Endo Suanda |
Endo Suanda tidak berhenti memberi contoh lewat karya dan keteguhannya di dunia seni budaya. Setidaknya 70 tahun terakhir, dia tekun merawat gairah, mengumpulkan data yang berserak, hingga menguatkan sendi kreativitas seni Tanah Air.
Di usia ke-77, jemari Endo masih piawai memetik kecapi. Senin (2/9/2024) pagi, dia memainkan tembang ”Jipang Keraton”.
Suara kecapinya bening. Irama lagu yang biasanya disajikan menyambut tamu agung itu mengantar Endo bercerita.
”Dalam 12 tahun terakhir, saya lebih banyak mendalami pembuatan alat musik bambu. Kecapi ini salah satu hasilnya,” kata Endo.
Sepintas bentuknya tidak berbeda dengan kecapi kayu. Panjangnya sekitar 140
Sebanyak 18 senarnya terbuat dari tembaga. Jarak antarsenar dibuat sepanjang 13 milimeter.
Namun, jika dilihat lebih dekat, banyak modifikasi yang dilakukan Endo bersama rumah produksi Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN). Selain kecapi, LPSN memproduksi gitar hingga beduk.
Paling mencolok jelas bahan utama bambu, bukan kayu. Jejak serat bambu laminasi terlihat jelas.
Kecapi sengaja tidak dicat. Itu sengaja dilakukan sekaligus untuk memperlihatkan kecapi itu dibuat tanpa dempul.
Alat penyeteman juga dipasang seperti gitar, ada di bagian pangkal. Itu memudahkan penyetelan dan mencari bunyi terbaik. Penempatan itu berbeda dengan kecapi konvensional yang dipasang di tubuh kecapi. sentimeter dengan lebar 27,5 sentimeter.Akan tetapi, bagian paling mencolok adalah isi dalam tubuh kecapi. Di sana, Endo memasang penguat (bracing).Bracing biasanya diterapkan pada gitar. Tujuannya, menjadi sendi penguat sekaligus menyeimbangkan bunyi menjadi harmonisasi.
”Konstruksi gitar menarik dipelajari. Sejarahnya terentang panjang hingga ratusan tahun. Sudah banyak riset dihasilkan tentang gitar,” kata Endo.
Uniknya, Endo mengaku tidak bisa bermain gitar. Tidak ada satu kunci gitar pun yang ia kuasai.
Akan tetapi, kendala itu tidak membuatnya menyerah. Dia lantas melakukan riset panjang. Mulai dari arsitektur, konstruksi, hingga bunyi yang dihasilkan.
”Sebisa mungkin saya menggabungkan estetika, akustika, serta craftsmanship,” katanya.
Hasilnya tidak mengecewakan. Sejauh ini mendapat apresiasi dari banyak pemain kecapi. Ada yang bertanya, apakah ada ”isian” hingga berapa lamamelakukan meditasi untuk menghasilkan suara sebening kecapi bambu itu.
Saya yang sudah melihat Mimi Rasinah menari ratusan kali tetap tergetar karena ada 'percikan-percikan' dalam tariannya.
Endo menyebut, pergulatannya dengan bambu diawali rasa kesal saat kembali mengunjungi Amerika Serikat tahun 2012. Negeri Paman Sam tidak asing baginya. Dia lama menempuh pendidikan di berbagai tempat. Dua anaknya pun menjadi pengajar di AS.Kala itu, Endo berkunjung ke Bamboo Revolution di Portland, Oregon. Di sana, ia disuguhi berbagai macam perabotan hingga peralatan dari bambu. Mulai dari lantai hingga gagang pintu.
Selain terkesima, Endo juga kesal. AS minim bambu, tapi bisa membuat banyak perabotan serba bambu. Ironisnya, hal serupa belum banyak diterapkan di Indonesia yang justru kaya berbagai jenis bambu.
”Dari sana muncul keinginan belajar tentang bambu. Karena dasar saya orang seni, saya pilih penerapan bambu pada alat musik. Tidak terasa lebih dari 12 tahun mengembangkan alat musik bambu ini,” katanya.
Topeng Rasinah
Endo tidak hanya gigih di usia senja. Dia terbiasa belajar hal baru sejak belia.
Endo mengenal seni saat berusia 6 tahun lewat pertunjukan wayang kulit. ”Guru-nya” kelompok wayang kulit pimpinan dalang Jamhadi hingga dalang Renda.
”Kebetulan, mereka berasal dari desa tetangga yang memainkan seperangkat alat wayang milik kakek buyut. Saat itu, tidak ada satu pun anggota keluarga kami yang bisa bermain wayang,” ujarnya.
Endo belajar dari nol. Dari bocah pengambil wayang ia mulai bisa memainkan saron, kendang, hingga gong.Semakin dewasa, Endo makin mantap berkesenian. Dia buktikan dengan memilih masuk Konservatori Tari (Kori) Bandung, kini Institut Seni Budaya Indonesia, tahun 1968.
Lulus tahun 1973 dan pernah melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta, Endo melanjutkan pendidikan ke AS tahun 1976. Dia kuliah di Wesleyan University di Connecticut. Endo mengambil jurusan Etnomusikologi.
”Di sana, belajar seni hingga antropologi. Seni lebih dari sekadar pertunjukan, tapi juga memahami tabiat hingga kisah hidup pelakunya,” ujarnya.Minat mendalami etnomusikologi juga yang kemudian mengantarkannya pada sosok Mimi Rasinah. Dari informasi dan kabar yang ia dapatkan, Mimi Rasinah adalah maestro topeng di Pekandangan, Indramayu. Saat itu, tak banyak yang punya kemampuan setara dengan dia.
Akan tetapi, bakat besar Mimi Rasinah lama terlupakan. Dia kehilangan gairah. Suami sekaligus penabuh kendangnya telah meninggal dunia. Hidupnya juga dipeluk kemiskinan.”Saat bertemu Mimi tahun 1999, beliau sudah 20 tahun tidak menari. Rumahnya juga hampir roboh,” katanya.
Endo mengatakan, ajakan kembali menari tak membuahkan hasil pada kesempatan pertama. Namun, dia tidak menyerah. Bersama sahabatnya, Toto Amsar, dia blusukan mencari penabuh kendang yang bisa mengerti gerak Mimi Rasinah di Indramayu. Endo juga merogoh kocek untuk menggelar pertunjukan topeng di kompleks makam.
Singkat kata, cara-cara itu berhasil, Mimi Rasinah mau menari lagi. Topeng pun kembali diminati masyarakat seiring kebangkitan Mimi Rasinah.
”Saya yang sudah melihat Mimi Rasinah menari ratusan kali tetap tergetar karena ada 'percikan-percikan' dalam tariannya,” ujar Endo.
Setelah dikenal lagi di Indramayu, Endo dan Mimi Rasinah juga melakukanperjalanan panjang ke beberapa daerah dan negara memperkenalkan topeng.Salah satu perjalanan yang sulit dilupakan ialah saat di Jepang tahun 1999. Sesaat sebelum tampil, Mimi Rasinah terkena flu berat. Ia harus dirawat di rumah sakit.
Endo siap-siap menggantikannya meski tak membawa peralatan menari. ”Sore menjelang pentas, Mimi datang dari rumah sakit. Dia bilang ingin menari. Setelah pementasan, ia sembuh,” kata Endo.
Tidak berhenti di sana, Endo juga ikut memberikan pengetahuan baru tentang dunia panggung kepada Mimi Rasinah dan seniman tradisi lain.
Tanpa menghilangkan orisinalitas, ia berbagi ilmu baru. Beberapa di antaranya adalah pencahayaan hingga cara menghadapi penonton. Ia bahkan menyekolahkan beberapa seniman topeng ke pendidikan seni formal.Keperluan di kehidupan pribadi juga diperhatikan. Rumah Rasinah yang nyaris roboh, misalnya, dibangun ulang. Dananya dikumpulkan dari kocek sendiri, kebaikan rekan-rekan, hingga bantuan Japan Foundation.
”Terkumpul Rp 30 juta untuk membangun rumah berukuran 100 meter persegi,” katanya.
Dengan sepak terjangnya itu, Endo enggan disebut berjasa. Ia justru mengatakan menjadi orang yang paling banyak menerima kebaikan seniman tradisi. Mulai dari bantuan merampungkan studi hingga bisa berpenghasilan.
”Apa yang saya dapatkan lebih banyak dari yang diberikan,” kata Endo
Data seni budaya
Tidak hanya hidup seni dan pelakunya, Endo juga punya minat besar terhadap dokumentasi data dan karya. Jauh sebelum kesadaran itu muncul di Indonesia, dia memulainya tahun 2007.
”Data yang baik menjadi pijakan menghadirkan ilmu pengetahuan dan karakter sebuah bangsa,” ujar Endo.
Endo memulainya lewat lembaga Tikar Media Budaya Nusantara. Lembaga ini cikal bakal ensiklopedia produk seni dan budaya Indonesia secara digital.
Ada 13 kategori produk budaya dan seni Nusantara. Mulai dari tari, musik, teater, seni rupa, topeng, hingga permainan, dan keterampilan. Kata dia, ada sekitar 5.000 koleksi foto tentang produk budaya itu.Selain itu, pada tahun 2004 Endo juga mendirikan LPSN. Meski kini lebih menekuni pengembangan bengkel dan laboratorium akustika bambu, awalnya LPSN memperkuat pendataan seni budaya.
Implementasinya berupa pembuatan bahan ajar berupa buku dan audiovisual di sekolah. Sasarannya guru kesenian atau pengampu kesenian.
Ada lebih dari 1.000 sekolah dengan 1.500 guru yang dilatih. Mereka dari beberapa daerah di Indonesia.
”Karena berbagai kondisi yang tidak ideal, pelatihan terakhir pada tahun 2015 di Tangerang,” katanya.Kini, di usia tak lagi muda, Endo masih belum ingin berhenti belajar. Dia masih ingin melakukan berbagai riset dan penelitian, khususnya tentang alat musik dan akustika bambu.
Dia menyebut, karyanya sudah berada pada tahap baik. Ke depan, ia ingin jauh lebih baik. Mulai dari mencari keharmonisan suara yang dihasilkan hingga semakin mudah diterima khalayak.
Dengan semangat belajar yang tinggi itu, tidak heran jika Endo masih ditawari kesempatan membagikan ilmu di berbagai tempat. Tidak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri, salah satunya di AS.
Bahkan, dengan kemampuannya itu, kemungkinan Endo menjadi warga negara AS terbuka lebar. Apalagi, dua anaknya kini menjadi pengajar di sana di bidang fisika kelautan dan psikologi.Akan tetapi, ia menyebut enggan meninggalkan Tanah Air. Meski sering kali tidak semua keinginannya berjalan mulus, dia seperti ingin menjadi bracing seperti yang ada di kecapinya. Kiprahnya menguatkan sendi sekaligus menyeimbangkan bunyi menjadi harmonisasi di tengah kekayaan bangsa yang sangat beragam ini.
”Kemampuan saya jauh lebih dibutuhkan di sini,” kata Endo tersenyum.
Endo Suanda
Lahir: Majalengka, 14 Juli 1947
Penghargaan:
- Anugerah Budaya Kota Bandung 2009.
- The Japan Foundation and The International House of Tokyo: Asia Leadership Fellow Program 1998-1999.
- British Council and Visiting Arts London 1998.
Tulisan ini tayang di Kompas.id