Seribu Tangan Penggali Peradaban Muarajambi

 

Penelitian di Candi Sialang, KCBN Muarajambi, Desa Kemingking Luar, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (8/5/2024).





Jejak peradaban Muarajambi sempat hilang ditelan zaman. Candi-candi yang menjadi saksi kejayaan Swarnadwipa terkubur selama berabad-abad. Tangan-tangan warga lokal menggali tapak peradaban di situs Buddha terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Sunyi membekap kompleks Candi Parit Duku di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Kamis (6/6/2024). Desir angin terdengar pelan. Para pekerja pemugaran situs di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi itu sedang beristirahat dan makan siang.

Puluhan struktur bangunan berbahan terakota menyembul di antara pepohonan. Sebelum dipugar, struktur-struktur itu terkubur dalam gundukan tanah selama ratusan tahun. Tidak sedikit bangunan yang ambruk sehingga perlu dibongkar dan disusun kembali.
Selesai beristirahat, Rakaini (38), pekerja pemugaran, kembali dengan membawa dua timba berisi air. Ia lalu duduk bangku kayu sembari mengasah sekrap sebagai alat membersihkan tanah dan kotoran yang menempel di bata.

”Jika tidak dibersihkan, permukaan bata menjadi tidak rata. Ini membuat batanya tidak kuat menempel saat disusun sehingga hasilnya kurang bagus,” ujarnya.

Sambil mengasah sekrap, Rakaini memperhatikan struktur candi yang sedang direkonstruksi. Matanya sangat jeli menemukan sebuah bata yang berlubang di bagian sudutnya. Ia kemudian menggantinya dengan bata lain.




”Lubangnya memang kecil, tapi batanya tetap harus diganti. Lubang itu bisa ditumbuhi rumput liar. Kalaupun diisi nat (campuran serbuk bata dan air untuk mengisi celah), lama-kelamaan akan terkikis juga. Itu bisa membuat struktur bangunan gampang keropos,” jelasnya.


Rakaini merupakan warga Desa Muaro Jambi. Latar belakang pendidikannya bukan teknik sipil, apalagi rekonstruksi bangunan cagar budaya. Ia menamatkan pendidikan SMP pada 2001. Setelah itu mengejar Paket C atau setara SMA. Namun, ia punya pengalaman ikut dalam pemugaran pagar Candi Gumpung sekitar 12 tahun lalu.


Selain di Candi Parit Duku, pemugaran juga dilakukan di Candi Kotomahligai, Menapo Alun-alun, dan Candi Sialang. Proyek revitalisasi juga meliputi penataan lingkungan di situs-situs candi lainnya dengan melibatkan 1.000 tangan dari 500 warga lokal.


Menurut Rakaini, pelibatan warga lokal dalam pemugaran sangat penting untuk menciptakan rasa memiliki terhadap bangunan cagar budaya tersebut. ”Bisa dibilang, (rekonstruksi) candi ini karya kami juga. Kami akan menjaganya dari hati. Kalau ada yang merusaknya, warga setempat akan sangat marah,” ucapnya.


Pelestarian ekologi
Akan tetapi, revitalisasi cagar budaya bukan sekadar menggali dan membangun kembali bangunannya. Banyak tangan yang terlibat. Ada yang mendokumentasikan setiap tahapannya dalam bentuk foto, sketsa, dan digital. Ada pula arkeolog pendamping yang mengawasi proses rekonstruksi dan mengidentifikasi temuan.

Masih banyak peninggalan situs KCBN Muarajambi yang belum digali. Hal ini perlu terus diungkap. Selain untuk menelusuri jejak sejarah masa lalu, jugamenggali nilai-nilai budaya masyarakat yang masih hidup hingga sekarang.

Selain itu, ada campur tangan arsitek dan ahli botani. Pemugaran candi diselaraskan dengan pelestarian ekologi. Oleh karenanya, penebangan pohon diminimalkan agar tidak menggerus daya dukung lingkungan di sekitarnya.

Di antara pekerja yang mondar-mandir mengangkat bata, Supriyadi Ecen (29) duduk bersila di atas salah satu struktur candi. Namun, ia tidak sedang bersantai, melainkan membuat sketsa susunan bata lapisan luar pada struktur tersebut.

Pensil, penggaris, dan buku gambar milimeter blok menjadi senjata utamanya. Setiap baris bata ia buat sketsanya. Siang itu, sudah hampir 50 bata yang ia sketsa. Ukuran panjang, lebar, dan tinggi bata menjadi acuan.

