Burger-burger
lokal muncul dengan narasi kesehatan dan kebaikan hidup. Di luar mengurusi
produk utama secara serius, mereka leluasa membuat gimik yang pas untuk target
pasarnya.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI/DWI AS SETIANINGSIH/RIANA A IBRAHIM
Gelombang
burger merek lokal hampir mirip dengan yang terjadi pada komoditas kopi
beberapa tahun belakangan. Masing-masing jenama punya cirinya sendiri, bahkan
ciri yang sangat khas koki peraciknya. Di luar mengurusi produk utama secara
serius, mereka leluasa membuat gimik yang pas untuk target pasarnya.
Pada
Minggu (30/5/2021) selepas tengah hari, Amalia Puri datang ke gerai Lawless
Burgerbar di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Setelah memarkir mobilnya lewat
jasa valet karena kehabisan tempat parkir reguler, dia memesan burger
favoritnya, Sabbath Burger. Biasanya dia pesan ukuran single—takaran satu
daging patty. ”Tapi, di toko cuma bisa pesan yang double,” ujarnya.
Walhasil,
dia harus membayar Rp 82.600 termasuk kutipan pajak untuk makan siangnya di
hari libur itu. Harga dasar Sabbath Burger ukuran double adalah Rp 68.000.
Ditambah dengan tarif parkir Rp 10.000 untuk pesan bawa pulang, dia
mengeluarkan uang Rp 92.600. Tarif parkir mobil layanan valet untuk makan di
tempat Rp 25.000.
Bagi
pekerja lembaga nirlaba ini, biaya segitu tergolong mahal. Makanya, jajan
burger Lawless biasanya sehabis gajian. ”Harganya memang mahal, tapi layak. Ya,
ini adalah makanan mewah, untuk momen tertentu saja,” lanjutnya.
Menu
favoritnya itu adalah burger keju. Namun, bagi lidahnya, cita rasanya lengkap,
tak sekadar asin dari keju American cheddar dan gurihnya daging sapi berbumbu.
Bawang bombai yang dipakai telah digoreng terlebih dulu dan dikaramelisasi
(caramelized). Jika acar di burger lain selalu disingkirkan, Amalia melahap
habis acar pada burger Sabbath. Dengan kelengkapan nuansa rasa itu, dia memberi
gelar Sabbath sebagai burger terenak yang pernah dia makan di Indonesia.
Sabbath
adalah satu dari tiga menu burger terfavorit di seluruh gerai Lawless yang
beroperasi sejak 2018 ini. Dua lainnya adalah Motley Burg seharga Rp 74.000 di
luar pajak, dan yang terbesar sekaligus termahal, The Lemmy (Rp 135.000). Satu
menu burger lainnya yang bertahan sejak Lawless berdiri adalah pilihan para
vegetarian, Joey Bellodona (Rp 47.000).
”Ini
(Joey) adalah menu permintaan gue,” kata Roni Pramaditia, salah satu dari enam
punggawa Lawless Burgerbar, dan satu-satunya yang tidak makan daging. Medhina
Purwadi, rekannya, memilih jamur portobello sebagai pengganti patty daging.
”Gramasinya sama dengan patty versi daging, sih, sekitar 120 gram,” kata Medhi.
Medhi,
yang sebelumnya membuka restoran steak ini, bilang, perlakuan pada jamur
portobello dan daging sapi sebagai patty mirip-mirip. Keduanya sama-sama
dipanggang dengan imbuhan bumbu dasar seperti lada, garam, cabai, dan bawang.
Hasilnya, panggangan patty jamur dan daging sapi berkarakter juicy, alias
cenderung basah.
Bergeming urusan
musik
Roni
bilang, seluruh penyedia (vendor) bahan burger berasal dari dalam negeri.
Selada romain ditanam sendiri di kebun dapur sentral, walau baru bisa memasok
kebutuhan gerai Kemang saja. Daging sapinya bukan sapi impor. ”Yang pasti impor
adalah musiknya,” seloroh Arian Arifin, alias Arian13, pendiri Lawless juga.
Musik
adalah komponen penting buat produk makanan Lawless. Nama-nama menunya
berkonotasi kancah metal. Penggemar band Motley Crue, misalnya, bisa langsung
mengidentifikasi asal nama burger Motley Burg. Setiap gerainya memutarkan
lagu-lagu rock dan heavy metal pilihan Arian dan Sammy Bramantyo, rekannya.
Mereka berdua adalah separuh band kencang Seringai.
