SENANG, MESKI TEPAR DAN NYASAR

Meliput dan terlibat di acara sebesar Java Jazz Festival memberi kebanggaan dan kesenangan tersendiri bagi sejumlah volunter Kompas Muda. ”Enaknya kami bisa menikmati suara dan musik penyanyi dalam dan luar negeri. Enggak enaknya, capek banget karena arena konser gede banget dan acaranya banyak,” kata Riyan Nurrahman, mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman.

Selain Riyan, ada 10 mahasiswa lain dari sejumlah perguruan tinggi yang mendapat kesempatan menjadi volunter Kompas Muda untuk acara di Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2018, yakni Zulian Fatha, Gregorius Amadeo, Nathanael Pribady, Ursula Natasha, Ramadhana Afida, Lidya Longley Bunga A, Fakhrana Nadia R, Amalia Sabrina, Ly Agung Y, dan Rizky Amelia. Mereka diseleksi dari sekitar 400 pelamar yang masuk dalam satu minggu.


Di antara volunter itu, ada yang sudah pernah nonton Java Jazz. Namun, sebagian besar baru pertama kali nonton Java Jazz. Jadi, mereka antusias banget. Ia mendapat tugas selama tiga hari, Jumat (2/3)-Minggu (4/3), sebagai volunter yang meliput Java Jazz untuk Kompas Muda.
Pertama kali sampai di arena Java Jazz, dia langsung deg-degan. Di pintu masuk arena festival, ia waswas karena ada informasi dari Instagram@javajazzfest bahwa pengunjung tak diperbolehkan membawa kamera profesional dan kamera yang lensanya bisa diganti. ”Ternyata saya diizinkan ke area pertunjukan dengan membawa kamera karena saya menggunakan ID Press Java Jazz untuk Kompas Muda. Lega,” katanya.
Penampil pertama yang ia lihat adalah Maysa Leak and The Brian Simpson Band yang tampil di Avrist Hall pukul 19.00. Aroma jazz dari penampil membuat ia langsung jatuh cinta pada jazz, terutama ketika ia melihat Leak begitu menjiwai lagu ”Can We Change The World”, ”Black Heaven”, dan ”Inside My Dream” yang ia bawakan. ”Saya tercengang, ternyata jazz bisa senikmat ini buat anak muda,” katanya.
Namun, banyaknya penampil membuat Riyan bingung memilih, mau ke Hall A atau Hall B. ”Setelah nonton Elek Yo Band with Endah N’Resha dan menulis laporan untuk Muda, saya kelelahan. Rencana meliput Vanessa William pukul 23.15 gagal total,” katanya.
Selama tiga hari liputan Java Jazz, ia pulang larut malam. Padahal, dia harus menunggu ojek daring dalam waktu cukup lama karena begitu acara usai, kawasan Kemayoran selalu macet parah. Sampai rumah dini hari, ia masih harus menulis dan baru bisa tidur pukul 03.30. Ternyata kerja wartawan beneran itu berat.
Gagal wawancara
Bagi Ursula Natasha, mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Tangerang, meliput Java Jazz bukan hal baru. Ini tahun keempat untuk cewek yang gandrung dunia fotografi ini membawa-bawa kamera DSLR berikut dua lensa yang beratnya tak kurang dari 1,5 kilogram demi mendapat foto bagus plus menulis tentang Java Jazz. Meski demikian, Java Jazz menurut dia selalu memberi pengalaman baru.
”Biasanya aku kerja dobel (memotret dan menulis). Tetapi, tahun ini (sebagai volunter Kompas Muda) aku hanya menjadi fotografer. Jadi, aku bisa lebih fokus mencari obyek foto sesuai kebutuhan teman reporter, Gregorius Amadeo,” kata Tasha.
Kompas Muda memang membagi volunter menjadi reporter, fotografer, dan volunter untuk media sosial Kompas. Mereka mesti bekerja sama. Ursula berpasangan dengan Amadeo, siswa SMA Regina Pacis Bogor, di arena Java Jazz. ”Asyik sih kerja sama dengan Amadeo, kami diskusi dan tukar pengalaman, lalu liputan bareng,” kata cewek bertubuh mungil itu.
Secara umum liputan berjalan lancar, tetapi ada kejadian yang membuat Tasha dan Amadeo kecewa saat gagal mewawancarai Mateus Asato yang tampil bareng Rafi Muhammad Trio karena kru yang menyertai Mateus buru-buru membawa sang artis ke balik panggung.
”Satu lagi, ketika mau ambil foto di pertunjukan band para menteri, Elek Yo Ben serta Endah N’ Rhesa, panitia menempatkan fotografer di belakang penonton. Begitu mereka berdiri ikut menyanyi, saya enggak bisa ambil foto deh,” kata Tasha.
Kesasar
Cerita lain datang dari Zulian Fatha, mahasiswa Manajemen Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta. Semula ia berpikir Java Jazz seperti acara pensi sekolah, yang arenanya tidak seberapa luas. Begitu masuk ke arena Java Jazz di JIExpo, Kemayoran, yang besar sekali, dia bingung dan akhirnya tersasar.
”Biar nyasar, saya jadi tahu acaranya lebih dari pensi, tetapi saya bisa dekat dengan penyanyi idola dan bernyanyi bersama mereka. Selain itu, saya juga menulis tentang mereka,” ujar cowok yang biasa dipanggil Izal itu.
Hari pertama, ia juga sempat kewalahan karena belum tahu medan. Namun, hari berikutnya ia sudah mengenal lokasi panggung di area bekas bandar udara tersebut, dan liputan sambil nonton berjalan lancar.
Liputan Java Jazz, bagi Izal dan volunter lainnya melelahkan. Namun, kata mereka, rasa lelah itu terbayar oleh segudang pengalaman yang mereka dapat dan bisa dibagikan kepada teman.
Buat yang belum ngerasain asyiknya pengalaman mereka, tunggu tahun depan ya. (TRI/*/**)
Dikutip dari Kompas edisi 9 Maret 2018

No comments :