...Inilah sajakku
pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan...
Penggalan puisi WS Rendra berjudul ”Sajak Sepasang Lisong”, yang ditulis tahun 1978, tadi seolah menjelaskan seluruh kerja kesenian yang ditekuni lelaki berjuluk ”Si Burung Merak” ini sejak masih sangat belia.
Dramawan WS Rendra bersama anak-anak dari Sanggar Teater Jakarta ketika mementaskan "Saatnya Mendengar Suara Anak-anak" pada Parade Teater Anak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Minggu (22/7). Pementasan itu dilaksanakan dalam rangka menyemarakkan Hari Anak Nasional 2007
Seni tidak berhenti pada bentuk estetika, tetapi ia menjadi seruan hati nurani yang berfungsi kritis, profetik. Seni, apa pun bentuknya, harus selalu berpikir kontekstual dan terlibat. Tidak hanya dalam puisi, karya drama pendiri Bengkel Teater Rendra ini juga menunjukkan kecenderungan serupa. Ia misalnya melahirkan SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, serta Perjuangan Suku Naga.
”Tidak berlebihan jika dikatakan pada sosok Rendra kesenian setiap kali berfungsi sebagai nurani peradaban. Orang menjadi merenung, berefleksi, atau becermin pada karya Rendra,” kata guru besar filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto.
Bukan politikus
Penangkapan dan pemberangusan pentas-pentas Rendra justru telah menempatkannya pada kutub ”oposisi” dengan pemerintahan Orde Baru.
Budayawan dan anggota awal Bengkel Teater Rendra saat bermarkas di Yogyakarta, Bakdi Soemanto, melihat posisi yang melawan kekuasaan itu membuat Rendra menjadi besar. ”Ia bukan politikus,” kata Bakdi.
Menurut Bakdi, Rendra menganggap seni bukan art, tetapi juga masalah bangsa, manusia, dan kehidupan. ”Ia sangat perhatian pada soal-soal hidup manusia, masyarakat, ketertindasan, dan ketersingkiran,” ujar Bakdi.
Satu hal yang sebenarnya dirindukan Rendra adalah keseimbangan, adil, merdeka, punya banyak pilihan, membela kehidupan dan memiliki banyak harapan, serta tak ada penindasan.
Pekerjaan besar yang ”diwariskan” Rendra kepada kita adalah penyadaran harga diri bangsa, keberpihakan kepada hidup, keberanian, dan menolak menjadi koma.
Siswa dan guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo, Jawa Tengah, melepas kepergian WS Rendra dengan menggelar musikalisasi puisi karya Rendra di halaman sekolah, Jumat (7/8). Selain membaca puisi, mereka juga mendoakan agar arwah Rendra diterima di sisi-Nya. Rendra alumnus sekolah ini.
Kini ”Si Burung Merak” itu terbaring abadi di tempat ia mengonkretkan cita-citanya membentuk komunitas yang berpikir bebas, disiplin, penuh kreativitas berpikir, dan sederhana.
Penyair Sitok Srengenge mengakui Bengkel Teater Rendra adalah universitas sejati, tempat ia belajar hidup. ”Kami diajar berani menghadapi hidup,” ujar Sitok.
Rendra kini boleh tiada, tetapi semangatnya tetap hidup. Di Bengkel Teater Rendra, misalnya, semalam masyarakat spontan bertahlil, sementara keluarga bertahlil di rumah putri Rendra, Clara Shinta, di Depok.
Karyanya mungkin tidak dinilai dari pentas ke pentas, tetapi pada kelahiran seniman dan intelektual yang kini mendorong gerbong kebudayaan kontemporer di mana kita hidup. (CAN/NMP/XAR/IAM)
Dikutip dari: Kompas, 8 Agustus 2009
Artikel terkait:
Rendra: Saya Sangat Bahagia
In Memoriam Rendra: Tanahku, Hutanku, Kuburanku
No comments :
Post a Comment