Shalat yang Menyembuhkan

“Kita tidak dituntut untuk bisa khusyu’, meredam marah, atau berakhlak mulia. Kita hanya perlu datang kepada Allah dengan apa adanya, tidak perlu merekayasa dengan ‘gaya teater’ yang penuh kepura-puraan.”

(Abu Sangkan)

Apa yang Anda harapkan ketika Anda shalat? Apakah sekadar pemenuhan kewajiban? Atau mencari pengampunan dan pahala? atau bahkan tidak berharap apa-apa karena itu sudah menjadi kebiasaan Anda lima kali sehari hingga merasa aneh jika tidak melakukannya?

Abu Sangkan dalam bukunya Pelatihan Shalat Khusyu’ (2004) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa shalat adalah cara untuknya beristirahat. Shalat menjadi sebuah kebutuhan dasar, seperti halnya makan dan minum. Hingga shalat semestinya menimbulkan perasaan butuh, senang, lega dan bukannya malah menjadi beban kewajiban yang terasa berat.

Ketika shalat, pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan peristiwa sekitarnya, termasuk keterikatannya terhadap sensasi tubuhnya seperti rasa sedih, gelisah, rasa cemas dan lelah. Di sini terjadi keharmonisan antara pikiran, tubuh, dan jiwa.

Descartes, seorang filsuf abad ke-17 telah menyebutkan teori dualisme antara tubuh dan jiwa (mental). Hingga baru pada era post-modernisme Laurence Foss mengembangkan teori biomedical dalam ilmu kedokteran bahwa adanya hubungan antara tubuh, pikiran dan jiwa pada manusia yang satu sama lain dapat saling mempengaruhi. Ada yang disebut sebagai gejala psikosomatis, yaitu misalnya ketika seorang penderita kanker, terus menerus memikirkan hal-hal yang buruk dan merasa sedih, cemas, dan perasaan negatif lainnya, maka itu akan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan hormon hingga tubuhnya akan makin lemah dan penyakit makin parah.

Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan seseorang karena terdapat lima unsur di dalamnya, yaitu:

- Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari

- Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat

- Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat

- Terapi kelompok (group-therapy) dalam shalat jama’ah, atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal ada ‘aku’ dan Allah

- Terapi air (hydro therapy) dalam wudhu atau pun mandi junub

Mungkin kebanyakan dari kita telah lupa tentang bagaimana caranya relax. Apalagi di saat beraktivitas secara padat yang menuntut dan menekan hingga membuat kita lelah. Pada tingkat tertentu dapat memicu stres atau pun depresi. Abu Sangkan juga telah dengan menarik menuntun pembaca bukunya untuk melakukan teknik-teknik dalam shalat yang menyeimbangkan antara jasmani dan rohani, otak kiri dan otak kanan, juga energi positif dan negatif.

Jika seseorang mempunyai kecenderungan untuk menjadi terlalu intelek, ia sebaiknya berpindah ke sisi emosional dan intuitif alamiah dengan menjadi lebih terbuka dan menerima apa yang dikatakan nurani, yaitu ikhlas. Shalat merupakan pelatihan yang tepat untuk menghasilkan manusia yang mampu menjalankan kehidupannya dengan nurani. Kita datang saja kepada Allah, apa adanya, menyerahkan sepenuhnya apa yang kita miliki dengan kesadaran bahwa sebenarnya kita tidaklah memiliki apa-apa.

Barangkali shalat dapat disebut sebagai Yoga-nya umat Islam. Bagi yang sehat, shalat dapat mencegah serangan penyakit, dan menenangkan atau menimbulkan perasaan damai. Sedang bagi yang sedang sakit, shalat dapat menjadi terapi yang menyembuhkan. Asal dilakukan dengan ikhlas, plong, dan dalam kesadaran yang sempurna hingga tubuh, pikiran, dan jiwa kita dapat menyatu dengan harmonis.

(Rina Nazrina)

2 comments :

Anonymous said...

Pak dedi, saya setuju dengan artikel ini sholat memang mengenyumbuhkan

Anonymous said...

Setuju pisan sama isi postingannya. Kalau shalatnya khusyuk pisan, bener-bener bisa sampe berurai airmata. Tapi setelahnya jadi lega dan merasa lebih baik.