Suasana Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor (Jum'at, 4/9). Jalan Ahmad Yani pada masa kolonial bernama Bataviasche Weg, lalu setelah revolusi berganti nama menjadi Jalan Jakarta. Ciri khas kawasan ini adalah deretan rimbun pohon kenari dan bangunan tua sisa era kolonial yang satu per satu hancur, dibongkar, kemudian tergantikan bangunan modern. (KOMPAS/AMBROSIUS HARTO) |
Mereka yang lahir di Kota Bogor sebelum 1980 dan doyan keluyuran tentu masih ingat deretan pohon kenari, antara lain di Jalan Ahmad Yani. Setiap musim buah kenari, selalu membawa kegembiraan. Selain keteduhan dan ibarat menembus lorong dimensi lain karena tajuk yang begitu rapat, buah-buah yang jatuh dari pohon adalah rezeki dan kenikmatan tersendiri bagi penemunya.
Buah kenari dikepruk dengan batu dan kacang di dalam yang gurih renyah menjadi penyempurna saat menikmati jajan es serut. Bagi para perajin, buah kenari dikeringkan dan dijadikan cendera mata khas "Kota Hujan" yakni gantungan kunci yang diukir atau diberi hiasan mata dan biasa dijual antara lain di gerbang utama Kebun Raya Bogor. Saat ini, cendera mata dari buah kenari kian sulit didapat.
Pada masa lalu, sebelum 1970, Jalan Ahmad Yani bernama Jalan Jakarta diduga pengindonesiaan dari Bataviasche Weg. Nah, deretan pohon kenari itu adalah pembatas jalan dan hamparan kebun karet. Pada masa kolonial, prasarana itu merupakan pengembangan Jalan Raya Pos peninggalan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Sejumlah bangunan peninggalan era kolonial di sisi barat jalan yang kini masih bertahan antara lain Wisma Keuskupan Bogor. Deretan bangunan tua lebih banyak berada di sisi timur jalan. Kini, rumah-rumah kolonial itu sudah banyak yang hilang. Yang ada pun beralih fungsi jadi restoran, kafe, kedai, apotek, kantor, bahkan bengkel.
Persembahan
Buku Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno mengungkapkan, di Jalan Jakarta (Jalan Ahmad Yani), pada 7 Juli 1965, Soekarno mempersembahkan sebuah rumah indah kepada Hartini sebagai bukti cinta mereka. Rumah itu kini tidak terawat.
Padahal, rumah itu dibangun dalam pengawasan Soekarno dengan arsitek Soedarsono. Griya yang berdiri pada lahan seluas 1.200 meter persegi dan memiliki 16 kamar itu dinamai Srihana-Srihani. Srihana ialah nama samaran Soekarno, sedangkan Srihani ialah nama samaran Hartini.
Pada 1972, lahan dan rumah itu dibeli oleh keluarga Hasan Sastraatmadja, pendiri surat kabar Nusantara. "Mungkin warga Bogor tidak banyak yang tahu bahwa di Jalan Ahmad Yani ada sebuah rumah persembahan Soekarno untuk Hartini," kata Adenan Taufik, budayawan Bogor.
Masih di Jalan Ahmad Yani, ada bekas Kompleks Istana Swarna Bhumi. Kompleks itu dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden ke-2, untuk istri kelima, KRAy Nindyokirono (Norma Musa) yang pada Rabu (2/9/2015) atau belum lama ini wafat.
Saat rumah-rumah era kolonial itu masih dihuni, tidak sembarang orang bisa masuk dan menikmati keindahannya. Namun, kini, keindahan itu relatif lebih mudah bisa dinikmati karena bangunan telah beralih fungsi menjadi tempat usaha.
Ada beberapa restoran dan apotek yang "menjual" suasana arsistektur kolonial. Sayangnya, bangunan era kolonial tidak sebanyak restoran, kafe, bar, atau kedai bernuansa modern.
Selain itu, rumah-rumah tua di Jalan Ahmad Yani banyak yang telah dibongkar dan berganti menjadi kantor usaha bahkan bengkel dan tempat cuci mobil. Kini, kawasan itu tidak identik lagi sebagai bekas hunian Eropa era kolonial.
Sementara bangunan tua banyak yang sudah dibongkar dan berganti rupa, beberapa pohon kenari telah tumbang, dipotong karena mati, atau dipangkas untuk mencegah kecelakaan terhadap pengendara.
Memang, kini, Jalan Ahmad Yani tidak serimbun dan seteduh di masa lalu. Namun, beberapa pohon kenari dan bangunan tua yang tersisa masih memancarkan pesona yang memancing kerinduan dan nostalgia. Entah sampai kapan peninggalan itu akan bertahan.
Penikmat kuliner menuju rumah makan khas Jawa Timur di Jalan Ahmad Yani, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jum'at (1/5). Rumah art deco yang bertebaran di Kota Bogor kini banyak dikelola secara profesional sebagai hotel, kafe, atau rumah makan. Warga antusias berkunjung untuk bernostalgia. (KOMPAS/AGUS SUSANTO) |
~ o 0 o ~
Disarikan dari: Kompas, 7/9/2015
1 comment :
Sukarno itu beli rumah bukan ngebangun rumah min,itu yg di beli rumah uyut saya nama nya cl.doormaan
Post a Comment