Pertama
mengenal Ana Mustamin dari tulisan di kolom Sosok, Harian Kompas, yang
bercerita tentang perjuangannya menghidupkan majalah sastra Majas. Saya
tertarik untuk berlangganan dan menghubungi beliau.
Beberapa
waktu lalu saya berkesempatan bertemu dan kami berbincang mengenai banyak hal
terkait sastra dan seni. Berikut saya tuliskan kesimpulan dari kolom Sosok,
edisi Sabtu, 18 Juli 2020, yang ditulis oleh Nasrullah Nara.
Ana
mengambil arah balik saat memutuskan untuk menghidupkan majalah sastra yang
notabene pembacanya juga terbatas, Majas nama majalah tersebut. Menurut Ana,
langkah ini ditempuh karena keyakinannya bahwa sastra pada dasarnya kultur
penciptaan dan pembacaan berbasis huruf, dan huruf telah menjalani perjalanan
kebudayaan yang berabad-abad. “Sastra lekat dengan tulisan, bila perlu tulisan
tangan,” ujarnya.
Ia
mendirikan majalah ini dengan menggandeng empat rekannya sesame sastrawan,
yakni Kurnia Effendi, Agnes Majestika, Kurniawan Junaedhie, dan Valent
Mustamin. Mereka bekerja tanpa digaji, untuk terus dapat memproduksi Majas dan
membayar penulis Ana memutar otak dengan mencoba sistem modal penyertan
(crowdfunding) yang dihimpun dari para calon pembaca Majas. Sistem ini juga
tidak dapat sepenuhnya menutupi biaya produksi, namun usaha keras Ana membuat
sebuah lembaga kebudayaan tergerak untuk memberikan suntikan dana.
Majalah
ini dikelola dengan serius, walau menghadapi berbagai kesulitan. Majas
menggunakan kurator independen untuk menilai karya mana yang layak muat.
Kurator berganti di setiap edisi. Penunjukan kurator tak sembarang. Hanya yang
punya rekam jejak memadai di dunia sastra yang dipilih, seperti Adek Alwi,
Yanusa Nugroho, Agus Noor, Warih Wisatsana, Nirwan Dewanto, dan Damhuri
Muhammad.