Kompas, 30 Mei 2021
Oleh: ELSA EMIRIA LEBA
Mimpi akan adanya baterai ramah lingkungan menjadi selangkah lagi akan terwujud. Yumna Dzakiyyah (20) dan Richie Fane (19) menggarap proyek baterai organik dari tumbuhan rumput laut. Prototipe baterai karya dua anak bangsa ini bahkan menang dalam kompetisi Schneider Go Green 2021 tingkat Asia Pasifik.Pembuatan baterai selalu merusak lingkungan akibat penambangan. Sementara itu, penanganan limbah baterai di Indonesia masih buruk karena masih mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat sekitar. Padahal, baterai mengandung berbagai macam logam berat, seperti merkuri, mangan, timbal, nikel, lithium, dan kadmium.
Dalam artikel Lead Exposure From Battery Recycling in Indonesia oleh Budi Haryanto (2016), terdapat lebih dari 200 smelter ULAB (used lead acid battery) ilegal di Indonesia. Penelitian ini menemukan, penduduk di dekat smelter berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan kronis.
Karena itu, Yumna dan Richie, sebagai Tim Carragenergy, berusaha membuat baterai ramah lingkungan menggunakan ekstrak alga merah (karagenan atau carrageenan). Alga merah dipilih setelah dua mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ini melakukan studi literatur mendalam, termasuk membandingkannya dengan material selulosa dan kitosan.
“Kami membawa ide baterai isi ulang organik. Inovasi ini memanfaatkan bahan organik, yaitu elektroda organik dan biopolimer elektrolit solid-state yang menggunakan karagenan. Secara garis besar, kami ingin menggeser energi agar lebih hijau dan ramah lingkungan,” kata Yumna dalam wawancara virtual eksklusif yang diselenggarakan Schneider Electric Indonesia, Jakarta, Senin (24/5/2021).
Tampilan protitipe baterai Carragenergy jenis AA, baterai organik dari alga merah, buatan dua mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Yumna Dzakiyyah dan Richie Fane. Mereka menang dalam kompetisi Schneider Electric Go Green 2021 tingkat Asia Pasifik
Dalam paparan Yumna dan Richie, prototipe baterai Carragenergy berbentuk seperti baterai jenis AA konvensional. Mengandung 87,6 persen konten lokal, komponen baterai ini terdiri dari katoda, anoda, elektrolit, serta pemisah dan pembungkus dari plastik daur ulang. Satu prototipe baterai ini berisi satu gram karagenan.
Tim Carragenergy telah melakukan tes open-circuit voltage dan tes lampu LED untuk mengetahui daya baterai itu. Hasilnya, tegangan listrik prototipe baterai Carragenergy dalam kondisi terbaik bisa mencapai 1,57 volt. Ini lebih baik dibandingkan baterai dari bahan organik lainnya yang sekitar 0,8 volt. Sebagai perbandingan, baterai AA di pasaran biasanya memiliki tegangan 1,5 volt.
Baterai organik itu unggul dari segi keamanan, keberlanjutan, dan ekonomi karena tidak mengandung logam berbahaya. Elektrolit solid-state dalam baterai membuat jumlah material aktif lebih sedikit sebab tidak ada cairan dalam baterai. Isu kebocoran baterai bisa terhindari dan bobot baterai menjadi lebih ringan.
Ditambah lagi, pembuatan baterai organik itu bisa lebih murah karena berasal dari sumber daya alam terbarukan yang banyak tersedia di Indonesia. “Proses pembuatan, penggunaan, dan pengolahan baterai ini bisa lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi kecelakaan dalam pengolahan limbah,” tutur Richie.
Prototipe baterai Carragenergy rencananya masih akan melalui beberapa fase uji coba yang sedikit terhambat akibat pandemi. Yumna sedang berada di Kalimantan Tengah sementara Richie pulang ke Jambi. Keduanya sulit melakukan uji coba lanjutan di laboratorium kampus untuk mengetahui kualitas baterai dalam ruangan terkondisikan.
Namun, mereka optimistis dengan masa depan proyek ini. Baterai Carragenergy diproyeksikan bisa menjadi baterai isi ulang sebab bahan elektroda yang dipilih adalah bahan untuk baterai sekunder. Yumna dan Richie juga ingin menggali lebih jauh tentang pengembangan baterai ini menjadi baterai kecil jenis lainnya serta pengolahan limbah baterai sebagai pupuk atau pakan ikan.
