Pada saat pentas seni kemerdekaan yang didukung oleh MEDCO berlangsung di Balai Sarbini beberapa tahun lalu, Purwatjaraka sebagai conductor menghadirkan pemain biola dari Amerika, Doug Cameron serta pianis Irsa Destiwi.
Sejak lama Irsa Destiwi menjadi perhatian masyarakat musik klasik, namun belakangan dia juga tertarik musik jazz. Ia dan Tohpati mengiringi Andien dalam abum yang cemerlang, Gemintang. Bisa dibayangkan kesulitan Irsa dalam menentukan pilihan klasik dan jazz. Namun, setelah melihat sepak terjangnya ia cenderung menjadi David Foster Indonesia.
Irsa Destiwi memang bukan nama asing di jajaran musisi. Muda (baru 27 tahun), berbakat, cantik tentu saja, ramah, dan rendah hati. Sebagai pianis, pengalamannya segunung. Mulai dari ngamen di berbagai acara semenjak SMA hingga saat ini menjadi pianis tidak tetap di Bali Lounge. Ia pernah berkolaborasi dengan beberapa musisi Prancis dan mengiringi Elfa’s Choir di Italia.
Sebagai pengaransemen lagu, Irsa telah menggarap banyak repertoire untuk sejumlah acara konser, dan sebagai komposer ia telah mencipta puluhan lagu, kebanyakan instrumental. Dua lagu ciptaannya, ”Cukup Tak Mengapa” dan ”In Doubt” menjadi lagu tetap kala ia memukul tuts untuk Bali Lounge 2. Tetapi lirik kedua lagu itu dikarang Menuk Hentiasanti, vokalisnya.
Irsa bisa dibilang tumbuh dan besar bersama piano. Ia akrab dengan piano semenjak ia bersemayam di dalam rahim ibunya, Rini Hardjanti. Maklum, Rini adalah pianis guru privat piano. Pada usia empat tahun, Irsa les piano di Kursus Musik Anak-anak (KMA) Yamaha Music School, dibarengi les privat dengan Ibu Rofemia, Leony, dan Buntaran.
Pada usia 12 tahun, pendidikan musik Irsa meningkat ke level yunior. Ia bergabung dengan Junior Original Concert (JOC) Yamaha Music School dengan suhu Muneaki Watanabe, Vera Soeng, Yani Danuwijaya, Tamam Husein, dan Stephen Tamadji. ”Di JOC sampai (usia) 17 tahun. Seru banget. Kerjaannya bikin lagu lalu direkam. Dua laguku kepilih untuk dikirim ke Jepang dan aku diundang untuk perform di Nemuno Sato di Jepang. Keren banget karena itu pengalaman pertama tampil di luar negeri,” tuturnya ketika diwawancara oleh Susy Ivvaty dari Kompas.
Saat masih di JOC, Irsa juga les piano di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) hingga ia memperoleh YPM Award untuk kategori most outstanding performance dan YPM Prize untuk penguasaan teori. Sampai di situ Irsa rupanya belum juga kenyang. Ia kembali ikut pelatihan dan kursus piano jazz seusai lulus dari YPM tahun 1998. Sambil tetap kursus, ia mengajar piano klasik di YPM.
Dari banyak panggung, kata Irsa, ia bisa merasakan beragam suasana. ”Yang penting aku kerja dengan hati sehingga jiwa kita menyatu dan ada di situ. Skill tinggi kalau mainnya seperti robot, pesannya enggak akan sampai,” jelasnya.
Pengalaman manggung Irsa sudah tidak terhitung banyaknya. Dari acara resepsi pernikahan hingga konser di luar negeri. Ia tidak suka mematok-matok level kerjaan, misalnya konser di luar negeri lebih bernilai dibandingkan dengan bermain piano di resepsi pernikahan atau peluncuran produk tertentu.
Dari beragam pengalaman manggung itulah Irsa menikmati hidup. Tidak perlu ngoyo untuk mendapatkan proyek besar. Prinsipnya, hidup tidak berlebihan, tetapi juga tidak kekurangan.
Itukah mengapa Irsa sulit menjawab ketika ditanya soal target? ”Ya… begitulah. Aku orangnya simpel, menjalani hidup untuk saat ini. Mungkin karena itu aku enggak pernah stres ya? Ha-ha-ha,” ia berujar dengan ceria.
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2008
Irsa Destiwi: Hidup untuk Saat Ini
Post by
DSP
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment