Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Sha Ine Febriyanti menilai pasar bukan tujuan utama dalam berkesenian. Yang lebih utama adalah menampilkan diri sebagai diri sendiri dengan segala energi positifnya. Maka, Ine kemudian rela meninggalkan segala peluang industri hiburan yang demikian menjanjikan secara finansial. Dia memilih jalan yang relatif sepi untuk berbagi getaran positif.
Siang itu, Ine tumben mengundang perias ke rumah. Hampir satu jam dia membiarkan wajahnya dipulas bedak, dipoles pulasan mata, dan bibirnya ditutup gincu. ”Aku, tuh, enggak pernah cakep kalau difoto Kompas. Aku pengin terlihat cantik, he-he-he,” aku Ine yang masih bercelana pendek dan baju tidur.
Sebenarnya Ine tipe perempuan yang salah rias pun tetap cantik. Jadi, ketika dia bersolek, kecantikannya berlipat-lipat. Cantik luar dalam. Kesan itu muncul dalam obrolan pada siang hari, Jumat (9/3).
Dia bercerita tentang mimpinya membesarkan Rumah Ilmu, sebuah wadah tempat kreativitas anak-anak. Di sana dia menstimulasi anak-anak untuk bermain teater, silat, tari, dan tentu saja membaca. Dia juga akan mengajak anak-anak belajar membuat film. Semuanya gratis. Di luar itu, ada kegiatan sunatan massal, Ramadhan keliling, dan kunjungan ke lokasi-lokasi marjinal, seperti tempat anak jalanan dan perkampungan kumuh.
Ine mengajak serta siapa saja untuk menjadi sukarelawan Rumah Ilmu. Saat ini sudah ada pesulap, pendongeng, dan artis. Rumah Ilmu yang ada di Jagakarsa itu ingin Ine jadikan sebagai kantong budaya.
Bagi Ine, dalam titik hidupnya sekarang ini, ilmu yang bisa dia bagikan. Sebulan sekali ada 70 anak yang kumpul ke Rumah Ilmu. ”Ibu-ibu yang mengantar anak-anak itu mengatakan anak-anak lebih pede. Lebih baik. Sejenak lupa gawai. Paling tidak ada hal positif. Hal positif lebih sulit efeknya daripada hal negatif. Vibrasi positif harus ada.”
Masih dalam kerangka berbagi getaran positif itu, Ine menggelar road show ke beberapa daerah yang menurut dia perkembangan teaternya masih kering. Kebetulan baru-baru ini dia sukses mementaskan lakon teater Gayatri dan Cut Nyak Dien. Di luar kota yang diinginkan sponsor, dia akan ke Gorontalo, Sumenep, Banjarmasin, dan Pekanbaru. Ine akan berbagi kondisi teater kini. Dia ingin agar teman-teman di daerah itu memiliki cita-cita, keinginan, dan semangat berteater. Ada proses berbagi energi antarkreator.
Ibu tiga anak ini melihat cara tadi lebih menarik daripada sekadar pentas, penonton penuh, tiket terjual habis. Baginya, perlu ada transfer proses kreatif yang tidak menggurui karena bisa jadi pelaku teater di daerah memiliki ilmu yang tidak dimiliki Ine.
Pemeran utama film Nay ini tidak punya tendensi apa pun dalam melakukan semua itu. ”Aku jalani saja. Aku tidak punya pretensi apa-apa. Aku punya kesadaran dan membiarkan kesadaran itu tumbuh. Kebetulan juga ada teman-teman yang mendukung,” ujarnya sambil sesekali mengelus betisnya yang digigit nyamuk di halaman samping rumahnya.
Tumbuh kesadaran
Ine remaja dikenal sebagai model, lalu lari kencang menjadi pemain sinetron pada 1990-an yang saat itu sangat laris. Sempat menghilang beberapa tahun sebelum kemudian muncul bermain teater monolog, bidang seni yang sepi sponsor. Pada saat yang sama, para selebritas seangkatan Ine bertahan di industri hiburan yang mendatangkan kekayaan.
Ia mengungkap, sebenarnya, sejak main sinetron, tebersit kegelisahan bahwa tidak semestinya dia berada di pusaran industri sinetron. Dia merasa lebih menjadi aset yang digunakan untuk meraup kekayaan penguasa industri hiburan. ”Kok, ginibanget. Harus blink-blink. Perasaan seolah hanya menjadi properti. Kayanya ada yang lebih penting. Aku kayanya bukan ini, deh. Aku mesti belajar. Proses belajar lebih menarik dibandingkan dengan sekadar cari uang. Zaman itu sangat menguntungkan, aku bisa sangat kaya banget. Namun, kayanya bukan itu,” Ine menggambarkan kegelisahannya kala itu.
