Tragedi Dipanegara, Tragedi Kita Semua

OLEH BRE REDANA DAN NINUK MARDIANA PAMBUDY
Sumber : PERSONA, Kompas, Senin 18 Mei 2009

Buku berjudul “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855” (KITLV PRESS, 2007) setebal lebih dari 900 halaman, selain menunjukkan biografi lengkap Pangeran Dipanegara, juga memperlihatkan pemahaman penulisnya, Dr Peter Carey (61), akan segala segi kebudayaan Jawa. Carey yang kini juga mengabdikan sebagian hidupnya untuk masalah difabel (untuk urusan cacat anggota tubuh), dari berbagai pengakuannya sepertinya dia mengalami –bahasa Jawanya-“pinesthi”: sebagian dunianya adalah dunia masa lalu Jawa.

Perang Dipanegara atau Perang Jawa (1825-1830) tak pelak merupakan babak penting dalam sejarah negeri ini. “…the End of an Old Order in Java” (berakhirnya tatanan lama di Jawa)seperti menjadi bagian dari judul buku itu, menggambarkan betapa mendalam akibat yang ditimbulkan perang itu. Peristiwa tersebut menandai dimulainya periode kolonial modern di Indonesia, yang kemudian berakhir tahun 1945.

Melacak karya-karya Carey, termasuk satu bukunya misalnya Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo (Pustaka Adat, 1986), kita akan memperoleh berbagai faset dari Pangeran Dipanegara, termasuk situasi kebudayaan baik di zaman itu maupun yang bisa kita refleksikan untuk masa kini dan masa depan.

Dalam buku-buku Anda, akan terlihat bagaimana Pangeran Dipanegara menjalani berbagai laku spiritual seperti bertapa, masuk hutan, dan lain-lain selain kenyataan dia juga seorang santri. Islam menjadi variable penting pada masa itu, sementara Jawa juga sering dihubung-hubungkan dengan Hinduisme. Dimana sebenarnya letak Hindu?.

Kebudayaan Jawa sebenarnya agak khusus. Kita ini yang suka membeda-bedakan, kamu orang Islam, kamu orang Kristen, ini orang Hindu…. Ini berbeda dari sebutlah Jawa abad ke-18. Saya ambil contoh dari lingkungan Dipanegara di Tegalreja yang didirikan eyang buyut dia. Dia mendirikan masjid untuk diri sendiri dan juga tempat menyepi yang dibangun dari yoni yang diambil dari Candi Prambanan. Dia punya tempat di Selagilang yang dipakai untuk meditasi. Sebenarnya di dalam Islam seperti Muhammadiyah atau yang modern, tidak boleh ada hubungan dengan dunia gaib, mistik, ziarah ke tempat yang bisa datang wangsit. Tetapi, bagi dia, ini dunia spiritual yang masih hidup. Jadi, dia pergi ke gua di Parangtritis, dia bisa menerima wangsit dari Sunan Kalijaga, dia menerima benda-benda pusaka dan semua itu datang dari dunia pra-Islam.

Praktik itu tasawuf Islam atau Hindu ?
Susah dibedakan karena dia orang jawa dan waktu itu latar belakang kebudayaan ada pengaruh dari mistik Islam dan juga warisan dari sistem agama Budha, dan ada dunia gaib khusus Jawa yang punya danyang-danyang yang melindungi Jawa.
Jadi, susah dikatakan sejauhmana ini Islam, walaupun tasawuf, dan mana yang warisan Hindu/Budha. Ini semacam dunia yang seperti woven cloth. Banyak macam, saling berjalinan, saling memengaruhi. Dan Kiai Maja (salah satu pengikut Dipanegara) sangat tidak bisa menerima cara bergerak Dipanegara karena dia terlalu gemar pusaka, terlalu gemar pergi ke banyak tempat ziarah. Dia (Kiai Maja) merasa itu tidak sesuai dengan cita-cita dia untuk mendirikan Islam berdasarkan Al Quran dan hadis.

Takdir
Perang Jawa barangkali tak sekedar soal perebutan aset seperti tanah maupun kekuasaan. Jangan-jangan dia menjadi semacam clash of civilization, dan di situ seluruh kekuatan Jawa terkonsolidasi melawan Belanda. Adakah itu juga dikarenakan perkembangan kolonialisasi masa itu, di mana pada awal abad 1800-an masyarakat Jawa yang tadinya merasa independen, tiba –tiba menjadi koloni ?

