Di
tengah pandemi Covid-19 yang menebar kepahitan bagi banyak orang, Tumpal justru
mencicipi momen manis. Ia sukses meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari
dalam dan luar negeri lewat film pendek yang ia sutradarai.
Oleh WISNU DEWABRATA
Membangun karier di dunia film tak
seglamor seperti yang kerap dibayangkan orang. Tumpal Tampubolon, misalnya,
kariernya di awal-awal sempat naik turun. Dalam perjalanan berikutnya, ia
melewati masa-masa pahit dan manis.
Di tengah pandemi Covid-19 yang menebar
kepahitan bagi banyak orang, Tumpal justru mencicipi momen manis. Ia sukses
meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri lewat film
pendek yang ia sutradarai, Laut Memanggilku, secara
beruntun pada 2021. Film itu dinobatkan sebagai film pendek terbaik, Sonje
Award, Busan International Film Festival (BIFF) 2021, dan Piala Citra Festival
Film Indonesia (FFI) 2021.
Saat berbincang daring, Selasa
(8/3/2022), Tumpal menceritakan, setelah lulus sebagai sarjana Ilmu Matematika
dari Institut Teknologi Bandung, ia memberanikan diri memilih sinematografi
sebagai jalan hidupnya. Padahal, ia mengaku saat itu termasuk awam dalam urusan
membuat film. Saking awamnya, ia mengira film dibuat dengan hanya melibatkan
bintang film. Tidak heran jika lima tahun pertamanya di dunia film, ia merasa
sangat berat.
Dunia film bagi Tumpal sama sekali baru
dan hampir 100 persen tak berurusan dengan latar belakang pendidikannya.
Sebagai mahasiswa jurusan ilmu matematika, dunia Tumpal hanya seputar mengkaji,
memecahkan, dan membuktikan jawaban untuk setiap soal matematika.
”Keluarga dulu jelas khawatir, ya. Ini
kok sudah disekolahin terus
jadi apa? Memang lima tahun pertama berat banget. Ya, mau gimana. Dari (latar belakang) matematika terus ke film.
Kadang kalau lagi kesulitan uang, ia pulang ke rumah. Ibu di rumah paling nanya, kerja apaan lu kok enggak ada duitnya. Aduh...,”
kenang Tumpal.
Walau kerap merasa seperti menelan harga
dirinya sendiri, Tumpal berusaha tetap bertahan. Dia yakin apa yang
dilakukannya sudah benar dan sesuai panggilan jiwanya. Kerja keras dan
konsistensinya akhirnya berbuah manis saat memenangi Piala Citra pertamanya
pada 2014 di Palembang, Sumatera Selatan, kategori Penulis Skenario Terbaik
lewat film Tabula Rasa (2014).
Piala itu dia dedikasikan untuk ibunya, seperti juga beberapa penghargaan lain
yang diperoleh kemudian.
Hingga kini, Piala Citra pertamanya
dipajang sang ibu di lemari rumahnya. Ibunya kerap membanggakan dan memamerkan
piala anaknya itu ke setiap tamu dan kenalan yang datang. Menurut Tumpal,
keluarganya bangga dengan penghargaan yang familiar bagi mereka.
”Sebelumnya saya ikut banyak festival
film. Mereka enggak paham dan enggak terlalu peduli. Apaan itu, mereka bilang.
Tapi kalau Piala Citra mereka tahu. Soalnya, kan, memang sudah ada sejak dulu.
Jadi mereka lihat, wah kayaknya anak gue benaran sudah jadi orang nih,
ha-ha-ha,” kenangnya sambil terbahak.
Kaset video
Sejak kecil Tumpal senang menonton film
lewat kaset video. Dia gemar menyewanya, terutama film anak-anak, untuk disetel
di rumah. Terkadang dia nekat menyetel film video sewaannya di toko rental
lantaran berkategori tontonan usia di atas 17 tahun, seperti film laga
Hollywood atau film kungfu Hong Kong.
Keluarganya juga familiar dengan
teknologi video lewat hobi mendiang sang ayah. Semasa hidupnya, ayah Tumpal,
seorang pilot helikopter, senang merekam berbagai momen keluarganya. Rekaman
itu juga dikirimkan ke opung (nenek) Tumpal di Medan, Sumatera Utara, sebagai
ganti surat.
Biasanya Tumpal sekeluarga berkirim
ucapan selamat hari raya atau sekadar rekaman kegiatan sehari-hari untuk
menghibur dan melepas rindu keluarga di kampung. Saat sang nenek meninggal,
Tumpal menemukan banyak kaset video, yang dulu dikirim, masih tersimpan rapi.
Ibarat harta karun sejarah keluarganya, Tumpal berencana mendigitalisasikan
semuanya.
Saat kuliah, terutama di
semester-semester akhir, Tumpal baru mulai berkenalan lebih jauh dengan dunia
film. Dia rajin ikut lomba penulisan naskah film pendek. Satu kali dia
memenangi hadiah Rp 15 juta yang digunakan untuk memfilmkan naskahnya.
Film pendek perdananya itu bercerita
soal para joki kuda sewaan, yang banyak beroperasi di jalan raya dekat kampus
ITB. Kuda-kuda disewa wisatawan, seringnya anak kecil, yang naik berkeliling
area luar kampus ITB. Sang joki berlari mengikuti kudanya. Hasil filmnya juga
ditayangkan di acara salah satu stasiun televisi swasta penyelenggara lomba.
