Bangsa Menuju "Bunuh Diri"


Oleh SATJIPTO RAHARDJO
Sumber : OPINI, Kompas, Senin 18 Mei 2009

Mengerikan sekali judul artikel ini, tetapi bagaimanapun fenomena tersebut menarik untuk dibicarakan. Mengamati perilaku bangsa kita dalam berbagai bidang akhir-akhir ini memberikan alasan ditulisnya artikel ini.

Kata bunuh diri disini dipakai untuk melukiskan perilaku suatu bangsa yang sudah sedemikian rupa sehingga akhirnya akan menyebabkan bangsa itu sendiri menuju “kebangkrutannya”. Rentang kebunuhdirian itu dimulai dari perilaku negatif asosial yang sangat sederhana sampai ke yang benar-benar dalam skala besar dan merusak.Seseorang yang mengambil inventaris kantor kecil-kecilan untuk dijual (petty corruption) sedikit banyak sudah mulai melakukan proses bunuh diri itu, sampai ke orang-orang yang, karena jabatan kenegaraannya, dapat “memperjualbelikan” kekuasaan dan kewenangannya sampai ratusan juta rupiah (magna corruption).

Keadaan bangsa kita memang masih belum benar-benar separah itu, tetapi tidak ada salahnya apabila pagi-pagi sudah diperingatkan. Rupa-rupanya orang juga sudah melihat titik hitam di kaki langit nan jauh dan titik itu adalah perilaku bunuh diri (suicidal act). Dicontohkan sinyalemen Profesor Sri-Edi Swasono yang berbicara tentang democidal nation di ranah kehidupan demokrasi kita. Menurut Sri-Edi, putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan terhadap UU Pemilu 2008 yang menetapkan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen disebut nya sebagai pemasungan vox populi dan dengan kalimat lebih keras mengatakan “…memenggal suara rakyat, suatu penjagalan atau pembunuhan terhadap demokrasi kita, suatu democidal act…”(Suara Pembaruan, 18/4/2009).

Korupsi di Negara kita dapat dijadikan contoh kasus yang menggambarkan proses bunuh diri oleh suatu bangsa. Untuk itu akan dilakukan “Pola Alatas” sebagai rujukan untuk menggambarkan proses tersebut. Syed Hussein Alatas adalah seorang profesor dalam sosiologi dan politik yang menjadikan korupsi sebagai obyek studi. Bukunya antara lain The Sociology of Corruption (1968). Pada awalnya korupsi masih terjadi dalam pola satu-dua atau sporadis (relatively restricted). Tahap selanjutnya ia pelan-pelan mulai merebak dan meluas (rampant and all-pervading) untuk akhirnya membunuh masyarakatnya sendiri (self-destructed). Korupsi di Indonesia pada tahun 1950-an masih dapat dimasukkan ke dalam awal, sedangkan sekarang ini barangkali sudah berada pada tahap kedua menuju yang terakhir.

Ibarat Benalu
Apabila saya boleh menggunakan kehidupan tanaman atau tumbuh-tumbuhan sebagai perbandingan, korupsi merupakan benalu yang menempel pada tumbuh-tumbuhan dan menggerogotinya. Seperti benalu, korupsi hidup dengan cara menghisap uang rakyat dan negara. Dalam keasyikannya melakukan maksiat itu, tanpa disadari akhirnya ia membunuh sang tumbuh-tumbuhan dan para koruptor itu pun dengan sendirinya ikut mati. Alatas mengatakan, korupsi itu akhirnya membunuh masyarakat (destroyed the fabric of society).

Sesungguhnya tidak hanya korupsi dan koruptor yang akhirnya menghancurkan negara, bangsa dan masyarakat, tetapi juga orang-orang yang tidak menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan baik.

Pengadilan yang diharapakan menjadi pusat keadilan berubah menjadi pasar yang memperdagangkan putusan pengadilan. Sampai hari ini publik tidak henti-hentinya masih menyoroti terjadinya mafia pengadilan di negeri ini. Ini tentu saja sangat memukul para hakim dan pegawai pengadilan yang masih berusaha menepis praktik para sejawatnya yang sudah menjadi mafioso itu. Pengadilan yang sudah mencoreng martabatnya sendiri itu sudah beramai-ramai bersama-sama dengan para koruptor turut menjadi benalu bagi pohon Indonesia.

Daftar pelaku-pelaku bunuh diri itu dapat diperpanjang kehadirannya di berbagai bidang pekerjaan yang melakukan pelayanan kepada publik. Ia ada di sektor pendidikan, transportasi, kesehatan, kepolisian, politik (dewan-dewan perwakilan rakyat), dan masih banyak lagi. Intinya adalah bahwa banyak pelaku yang seharusnya melayani publik tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka itu juga turut memperparah keadaan dan mendorong terjadinya bunuh diri tersebut. Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya “pohon Indonesia” yang mereka cederai dan gerogoti selama ini.

Bunuh diri bangsa ini ditampilkan sebagai peringatan (reminder) terhadap kemungkinan yang serius dan gawat yang akan menimpa seluruh bangsa. Proses menuju bunuh diri tersebut dapat dicegah dan dihentikan apabila bangsa ini tidak dipenuhi dengan benalu-benalu, melainkan dengan “daun” dan “akar”. Berseberangan dengan perilaku benalu yang korup itu, maka daun dan akar justru menjadikan pohon Indonesia hidup dan berkembang dengan subur.

Apabila semua orang di negeri ini melakukan tugas dan pekerjaannya dengan jujur, penuh dedikasi dan beramanah, apakah itu guru, pengusaha, birokrat, wartawan, anggota DPR, gubernur, hakim dan ribuan lainnya, maka insya Allah proses menuju bunuh diri itu dapat dicegah.

SATJIPTO RAHARDJO
Guru Besar Emeritus Sosiologi
Hukum Undip

No comments :