Imam B. Prasodjo (Menteri Sosial RI - pilihan Tempo)

Tanggap ketika bencana alam dan konflik sosial melanda. Rumahnya menjadi markas relawan. Gerakannya dikritik terlampau sporadis.



BERKARDUS-kardus barang bantuan ditumpuk di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak sedikit koleganya yang menyebut fungsi rumah itu lebih mirip gudang dan markas relawan ketimbang tempat hunian. Di situlah Imam Budidarmawan Prasodjo, 49 tahun, tinggal bersama istrinya, Gitayana. Kedua anaknya, Rauf dan Adila, yang bersekolah di Amerika Serikat, kadang singgah dan turut belajar di situ. Di markas para relawan itu, selain sibuk mencatat barang, mereka sesekali berdiskusi.

Dari rumah warisan mertuanya pakar, politik almarhumah Miriam Budiardjo, itu pulalah semua gerak Yayasan Nurani Dunia ke seluruh penjuru Indonesia dikendalikan. Ini sebuah yayasan sosial yang dia dirikan bersama sejumlah wartawan dan aktivis pada 1999. ”Mas Imam sekeluarga merelakan privasinya terampas oleh aktivitas sosial yang beraneka ragam,” kata Bambang Wisudo, wartawan yang kerap terlibat berbagai kegiatan sosial bersama Imam.

Gejolak sosial dan bencana alam tak ada yang luput dari sorotan dan sentuhan pria berkacamata tebal yang rambutnya mulai keperakan ini. Ia prihatin lantaran seretnya bantuan buat korban gempa di Jawa Barat, awal September lalu. ”Karena bukan musim kampanye, partai politik kurang sigap turun membantu bencana,” katanya. Ketika gempa dahsyat melanda Padang dan sekitarnya, Imam dan pasukannya turun di garda depan.

Jejak kebajikan pria kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini banyak terekam. Puluhan sekolah dan perpustakaan yang hancur di daerah konflik telah direnovasi atas jerih payahnya. Rumah warga yang rusak akibat konflik dan gempa di Madura, Yogyakarta, Aceh, Ambon dia bangun atas sokongan para donatur. ”Ia bisa meyakinkan penyandang dana untuk terlibat dalam pengembangan program sosial,” kata Wisudo.

Kepercayaan dengan para donatur ia jaga betul. Direktur Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolutions (CERIC) ini sadar bahwa dipercaya memegang dan mengalokasikan uang bukan perkara mudah. Tak cukup dengan label seorang yang taat beragama semata. ”Harus dibuat sistem berlapis-lapis untuk mengontrol dana bantuan. Jika tidak, pasti akan terjadi korupsi,” kata Imam.

Imam Prasodjo sebagai Direktur Yayasan Nurani Dunia ketika meresmikan perpustakaan terapung di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat (di kawasan yang terkena banjir permanen sejak tahun 1998). Program ini bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Belantara Jakarta juga dia rambah. Maka berdirilah perpustakaan di kawasan Bonang di Jakarta Pusat, dan Kampung Melayu di Jakarta Timur, serta sejumlah kawasan pinggiran lainnya. Belum lagi sejumlah perpustakaan keliling yang ia kembangkan di seantero Ibu Kota hingga Depok, Jawa Barat. Dalam urusan bantuan buku bacaan ini, Imam tak kenal lelah berkampanye, mengingatkan siapa pun agar bersedia menyumbang. Untuk kawasan kumuh nan padat yang tak jauh dari Menteng juga kerap ia mintakan bantuan pembangunan.

Namun tak melulu soal bangunan fisik yang ia perhatikan. Wisudo masih ingat ketika diajak Imam ikut program tour de Java, melihat berbagai proyek renovasi dan peningkatan mutu guru di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Mereka, para guru itu, menurut Wisudo, ditatar dalam beragam pelatihan yang menyeluruh untuk membantu meningkatkan kompetensi.

Konflik sosial juga menjadi pusat perhatiannya. Ketika konflik Ambon merajalela, Imam mengkritik pemberitaan media yang cenderung melihat dari sisi konflik. ”Padahal yang terpenting adalah sisi kemanusiaannya,” kata doktor sosiologi Universitas Brown, Rhode Island, Amerika Serikat itu. ”Saya yakin, bangsa ini kukuh jika berfondasi jiwa rela berkorban dan saling menolong,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia yang pernah menjadi host program talk show di stasiun televisi swasta ini.

Imam juga dikenal tegas dalam menegakkan aturan. Ketika baru saja terpilih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum pada 2004, ia bersama Romo Mudji Sutrisno, sejawatnya di lembaga itu, memilih mundur. Saat itu ada aturan yang melarang anggota KPU merangkap jabatan, termasuk sebagai dosen. ”Saya dan Pak Mudji memilih kembali ke kampus mengajar mahasiswa,” kata Imam. Mobil, komputer, dan barang pendukung lainnya dia kembalikan ke negara.

Ia pun kembali ke habitatnya, menjadi dosen dan narasumber diskusi publik. Ia pun kembali sibuk mengurusi bencana alam dan kemiskinan. Sosoknya mengorbit bak meteor yang populer tatkala ada musibah. Imam terbilang punya banyak teman baik di kalangan pers. Ia pun dikritik gemar publisitas. Akibatnya, ”Ia kini tak ubahnya seorang artis, padahal itu sama sekali tak perlu bagi seorang Imam,” kata Sri Wiyanti, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang kini duduk menjadi komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Gerakan Imam juga dinilai Sri Wiyanti sangat sporadis dan kurang sistematis dalam mengatasi masalah sosial. ”Gerakannya cenderung hanya bertumpu pada soal bantuan melulu,” kata aktivis perempuan ini. ”Saya rasa bantuan sosial bukan merupakan prioritas Departemen Sosial.”

Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009

No comments :