”Filmnya sih ya, lumayan berantakan,
ha-ha-ha. Tapi dari situ saya terpikir, oh, apa mungkin ini jalan hidup saya?
Saya enggak tahu juga waktu itu. Cuma memang yang jelas saya rasakan, ada
sesuatu di sini,” kenangnya.
Keseriusan Tumpal berlanjut dengan rajin
mengikuti beberapa festival film, salah satunya Jakarta International Film
Festival (JiFFest) tahun 2006. Naskah film usulannya masuk final dan dia diberi
kesempatan memfilmkannya, dengan melibatkan proses produksi lebih serius.
Hal itu berarti melibatkan peralatan dan
para kru profesional. Awalnya Tumpal sempat tak percaya diri. Dia bahkan merasa
canggung saat berada di sekitar kamera profesional 16 milimeter, yang digunakan
di produksi itu.
”Di film soal joki kuda dulu kan saya
cuma pakai kamera perekam biasa jadi pas lihat kamera 16 milimeter jadi takut.
Apalagi lighting dan
krunya semua profesional. Sampai-sampai saya ngerasa enggak layak ada di situ. Tapi ya,
berlagak ngerti dan pede aja serta tetap bikin shot list dan storyboard,” tukas pengagum sutradara nasional
Nya’ Abbas Akup itu.
Perjalanan dan pengalaman Tumpal terus
berlanjut. Mengutip situs IdFilmCenter, pada 2009 Tumpal terpilih menghadiri
Berlinale Talent Campus di Berlin, Jerman. Setahun kemudian dia kembali
terpilih hadir di Asian Film Academy, Busan, Korea Selatan.
Pada dua kesempatan itu, Tumpal
memanfaatkannya untuk memperdalam pengetahuan dan kemampuan lewat
sejumlah workshop gratis.
Dia sadar dirinya tak punya cukup biaya untuk belajar film secara formal.
Menjadi mumi
Selain menulis naskah dan menyutradarai,
Tumpal juga berpengalaman menjajal dunia akting. Salah satunya di film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017). Perannya lumayan unik,
menjadi mumi suami tokoh utama, Marlina (Marsha Timothy), dan hanya duduk diam
mematung di pojok ruangan.
Tumpal tertarik terlibat lantaran
bertekad ingin merasakan semua aspek proses pembuatan film. Dia tak segan
mencoba dan mengerjakan tugas apa saja demi menambah pengetahuan dan
pengalaman.
”Di film itu akting saya cuma duduk diam
sambil tangannya begini (menyilang di dagu) selama shooting lima hari. Ha-ha-ha. Saya waktu
itu juga cuma untuk bantuin teman. Tapi
kalau ditanya mana lebih disukai, terus terang ya menulis (naskah),” ujar
penggemar film bergenre drama itu.
Namun begitu, penyutradaraan tetap
menjadi tantangan baginya. Menyutradarai sebuah film butuh kemampuan manajemen
tinggi dan rumit, termasuk mengatur para kru dan mengerjakan proses shooting di set.
Saat ini dia tengah menyutradarai sebuah
film panjang pertamanya, yang sayangnya sempat terjeda lantaran pandemi. Film
bergenre drama psikologis itu berjudul Crocodile Tears.
Walau tak secara langsung, Tumpal merasa
bekalnya saat menimba ilmu di kampus lumayan berguna. Selama kuliah dia
terbiasa berhadapan dengan banyak tugas, yang mengharuskannya mencari
pembuktian atas suatu persoalan matematika.
Dalam matematika seseorang, menurut dia,
bisa melihat banyak kemungkinan untuk membuktikan dan menyelesaikan satu
persoalan. Pendekatan pembuktian dan penyelesaian masalah seperti itu sangat
membantunya merangkai cerita untuk filmnya. Dengan lebih banyak melihat
kemungkinan lain, jalan cerita filmnya bisa semakin kaya.
Kesejahteraan
Tumpal merasa perfilman di Tanah Air
masih punya banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan jika ingin menyejajarkan
diri dengan perfilman negara-negara lain, yang sudah lebih maju. Setidaknya
mengacu ke beberapa negara, seperti India atau Korea Selatan, yang terbilang
produktif dan malah bisa ”mengekspor” budayanya ke luar negeri lewat
produk-produk film mereka.
Beberapa hal yang sangat dibutuhkan
untuk memajukan perfilman di Tanah Air, menurut Tumpal, antara lain dukungan
lebih kuat dari pemerintah, baik berupa kebijakan maupun pendanaan. Dia
mencontohkan, beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Filipina, punya
program funding, yang tujuan utamanya mengajak produsen
film negara lain berkolaborasi dengan industri perfilman mereka.
Tumpal juga menyoroti pentingnya
penambahan jumlah layar bioskop secara signifikan mengingat luasnya wilayah dan
besarnya potensi penonton, terutama film nasional, yang dimiliki Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang mendukung terbentuknya hub-hub baru produksi film,
agar jangan terpusat hanya di Pulau Jawa juga diperlukan untuk mengangkat
keberagaman.
”Selain itu, juga perbanyak sekolah film
(formal) dan jangan dilupakan pula peningkatan jaminan kesejahteraan,
kesehatan, dan keselamatan para pekerja industri film. Kalau tidak sejahtera,
bagaimana bisa berpikir kreatif, kan?” kata Tumpal.