Oleh NAWA TUNGGAL, Kompas, 12/4/2016 Pada pertengahan April 1811, gelombang pasukan Inggris meninggalkan India untuk menyerang Jawa yang tengah berada di bawah kekuasaan Perancis. Pengerahan kekuatan militer laut yang melibatkan belasan ribu tentara dan 100 kapal ini konon merupakan salah satu pengerahan terbesar militer Inggris dalam sejarah negara itu. Wilayah Hindia Belanda, termasuk Jawa, berada di bawah kekuasaan Perancis karena ketika itu Belanda ditundukkan Perancis melalui Perang Napoleon (1803-1815). Belanda secara resmi dianeksasi Perancis pada tahun 1810. Jawa pun menerima imbas dari Perang Napoleon. Pendaratan pasukan Inggris di Pulau Jawa terjadi pada 4 Agustus 1811 di Cilincing, pantai utara Jakarta pada sisi timur. Pasukan Inggris terus berupaya merebut Jawa dari kekuasaan Belanda yang berada di bawah kekuasaan Perancis. Melalui berbagai peperangan, Inggris berhasil menguasai Jawa pada 18 September 1811 melalui Perjanjian Tuntang. Perjanjian ini dibuat di Desa Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Perjanjian itu antara lain menyebutkan, wilayah Jawa, Palembang, dan Makassar harus diserahkan kepada Inggris. Begitulah, jalinan sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan sejarah bangsa-bangsa lain di dunia. Apa yang terjadi di Jawa merupakan dampak dari peristiwa yang melanda kawasan Eropa. Keterkaitan semacam ini dinilai belum diberi tempat yang memadai dalam pendidikan sejarah di kelas. Akibatnya, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, ada gap atau jarak antara pendidikan sejarah di sekolah dan pengetahuan sejarah yang terus berkembang di internet. "Pedoman pendidikan sejarah kita masih seperti di era Orde Baru. Sejak reformasi 1998 hingga sekarang, tidak dibuat pedoman pendidikan sejarah yang baru," tutur Asvi, pekan lalu, di Jakarta. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pada beberapa kesempatan, mengutarakan, kesadaran sejarah sangat diperlukan untuk mengembangkan peradaban. Di sisi lain, bagaimana mungkin bisa membangun kesadaran sejarah dengan baik ketika pengetahuan sejarah tidak diberikan secara holistik dan memadai. Pengetahuan sejarah tidak hanya untuk meng- hafal kejadian masa lampau. Kontingen India Setelah Belanda tunduk melalui Perjanjian Tuntang, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) menduduki pucuk pimpinan pemerintahan Inggris di Jawa. Dennys Lombard, dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), menyebutkan, invasi Inggris dari India itu menyertakan kontingen-kontingen India yang berasal dari Bengali. "Setelah (Inggris) merebut Yogyakarta (pada tahun 1812), beberapa perwira dari India (subadar atau Kapten Dhaugkul Singh) terkejut melihat bahwa Jawa adalah tanah Brahma dan bahwa sunan adalah keturunan Rama," tulis Lombard. Kesadaran itu memungkinkan terjadinya Pemberontakan Kaum Sepoy (India) terhadap Inggris di tahun 1815. Dengan dukungan tersembunyi Keraton Surakarta, kaum sepoy dari India ini merumuskan gagasan pemberontakan terhadap Inggris untuk memulihkan kekuasaan Hindu. Namun, pemberontakan itu gagal. Selama berkuasa, Raffles menaruh perhatian khusus terhadap Jawa yang banyak dipengaruhi kebudayaan India. Raffles bahkan mengangkat persoalan indianisasi menjadi topik yang digemari. Raffles pun memberikan perhatian terhadap candi-candi Hindu-Jawa dan menulis buku History of Java. Perang Napoleon terus berlanjut. Kekalahan demi kekalahan dialami Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte hingga berakhir pada 1815. Dalam suatu perjanjian di London, Inggris, pada 13 Agustus 1814, Inggris menyetujui wilayah Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda, yang tidak lagi berada di bawah kekuasaan Perancis. Pada tahun 1815, Belanda menyatakan kemerdekaannya kembali dari Perancis. Invasi Inggris ke Jawa dari India telah berakhir berabad- abad silam. Namun, melalui Raffles, invasi itu setidaknya telah mengenalkan kepada kita konsep indianisasi Jawa. Betapa Jawa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. (NAWA TUNGGAL)
No comments :
Post a Comment