Arifin Panigoro (Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI - pilihan Tempo)

Ia terbukti sukses sebagai pengusaha yang memulai segalanya dari nol. Catatan kasus hukum bisa mengganjalnya.

KAMPUNG Wasur, pedalaman Merauke, pertengahan Agustus lalu.

Dengan wajah dibedaki kapur, telanjang dada, perut mengedur, dan sembari mengenakan rotali—rok khas Papua yang terbuat dari temali akar—dan tutup kepala berhias burung kasuari, Arifin Panigoro resmi menjadi bagian suku Malind Marori. ”Saya terharu dan merasa bangga,” kata bos kelompok usaha Medco Group yang kini 65 tahun itu.


Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Cameron Hume (kanan) dan Bupati Merauke, Jhon Gebze berbincang dengan Pendiri Medco Group, Arifin Panigoro (tengah) seusai penobatan Arifin Panigoro sebagai Namek (saudara laki-laki) bagi masyarakat adat suku Malind Marori di Kampung Wasur, Merauke (11/8). Arifin Panigoro menerima nama adat tersebut karena dianggap berjasa bagi pembangunan Merauke, Papua. 
(ANTARA/Yusnirsyah Sirin)



Waku Gebze, nama yang diberikan kepadanya. Ia dianggap berjasa merintis dan mengembangkan pertanian di selatan bumi cenderawasih itu. Arifin memulainya medio tahun lalu melalui salah satu anak perusahaannya, PT Medco Papua. Ketika itu, di atas lahan seluas 200 hektare, Medco menanam padi seri, jagung, singkong, kedelai, dan tebu. Khusus tebu, Medco menggandeng perusahaan asing membuat etanol, bahan bakar terbarukan. ”Usia boleh tua, tapi cara berpikirnya seperti orang muda yang gesit melihat peluang,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Aviliani.

Medco Papua pun memberi kerja, sekaligus menghasilkan aneka produk konsumsi yang harganya terjangkau oleh masyarakat sekitarnya. Harga beras, misalnya, sangat tinggi di Papua karena harus didatangkan dari luar pulau. Bahkan di kawasan Pegunungan Tengah, pedalaman Papua, harga satu kilogram beras yang sudah kusam bisa mencapai Rp 30 ribu. ”Membuka lapangan pekerjaan dan menyediakan kebutuhan pokok yang murah dan mudah diperoleh merupakan tantangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan,” kata Lin Che Wei, Direktur Independent Research and Advisory.

Keberanian Arifin membuka usaha baru di tempat yang jauh dari radar pengusaha agrobisnis itu menjadi salah satu indikator Tempo memilih pria Bandung ini sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Indikator lain: sukses merintis usaha dari nol hingga menjelajahi berbagai bidang: pertambangan, bank, hotel, properti, perkebunan, pertanian, kehutanan, makanan, baja, pompa bensin, energi. ”Dia punya visi yang matang dan kemampuan negosiasi yang bagus,” ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno.


Lahir pada 14 Maret 1945, Arifin menempuh pendidikan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung. Pada 1972, setahun sebelum lulus, ia memulai usahanya dengan mendirikan perusahaan listrik Corona Electrical dan berhasil memperoleh proyek dari PT Nindya Karya senilai Rp 40 juta. Pada 1981, ia mendirikan perusahaan yang bergerak di sektor perminyakan dan gas bumi, PT Meta Epsi Drilling Company (Medco). Setelah bekerja sebagai subkontraktor di beberapa proyek, pada 1982 Medco menandatangani kontrak dengan Pertamina untuk pengadaan pipa gas di Kalimantan Timur.

Sejak itu Medco semakin kinclong. Apalagi harga minyak pada 1980-an itu tengah melejit. Nama Arifin kian meroket sebagai usahawan sukses ketika Medco mengakuisisi dua ladang minyak di Kalimantan Timur, yang dioperasikan Tesoro Petroleum Company dan Tesoro Indonesia Petroleum Company, lalu membeli saham mayoritas PT Stanvac Indonesia Rp 200 miliar pada 1995 dari Esso Eastern Inc., Exxon Overseas Investment Corp., Esso Exploration Holding Inc., dan Mobil Petroleum Company. Arifin menjelma menjadi raja minyak baru Indonesia dan merambah sektor usaha lainnya.

Kami mengusulkan agar Perindustrian dan Perdagangan disatukan kembali, karena selama ini dua departemen sekondan yang seharusnya bersinergi itu kerap tak selaras dalam menelurkan kebijakan. Sebagai contoh, ketika Departemen Perindustrian meluncurkan program peningkatan penggunaan produk dalam negeri, Departemen Perdagangan seolah membiarkan produk asing dan dumping, antara lain dari Cina, sehingga meluluhlantakkan pelaku usaha lokal.

Menurut Benny Soetrisno, selama ini Departemen kurang sigap dalam bernegosiasi atau mencari celah ekspor. Tekstil Indonesia dikenai aturan antidumping di Brasil. Menurut dia, pemerintah bisa bernegosiasi dengan Brasil karena negara itu ingin sapinya masuk Indonesia. Begitu pula dengan lambannya pembahasan perdagangan bebas dengan sejumlah negara. Adapun Departemen Perindustrian dianggapnya kurang memiliki visi industri. ”Padahal industrialisasi akan menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Lin Che Wei.

Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto menilai pengusaha seperti Arifin memang tepat untuk menempati pos Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Tapi Sugiharto mengusulkan Arifin lebih cocok menjadi menteri koordinator, bukan menteri teknis, karena alasan usia. Chief Economist Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan pos menteri ini harus diisi seorang pekerja keras yang ulet dalam negosiasi, memahami pasal demi pasal, dan mampu memimpin jajaran birokrasi yang tambun.

Kalaupun usia dikesampingkan, bukan berarti Arifiin tak punya catatan suram. Sukses Arifin lantaran didukung teman-teman sesama alumni ITB di pemerintahan, seperti Ginandjar Kartasasmita dan Siswono Yudohusodo. Tak mengherankan pula ia sempat bergabung dengan Golkar dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Golongan. Arifin tak membantah. ”Saya memang diuntungkan oleh rezim lama,” katanya kepada Tempo suatu ketika. ”Tapi, saat perubahan terjadi, apakah tak boleh awas melihat kelompok mana yang perlu didukung untuk kebaikan yang lebih luas?”

Di ranah hukum, bapak dua anak ini sempat berkali-kali menjadi pesakitan. Pada masa pemerintahan Habibie, ia nyaris menjadi terpidana kasus dugaan korupsi commercial paper PT Asuransi Jasa Indonesia. Di zaman Abdurrahman Wahid, Kejaksaan Agung rajin menyelidiki kasus kasbon PT Medco Energi Corporation Tbk. senilai US$ 75 juta dari Bahana Pembinaan Usaha Indonesia.

Ihwal terpilihnya Arifin dalam kabinet Tempo, ia tutup mulut. ”Saya tak mau berkomentar,” katanya Jumat dua pekan lalu.

Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009

No comments :