Banyak artis mengganti nama agar terdengar lebih trendi jika hendak menancapkan popularitas di tengah khalayak pendengar. Namun tidak dengan penyanyi satu ini, ia bahkan tetap membawa nama kelompoknya ketika masih menjadi pengamen jalanan.
Dialah Didi Kempot yang adalah kependekan dari “Kelompok Penyanyi Trotoar”.
Sumber foto: Wikimedia Commons |
Ungkapan “from zero to hero” sepertinya layak disematkan kepada penyanyi bernama lengkap Dionisus Prasetyo ini. Didi Kempot bukanlah sosok penyanyi karbitan yang melesat sesaat seperti mainan baling-baling berlampu di tengah pasar malam.
Didi memulai karirnya dari panggung kendaraan umum antarkota antarprovinsi yang tak menyediakan lampu sorot atau efek asap dan semburan api. Dapat dibayangkan Didi berlari-lari di antara semburan asap knalpot. Lagu “Bis Kota” Franky Sahilatua sepertinya dapat memberi gambaran tentang itu. Perihal debu-debu yang ramai beterbangan, serta tentang sang pengamen yang terjepit di sela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan.
Ciri khas penyanyi jalanan melekat pada lagu-lagu ciptaan Didi Kempot. Lagu-lagu yang ia perdengarkan kepada para penempuh perjalanan yang melalui stasiun kereta api, pelabuhan, serta terminal. Lagu-lagu yang mengingatkan pada perjalanan orang-orang biasa. Lagu-lagunya tak pernah menyebut kata bandara yang mengisyaratkan kelas sosial tertentu yang memilih perjalanan di atas angin.
Ya, kebersahajaan itulah yang membuat Didi Kempot berakar di hati para pendengar. Genre musik Campur Sari yang ia pilih pun menunjukkan keberpihakannya untuk menghibur orang banyak yang menjadi bagian dari masyarakat akar rumput.
Berdiri di atas akar yang teguh menghunjam bumi, Didi Kempot perlahan-lahan menjulang bagai pohon beringin yang teduh. Tempat bernaung bagi mereka yang butuh merenungkan nasib sepanjang perjalanan yang berkali-kali harus menginjak duri dan kerikil tajam.
Sastrawan Martin Aleida menulis di lini masa media sosialnya: “Banyak yang menyesali tema Didi Kempot cuma patah hati. Mereka lupa ekspresi keindahan itu selalu memihak yang luka, tertindas.”
Ketika menerima penghargaan Lifetime Achievement Award dari Billboard Indonesia Music Awards 2020 pada 26 Februari 2020, Didi Kempot berucap, “Terimakasih Sobat Ambyar! Penghargaan ini untuk para seniman tradisional di seluruh Indonesia karena Indonesia kaya dengan budaya.”
Sama sekali tak ada kesan ia menepuk dadanya sendiri. Pernyataan itu ibarat tepukan di punggung untuk membesarkan hati para seniman tradisional yang tentu ia paham manis-getirnya menempuh jalur itu.
Didi Kempot adalah “hero”, ia bahkan memperoleh julukan mentereng “godfather” dan “lord” yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh penyanyi trotoar mendapat julukan yang mulia semacam itu. Dalam hal ini, Didi Kempot pantas disejajarkan dengan Virgiawan Listanto alias Iwan Fals yang juga memulai karir sebagai pengamen hingga dianggap seolah manusia setengah dewa oleh para penggemar fanatiknya.
Kesederhanaan Didi Kempot adalah adiluhung. Rest in peace!
-- Dedi Sjahrir Panigoro
Didi Kempot berpulang ke Rahmatullah pada Selasa (5/5/2020) dalam usia 53 tahun. Ia yang lahir di Surakarta pada 31 Desember 1966 ini dikebumikan di Ngawi, Jawa Timur. Ia meninggalkan dunia yang sedang dilanda wabah virus Corona. Namun ia bukanlah korban, ia justru pahlawan di tengah wabah lewat Konser Amal dari Rumah yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 7,6 miliar untuk masyarakat yang terdampak wabah virus Covid-19. Ia telah membuktikan kemuliaan hatinya. Tunailah peran sosialnya sebagai seniman yang merakyat.
Apakah kematian seorang Didi Kempot akan menambah patah hati para penggemarnya?
Mari simak kata-kata Didi Kempot tentang patah hati:
“Patah hati itu enggak usah dibawa terlalu jauh-jauh, jangan ngelamun terlalu panjang. Dibawa untuk hal-hal positif."
Maka ada baiknya mengingat terjemahan selarik lirik lagu Didi Kempot berikut ini:
“Seandainya kau telah pada posisi mulia, rela aku rela.”
Ya, Didi Kempot telah berada di posisi mulia selama di dunia, semoga juga di alam baka.