Redy Eko Prastyo: Panggung untuk Kampung

Oleh DEFRI WERDIONO, Kompas, 18/11/2016
Tujuh tahun lalu, Redy Eko Prastyo (37) menggagas Festival Kampung Cempluk di Malang, Jawa Timur. Ajang itu disebut-sebut sebagai festival pertama yang mengangkat potensi kampung di seantero Malang. Apa yang ia rintis lantas berkembang dan melahirkan Jaringan Kampung Nusantara.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Ingar-bingar menguasai Dusun Sumberejo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, selama lima hari berturut-turut, September lalu. Begitulah yang terjadi setiap Festival Kampung Cempluk (FKC) berlangsung. Aneka bunyi-bunyian alat musik mengalun sepanjang hari, seolah tanpa henti. Pria-wanita, tua-muda, larut dalam kegiatan itu. Mereka menyanyi, menari, atau sekadar menonton.

Tahun ini, FKC memasuki tahun ketujuh. Festival diawali dengan pawai, berlanjut dengan kegiatan tematik, seperti Cempluk Bergerak, Cempluk Bernyanyi, dan Cempluk Berkolaborasi. Cempluk diambil dari nama lampu tradisional berbahan bakar minyak tanah.

Selain warga Sumberejo, acara itu juga dimeriahkan sejumlah penampil dari kampung di Banyuwangi dan Tulungagung, Jawa Timur. Bahkan, festival tingkat kampung ini bisa menarik sejumlah musisi asing. Tahun ini ada pemain flute asal Spanyol, Rudrego Parejo, yang nimbrung di antara sejumlah penampil. Tahun lalu, tampil Kumayl Mustofa Daood, anggota grup musik Debu asal Amerika. Pada 2014, ada musisi jazz asal Perancis, Gills Saisi.

Redy mengklaim, dari tahun ke tahun festival yang digelar di jalan kampung itu terus berkembang, baik dari sisi durasi maupun materi. ”Saat ini, FKC sudah menjadi semacam hari raya kebudayaan bagi warga Sumberejo,” ujar sarjana sastra dan psikologi itu.

Menghapus stigma

Redy sebenarnya bukan penduduk asli Sumberejo. Ia pendatang yang mengontrak sebuah rumah di sana. Kebetulan pemilik rumah memiliki grup musik dangdut. Redy yang menggemari musik kadang ikut nimbrung. Dari situ dia tahu bahwa warga Sumberejo punya potensi berkesenian yang besar.

Sayangnya, potensi itu tidak berkembang lantaran tidak mendapat panggung. Seperti kampung-kampung lainnya di Malang, Sumberejo gamang dengan perkembangan zaman. Kampung yang tadinya kental dengan nuansa agraris itu kini mulai dikepung dan didesak perumahan-perumahan besar.

Yang menyakitkan, perkembangan zaman mencitrakan kampung sebagai wakil dari keterbelakangan. Apa saja yang berasal dari kampung disebut ”kampungan” dan warganya disebut ”orang kampung”.

Sebutan itu tidak enak didengar di telinga dan terasa memojokkan. Akibatnya, banyak orang kampung mencoba keluar dari situasi itu. Mereka ingin dianggap sebagai orang modern yang memiliki aktivitas sebagaimana orang kota pada umumnya.

Sebagian dari mereka rela melakukan apa saja, termasuk menjual lahan pertaniannya, kemudian pindah ke perumahan modern atau kota. Secara fisik mereka memang pindah, tetapi secara psikis ”jiwa kampung” tak bisa ditanggalkan.

Redy merasa gejala seperti itu mesti dihentikan, apalagi dia melihat kampung menyimpan modal besar untuk berkembang. Semangat gotong royong dan kebersamaan warga pun masih sangat kental.

Dibantu seorang warga pendatang lainnya, Priyo Sidi, Redy berusaha menciptakan ruang inspirasi dan kreasi buat warga kampung dalam bentuk FKC pertama pada Agustus 2009. Mereka mendorong warga kampung untuk unjuk kekayaan yang mereka punya, mulai dari kuliner hingga seni pertunjukan seperti bantengan, singo budoyo, dan angklung cempluk.

Pertunjukan kesenian tradisional itu disandingkan secara sejajar dengan performing art, teater, pantomin, musik, dance, dan film indie. Dengan cara itu, tumbuh kebanggaan dan rasa percaya diri di kalangan warga kampung yang sebagian berprofesi sebagai tukang kayu, tukang batu, dan penarik becak.

FKC pertama itu hanya berlangsung dua hari. FKC tahun berikutnya digelar setiap September agar tidak terlalu dekat dengan acara tujuh belasan. Redy mulai membenahi urusan publikasi yang tidak tergarap dengan baik pada FKC pertama. Ia pun membuat situs kampung www.kampungcempluk.com yang dikelola oleh anggota karang taruna.

Melalui situs itu, warga kampung mengunggah aktivitas kampung ”Cempluk”, ada atau tidak ada festival. Dari situ pula, anak-anak karang taruna belajar fotografi, video, dan jurnalistik.



Seiring dengan perkembangan pengetahuan anak-anak kampung, FKC juga berkembang. Festival yang awalnya digelar di sebuah gang di satu RT akhirnya digelar di satu kampung. Sejak saat itu pula nama cempluk atau lampu berbahan minyak tanah melekat kuat pada dusun yang terletak di sisi barat Kota Malang itu.

”Waktu festival juga ditambah, tidak hanya dua hari. Pada tahun keempat, kami bahkan menggelar festival selama 11 hari,” tambah Redy. Warga mendesak perpanjangan waktu festival karena memberikan keuntungan ekonomi.

Jaringan Nusantara

Perjalanan FKC tidak selalu mulus. Di antara warga yang antusias, ada juga warga yang apatis, pesimistis, bahkan sinis. ”Ada yang berusaha menggembosi, tapi saya cuek saja. Kami terus jalan sambil mencari dukungan dari luar melalui publikasi,” ujar Redy.

Baru pada tahun ke-7 semua hambatan itu bisa diatasi. Saat ini, FKC ditangani sendiri oleh karang taruna. ”Saya hanya sebagai penasihat,” kata pria yang kini tengah menyiapkan acara Hari Raya Kebudayaan Borobudur, semacam festival kampung di Magelang, Desember mendatang.

Redy terus bergerak membuatkan panggung bagi kampung-kampung lain di Nusantara. Setelah sukses di ”Cempluk”, ia membangun Jaringan Kampung Nusantara. Jaringan ini ia buat untuk membangun ketahanan budaya dan memperkuat entitas warga kampung di Nusantara. Dalam jaringan ini ada pula sejumlah musisi Tanah Air, seperti Trie Utami dan Leo Kristi.

Saat ini, anggota Jaringan Kampung ada 150-an pembakti di 25 kampung yang tersebar di 8 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Mereka memiliki latar belakang beragam, seperti dosen, sejarawan, kepala desa, dan ketua RT.

Lewat jaringan ini, warga kampung punya banyak panggung di sejumlah daerah. Di panggung-panggung itulah mereka membangun kebanggaan dan menunjukkan jati dirinya.



No comments :