Saat itu, dia juga sadar aktingnya belum bagus. Dia lantas bertanya ke beberapa orang dan bertemu beberapa wartawan yang menyarankannya untuk belajar berteater. Ine remaja langsung kepincut teater saat menyaksikan dan ikut casting Miss Julie. Dia langsung mendapat peran utama sebagai Miss Julie, karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg, yang dipentaskan pada September 1999 oleh Teater Lembaga Jakarta.
Sejak itu, Ine meninggalkan sinetron dan dunia hiburan yang lebih berorientasi pada industri. Dia memilih jalan teater yang lebih sepi.
Dia menilai, dulu bisa main sinetron meskipun aktingnya jelek karena dia cantik. Dia merasa semestinya mampu mempersembahkan diri lebih baik, tidak hanya mengandalkan kecantikan, tetapi isi otak dan akting yang bagus.
Belakangan Ine sadar, watak dasar industri selalu demikian, berpihak pada pasar. Makanya, penampilannya harus enak dipandang, populer, dan dicintai penonton. Sebab, ada investasi yang harus kembali dalam jumlah lebih. Untungnya, masih banyak rekannya yang berkreasi di wilayah ideal dan tidak terlalu hirau dengan kapital tersebut.
Itu juga yang lantas menjadi kredo Ine. ”Artinya kuantitas bukan hal yang penting. Orang teater tahu, kalau misalnya penonton 200 orang, berarti dia akan tampil untuk 200 orang, titik. Kalau industri, dia bisa untuk 200 juta orang. Dia ingin meraup sebanyak-banyaknya. Makanya, ada artis dan aktor main berkali-kali meskipun kalau dari sisi cara main masih banyak yang lebih baik. Ada juga pemain sinetron tidak terlampau cantik, mainnya tidak bagus, tetapi karena populer, orang justru memilih dia. Itulah industri.”
Suka yang terjal
Sikap Ine yang terbilang tidak biasa tadi adalah artefak dari ajaran kedua orangtuanya, terutama almarhum ayahnya yang seorang kepala tata niaga di sebuah BUMN. Meskipun tersedia beberapa mobil di rumah, ayahnya tidak pernah mengizinkan Ine menggunakan fasilitas itu untuk kepentingan pribadi, seperti pergi ke sekolah atau jalan-jalan. Tatkala hujan lebat pun, ayahnya menyodorkan payung dan memintanya jalan kaki daripada mengantarnya dengan mobil. Sejak kelas II sekolah dasar hingga SMA, Ine terbiasa naik-turun bus. Ibunya juga demikian. Tatkala ia menginginkan sepatu baru, misalnya, dia harus menabung dari uang jajan.
Awalnya Ine tidak paham dengan pola didik itu. Lambat laun, dia menyadari ada hal positif dari hal pahit yang dia alami. Tatkala rekan-rekannya demikian ringkih dan mudah mengeluh, dia lincah meloncat dari bus dan jalan kaki. Itu dia lakukan hingga sekarang, Jadi, jangan heran jika menjumpai Ine naik kereta rel listrik lalu berjalan kaki menyusuri trotoar Ibu Kota. Ine merasakan kenikmatan tersendiri ketika mengayunkan kaki di atas trotoar sambil melihat teater hidup orang-orang Ibu Kota.
Pengalaman semasa kecil itu mengajarkan Ine bahwa kebahagiaan itu adalah ketika kita berhasil meraihnya dengan perjuangan. Kalau mendapatkan yang mudah, kebahagiaan hanya sebentar. ”Kayanya itu yang membuat saya bahagia ketika meraih sesuatu dari hal yang sulit. Kebahagiaan yang long lasting.”
Meskipun demikian, tidak selalu hidupnya bahagia. Pada satu titik, dia pernah sangat jatuh di usia sangat belia. Ada rasa kehilangan dan beragam keruwetan. Oleh karena terbiasa melalui jalan terjal, dia mampu menjadikan keterpurukan itu sebagai energi positif untuk bangkit. Kemampuan akting dan penyutradaraannya yang maju pesat juga karena kepahitan-kepahitan hidup itu. Kini, Ine akan selalu menularkan getaran positifnya kepada siapa saja.
Dikutip dari Kompas edisi 11 Maret 2108