Tidak semua bata berukuran serupa. Hal ini mengindikasikan bata-bata tersebut tidak bersumber dari tempat pembuatan yang sama. Bahkan, bisa saja berasal dari masa berbeda. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hal itu.

Ecen merupakan lulusan SMK jurusan pemasaran. Latar belakang pendidikannya tidak ada hubungannya dengan keterampilan membuat sketsa. Namun, ia menyukai seni. Hobinya membuat patung dari tanah liat.

”Membuat sketsa tidak gampang, tapi menyenangkan. Yang penting teliti karena harus benar-benar presisi,” ucapnya.

Di salah satu sudut lainnya, Yulia Maya Overa (25), arkeolog penanganan temuan, sedang meregistrasi temuan-temuan di Candi Parit Duku, seperti bata stupa, bata berprofil, dan tembikar. Setiap temuan diberi keterangan seperti tanggal dan lokasi penemuan.

Data tersebut dihimpun dalam basis data yang menyimpan banyak informasi terkait temuan di candi tersebut. Tak hanya itu, data juga disertai dengan gambar temuan yang dibuat secara manual.

”Penanganan temuan sangat penting untuk mengidentifikasi benda-benda sehingga bisa mengetahui fungsi bangunan ini di masa lalu,” ucapnya.

Koordinator Pemugaran Candi Parit Duku, Mubarak Andi Pampang, mengatakan, pemugaran sangat diperlukan untuk mengungkap peradaban di lokasi itu pada masa lalu. Semula kompleks berukuran 81 x 80 meter tersebut hanya berupa enam gundukan tanah. Namun, setelah digali, ditemukan 23 struktur bangunan yang kebanyakan berbentuk persegi.

Kebanggaan

Di Candi Kotomahligai, Sulaiman (54), pekerja, sedang memasang bata di struktur mandapa (tempat ritual). Namun, ukuran bata yang dipegangnya tidak sesuai. Ia pun mengikis ujung bata agar saat dipasang tidak mengenai akar pohon yang menjalar, bahkan menembus struktur bangunan.

Sebenarnya tugas para pekerja akan lebih mudah jika akar-akar pohon disingkirkan. Namun, ia menyadari, justru akar-akar itulah yang membuat candi semakin menarik sekaligus menjadi saksi hidup perjalanan peradaban Muarajambi.

Menurut Sulaiman, revitalisasi KCBN Muarajambi yang memiliki luas 3.981 hektar tak hanya menyerap banyak tenaga kerja lokal. ”Yang lebih penting, kami juga bangga karena bisa ikut terlibat. Di masa depan, cucu-cucu kami bisa bercerita kalau kakeknya ikut membangun kembali candi ini,” ujar warga Desa Baru, Kecamatan Maro Sebo, itu.

Berjarak sekitar 20 meter dari Sulaiman, Amril Prayoga (17), sedang sibuk menumbuk bata-bata yang sudah pecah. Bata dihancurkan memakai palu sehingga menjadi serbuk. Setelah itu serbuk diayak menggunakan saringan kelapa.

Pemuda Desa Danau Lamo itu menyebutkan, setelah dicampur air, serbuk bata akan dijadikan nat untuk mengisi celah di antara bata. Dengan begitu, struktur bangunan menjadi lebih kokoh.

Di Menapo Alun-alun, Bintang Dwi Wahyudi (22) menatap layar laptopnya saat kebanyakan pekerja lainnya sibuk menyusun kembali bata-bata merah di lokasi penemuannya. Pemuda Desa Muaro Jambi itu sedang mendigitalisasi hasil sketsa lapangan.

”Dengan gambar digital menggunakan AutoCad akan mempermudah dalam merencanakan rekonstruksi bangunan. Selain itu, hasilnya bisa disimpan dalam jangka panjang sebagai dokumentasi,” katanya.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, revitalisasi Muarajambi turut mengungkap bukti-bukti baru terkait eksistensi peradabannya. Berdasarkan hasil penanggalan dari sisa arang yang terakhir ditemukan, peradaban di sana diperkirakan dari abad ke-6.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, masih banyak peninggalan situs KCBN Muarajambi yang belum digali. Hal ini perlu terus diungkap. Selain untuk menelusuri jejak sejarah masa lalu, juga menggali nilai-nilai budaya masyarakat yang masih hidup hingga sekarang.

”Yang utama adalah merekonstruksi peradaban itu sebagai sumber inspirasi kita di masa depan,” katanya.


Tayang di Kompas.com