Monolog Sejarah
Oleh SEKAR GANDHAWANGI
Kompas, 17 April 2022
Dulu, jauh di dalam
hutan rimba Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) pernah
menjabat sebagai orang nomor satu di pemerintahan Indonesia. Perannya penting
untuk menyambung sejarah negara ini. Namun, agaknya ingatan bangsa akan
Sjafruddin sudah pudar.
Kali ini,
”Sjafruddin” sendiri yang akan menceritakan dirinya. Cerita tentang pemerintah
yang ada di ujung tanduk. Cerita tentang rindu pada keluarga yang terbendung
rapatnya hutan. Dan, cerita tentang kekecewaan. Dia akan bercerita selama 40
menit.
Ada puluhan orang
yang datang ke Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (15/4/2022) malam, untuk
mendengarkan kisah ”Sjafruddin”. Sedikitnya 60 kursi yang disusun di atas
panggung terisi.
Penonton diajak pergi
ke tahun 1948 begitu lampu panggung meredup. Itu adalah masa Agresi Militer II.
Belanda baru saja menawan Soekarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah tokoh bangsa
lain. Mereka lantas diasingkan ke Muntok, Kepulauan Bangka Belitung.
Walau begitu,
pemerintahan Indonesia tidak serta-merta kosong. Sjafruddin dipercaya untuk
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) jika Belanda menyerang.
Keputusan itu dibuat dan disepakati para tokoh, antara lain Soekarno dan Hatta.
Sjafruddin pun diminta segera ke Sumatera Barat, menjauhi pusat agresi militer
di Jawa.
Telegram bertanggal 19 Desember 1948 dikirim kepada Sjafruddin oleh Soekarno dan Hatta. Isinya pemberitahuan bahwa Belanda mulai menyerang Yogyakarta. Sjafruddin, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, diminta membuat PDRI. Kekuasaan negara pun pindah ke tangan Sjafruddin.
”Bukan. Saya bukan presiden. Saya ketua PDRI,” kata sosok Sjafruddin yang kala itu diperankan oleh aktor Deva Mahenra pada teater berjudul Kacamata Sjafruddin.
Tim produksi teater berjudul Kacamata Sjafruddin berkumpul di panggung setelah pentas rampung di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, pada Jumat (15/4/2022) malam. Teater ini mengisahkan sosok Sjafruddin Prawiranegara, seorang negarawan dan ekonom. Pentas ini melibatkan, antara lain, aktor Deva Mahenra, Titimangsa Foundation, KawanKawan Media, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Adapun teater tersebut bagian dari seri monolog Di Tepi Sejarah.
Refleksi
Deva mengatakan, teater monolog ini adalah refleksi sosok Sjafruddin di tahun 1948-1951, khususnya di masa PDRI. Di tengah perjuangan, Sjafruddin mesti menahan rindu pada keluarganya yang tinggal di Yogyakarta. Salah satu anaknya bahkan sampai lupa siapa bapaknya.
Namun, perjuangan Sjafruddin berbuah kekecewaan karena Soekarno-Hatta berakhir berunding dengan Belanda. Hal itu bermuara ke Perjanjian Roem-Royen. Sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin tidak dilibatkan, apalagi dimintai pendapat. Sjafruddin merasa dilangkahi.
Sutradara teater, Yudi Ahmad Tajudin, mengatakan, Sjafruddin pada akhirnya mengalah supaya kondisi negara tidak semakin rumit. Tampuk pemerintahan pun dikembalikan ke Soekarno-Hatta.
”Ada keputusan-keputusan Sjafruddin yang bisa dibilang mencerminkan kualitas dia sebagai negarawan. Keputusan itu melampaui ambisi pribadi. Walau beberapa tahun kemudian—karena akumulasi kekecewaannya ke Soekarno meningkat—ia membuat PRRI (Pemerintah Revolusioner RI),” kata Yudi.
Yudi menambahkan, tidak banyak orang yang tahu peran Sjafruddin dalam sejarah Indonesia, khususnya pada masa PDRI. Terlepas dari sosok Sjafruddin yang kemudian menuai pro-kontra (karena beberapa orang menyebut dia pengkhianat), peran ekonom tersebut bagi eksistensi RI tidak bisa diabaikan.
”Ada pula yang mengajukan argumentasi, secara tata hukum kenegaraan, Sjafruddin sah disebut presiden kedua RI,” kata Yudi. ”Teater membuka ruang diskusi soal kenyataan. Ini bukan definisi atau kesimpulan, tapi lontaran isu yang bisa sama-sama disimak dan didiskusikan.”
Teater ini juga diharapkan menjadi media mengenalkan tokoh-tokoh sejarah. Bila beruntung, teater ini diharapkan menjadi pemicu agar audiens menggali pengetahuan lebih lanjut, baik soal sosok maupun sejarah.
Deva Mahenra menambahkan, sosok Sjafruddin tidak digambarkan persis dengan aslinya. Sjafruddin diinterpretasikan secara terbuka oleh dia dan segenap tim produksi. ”Dengan berbagai referensi mengenai sosok Sjafruddin yang kami gunakan, kami ingin agar penonton jadi terbuka untuk diskusi,” katanya.
Aktor Deva Mahenra di
Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Jumat (15/4/2022). Ia memerankan tokoh
Sjafruddin Prawiranegara di teater monolog berjudul Kacamata Sjafruddin, bagian
dari seri monolog Di Tepi Sejarah.
Belajar sejarah
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra mengatakan, teater ini ditujukan untuk generasi muda. Mereka diharapkan dapat belajar sejarah dengan cara baru yang tidak kaku.
”Teater ini akan disiarkan di Indonesiana TV. Ini akan kami jadikan pembelajaran ke sekolah-sekolah. Akan ada juga modul tentang bagaimana guru mengajarkan (sejarah),” kata Mahendra.
Suasana panggung untuk teater berjudul Kacamata Sjafruddin. Teater ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta pada Jumat (15/4/2022) malam. Kacamata Sjafruddin yang mengisahkan sosok Sjafruddin Prawiranegara ini bagian dari seri monolog berjudul Di Tepi Sejarah yang digarap Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media.
Adapun Kacamata Sjafruddin bagian dari seri monolog bertajuk Di Tepi Sejarah, proyek seni garapan Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media. Ada lima tokoh yang akan dikisahkan dalam proyek di tahun 2022, antara lain Gombloh dan Ismail Marzuki. Semuanya akan dipentaskan secara luring tahun ini.
Sebelumnya, Di Tepi Sejarah dipentaskan pada 2021 dan disiarkan secara daring. Beberapa tokoh yang dipentaskan tahun lalu adalah The Sin Nio, perempuan keturunan Tionghoa yang menyamar menjadi laki-laki agar bisa ikut berjuang secara gerilya. Ada juga Muriel Stuart Walker atau yang dikenal sebagai K’tut Tantri, perempuan kelahiran Skotlandia yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan siaran radio.
”Kami ingin mengembalikan sejarah, tapi dengan memberi jembatan ke generasi muda. Jadi, teater ini menjadi alternatif lain untuk belajar sejarah,” ujar Mahendra.
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN