Mochtar Embut
”Di sudut bibirmu, kumenghirup seteguk senyum…
Yang menghias… paras bening Dewi Ratih….”
Pada masanya, tahun 1960-an, lagu ciptaan Mochtar Embut, ”Di Wajahmu Kulihat Bulan” dan ”Di Sudut Bibirmu”, melalui suara empuk merdu dan romantik Sam Saimun, sangatlah populer. Melodinya manis dan enak dinyanyikan, liriknya puitis, kaya dengan metafora.
Sebagai komponis, Mochtar Embut memperindah lirik lagunya dengan mengangkat puisi- puisi pujangga ternama, yakni Chairil Anwar (untuk lagu ”Doa”), Usmar Ismail (”Jika Kau Tahu”), dan WS Rendra (”9 Sajak”).
Embut, yang disebut menulis sekitar 100 lagu, saat ini tepat waktu untuk kita sorot dalam perspektif. Patut dihargai prakarsa sejumlah alumnus ITB Angkatan 1967 yang mengangkat sejumlah lagu Mochtar Embut dalam ”Tribute to Mochtar Embut” yang diadakan di Hotel Borobudur, Jakarta, Minggu (30/9/2018).
Dibuka dengan doa tulus untuk warga Sulawesi Tengah yang tengah dirundung duka akibat bencana gempa dan tsunami, acara yang telah lama digagas tersebut ingin menggarisbawahi relevansi Embut untuk Indonesia hari-hari ini.
Yang pertama, Mochtar Embut adalah pemenang sayembara cipta lagu mars ”Pemilu” tahun 1971, pesta demokrasi yang akan diselenggarakan lagi April 2019. Ya, menurut Embut, saat pemilu telah memanggil, kita—rakyat— harus menyambutnya dengan gembira. Pemilu adalah hak demokrasi Pancasila dan hikmah Indonesia merdeka.
Melalui lagu yang banyak diulang-ulang melalui media kita diseru untuk memilih wakil rakyat yang dapat dipercaya. Siapakah mereka? Mereka adalah pengemban Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) yang setia.
”Di bawah Undang-undang Dasar Empat Lima, kita menuju ke pemilihan umum,” tutup syair mars karya Mochtar Embut di atas.
Kini, saat menjelang Pemilu 2019, kita masih bisa memetik butir-butir mars ”Pemilu” karya Mochtar Embut di atas karena di sana masih ada pesan yang amat penting, yaitu agar kita memilih wakil rakyat yang sejati, yang setia mengemban Ampera.
Sudah cukup wakil yang setelah dipilih dengan waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar ternyata alih- alih pembela Ampera, justru mengkhianatinya, mengambil uang rakyat yang semestinya bisa digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Mendengar mars ”Pemilu” Mochtar Embut bukan untuk mengenang Orde Baru, melainkan menggemakan kembali amanat dasar pemilu, yang nanti akan dilakukan serentak untuk memilih presiden dan wakilnya.
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana (KB) pada masa politik yang hiruk pikuk praktis sudah jarang kita dengar sebagai satu topik. Padahal, jumlah penduduk sebenarnya menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan.
Di tengah-tengah seretnya mengangkat angka pertumbuhan ekonomi, sebenarnya pengendalian pertumbuhan penduduk melalui KB bisa menjadi satu jalan keluar.
Seperti kita baca dalam lirik mars ”Keluarga Berencana” ciptaan Mochtar Embut, berkah KB memang tidak eksplisit menyebut ekonomi, tetapi dengan kondisi yang diidealkan oleh lirik lagu ini, negara bisa jaya karena KB.
”Keluarga Berencana sudah waktunya
Janganlah diragukan lagi
Keluarga Berencana besar maknanya
Untuk hari depan nan jaya
Putra putri yang sehat, cerdas dan kuat
’kan menjadi harapan bangsa
Ayah Ibu bahagia, rukun raharja
Rumah tangga tentram sentosa”
Janganlah diragukan lagi
Keluarga Berencana besar maknanya
Untuk hari depan nan jaya
Putra putri yang sehat, cerdas dan kuat
’kan menjadi harapan bangsa
Ayah Ibu bahagia, rukun raharja
Rumah tangga tentram sentosa”
Kini, dengan laju pertumbuhan per tahun di 1,49 persen (Tribun Jateng, 2/8/2017), maka setiap tahun ada sekitar 4 juta bayi yang lahir. Jika sekarang jumlah penduduk sekitar 263.000.000 jiwa, tidak akan perlu menunggu lama untuk menjadikan Indonesia negara berpenduduk 300.000.000 jiwa.
Mudah dibayangkan, berapa bahan pangan, lahan permukiman, dan juga sekolah yang harus ditambah? Bukankah memenuhi semua itu untuk penduduk yang ada sekarang ini saja sudah merupakan tantangan berat?
Halus, puitis, visioner
Memang Mochtar Embut mencipta mars ”Pemilu” dan mars ”KB” melalui lomba, tetapi kemenangan yang diraihnya menggarisbawahi visi dan musikalitasnya. Kedua mars di atas bermelodi sederhana, tetapi dengan lirik yang mengena. Melodi sederhana memang justru diinginkan karena lagu untuk dinyanyikan oleh banyak orang dan mudah diingat.
Komponis yang lahir di Makassar, 5 Januari 1934, ini tumbuh dari kakek (Saimun Notoasmoro) dan ayah (Embut) yang seniman, dari mana Mochtar mendapat pendidikan piano dan menulis lagu sejak usia lima tahun (Intisari, Juli 1974, Arif Wibowo, Tatik Wardayati).
Lagu-lagu ciptaannya yang patut dicatat adalah yang tercipta semasa ia SMP (antara lain ”Percakapan dengan Alam” dan ”Biola Jiwaku”), sementara ”Di Wajahmu Kulihat Bulan” dan “Di Sudut Bibirmu” lahir ketika ia jatuh cinta untuk kedua kalinya (dan terakhir kalinya).
Genre ciptaan yang luas, mulai dari lagu hiburan, seriosa, hingga musik piano, ditambah berbagai aransemen yang aneka ragam, memperlihatkan kualitas musikalitasnya yang unggul. Dalam bahasa Ireng Maulana, Mochtar Embut adalah sosok musikus yang intelektual (Program Maestro, episode 158, Metro TV).
Di luar itu, Mochtar Embut adalah sosok yang tak suka menonjol. Tatkala lagu ”With the Deepest Love from Jakarta” yang dinyanyikan oleh Elly Sri Kudus mendapat penghargaan The Best Ten dari 1.000 lagu yang diikutkan dalam World Popular Song Festival di Jepang tahun 1971, orang tidak tahu kalau komponisnya hadir.
Padahal, ia menjadi dirigen orkes simfoni yang memainkan lagu ciptaannya dan dengan itu ia menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin orkes NHK di Budokan Hall (Program Konser Musik Tiga Komponis).
Mochtar Embut, yang juga mencipta lagu seriosa indah ”Setitik Embun” dan ”Srikandi”, enggan meninggalkan Indonesia, baik untuk studi maupun bekerja.
Ia mengatakan, tenaganya masih dibutuhkan oleh negerinya. Oleh kebiasaan bekerja keras tak kenal waktu, Mochtar mengidap sakit liver. Ia wafat di Bandung, 20 Juli 1973, tetapi jasadnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.
Dikutip dari Kompas edisi 13 Oktober 2018
No comments :
Post a Comment