituari Majalah Tempo Edisi 9 Juli 2017