MENANDINGI SINGAPURA?

Kalung penanda khusus untuk konser Taylor Swift: The Eras Tour di National Stadium, Singapura, Senin (4/3/2024). Suasana di dalam dan luar National Stadium, Singapura, riuhnya oleh suara ribuan orang. Konser ini dianggap sebagai megakonser dari seorang penyanyi global yang dijuluki banyak orang sebagai figur penghibur abad ini.

Berita tentang konser eksklusif Taylor Swift di Singapura awal bulan ini didominasi pernyataan kontroversial pejabat tinggi dari negara tetangganya. Bukan musikus, peneliti budaya pop atau fan Swifties. Aspek finansial dari konser itu agaknya dinilai lebih penting ketimbang yang lain-lain. Sementara itu, beda politikus dan pengusaha semakin kabur.

Seorang menteri kabinet RI berambisi bikin konser tandingan. Menteri yang lain mencari peluang menumpang keunggulan Singapura dalam bentuk kerja sama. Sebagian pihak meragukan kemampuan Jakarta menjadi tuan-rumah untuk konser sekelas Taylor Swift. Kalaupun Jakarta mampu, apakah perlu? Saya ragu.

Indonesia jauh lebih berlimpah berkah ketimbang Singapura dalam banyak hal. Mengapa politikus-bermental-pengusaha RI merasa perlu mengekor Singapura dalam bisnis konser? Untuk membuktikan dirinya tidak kalah hebat dari rekannya di Singapura? Mengapa baru sekarang elite politikus RImerasa kecolongan? Sudah berpuluh tahun dan dalam berbagai bidang Singapura super gesit dalam kompetisi transaksi global.

Walau unggul dalam sejumlah bidang, Singapura ditakdirkan hidup dalam keterbatasan. Wilayah negeri ini super-mini. Hanya sedikit lebih besar dari DKI Jakarta. Sumber daya alam dan manusia di sana sangat terbatas. Dua hal itu seperti takdir yang tidak bisa diubah. Uniknya, Singapura berhasil membalik keterbatasan itu menjadi pemicu kerja secara cerdas.

Demi bertahan hidup, Singapura sangat bergantung pada tambahan berbagai sumber daya dari luar. Memang, semua negara saling bergantung. Tapi, ketergantungan Singapura lebih kritis dibandingkan dengan banyak negara lain. Untuk mendapat tambahan sumber daya unggul, sejumlah persyaratan harus dipenuhi.

Pertama, dibutuhkan jaringan transportasi-komunikasi-finansial canggih dan andal agar sumber daya dari luar negeri bisa masuk dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Pesatnya pertumbuhan kapitalisme global, teknologi digital, dan stabilitas regional sangat menguntungkan Singapura. Jika terjadi krisis dalam berbagai jaringan internasional ini, Singapura akan lebih terpukul dibandingkan denagn negara-negara sekitarnya.

Kedua, Singapura harus memikat calon mitra kerja dari luar. Buat apa akses ke negeri itu dipermudah jika pihak luar tidak tertarik? Singapurameningkatkan daya pikat secara maksimal dengan imbalan besar bagi mitra asingnya. Sementara dalam negeri ”stabilitas dan keamanan” dijaga ketat. Penguasa Singapura cenderung semi-otoriter demi alasan praktis itu, bukan politis atau ideologis. Nyaris tak ada toleransi untuk politik oposisi, grafiti, fanatisme agama atau protes jalanan.

Lebih setengah abad lalu Singapura memikat dunia dengan kualitas layanan maskapai penerbangan dan bandar udara antar-benua. Bangkok menjadi pesaingnya di Asia Tenggara sebagai pusat transit untuk rute penerbangan antarbenua. Thailand kaya tradisi dan kesenian keraton, kuil, dan makanan yang tenar di dunia. Singapura tidak. Maka, Singapura terpacu bekerja lebih cerdas membangun bandar udara Changi.

Perkembangan serupa terjadi di bidang akademi. Pertengahan 1990-an terjadi konflik besar di sebuah universitas di Jawa. Akibatnya, puluhan dosen kehilangan pekerjaan, termasuk saya. Setelah berbulan-bulan hidupberkeluarga tanpa gaji, saya diundang bekerja di satu universitas besar di Singapura.

Universitas di Singapura tersebut baru selesai membangun sejumlah menara apartemen mewah di dekat kampus, khusus untuk dosen-dosen asing. Lebih dari separuh apartemen itu belum dihuni. Semua perabot dalam setiap unit masih terbungkus plastik dari toko. Sewanya hanya sekitar seperlima harga pasar. Penduduk lokal, termasuk para dosen lokal, merasa para pekerja asing dianak-emaskan pemerintah. Perasaan itu bisa dimaklumi.

Di departemen kami ada belasan dosen, mayoritasnya warga asing. Pernah hanya satu yang warga Singapura karena dua rekannya pindah kerja ke luar negeri. Dekan kami sering meminta usulan daftar tokoh-tokoh ilmuwan terbesar di dunia yang bisa dirayu bergabung di universitas ini dengan imbalan sangat menggiurkan. Selama belasan tahun kemudian, hingga kini Singapura menempati salah satu urutan tertinggi dalam ranking universitas global.

Ketika saya bersiap meninggalkan Indonesia, pemerintah Orde Baru masih mewajibkan mahasiswa di Tanah Air lulus mata-kuliah tentang Pancasila. Sebagai dosen, kami wajib lulus penataran Pancasila. Setiba di Singapura, saya lihat mahasiswa di sana wajib belajar literasi teknologi media digital. Para dosennya dituntut memublikasikan penelitian di jurnal terkemuka di dunia. Setelah lewat belasan tahun kemudian, tuntutan serupa ini baru menjadi kelaziman di Indonesia.

Singapura unggul bukan baru belakangan dan tidak hanya di bidang industri hiburan atau pendidikan. Negeri mini ini juga pusat belanja dan perawatan kesehatan. Tidak hanya anak-anak presiden Joko Widodo yang menempuh pendidikan di Singapura. Tidak hanya para menteri kabinet RI yang memilih berobat di Singapura, termasuk sang menteri yang berambisi mengadakan konser tandingan.

Tak perlu kaget atau kecewa jika pentas Taylor Swift untuk Asia Tenggara berhari-hari hanya di Singapura. Daripada bikin konser tandingan, mengapa tidak bersemangat membina universitas dengan kualitas tandingan? Siapa tahu Indonesia berhasil naik ke urutan setara atau mendekati Singapura dalam ranking global universitas dan anak presiden tidak perlu jauh-jauh berkuliah di sana?

Berpuluh tahun Singapura agak otoriter. Begitu juga negara-negara lain di sekitarnya. Mengapa yang lain-lain tidak semakmur dan seunggul Singapura? Mengapa Pemerintah RI tidak terpacu membenahi layanan kesehatan di negeri sendiri sehingga para menteri yang sakit bisa merasa nyaman dirawat di dalam negeri?

Tenaga kerja Indonesia berbondong sebagai PRT di Singapura. Mengapa pejabat tinggi negara tidak bertekad memperbaiki kondisi kerja di Tanah Air sendiri? Bayangkan andaikan orang-orang Singapura berbondong menjadi PRT keluarga di Indonesia.

Apakah konser tandingan dinilai lebih penting daripada semua hal itu?

No comments :