Ya, situasi demikian cepat berubah, suatu peralihan yang benar-benar kejam dan tidak ada ampun. Respon yang muncul dari Jawa Tengah Dipanegara muncul sebagai orang tradisional untuk bisa melepaskan orang dari kemelaratan, seperti Ratu Adil, tetapi Ratu Adil berbau Islam. Dia membuat perang Sabil, tetapi unsur-unsur itu adalah Hindu, Budha dan Islam yang ada pengaruh dari Hindu Budha. Setelah perang Dipanegara baru ada abangan dan santri. Sebelum Perang Dipanegara susah didapatkan, siapa yang abangan.

Dalam buku Anda, berdasar babad yang ditulis sang pangeran sendiri, justru dengan kapasitas spiritualnya dia sudah tahu sejak awal usahanya akan gagal. Mengapa dia tetap mengobarkan perang ?.

Dia seperti Gatotkaca atau Karna dalam Mahabharata, dia tahu akan kalah, tetapi harus melaksanakan kewajiban sebagai manusia, panggilan, takdir. Sejak Dipanegara masih bayi, Mangkubumi waktu masih hidup sudah melihat bayi ini dan bilang “Nanti bayi ini akan membuat lebih rusak Belanda daripada saya. Tetapi kelak hanya Allah yang tahu…”. Dan dia sudah diberi wangsit, tugas dia adalah membangkitkan perang Sabil, tetapi siapa yang tahu dia akan berhasil atau gagal ? Sebetulnya gagal, sebab dia itu seperti Hamlet, atau seperti Soekarno tahun 1965, dia sebenarnya sudah tahu bahwa ini sudah takdir dia akan jatuh.

Tetapi, Babad Dipanegara ditulis ketika dia di Manado, artinya ditulis setelah dia kalah. Biasanya catatan post-vactum hanya menjadi justifikasi dari apa yang telah dia jalani ?

Memang ini kesulitan dengan babad. Babad ini bukan sebagai justifikasi, tetapi sebagai pendidikan untuk anak di Manado dan Makassar. Saya merasa cara dia memberi penjelasan untuk sejarah adalah bahwa dia punya tugas sementara dan tugas itu membangkitkan old moral dari jawa, sukses atau tidak sukses dia harus melaksanakan takdir.

Menjalani takdir, bahkan ketika tahu akan gagal, seperti Soekarno tahun 1965, apakah itu khas Jawa ?

Mungkin ada suku lain. Pengalaman saya sebagian besar di Jawa Tengah, jadi saya tahu tentang Jawa. Dan menurut saya Dipanegara tahu dia punya takdir hidup yang dia sebenarnya tidak mau menjalani, tetapi dia harus.

Menurut Anda, apa yang bisa dipelajari dari Dipanegara ?
Saya kira dia orang yang sangat menarik, multifacets. Kita lihat di dalam satu dimensi: orang mistik, dimensi lain: orang yang pandai mengatur uang, administrasi, orang yang jujur dan berterus terang dalam mengutarakan apa yang dia rasakan. Dia tahu, seperti Soekarno tahun 1965, bisa panggil marinir dari Surabaya untuk perang sipil. Tetapi, bagi dia, keutuhan Indonesia lebih penting daripada kepentingan diri pribadi. Dia akan meninggal dengan penuh penderitaan, tetapi sebenarnya bagi dia, negara yang dia bayangkan lebih penting daripada dirinya sendiri. Dan untuk Dipanegara, sebetulnya itu seperti karma. Sudah tahu sebenarnya tidak akan menguntungkan dia, tetapi dia tetap melaksanakan. Dia manusia di dalam kemelut sejarah. Dan kita juga manusia dalam kemelut sejarah.

Itu suatu tragedi…..
Kita manusia dan kita menderita sebagai manusia meskipun ada darma yang besar. Dan saya kira tragedi Dipanegara adalah tragedi banyak orang yang harus membuat pilihan politik. Dia orang yang sangat kaya. Dia punya 60 orang pekerja hanya untuk jaga kuda dan potong rumput untuk kuda, tetapi semua harta benda dia pakai. Better dies standing up than lives at people feet.

No comments :