Banyak
ulasan di internet yang memuji rasa burgernya tapi mengutuk pilihan musiknya.
Ada juga ulasan satu bintang yang mengkritik cita rasa makanan, sekaligus
menghujat kebisingan lagunya. Untuk urusan musik mereka bergeming. Malahan,
ulasan sumbang satu bintang itu diabadikan menjadi desain kaus Lawless
Burgerbar. Kaus itu laris.
Benar,
kedai burger ini punya produk turunan berupa kaus, seperti layaknya band saja.
Mereka mengakui, perangkat pemasaran mereka berkaca dari yang dilakukan banyak
band, seperti membuat acara, menjual kaus, dan membagikan stiker.
Di
awal masa pandemi tahun lalu, misalnya, mereka menganggarkan hampir Rp 100 juta
”hanya” untuk mencetak segepok gambar tempel. Salah satu desainnya bersih dari
merek, cuma tulisan ”Corona Virus Sucks”—mewakili kegeraman banyak orang pada
wabah virus itu.
Dekorasi
gerai, bonus stiker, bungkus kertas bergambar tengkorak, dan humor mereka pada
heavy metal mungkin dianggap sebagian orang sebagai gimik. Tapi, semua trik itu
berbanding lurus dengan kualitas produk utamanya, yaitu burger. Tak heran,
mereka bisa menjual rata-rata 50.000 porsi burger dalam sebulan, dan sepertinya
sebentar lagi layak menjadi ”oleh-oleh khas Jakarta”.
Burger biar bugar
Sebaliknya,
merek 2080 Burger (dibaca Twenty Eighty Burger) yang bermula di Pecatu dan
Canggu, Bali pada awal 2020, telah ”menginvasi” sekitaran Jakarta. Mereka
membuka cloud/ghost kitchen (gerai tanpa fasilitas nongkrong) di kawasan
Kemang, Jakarta Selatan. Mulai Maret 2020, 2080 Burger buka gerai di Fresh
Market di Bintaro, Tangerang Selatan.
Lokasi
gerai itu telah identik sebagai tempat nongkrong warga sekitar Jabodetabek di
sela-sela berolahraga. Akhir pekan, mulai Jumat hingga Minggu adalah saat paling
ramai. Sejak pagi banyak pesepeda dan pelari yang mampir. Burger mereka
dicitrakan sebagai kudapan sehat.
Penamaan
”2080”, kata salah satu pendirinya Heru Dwi Soesilo, mengacu pada 20 persen
lemak dan 80 persen protein dalam daging sapi murni asal Australia yang dipakai
sebagai patty-nya. Menurut mereka, komposisi itu sesuai kebutuhan lemak dan
protein bagi tubuh. Dengan kata lain, daging yang mereka pakai memenuhi syarat
baik untuk dikonsumsi.
Sayurannya
semua organik. Untuk gerai di Bintaro, sayuran didapat dari petani sayur
organik di daerah Bogor. Sementara untuk gerai di Bali pasokan sayuran berasal
dari petani di Bedugul. Konsep sehat itu menarik perhatian, dan memantik
pujian.
”Kalian
harusnya bisa dapat Michelin Star,” kata Heru, menirukan pujian dari Chef
Javier, koki andal di restoran milik Gordon Ramsey di London, yang kini
bermukim di Bali. Javier, bersama para surfer, atlet, dan foto model jadi
pelanggan 2080 Burger. Javier bahkan rutin jajan di 2080 Burger hampir tiga
hari sekali.
Banyak
atlet datang ke 2080 setiap habis olahraga di sasana. Bila sedang tidak
membutuhkan protein tinggi dari daging sapi, mereka tetap bisa menikmati burger
ikan atau ayam. Minumnya pun teh kombucha.
”Jadi,
pola hidup mereka tetap terjaga. Proteinnya dapat, healthy-nya juga dapat.
Kalau di Bali, narasi bahwa burger itu nggak sehat udah patah, sih,” kata Heru.
Panggang dulu
Selain
lekat dengan citra sehat, produk mereka juga dikenal atas aroma panggangannya
yang kuat (smokey). Sebut saja salah satu menu favorit, El Matador. Selain
berisi ”komponen dasar” burger, seperti patty, beef bacon, keju, selada romaine
dan tomat, terselip pula kerpik tortilla yang renyah dan potongan cabai
jalapeno. Dua bahan khas Meksiko menambah meriah rasa burger.
Saat
digigit, keripik tortilla dan cabai jalapeno-nya seperti menggigit balik.