Yumna Dzakiyyah, mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang membuat baterai organik berbahan dasar alga merah, Carragenergy. Bersama Richie Fane, kedua mahasiswa ini menang dalam kompetisi Schneider Electric Go Green 2021 tingkat Asia Pasifik
Meraih juara
Proyek pengembangan baterai alga merah berawal dari niat Yumna dan Richie mengikuti Schneider Go Green 2021. Dalam tim yang terbentuk sejak Desember 2020 ini, Yumna berperan sebagai peneliti dan pengembang produk (R&D), sedangkan Richie menjadi ahli strategi dan analis bisnis.
Mereka mengeksplorasi banyak ide untuk diajukan ke kompetisi yang digelar secara virtual ini, seperti teknologi pemanen energi dari sol sepatu, aspal, dan sel surya. Setelah berkonsultasi dengan beberapa dosen, mereka menggali lebih jauh potensi baterai organik berbahan dasar alga merah. Prototipe baterai digarap mulai Maret 2021.
Dibantu dosen ITB dan mentor dari Schneider Electric, tim Carragenergy mengalahkan kampus lainnya, seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Udayana, dan Universitas Prasetiya Mulya, dalam lomba tingkat nasional. Mereka melaju ke kompetisi tingkat kawasan melawan delapan negara Asia Pasifik, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Australia, dan berhasil menang, April lalu.
“Proses perjalanannya panjang dan persaingannya ketat tetapi kami mendapat kesempatan untuk terekspos ke peserta lainnya. Bahkan penjuriannya sampai overtime jadi terasa deg-degan terus kami sampai speechless pas dipanggil sebagai pemenang,” tutur Richie, disetujui Yumna.
Richie Fane, mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang membuat baterai organik berbahan dasar alga merah, Carragenergy. Bersama Yumna Dzakiyyah, kedua mahasiswa ini menang dalam kompetisi Schneider Electric Go Green 2021 tingkat Asia Pasifik
Schneider Go Green adalah kompetisi global untuk mahasiswa guna menemukan ide baru bagi masa depan dunia yang berkelanjutan dalam berbagai kategori, seperti akses terhadap energi. Hingga tahun 2020, sudah sebanyak 24.463 mahasiswa dari 172 negara menyumbang ribuan ide dalam kompetisi ini. Kompetisi ini juga mewajibkan agar setiap tim memiliki minimal satu anggota perempuan.
“Mahasiswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri, menjalin network dengan ahli di industri, dan memenangkan trip internasional. Intinya adalah lomba ini untuk mahasiswa dan juga agar mereka bisa memberi ide terbaik dalam rangka energi efisiensi dan keberlanjutan di dunia,” ujar Zanuar Galang Bewana, Talent Acquisition and Employer Branding Schneider Electric Indonesia.
Galang melanjutkan, tidak menutup kemungkinan tim Schneider Electric Venture akan menginkubasi ide para peserta. Mahasiswa juga bisa mendapat kesempatan untuk bekerja di Schneider Electric setelah lulus.
Tim Carragenergy akan berkompetisi di Schneider Go Green 2021 tingkat global melawan tim delapan tim dari seluruh dunia pada 15 Juni 2021. Kita doakan yang terbaik untuk Yumna dan Richie!
Yumna Dzakiyyah
Lahir: Banjarbaru, 16 Januari 2001
Pendidikan: Mahasiswa Teknik Elektro ITB
Pengalaman:
Chief of Human Resources Akademis.id (2020-sekarang)
CEO Analyst Akademis.id (2019-2020)
Avionics Hardware Control Engineer Aksantara ITB (2020-sekarang)
Co-Founder dan Product Research and Development Associated GrowthLabs (2020-sekarang)
Paper, Project, and Competition Officer IEE ITB Student Branch (2020-sekarang)
Prestasi:
Penerima Teladan Leadership Program dari Tanoto Foundation
Runner Up Kedua Swiss Innovation Challenge Asia (2020)
Juara Pertama Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia (KMI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020)
Runner Up Pertama Ganesha Student Innovation Summit (2020)
Lima Besar National UAV Competition 2020 on Technology Development Flight Controller Category (2020)
Finalis Bandung Startup Pitching Day (2020)
Richie Fane
Lahir: Jambi, 30 Agustus 2001
Pendidikan: Mahasiswa Teknik Industri ITB
Pengalaman:
Business Transformation Intern Danone Indonesia (2021)
Student Consultant ShARE ITB (2020-2021)
Director of Human Resource ShARE ITB (2020-sekarang)
Director of Ideation GFD ITB (2020-2021)
Prestasi:
Campus Representative of Global Consulting Project ShARE Global (2020)
Penerima Sea Freshman Scholarship (2019)
Wakil 1 Bujang Kota Jambi (2018)
Editor: MARIA SUSY BERINDRA