oleh Putu Fajar Arcana dan Susi Ivvaty
Sastrawan Putu Oka Sukanta (70) tak pernah berpikir teknik pengobatan yang diajarkan dr Lie Tjwan Sien menginspirasi banyak orang. Selama periode 1966-1976, semasa keduanya berada dalam satu sel di penjara Salemba dan Tangerang, Putu belajar dan mengobati para narapidana dengan teknik pengobatan ”acupressure”, sejenis akupunktur tetapi tidak menggunakan jarum.
Ketika dibebaskan, acupressure tak hanya membawa Putu menjadi pengobat, tetapi bersama istrinya, Endah Lasmadiwati (62), tahun 1992 ia kemudian membeli tanah seluas 700 meter persegi di Kampung Cimanengah, RT 04 RW V, Kelurahan Cipaku, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. ”Hampir enam tahun kami hunting mencari lokasi. Saya beli tanah dari hasil warisan sebesar Rp 17 juta,” tutur Putu Oka Sukanta, Kamis (30/7) di rumahnya yang teduh dan harum herbal itu.
Di situlah obsesi keduanya sebagai pengobat mulai tersalurkan. Endah tak hanya belajar acupressure dari suaminya, tetapi mantan pemilik tujuh sanggar tari Bali ini juga secara tekun mempelajari jenis tanam-tanaman obat. Sampai kini tak kurang lebih dari 400 jenis tanaman obat tumbuh di pekarangan rumah mereka.
”Kami berobsesi menjadikan rumah sebagai ruang publik, di mana semua orang bebas keluar masuk untuk memperoleh layanan kesehatan,” kata Putu. Benar saja, hasil praktiknya sebagai pengobat di bilangan Rawamangun, Jakarta, sebesar Rp 6 juta, dimanfaatkan untuk membangun rumah seukuran 8 meter x 13 meter. Dari sisi material, rumah yang berhadapan langsung dengan Gunung Salak di penjuru selatan itu sangat sederhana. Selain berdinding batako tanpa kulit, lantainya juga ”hanya” dilapisi ubin tua kombinasi warna terakota dan putih. Pada bagian depan terdapat ruang berukuran 32 meter persegi.
”Ruang ini kami manfaatkan sebagai tempat latihan pengobatan,” tutur Endah. Ada tiga kamar di bangunan utama ini, satu kamar tidur utama, satu kamar anak, satu kamar lainnya terdapat di lantai dua. Lantai dua dikonstruksi dengan kayu yang memberikan kesan natural dan bersahaja.
Ruang publik
Bangunan utama yang terletak pada sisi kanan bidang tanah, boleh dikata menjadi inspirasi munculnya dua bangunan berikutnya. Karena pengunjung terus bertambah, baik mereka yang berobat, mengikuti pelatihan, maupun sekadar studi banding soal tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, pasangan ini kemudian membeli tanah seluas 300 meter persegi di samping tanah terdahulu. Di situlah kemudian didirikan Rumah Obat dan Klinik Pengobatan. Pasangan ini sepakat memberi rumah mereka nama Taman Sringanis. ”Nama ini kami ambil dari nama ibu, Ni Ketut Taman, dan kakak ibu yang membesarkan saya, Ni Ketut Sringanis. Kami satukan jadi Taman Sringanis, kedua orang ini yang berjasa dalam hidup saya,” tutur Putu.
Taman Sringanis kini tak kurang dikunjungi sekitar 500 orang setiap minggu. ”Mereka berasal dari kalangan PSK sampai ibu-ibu majelis taklim,” kata Endah. Pada awal pendirian Taman Sringanis, para PSK datang untuk memperoleh layanan informasi tentang HIV/AIDS. Putu sendiri selain menjadi guru acupressure dan akupunktur, juga melakukan pelayanan penyuluhan HIV/AIDS sampai ke penjara.
”Saya selalu sebut rumah ini rumah dalam hati, tidak berpintu tidak berjendela. Artinya, biarkan ia menjadi milik semua orang, kapan dan untuk keperluan apa saja silakan,” kata sastrawan yang baru saja menerbitkan cerita-cerita seputar tragedi 1965/1966 di Bali berjudul Lobakan karya 12 pengarang.
Secara perlahan rumah pasangan Putu-Endah menjadi ruang publik yang ”riuh” oleh berbagai kepentingan seputar kesehatan. ”Karena kesehatan harus bisa diakses semua orang. Makanya kami beri pelatihan tentang kesehatan mandiri, semua orang harus sehat karena diri sendiri,” tutur Endah.
Masa-masa kritis, saat Putu dipenjara tanpa diadili dan depresi akut yang diderita Endah lantaran lima dari tujuh sanggar tari Balinya bangkrut, memunculkan kesadaran tentang pentingnya rumah bagi semua orang. Bagi keduanya rumah tak sekadar tempat tinggal, tetapi rumah mereka adalah wahana bagi semua orang yang membutuhkan bantuan, terutama kesehatan.
Sumber: Kompas, Minggu, 2 Agustus 2009
No comments :
Post a Comment