Sensasi renyah dan pedas asam mengisi rongga mulut. Paduan daging patty yang
cenderung berair (juicy) dan beef bacon yang kering menambah keseruan
mengunyah. ”Enak nih. Dagingnya empuk, juicy. Aroma smokey-nya juga kuat,” kata
Hadi (43), salah seorang konsumen 2080 Burger.
Aroma
bebakaran itu muncul karena bahan-bahannya—mulai dari patty, sayuran sampai
roti—telah diasapi terlebih dulu menggunakan alat panggang gaya barbekyu. Arang
yang dipakai adalah arang dari kayu kopi, sehingga aromanya wangi dan tahan
lama. Mereka mengeklaim sebagai pionir metode ini dalam penyajian burger.
”Sampai
kalau cegukan, berasa aroma smokey di tenggorokan, jadinya keinget terus
burgernya,” kata Heru. Pantaslah mereka berani mengusung slogan ”smokey burger specialty”.
Menu
lain yang digemari adalah Say Cheese, yang dari namanya ketahuan ini adalah
burger keju. Selain memakai daging sapi Australia, rasa asin gurih diperoleh
dari paduan keju philly, dan saus keju. Rotinya memakai bun yang bau dan
rasanya seperti susu. Tampilannya menjulang. Harganya terentang dari Rp 69.000
untuk ukuran single, sampai Rp 129.000 ukuran triple.
Mereka
juga punya menu khusus Onde Mande Burger yang berisi daging rendang, juga Hang
Loose Burger yang pattynya terbuat dari paduan daging sapi dan seafood.
Nonpemakan daging tentunya bakal memilih menu Mofajun, karena ini adalah burger
vegan.
Roti segar
Kedai
Dope Burger & Co di daerah Menteng, Jakarta Pusat juga patut dicoba. Kedai
yang berdiri sejak 2018 ini punya 13 pilihan menu berbahan utama daging sapi
Australia, dan roti brioche sebagai bun. Kelebihan lainnya terdapat pada
racikan saus barbekyu dengan potongan cabai jallapeno. Kalau potongan
jallapenonya tergigit rasanya bikin kaget tapi enak.
Menu
yang pakai saus ini adalah burger Redemption yang masih ditambahi saus khas
racikan mereka. Sedangkan menu The Multisensory pakai saus sriracha dan saus
aioli sehingga nuansa rasanya jadi pedas dan gurih sekaligus. Saus sriracha
yang khas Thailand itu juga dipakai di menu The Yolk, yang isinya pakai daging,
hash brown (semacam perkedel), telur mata sapi, tumisan jamur, juga keju.
Ketiga menu itu jadi favorit.
”Menu-menu
yang ada di sini tentu dijajal terlebih dulu, dan juga melihat dari beberapa
tren di luar negeri,” kata salah satu pemilik Dope Burger & Co, Andre
Morgan. Daging dari Australia dipilih karena teksturnya lembut untuk diolah
menjadi patty, serta gampang didapat dengan harga dan kualitas bagus.
Urusan
roti, yang jadi komponen penting setiap burger, dipilih dengan cermat. Saban
hari, roti brioche produksi rumahan dengan taburan wijen selalu datang dalam
keadaan segar. ”Roti ini dipilih yang homemade dan selalu baru untuk menjaga
kualitas rasa dan kesegarannya. Sayurannya juga demikian,” tutur Andre.
Roti
brioche juga dipakai Flip Burger, yang berdiri sejak 2016. Bedanya, roti mereka
tanpa wijen. Jenis roti asal Perancis ini dipilih karena kaya kandungan mentega
(butter). Roti itu jadi lembut dan gurih manis setelah dipanggang. Roti yang
dipakai Flip Burger bikinan Animo Bakery, milik Muhammad Abgari, alias Agam.
”Pada
dasarnya Flip itu gabungan dari tukang daging dan tukang roti. Saya di
Holycow!, Agam di Animo,” kata Afit D Purwanto, salah satu pendiri Flip Burger.
Sebagai
”tukang daging”, Afit jadi tahu benar bagian sapi mana yang paling tepat
dipakai. ”Untuk patty, itu campuran ada yang bagian brisket, pundak, dan yang
terpenting harus memiliki kandungan lemak sehingga kelembutan tekstur dan cita
rasanya menonjol,” katanya.
Pengetahuan
akan asal-usul makanan ini tak disediakan restoran waralaba internasional zaman
dulu. Burger hari ini jadi menambah wawasan pelahapnya, sekaligus menambah
berat badan, tentunya.
Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