“No other accoustic instrument can match the piano's expressive range,
and no electric instrument can match its mystery.”
(Kenneth Miller)
Suatu kompetisi, dalam dunia musik, bisa dibilang adalah 'necessary evil' yang mau tidak mau harus dilewati. Demikian ujar Henoch Kristianto, selaku salah seorang Dewan Juri Ananda Sukarlan Award. Ia juga mengumpamakan sebuah foto, bagus atau tidak hasilnya tergantung dari momen saat pengambilan foto tersebut. Hal yang sama terjadi pada suatu kompetisi. Ada banyak sekali faktor yang akan ikut menentukan hasil dari momen pertunjukan tiap peserta. Oleh karenanya, hasil permainan yang baik maupun kurang baik dari peserta hanyalah untuk tiga hari, bukan berarti untuk selamanya.
Sejalan pula dengan yang disampaikan oleh Latifah Koedijat, bahwa suatu kompetisi sebaiknya tidak dilihat hanya sebagai 'ajang bertanding' melainkan juga kesempatan untuk dapat membantu perkembangan bermusik bagi pesertanya.
Finalis yang semula direncanakan hanya terdiri dari enam orang, pada hari terakhir semifinal diputuskan bertambah menjadi sepuluh orang. Ini berdasarkan berbagai pertimbangan sebagai hasil rapat dari Dewan Juri, yang selengkapnya terdiri dari Ananda Sukarlan, Henoch Kristianto, Pudjiwati Insia M. Effendi, Stephen Michael Sulungan, serta Latifah Koedijat. Acara final ini pun dihadiri oleh Dedi Sjahrir Panigoro dan Pia Alisjahbana selaku Steering Committe.
Sejak pukul 10.00 WIB, sesuai jadual panitia, satu demi satu peserta pun tampil. Mereka berasal dari berbagai daerah di antaranya Medan, Surabaya, Bandung, Malang serta Jakarta. Beberapa di antaranya masih berusia amat muda namun mampu menyajikan permainan yang memukau, seperti Stephanie Onggowinoto (13), Randy Ryan (13) dan Handy Suroyo (17). Ketiganya kemudian diumumkan sebagai penyandang Juara Ketiga dalam kompetisi ini, dan masing-masing memperoleh hadiah Rp. 2.500.000.
Juara Kedua adalah Edith Widayani (18), peserta dari Jakarta yang baru pulang dari Sekolah menengah Musik di China, memperoleh hadiah Rp. 12.500.000. Dan peringkat pertama diraih oleh Inge Buniardi (22), juga peserta dari Jakarta, yang sedang menimba ilmu di Conservatory Music di Belanda dan meraih hadiah tertinggi Rp. 25.000.000. Inge membawakan L.V. Beethoven: second and third movement from sonata op. 109, Heinz Holliger: Elis, F. Liszt: Valee d'Obermann, S160/6, serta komposisi wajib untuk seluruh finalis yaitu Ananda Sukarlan: Rhapsodia Nusantara no.1. Komposisi wajib ini rupanya menghasilkan berbagai interpretasi yang unik dan menarik dari masing-masing peserta.
Fariz Elka Prawira (20), finalis dari Bandung, mengaku persiapannya mengikuti kompetisi ini terbilang cukup singkat, yaitu hanya 2-3 bulan. Ia yang kini kuliah di Jurusan Seni Musik UPH ini telah beberapa kali mengikuti kompetisi, tapi untuk tampil di hari final ASA Award cukup membuatnya nervous terlebih melihat finalis lain yang semuanya bagus-bagus. Meski tak menggondol gelar juara, namun Fariz berhasil memperoleh suara kedua terbanyak pada Audience Choice Award (pilihan favorit hadirin) di acara ini.
Henoch Kristianto pun mengakui bahwa kualitas permainan peserta pada kompetisi ini terbilang amat baik, dengan level yang cukup tinggi. Ia hanya berharap bahwa pada tahun-tahun berikutnya akan lebih banyak peserta dari daerah-daerah lain seperti Sulawesi, Kalimantan, NTB dan lain-lain, karena saat ini yang mendominasi hanyalah pulau Jawa dan Sumatera.
Acara juga dimeriahkan oleh penampilan dari Brigifine dan Genssly Ediansyah Syams yang membawakan di antaranya Sonata for Piano Four Hands (Francis Poulenc) dan Apfelstrudel and Strawberry Cheesecake (Ananda Sukarlan).
Menyusul kemudian Bernadetta Astari dan Elwin Hendrijanto yang dengan menyentuh membawakan Kama IV (puisi oleh Ilham Malayu), dan dengan jenaka membawakan Di Kebun Binatang (puisi oleh Sapardi Djoko Damono). Keduanya digubah menjadi komposisi musik oleh Ananda Sukarlan.
Telah berbulan-bulan panitia mempersiapkan acara ini, namun setelah melihat prestasi pianis muda Indonesia, "Terhapuslah seluruh keringat," ujar Dedi Sjahrir Panigoro. "Bagi saya, berani berpartisipasi dan mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi yang menuntut teknik virtuositas yang tinggi ini sudah merupakan suatu kemenangan."
Senada dengan yang disampaikan oleh Ananda Sukarlan, bahwa rupanya kualitas anak-anak negeri kita lebih baik dari yang dilihatnya di Eropa. "Sesuai nama acara ini, ASA, jadi kalau nggak menang, jangan putus asa," selorohnya.
No comments :
Post a Comment